Senin, 29 Desember 2008

ULANG TAHUN ABANG YANG MENGHARUKAN

Hari itu tanggal 4 Juli 2003, Abang Faisal berulang tahun. Kami memang sudah memikirkan kejutan istimewa untuk abang. Hubungan aku dan abang terbilang harmonis. Walaupun dia satu-satunya orang yang paling sering membuat aku menangis. Tetapi sebetulnya kami menganggap pertengkaran itu hanya kerikil kecil yang teramat biasa dalam sebuah hubungan keluarga. Layaknya kakak dengan adik. Lagipula abang sudah cukup bertanggung jawab dalam menjaga kami.

Kami kaum perempuan sudah merencanakan kejutan istimewa. Sudah barang tentu kami juga melibatkan Fian. Bukan sebagai eksekutor, hanya sebagai pendengar setia sekaligus sumbang ide. Selebihnya kami kaum perempuan yang merencanakan sematang mungkin. Dari mulai makanan apa yang akan dihidangkan di hari special. Jebakan apa yang akan diberikan. Sampai hadiah apa, dan bagaimana kejutan itu diberikan.

Berhari-hari kami berbisik-bisik merencanakan sesuatu yang besar dengan modal terbatas. Lagipula tidak banyak yang bisa dilakukan di desa terpencil ini. Sebuah kue tart mahal di kota sudah barang tentu terlalu mustahil bagi kami. Selain transportasi yang membingungkan juga masalah biaya yang tidak sedikit. Kami ini saat itu hanya mahasiswa biasa yang mengandalkan uang jajan bulanan dari orang tua. Dan saat itu sebagian besar uang jajan kami tersedot untuk pembiayaan proyek kami di Bojong Cae.

Akhirnya disepakati, kami akan membuat pudding istimewa sebagai kue ulang tahun. Kami juga akan memasak makanan istimewa untuk hari itu. Istimewa menurut kami bukanlah daging atau ayam goreng. Istimewa menurut kami apabila tersedia lauk pauk, sayur mayur dan sambal sebagi pelengkap nasi. Maka pilihan kami jatuh pada menu sayur asam, sambal terasi, lalapan dan ikan asin. Mantap! Sedang untuk masalah mekanisme penjebakan, kami serahkan pada Fian sebagai ketua pelaksana.

Pagi-pagi sekali kami kaum perempuan sudah bersiap meninggalkan rumah. Kami harus membeli sayur mayur yang dibutuhkan. Kami juga mencari agar-agar swallow globe di toko terbesar di Bojong Cae. Susu kental manis sachet, sekilo gula putih. Kami pun membeli buah buni sebagai penghias pudding kami. Kami bayangkan manisan buah buni itu adalah buah ceri yang ranum dan menggugah selera.

Setelah mendapatkan apa yang kami butuhkan. Kami bersegera pulang. Kami mendapatkan Abang sedang di kamar mandi. Maka aku, Dije, Deci dan Fian bermusyawarah dengan berbisik-bisik perihal penjebakan. Sebelumnya kami memang sudah sepakat untuk membisu sejenak dengan tidak menyapa ataupun merespon pertanyaan Abang.

Tiba-tiba abang memasuki ruang tamu dengan terheran-heran.

“Ada apa rupanya kalian berbisik-bisik?” Dengan logat Bataknya yang kental sembari memandangi kami satu persatu dengan tatapan curiga. Kami sempat terkejut. Namun tidak lama kemudian kami berhasil menguasai keadaan. Tanpa merespon terlebih dahulu pertanyaan Abang. Satu persatu dari kami meninggalkan ruangan tanpa bersuara. Kami kaum perempuan berkumpul di dapur untuk memasak.

“Hey…………aneh kali. Kenapa kalian ini?” Abang dibuat keki dengan kelakuan kami yang di luar kebiasaan sembari menatap kepergian kami. Namun itu tak berlangsung lama. Hari masih terlampau pagi. Dan Abang seperti biasa melanjutkan tidurnya hingga jam sembilan pagi. Atau hingga lapar telah menyerangnya.

Dengan tidurnya abang, kami kaum perempuan bisa dengan leluasa menyiapakan hidangan istimewa untuk Abang. Bahkan pudding sudah mendingin. Tak lupa kami mencelupkan beberapa manisan buni ke dalamnya. Kala itu pudding itu adalah makanan terlezat.

Tepat pada waktunya abang terbangun. Kami telah merencanakan sebuah penjebakan. Kami akan membuat Abang basah kuyup oleh siraman air sumur. Satu-satunya tempat yang kami rasa sesuai adalah dapur dekat tungku kayu bakar yang berlantaikan tanah. Karena kami agak malas juga kalau harus mengepel ruangan yang kuyup oleh air sumur.

Namun yang jadi pertanyaan adalah bagaimana memancing Abang agar mau ke dapur? Kami benar-benar dibuat bingung. Kami sudah siap dengan seember air sumur, hanya tinggal bagaimana memancing abang tanpa curiga.

Istana Bojong Cae dikelilingi oleh pepohonan lebat dan alang-alang. Bangunan terbagi menjadi dua. Banguan inti berlantai ubin, berdinding bata, dan beratapkan genteng. Sedang bangunan kedua di belakang, dan masih berhubungan dengan bangunan utama adalah area, berdinding bilik, berlantaikan tanah. Pintu memisahkan antara dapur bersih dengan area belakang yaitu sumur, kamar mandi dan dapur dengan tungku kayu bakar. Kamar mandi pun semi permanen. Sebelum kami datang, kamar mandi itu nyaris terbuka lebar. Sampai akhirnya abang merelakan sarung kesayangannya sebagai penutup dinding yang terbuka lebar.

Tanpa berpikir panjang, aku yang pernah berlatih teater selama bertahun-tahun di bangku SMA dan bangku kuliah semester pertama mengerahkan kemampuan aktingku untuk memancing abang. Aku berteriak histeris sembari menyebut-nyebut ada ular masuk ke dapur. Itu adalah hal yang paling mungkin mengingat istana kami dikelilingi oleh kebun.

Maka semua orang berhamburan menuju dapur termasuk abang. Abang tergopoh-gopoh menghampiriku sembari membawa kayu panjang dan pisau dapur. Matanya nyalang mencari-cari keberadaan ular itu.

“Mana…mana ularnya?” Abang terengah-engah. Saat dia lengah, maka Fian serta merta menyiramkan seember air ke arah abang. Sebelum abang murka, kami beramai-ramai menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ dan ‘Happy Birthday To You’ dengan semangat diiringi dengan tepuk tangan yang riuh gemuruh. Deci berlari kedalam mengambil pudding buatan kami lengkap dengan lilinnya. Sesegera mungkin kembali bersama kami.mLagu pun berganti dengan

“Tiup Lilinnya…Tiup lilinnya…tiup lilinnya serta mulia…serta mulia…!” Serempak dengan gembira merayu abang agar segera meniup lilinnya. Dan abang pun meniup lilinnya.

Abang terlihat gembira sekali. Baru kali itu aku melihat mata abang berkaca-kaca. Musnah sudah prasangka kami akan kekerasan hatinya. Ternyata abang juga manusia biasa. Abang tertawa. Kami menggiring abang menuju ruang keluarga untuk menyantap pudding bersama.

Tanpa menunggu lama, sesaat setelah pudding dipotong-potong oleh Deci kami segera menyerbu dengan penuh semangat. Seperti anak kecil yang berebutan kueh. Nikmat sekali rasanya. Saat kami sedang asyik-asyiknya menyantap pudding. Abang tiba-tiba berkomentar.

“Sekali pun aku pernah dirayakan ulang tahunnya semeriah ini.” Sederhana namun dalam sekali maknanya. Kami sampai menghentikan gigitan kami pada pudding itu.

“Terima kasih ya teman-teman. Ini akan aku ingat seumur hidupku.” Abang tersenyum memandangi kami satu persatu. Kami pun membalas senyumnya dengan teramat manis. Kami meneruskan makan. Sambil sesekali kami berfoto ria.

Pudding itu adalah kado paling istimewa untuk abang di hari ulang tahunnya. Walau pudding itu hanya menggunakan cetakan berupa baskom, berbahan seadanya dan berhiaskan buah buni. Namun itu merupakan hadiah termahal untuk abang. Mungkin tidak akan pernah terlupakan.

Setelah itu kami bersantap ria masakan inti berupa sayur asam, sambal terasi, ikan asin dan nasi panas yang mengepul. Abang berjanji, esok lusa dia akan mengajak kami makan di restoran sebagai tanda terima kasihnya. Katanya sesekali kita juga harus memanjakan lidah dengan makan daging. Kami bungah…tak sabar menanti esok. Karena itu kesempatan langka kami makan di restoran ibukota Rangkas Bitung.

P.S. Perhatian seorang sahabat merupakan hadiah terindah dalam hidup. Bayangkan bila tak ada seorang pun yang mempedulikanmu!

KRITERIA MISKIN YANG MEMBINGUNGKAN

Menurut penelitian kami saat itu, Desa Bojong Cae tergolong desa yang miskin. Angka putus sekolah di desa Bojong Cae juga cukup tinggi. Kebanyakan dari kaum mudanya putus sekolah di usia remaja atau di bangku SMP. Alasannya cukup klise, “Tidak ada biaya.”

Hanya segelintir orang yang bisa meneruskan sekolah hingga di bangku kuliah. Itu bisa dihitung dengan jari. Mereka yang beruntung bisa mengenyam pendidikan tinggi hanya orang-orang yang tergolong berada. Hampir tujuh puluh persen pemuda Bojong Cae putus sekolah. Lelakinya biasanya bekerja di kota, hanya perempuannya yang menunggu rumah. Sedang kaum tua masih sibuk di sawah.

Sebagian besar warga Desa Bojong Cae adalah petani. Walau tidak semua dari mereka adalah petani yang memiliki tanah sendiri. Kebanyakan mereka hanya buruh tani. Ada juga petani palawija yang memiliki sepetak tanah di pekarangan rumah. Tidak banyak memang hasilnya, namun cukup untuk menghidupi keluarga dengan standar hidup yang pas-pasan.

Makanya salah satu program kerja kami selama bertugas di Bojong Cae adalah meningkatkan ekonomi masyarakat desa dengan memanfaatkan lahan pekarangan menjadi kebun sayur. Setidaknya masyarakat tak perlu membeli di pasar jika ingin mengkonsumsi sayuran segar. Karena semuanya tersedia di pekarangan rumah.

Suatu kali kami terlibat perbincangan dengan gadis-gadis putus sekolah di Desa Bojong Cae. Salah satu di antaranya sebut saja Minul. Usia Minul baru tujuh belas tahun. Layaknya gadis remaja yang suka mematut diri dan bercengkerama dengan sesamanya. Minul suka bergaul, terutama dengan kami.

Minul sudah putus sekolah semenjak di bangku SMP. Maka pekerjaan Minul hanyalah membantu ibu melakukan kegiatan rumah tangga, mengaji di surau di pesisir Kali Ciujung, sesekali membantu bercocok tanam di sawah tempat keluarganya menggantungkan hidupnya. Selebihnya bercengkerama dengan gadis-gadis sebaya untuk mengisi hari-hari penantian akan kehadiran seorang pemuda yang akan meminangnya dan memboyongnya pergi dari desa itu. Dan Minul tidak sendiri, masih banyak gadis-gadis lain yang bernasib sama.

Minul itu gadis desa yang lugu. Minul itu seperti bunga yang sedang merekah. Sehari-harinya Minul senang sekali memakai rok panjang dengan blus nan sopan. Memang demikianlah seharusnya gadis remaja. Di tengah-tengah arus modernisasi yang terus menerus menggerogoti kearifan budaya. Maka Minul masih memegang teguh prinsip. Maklum, Minul adalah jebolan Tsanawiyah atau sekolah Islam setingkat SMP.

Minul juga senang berdandan. Menaburkan bedak bubuk merek viva, mengoleskan gincu tipis-tipis sekedar untuk melembabkan bibir dan memberi kesan ranum. Minul juga punya krim kulit yang kata orang kota hand & body lotion merek viva. Dan sudah pasti bedak BB harum sari, yang hanya saat kondangan saja dipakainya. Supaya irit. Maka hari-hari biasa badan Minul yang sedang puber, menebarkan aroma yang tidak sedap. Membuat kami kaum perempuan yang sering berdekatan dengannya nyaris muntah.

Minul ini termasuk orang yang aktif mengikuti semua kegiatan kami. Tidak hanya sebagai partisipan tetapi juga membantu kami. Dia dan teman-teman sebayanya senang dan bangga membantu kami. Ada suatu kebanggaan bagi orang desa bila mereka bergaul dengan kaum intelek bernama mahasiswa. Biar terkesan intelek juga. Sekaligus siapa tahu salah satu dari lelaki kami terpikat dengan salah satu dari mereka. Sukur-sukur bila mereka dipinang dan diboyongke kota. Maka seluruh desa akan mengangkat kepala kepada mereka. Kebanggaan tida duanya.

“Teh, enak ya bisa kuliah?” Tanya Minul tiba-tiba.

“Yah enak dong. Bisa pintar, bersosialisasi dengan banyak orang terus Insya Allah cita-cita kami untuk memiliki penghasilan sendiri sudah di tangan.” Jawabku optimis.

“Oh………..” Minul menundukkan kepala sejenak.

“Min…kamu kenapa putus sekolah?” Tanyaku untuk mencairkan suasana.

“Oh….Minul mah tidak punya uang. Emak sama bapak tidak punya uang untuk sekolah. Makanya Minul tidak meneruskan sekolah. Lagipula Minul Cuma perempuan. Kata emak, perempuan tak usah sekolah tingi-tingi. Toh akhirnya juga masuk dapur.” Minul menjawab panjang lebar.

Oh tidak mampu yah. Hem……….sepertinya agak membingungkan juga kalau dikatakan Minul miskin. Apanya yang miskin? Kulihat Minul memakai gelang, cincin, kalung, anting, bahkan gelang kaki emas. Sedang aku yang katanya mahasiswa itu pasti orang berada dan banyak uang, sama sekali tidak memakai perhiasan emas. Sungguh menggelikan. Aku pun tersenyum simpul memandang gadis lugu itu.

“Kenapa teh?” Tanya Minul heran.

“Mmmhhhhhh, tidak hanya sedikit bingung sebetulnya yang tidak mampu itu siapa. Aku yang mahasiswa atau kamu yang putus sekolah? Kamu yang putus sekolah memakai perhiasan emas sedang aku…………satu pun tidak.” Aku tersenyum lagi.

Minul ikut memandangiku. Mungkin untuk memastikan bahwa tidak ada cincin atau gelang emas yang melingkar di tanganku. Yang ada hanya gelang tali berwarna biru muda. Itu pun sudah terlihat dekil. Minul menunduk.

Begitulah masyarakat Desa Bojong Cae. Bagi mereka pendidikan adalah nomor ke sekian yang tidak menjadi prioritas dalam kehidupan mereka. Kehormatan mereka dihargai dari berapa jumlah perhiasan emas yang mereka miliki. Istilahnya sehari makan hanya sekali, tidak sekolah asalkan kaum perempuannya memakai perehiasan emas sudah lebih dari cukup. Kalau harus memilih menyekolahkan anak atau membeli motor, maka tanpa banyak berpikir mereka akan lebih memilih membeli motor. Jelas ada barangnya.

P.S. Pendidikan adalah harta yang paling berharga

BIDAN BOJONG CAE

Salah satu dari sekian banyak tokoh yang kuingat di Desa Bojong Cae adalah Teh Euis, seorang bidan cantik yang bertugas di Desa Bojong Cae. Menurut penuturannya dia sudah hampir setahun bertugas di sana. Dia menempati sebuah rumah dinas kecil di dekat balai desa. Rumahnya setengah berdinding bata, setengah lagi berdinding bilik. Sederhana sekali.

Sebetulnya Teh bidan memiliki rumah permanen di Kota Rangkas. Namun semenjak bertugas di Desa Bojong Cae, Teh bidan memilih untuk hijrah bersama suami dan seorang anak perempuan berusia hampir dua tahun. Suaminya memiliki usaha rental komputer di kota. Dia juga menerima layanan video shooting acara pernikahan dan hajatan. Bisa dibilang mereka adalah keluarga yang terbilang cukup modern dan terpelajar. Makanya kami senang sekali berbincang dengannya.

Kami berbincang tentang apa saja. Tentang harapannya, tentang masa lalu, juga tentang tugasnya yang terkadang menjemukan. Dia seperti kami yang terdampar di desa terpencil. Teh bidan juga lama tinggal di kota. Makanya kami bisa saling berbagi dan berkeluh-kesah. Kami juga bisa mendapatkan pemeriksaan gratis dan mendapat vitamin tambah darah gratis. Dan tentu saja makan gratis sesekali. Terlebih lagi teh bidan memiliki usia yang tidak terpaut jauh dengan kami. Dia lulusan akademi kebidanan, mungkin saat itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sedang kami sekitar dua puluh tahun.

Kami mengenalnya dengan baik. Bisa dipastikan masa-masa bulan madu kami di Bojong Cae yang menjemukan benar-benar terobati. Kami kaum perempuan seringkali menghabiskan waktu bersama dengannya. Dari mengadakan Posyandu, penyuluhan kesehatan, sampai inspeksi dadakan ke dusun-dusun terpencil di Bojong Cae. Maklum kesadaran masyarakat Bojong Cae akan kesehatan dan kebersihan masih sangat rendah. Makanya bidan desa benar-benar harus terjun langsung kelapangan.

Bidan desa itu kami anggap sebagai wanita perkasa dan teladan. Di saat kami hampir-hampir tidak percaya dengan sebagian besar orang-orang di desa ini. Termasuk kepala desa yang gaek genit lagi korup sekaligus mata duitan. Atau sekretaris desa yang senang sekali ikut campur dalam urusan kami. Beberapa orang yang benar-benar sudah masuk daftar black list dalam otak kami. Maka kami tidak memiliki siapa-siapa kecuali bidan desa yang cantik.

Kebetulan ketika kami bertugas di Bojong Cae. Kami juga diserahi tugas survey untuk memantau pelaksanaan program pemerintah PKPS-BBM. Itu semacam program kompensasi pemerintah pada kenaikan harga BBM yang diberikan dalam bentuk bantuan langsung ke masyarakat. Bantuan itu antara lain dalam bentuk; Raskin (beras untuk kaum miskin gratis), KB gratis untuk kaum miskin, kartu sehat, dan lain sebagainya.

Kami membuat serangkaian kegiatan wawancara kepada aparat terkait, sesepuh desa, tokoh masyarakat. Dari situ kami baru bisa memberikan laporan akan penelitian kami. Apakah program PKPS-BBM di Desa Bojong Cae telah tepat sasaran? Atau malah terjadi kecurangan-kecurangan.

Agak sulit memang mengerjakan tugas ini. Tapi kami bersemangat. Pihak kampus memberikan kompensasi atas kerja keras kami. Kami mendapatkan imbalan sejumlah uang lima ratus ribu rupiah. Jumlah yang cukup besar bagi kami para mahasiswa. Imbalan itu tentu untuk seregu, bukan per-individu. Seingatku kami menggunakan uang itu untuk membiayai program kerja kami selama di Bojong Cae.

Selama kami melakukan survey di Bojong Cae. Kami memang mendapatkan beberapa kecurangan terselubung. Salah satunya adalah pendataan keluarga miskin yang tidak tepat sasaran. Banyak keluarga miskin yang belum mendapatkan fasilitas yang seharusnya mereka dapatkan. Maka tidak mengherankan, apabila banyak warga miskin yang sedang sakit tidak berani berobat. Alasannya sudah pasti karena biaya. Padahal pemerintah sudah menyediakan fasilitas kartu sehat untuk orang miskin, kartu sakti yang bisa digunakan untuk berobat gratis di rumah sakit pemerintah.

Banyak juga warga miskin yang terpaksa memakan makanan pokok selain beras. Ini sungguh menggelikan padahal kota Rangkas termasuk salah satu kota lumbung beras. Di sekitar Bojong Cae pun banyak persawahan padi. Selain itu Raskin atau beras miskin yang seharusnya gratis dibagikan kepada warga miskin, ternyata dijual oleh aparat desa dengan harga murah.

Seandainya ada yang gratis. Kualitas berasnya sudah tidak sebaik kualitas semula. Berasnya buruk dan terkadang berkutu. Itulah yang menjadi santapan para warga miskin. Sungguh biadab! Tega-teganya mereka melakukan hal tersebut. Mungkin kesalahan itu tidak seburuk kesalahan para koruptor Indonesia yang menggelapkan uang milyaran atau bahkan trilyunan. Tetapi tindakan itu tetap tidak bisa ditolerir.

Kalau alasannya adalah uang, gaji yang jauh dari cukup. Loh bukankah itu konsekuensi dari seorang abdi Negara? Makanya aku kami benar-benar menjaga jarak dengan mereka. Hanya bidan cantik itu yang masih kami anggap sebagai sahabat kami. Paling tidak kami memiliki idealisme yang sama.

Suatu ketika kami sedang mengadakan posyandu dibalai desa. Aku, Dije dan Deci turut serta membantu dalam acara tersebut. Sedang para lelaki memiliki rencana sendiri. Kami menyiapkan alat-alat timbang, meja antrian untuk pemeriksaan, obat-obatan, dan lain sebagainya. Kami saling berbagi tugas. Deci yang ahli gizi sibuk mengurusi penimbangan sekaligus membuat grafik di setiap KMS (Kartu Menuju Sehat). Dije menyiapkan plastik-plastik berisi bubur kacang ijo untuk tambahan gizi para balita yang hadir. Aku asyik membereskan obat-obatan milik teh bidan.

Aku sudah tahu sebelumnya bahwa biaya berobat di bidan ini sangat murah. Untuk pemeriksaan kesehatan plus obat-obatan, bidan ini hanya mengenakan biaya paling mahal dua puluh ribu. Memang obat-obatannya adalah obat generik, murah meriah tetapi tidak mengurangi khasiatnya. Untuk suntik IUD KB, dia hanya mengenakan biaya tujuh ribu lima ratus rupiah. Harga pil KB pun murah meriah. Menurutnya yang agak mahal mungkin pasang spiral atau susuk di lengan. Karena membutuhkan pembedahan ringan. Tidak bisa sembrono kalau tidak ingin celaka.

Aku dibuat terkagum-kagum melihat ketulusannya dalam mengabdi tanpa pamrih. Sungguh dia tak memiliki cacat sedikit pun di mata kami saat itu. Sudah cantik rupawan, lembut, supel, baik hati, dermawan, tulus membantu. Pokoknya nyaris sempurna. Sampai suatu ketika saat aku menyiapkan obat-obatannya. Botol-botol mini berisi cairan yang akan digunakan untuk suntik KB. Aku tergelitik untuk melihat tulisan kecil di botolnya.

“Program PKPS-BBM gratis tidak diperjual-belikan………..” Memang setahuku, semua obat-obatan PKPS-BBM adalah gratis. Hanya didistribusikan untuk warga miskin secara gratis. Tetapi Aku tahu teh bidan menarik bayaran dari obat-obatan itu. Walaupun teramat murah. Tetapi? Ah…..Padahal aku sudah jatuh hati pada ketulusan hati bidan cantik itu.

Aku melihat tulisan itu. Sejenak aku terdiam karena terkejut. Dan sudah menjadi kebiasaan aku yang tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.

“Deci, Dije sini deh! Kok disini aku lihat tulisannya PKPS BBM.Seharusnya kan gratis……..,” Aku bersuara agak keras. Aku pikir tidak aka nada yang dengar kecuali kedua temanku. Karena memang keadaan saat itu sangat ramai.

Deci dan Dije yang sedang sibuk menoleh kearahku hampir bersamaan. Begitu juga teh bidan. Wajah teh bidan mendadak pucat pasi, seperti tidak bisa menyembunyikan keteterkejutannya. Dia memang tahu, kami disini juga sebagai mata-mata pemerintah untuk mengawasi jalannya program pemerintah PKPS-BBM. Makanya dia menjadi grogi.

Saat itu aku bisa melihat perubahan sikapnya. Sejenak mata kami berpandangan. Dia menunduk. Namun tidak lama. Karena bidan itu langsung dapat menguasai dirinya. Dia mengambil alih, Bidan itu bertepuk tangan untuk menenangkan para ibu dan balita untuk mendapatkan perhatian. Sepertinya dia akan memberikan pengumuman penting.

“Ibu-ibu sadayana, mulai bulan ini setiap bulan ada jatah lima orang untuk mendapatkan suntik KB gratis. Tapi bergiliran ya ibu-ibu! Bulan ini lima, bulan depan lima lagi begitu seterusnya. Pasti semua mendapatkan bagian.”

Setelah selesai memberi pengumuman. Bidan itu melemparkan senyum pahit ke arahku. Aku membalasnya dengan senyum tulus yang agak dibuat-buat. Toh aku tidak berhak menghakimi bidan itu. Aku, Deci dan Dije sempat berbalas pandang sejenak. Kami sungguh jadi tidak enak hati. Hampir saja kami menelanjangi bidan itu di kerumunan ibu-ibu dan balita. Tetapi untunglah.

Beberapa saat kami memang jadi agak aneh. Pastilah bidan itu juga sedikit shock. Kecurangan kecilnya selama ini terbongkar secara tidak sengaja olehku. Tetapi aku berusaha mencairkan suasana. Setidaknya sampai kegiatan Posyandu ini berakhir. Bukankah kami masih membutuhkannya hingga masa KKN kami berakhir sebulan lagi.

P.S. Trust No One (Nantikan kisah selanjutnya!)

MASKER BENGKUANG BUMBU RUJAK

Sudah merupakan kebiasaaan kaum perempuan baik tua maupun muda untuk mematut diri dan berdandan. Maka kaum perempuan sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kegiatan merawat diri agar cantik rupawan. Apalagi kala itu aku dan beberapa perempuan lainnya adalah gadis perawan yang baru saja merekah layaknya bunga yang memancarkan harum semerbak dan pesona bagi semua kumbang jantan. Walau bukan berarti kami suka menarik kumbang jantan untuk mampir di kehidupan kami.

Kami para perempuan yang hampir seluruh umurnya kala itu dihabiskan di kota, sudah mengenal aneka perawatan wajah dan tubuh dari lulur, facial, masker wajah, cream-bath, dan lain sebagainya. Maka dengan terperangkapnya kami di sebuah desa terpencil di Kabupaten Lebak Banten tidak mematikan birahi kami untuk merawat diri. Setidaknya kecantikan kami tidak pudar hanya karena tidak sedang tinggal di kota. Seperti pudarnya kecantikan Cleopatra yang merupakan momok mengerikan itu.

“Kita ke kota yuk!” ajakku pada Dije dan salah seorang teman perempuanku yang sedang berkunjung, Irma. Irma adalah teman sekelasku yang sama-sama sedang KKN di Kabupaten Lebak, Kecamatan Cibadak. Hanya saja kami berbeda desa. Dia di Kadu Agung Barat.

Saat itu para lelaki di istana kami di Bojong Cae sedang tidak ada. Mereka, Abang dan Fian sedang ada urusan di Bogor. Begitupun dengan Deci. Makanya hanya ada aku dan Dije yang menjaga istana kami. Sudah merupakan kesepakatan bersama bila ada di antara kami yang harus meninggalkan istana, maka yang lain harus tetap tinggal di istana.

Kala itu giliran aku dan Dije yang menjaga istana. Walau sebetulnya selama tugas aku sama sekali tidak pernah mengambil jatahku untuk pulang. Dan kebetulan tempat tugas Irma di Kadu Agung Barat juga sedang sepi. Maka Irma memilih untuk menginap di istana kami.

“Ke kota?” Dije menyahut.

“Iya kita ke kota, sekalian lihat pemandangan dan berbelanja kebutuhan rumah tangga. Mungkin membeli lulur atau masker wajah. Selagi para lelaki tidak ada di rumah. Kita para perempuan bisa berpesta pora tanpa ada yang mengganggu. Sepertinya kita perlu sesekali memanjakan diri. Jangan biarkan desa ini memberangus kecantikan kita.” Aku berapi-api sambil memandangi wajah mereka satu persatu.

Irma manggut-manggut. Bagiku itu lampu hijau. Irma adalah karibku. Walau usianya jauh lebih muda dari pada aku. Namun pemikiran dia jauh lebih dewasa dari aku, bahkan Dije yang masih lebih tua dari aku. Irma seorang melankolis sempurna. Maka sebuah rencana harus dibuat sematang mungkin. Jangan harap dia akan ikut serta dalam sebuah rencana berpelesiran yang tanpa perencanaan matang. Setidaknya sebuah rencana yang baik menurut Irma harus dapat menjawab beberapa pertanyaan.

Di mana?

Untuk apa?

Bagaimana menuju kesana?

Apa saja yang akan dilakukan?

Kapan?

Pulang jam berapa?

Apa manfaatnya?

Huh! Maka akan sangat melelahkan mengajaknya pergi tanpa tujuan seperti yang dilakukan kaum sanguinis seperti aku. Aku adalah pribadi yang bebas tak suka diatur. Aku suka melakukan apa saja yang aku mau. Justru karena itu kreativitasku ditantang. Aku penuh ide kreatif, namun sejujurnya aku agak kesulitan dalam melaksanakan ide-ideku. Semangatku meletup-letup di awal, namun pertengahan aku benar-benar butuh perencana ulung dari kaum melankolis. Sanguinis tak lebih dari seorang penggembira dan pembuat ide. Namun sekali lagi sanguinis agak kesulitan dalam memimpin layaknya kolerik apalagi mengerjakan hal remeh-temeh yang hanya cocok dilakukan oleh orang flegmatis.

Sepanjang usiaku kini, maka Irma adalah salah satu contoh melankolis sempurna yang pernah aku temui di dunia ini. Dia selalu berusaha melakukan segala hal sesempurna mungkin, jikalau perlu ‘zero mistake’. Semuanya harus serba terencana dengan baik. Yang lebih mengerikan, Irma sudah membuat catatan daftar pakaian dan baju dalam yang akan dipakai selama dua bulan KKN sebelum kami tiba di tempat ini.

Bayangkan! Sebegitu terencananya, Irma sudah merencanakan jadwal baju yang akan dipakai sepanjang KKN perhari, siang dan malam. Gila! Ketika aku mencoba menanyakannya. Maka Irma dengan sederhana menjawabnya, “Agar aku bisa memperkirakan berapa jumlah pakaian yang harus dibawa”.

Bahkan Irma juga sudah memperkirakan apabila terjadi hal yang tidak diinginkan yang membuat jadwal itu akhirnya harus berubah. Seperti kesibukan yang menghalanginya untuk mencuci, dan mengakibatkan keterlambatan keringnya pakaian. Atau hujan terus-menerus yang membuat pakaian tak kunjung kering. Dengan adanya pakaian cadangan.

Idealnya memang dalam sebuah tim harus memiliki keempat kepribadian dalam personality plus; Kolerik sang pemimpin, Sanguinis sang penggembira yang jago bermimpi, Melankolis sang penyempurna dan flegmatis sang juru pelaksana umum. Maka di ikatan persahabatanku dengan Irma, Dije, Widi, Ari dan Dewi, kami sungguh tim yang kompak. Kami merupakan gabungan dari keempat kepribadian tersebut. Baiklah, mari kita kembali kepada rencana para gadis di Istana Bojong Cae.

“Setuju!” Irma menimpali.

Giliran aku memandangi Dije, menunggu jawaban. Dije hanya tersenyum, “Pastilah aku ikut. Lagipula penat kali aku di desa. Sesekali ingin juga aku berpelesir melihat kota.” Dije dengan logat Bataknya yang kental.

Tanpa menunggu waktu lama, kami segera bergegas mempersiapkan segalanya. Terutama dompet berisi uang secukupnya. Tak lupa mematut diri di kaca sembari mengoleskan krim, berbedak alakadarnya dan melembabkan bibir dengan lip gloss. Biar pun kami bunga yang mulai merekah. Belum timbul juga keberanian di hati kami untuk mengoleskan gincu berwarna merah menyala yang mampu membakar selera kaum Adam. Bahkan hingga detik ini, aku sudah bersuami. Aku masih tidak berani. Pelembab bibir masih menjadi teman bibirku. Sesekali memang bergincu, tetapi hanya sebatas warna bibir agar terkesan alami. Lagipula gincu berwarna merah menyala lagi norak sama sekali old fashioned. Bukannya cantik, malah bibir terkesan jontor.

Setelah mengunci pintu, kami segera pergi meninggalkan istana kami. Dengan langkah pasti dan hati yang berbunga-bunga. Maklum kami amat jarang berpelesiran melihat kota. Maka kesempatan ini termasuk hal langka yang menggembirakan kami.

Desa Bojong Cae cukup jauh dari kota. Tetapi sesungguhnya masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki selama dua jam. Transportasi yang cukup sulit membuat kami tergoda untuk merasakan sensasi berjalan kaki sepanjang 10 kilometer menuju Kota Rangkas Bitung. Lagipula hari masih teramat pagi. Masih setengah enam pagi. Masih gelap gulita. Ini kesempatan kami menghirup udara segar yang masih alami. Dinginnya menusuk tulang rusuk. Brrr! Tetapi segar, segarnya mampu menembus relung hati sekaligus menyejukkan isi kepala dan hati.

Kami berjalan cukup santai, makanya baru jam delapan kami akhirnya sampai di kota. Kami para gadis yang banci kamera tak pernah melewatkan tempat-tempat indah di sepanjang jalan tanpa berfoto. Kami layaknya bule yang sedang terheran-heran, karena baru pertama kali mengunjungi Indonesia. Ini sekaligus untuk membunuh kebosanan kami akan jauhnya perjalanan dari Bojong Cae ke Rangkas Bitung.

Sesampainya di kota, kami menyempatkan diri untuk sarapan. Perjalanan yang cukup jauh membuat kami benar-benar kelaparan. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan 3 arem-arem isi oncom, bakwan dan tahu isi goreng dengan saus kacang pedas di dalam piring. Alhamdulillah. Nikmatnya tak terkatakan! Lebih nikmat dibanding Pizza, Spaghetti, Burger, atau makanan-makanan Barat lainnya.

Setelah kenyang, maka kami tidak membuang waktu kami untuk segera berburu keperluan kami di toko terdekat. Kami membeli satu botol lulur jadi merek Mustika Ratu dan aneka keperluan seperti sabun, pasta gigi dan lain sebagainya. Kami juga menyempatkan diri untuk membeli kebutuhan bahan segar di pasar tradisional. Membeli lauk-pauk tempe tahu, dan presto bandeng ala Rangkas Bitung, aneka bumbu dan sayuran segar. Tidak lupa buah-buahan untuk rujak, terutama bengkuang sebagai bahan dasar masker wajah kami.

Kami berbelanja cukup banyak. Walau begitu kami cukup tahu diri. Sebanyak itu kami berbelanja tidak sampai lima puluh ribu rupiah termasuk makan dan ongkos kami. Karena hari sudah cukup siang dan agak panas, makanya kami memutuskan untuk pulang naik transportasi umum saja. Tidak perlu berpeluh kepanasan. Hanya duduk, maka tak sampai empat puluh lima menit kami sampai di Istana kami.

Setelah shalat Dzuhur, kami memasak nasi dan menggoreng bandeng presto dan mengulek sambal untuk makan siang kami. Nasi yang mengepul panas dan ikan bandeng presto benar-benar semakin lezat dengan sambal terasi. Makan kami lahap sekali. Bahkan kami masih bernafsu membuat rujak sebagai pencuci mulut. Rujak super pedas. Karena kami bertiga memang penggila cabai. Maka rujak buatan kami benar-benar rujak yang bisa membunuh manusia yang takut cabai.

Setelah makan-makan kami beristirahat. Namun semua piring kotor dan ulekan sudah bersih sebelum kami tinggal tidur siang. Kami tidur tidak lama. Karena kami teringat dengan lulur dan bengkoang kami. Ini kesempatan langka. Para lelaki sedang pergi maka kami bisa buka-bukaan mengoleskan lulur ke seluruh tubuh.

Semua jendela kami tutup dengan korden. Mengkunci semua pintu. Setelah aman baru kami berani hanya memulai prosesi luluran. Kami saling membantu mengoleskan lulur di punggung. Kemudian kami asyik membuang daki masing-masing. Sembari menunggu kering kami berbincang seru ala para gadis.

“Eh, kita masih punya bengkoang,” Irma tiba-tiba.

“Oh iya…….” Aku bersemangat.

“Loh, tapi kan kita tidak punya blender,” Dije mematahkan semangat kami.

“Punya parutan tidak?” Tanya Irma lagi.

“Tidak, “ Dije lemas.

“Hem………aku ada ide, kita masih punya ulekan. Kita ulek saja bengkoangnya!”

Dije dan Irma seperti berpikir. Irma, “Sepertinya boleh juga idenya.”

“Ya sudah, kita kupas dulu bengkoangnya,” Dije menimpali.

Kita semua bergerombol di dapur, mengupas, mengiris bengkuang sembari berbincang-bincang. Setelah selesai giliran aku yang mengulek bengkuang calon masker wajah di ulekan bersih. Maka tak sampai sepuluh menit, ramuan bengkuang siap digunakan untuk masker wajah. Kami bersemangat mengoleskannya ke permukaan wajah kami yang mulus. Dengan harapan, kelak masker ini akan semakin membuat wajah kami putih bercahaya.

Kami membiarkan masker itu mengering di wajah kami, sebelum kami membilasnya. Tiba-tiba sepuluh menit kemudian,

“Kok wajahku panas ya?” Tanya Irma.

“Iya aku juga, “ Dije.

Aku dengan cekatan menjawab, “Oh itu mungkin reaksi dari maskernya. Mereka sedang membunuh kuman-kuman di wajah kita. Lihat saja wajah kita kan agak berjerawat. Jadi mungkin itu reaksi alami.” Sejenak aku melihat mereka mengangguk-angguk. Aku tersenyum karena dapat memuaskan pertanyaan mereka.

Tetapi semakin lama, rasa panasnya bukan mereda malah semakin menjadi. Wajah kami terasa terbakar api. Fiuh!

“Kamu yakin ini reaksi alami masker bengkuang. Perasaan aku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya,” Irma sembari kepayahan menahan panasnya wajah. Kali ini benar-benar tidak bisa menjawab. Karena aku juga semakin kepayahan. Wajahku seperti melepuh.

“Ulekannya bersih kan?” Tanya Dije.

“Bersih,”singkatku sambil kepayahan.

“Loh……….kan sebelumnya itu dipakai mengulek sambal rujak.“ Irma menyadarkan kami semuanya.

“Oh My GOD!” Aku dan Dije berpandangan.

Maka sedetik kemudian kami berlarian berebut menuju kamar mandi untuk membilas wajah kami yang teracuni masker bengkuang bumbu rujak.

“Ahhhhhhhhhhhhhh!” Kami berteriakan seperti orang gila. Wajah kami semakin memanas dan tak tertahankan lagi. Setelah terbilas air dan sabun muka beberapa kali barulah rasa panasnya mereda.

Sejak saat itu kami tidak pernah membuat eksperimen masker bengkuang lagi. Tidak akan pernah! Lebih baik membayar agak mahal untuk perawatan di salon, dibanding wajah kami harus melepuh terkena panasnya sambal rujak. Itu benar-benar pengalaman paling gila.

Sampai saat ini kami masih mengingat peristiwa itu. Mungkin suatu hari nanti itu akan jadi topic perbincangan paling menarik yang layak untuk dibagikan kepada anak perempuan kami tentang betapa bodohnya kami kala itu.

P.S. Beauty is painful (Nantikan kisah seru lainnya!)

Kamis, 25 Desember 2008

DOLBUN

Salah satu kebiasaan warga Desa Bojong Cae yang sempat membuat kami tak sanggup berkata-kata, tercengang tanpa ampun, menggeleng-geleng, menelan ludah, mual, tenggorokan tercekat tak bisa bernafas karena menahan bau tak sedap sembari menutup hidung adalah 'dolbun' alias 'modol di kebun'. Bagi yang awam bahasa kampung, baiklah aku akan bantu menjelaskan. Modol artinya buang air besar.

Primitif memang! Warga desa tidak pandang bulu, baik laki-laki atau perempuan, baik anak-anak dan orang tua punya kebiasaan buruk dalam melepas hajat besar. Biasanya mereka melakukannya di pagi buta atau di malam gelap. Tidak perlu keluar rumah dengan mengendap-endap, karena semua mafhum adanya. Keluar rumah dengan membawa penerang seadanya kemudian mencari posisi yang nyaman di kebun atau di bawah pohon untuk melepaskan birahi 'hajat besar'. Agghhhhhh! Setelah terlepaskan segera pergi ke sumur terdekat untuk membilas buritan. Kemudian semuanya kembali berlangsung normal.

Bisa dibayangkan betapa banyak kotoran manusia yang bertebaran di kebun dan jalanan. Bau menyengat, lalat beterbangan menyebarkan bibit penyakit. Pokoknya mengerikan! Kucing di rumahku masih lebih pandai. Si Polly kucing belang hitam-putih di rumahku, malah telah mengenal kegunaan WC untuk buang hajat sejak berusia 5 bulan. Oke, kalau ini berlebihan. Maka si manis kucing liar belang tiga primadona para kucing di gang rumahku masih lebih baik. Dia dengan lincahnya menggali, kemudian menutup kotorannya dengan tanah.

Mengerikan sekali melihat bokong-bokong orang yang bersiap melepaskan 'ranjau-ranjau' berbahaya di semak-semak. Belum lagi mendengar lenguhan-lenguhan bertenaga demi mengeluarkan sisa proses pencernaan yang sudah tidak berguna. Lebih mengejutkan bila sedang asyik-asyiknya menyelusuri kebun, kaki anda terjebak 'ranjau'. Maka anda akan kehilangan selera makan selama berminggu-minggu. Menjijikkan!

Sebagian besar warga Bojong Cae tidak teredukasi dengan baik masalah sanitasi dan kesehatan. Parahnya mereka tidak menganggap penting keberadaan WC di dalam rumah. Lebih mengherankan, banyak juga rumah bagus berdinding bata yang sama sekali tidak memiliki WC. Padahal mereka punya kamar mandi. Sepertinya WC bukanlah pelengkap dari kamar mandi. Yah, kalau rumahnya berdinding bilik mungkin aku maklum. Tapi ini? Wah......

Saat ditanya alasannya, rata-rata mereka akan menjawab,
"Yah itu mah sudah biasa neng! Kalo pake WC kan repot mesti bikin septic tank juga. Yah kita mah gak mau repot. Tapi mah sekarang udah banyak yang modol di kali".

Waduh.....!Modol di kali tidak lebih baik dengan modol di kebun. Sama-sama tidak berbudaya dan tidak sadar lingkungan.

Sudah banyak memang kaum terpelajar yang mulai menyebarkan pentingnya sanitasi lingkungan bagi kesehatan. Para petinggi desa tidak menutup mata. Penggerak posyandu yang dipimpin oleh seorang bidan cantik bahu-membahu memberikan penyuluhan kesehatan. Mungkin bagi kalangan muda, dolbun benar-benar tidak lagi modern. Maka mereka mulai malu meneruskan tradisi itu. Tetapi tidak bagi barudak dan kolot.

Hal ini yang membuat Desa Bojong Cae mendapat kucuran dana biaya pembangunan WC umum dari pemerintah. Namun kala itu jumlah WC umum masih terbatas dan belum menjangkau dusun-dusun yang ada di pelosok Bojong Cae. Beberapa menggunakan model kakus 'cemplung' di beberapa titik di kali Ciujung.

Maka salah satu program kerja kami selama di Bojong Cae adalah mengadakan kampanye anti dolbun. Menyelipkan kesadaran akan pentingnya sanitasi lingkungan, karena kebersihan adalah hal yang tak terpisahkan dari kesehatan. Kesehatan adalah nikmat yang teramat mahal harganya.

p.s. Nantikan kisah selanjutnya!

MAHASISWA PUJAAN

Ketika kami baru menginjakkan kaki di Bojong Cae. Kami layaknya selebritis. Semua pasang mata menguliti kami sepanjang perjalanan kami dari rumah kepala desa hingga Istana Bojong Cae. Sesekali aku menangkap sekelebat beberapa orang saling berbisik-bisik. Ketika aku lemparkan pandangan ke arah mereka yang berbisik-bisik. Mereka terdiam salah tingkah. Maka aku menghadiahi mereka seulas senyum manis, maka dengan malu-malu kucing mereka membalas senyumku.

Anak-anak kecil berlarian mengiringi perjalanan kami yang hanya berjarak tak lebih dari 1 km itu. Semua seakan suka cita menyambut kami. Entah apa yang ada di benak mereka tentang kami. Lima orang mahasiswa IPB yang sedang menempuh ujian hidup di desa terpencil.

Tak hanya sekali itu kami dipandangi seolah selebritis. Bahkan beberapa hari setelah itu pun kami masih menjadi bahan perbincangan. Kami jadi bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat mereka seperti itu. Apakah karena kami seperti makhluk planet? Atau mereka teramat jarang melihat mahasiswa dari kota? Apakah mereka berharap banyak akan kedatangan kami? Atau kami yang terlihat aneh?

Seminggu kemudian kami baru dilibatkan dalam acara-acara kampung. Dari rapat karang taruna, rapat desa, Posyandu, hajatan, sampai kerja bakti. Disitulah akhirnya kebekuan di antara kami sekelompok mahasiswa kota dengan orang desa tercairkan. Tatapan aneh mulai berkurang. Mereka sudah bisa menyapa kami dengan nama. Kami pun tak segan-segan melepas senyum sembari menyapa,
"Mangga!"

Warga kampung dengan sumringah menjawab, "Punten".

Hanya itu kosa-kata Bahasa Sunda yang melekat kuat di otakku. Selebihnya? Teu Tiyasa Basa Sunda.

Walau mereka sudah mulai terbiasa dengan kehadiran kami. Tetapi kami masih merupakan selebritis di Desa Bojong Cae. Itu tak menjadi soal bagi kami. Kami pikir, kapan lagi kami bisa setenar ini.

Kami seringkali mendapatkan kiriman makanan dari warga desa. Anehnya yang mengirimkan adalah gadis-gadis geulis kebanggan Bojong Cae. Mereka sengaja bersolek untuk memikat. Hanya bedak merek Viva dengan gincu murahan merek Ponds seharga lima ribu rupiah. Mereka sama sekali tidak tahu jika Ponds tidak pernah mengeluarkan produk selain krim dan pembersih.

Salah satu dari perempuan desa yang agak sering berkunjung ke rumah kami adalah Teh Eneng. Bodinya lumayan bahenol, padat berisi. Dia salah satu aktivis karang taruna yang pandai bermain voli. Di antara kami berlima yang menyukai olahraga hanya Abang dan Dije. Maka merekalah yang selalu mengikuti pertandingan voli di sore hari. Mungkin di situ jugalah benih-benih cinta tumbuh di hati Teh Eneng.

Teh Eneng berusia sebaya dengan kami. Hanya karena dia tak pernah mengenyam bangku kuliahan dan langsung terjun di dunia kerja. Maka dia tampak lebih dewasa di banding kami. Dia terlihat sangat akrab dengan Abang. Maklum abang itu supel, berbadan tegap dan berwajah maskulin. Sudah pasti dia menjadi pujaan. Bukan hanya Teh Eneng yang memuja abang kami. Tetapi masih ada beberapa gadis termasuk Melati anak Pak RW. Tapi Teh Eneng paling gencar. Bahkan malam pun dia menyempatkan diri untuk mengunjungi istana kami. Tidak sendirian memang, tetapi bersama teman akrabnya. Tentu saja untuk menemui abang.

Kali lain Melati yang datang. Namun penampilan Melati lebih sopan di banding Teh Eneng yang senang memakai celana pendek dan kaos ketat. Bisa dibayangkan badannya yang montok akan semakin menggoda mata lelaki. Aku pikir dia memang memancing.

Sudah menjadi rahasia umum. Bagi orang desa menikah dengan mahasiswa dari kota adalah sebuah kebanggaan yang akan mengangkat martabat keluarga. Mahasiswa biasanya orang kaya, atau setidaknya punya uang berlebih untuk membiayai kuliah yang tidak sedikit. Mahasiswa biasanya pandai, kelak bila lulus mereka akan bekerja dan memiliki uang banyak. Maka mereka para gadis desa gencar melakukan pendekatan kepada abang. Sudah barang tentu, mereka didukung oleh keluarga besar.

Mengapa abang bukan Fian? Karena Fian adalah tipe lelaki rumahan yang tidak terlalu senang bersosialisasi. Maka Fian bukanlah prioritas utama target operasi. Fian terlihat kaku dan canggung bila berdekatan dengan perempuan. Sedang Abang terlihat lihai menyembunyikan perasaan jengahnya. Kami suka sekali menggoda abang.

"Abang.......apa kau akan tinggal di sini setelah tertambat dengan gadis itu?", suatu kali aku menggodanya dengan memaksakan diri berlogat Batak.

Abang menggerutu, "Huh.......tak lah".

"Oh kirain lu emang tertarik", Fian sembari cekikikan.

Setelah itu istana kami riuh oleh tawa. Kami semua serempak menggodanya. Lagipula abang memang pantas digoda. Ketika abang kami berdekatan dengan Teh Eneng. Abang kelihatan ikut mengimbangi kegenitan Teh Eneng. Maka bila Teh Eneng adalah perempuan penggodanya. Sedang abang adalah lelaki yang pantas digoda.

"Wadon bae...wadon bae..!" Lirik lagu dangdut super norak yang khas samar-samar terdengar dari rumah di depan istana kami. Tiba-tiba kami tertawa serempak.

"Tarik mang!" Dije berseru sambil bersiap untuk bergoyang.

Tiba-tiba Melati, gadis cantik anak Pak RW mengetuk pintu. Melati juga ingin bertemu dengan mahasiswa pujaan. Demi mimpi menjadi seorang istri dari suami yang terpelajar dan terpandang. Semoga berhasil, karena abang kami hatinya sudah tertambat dengan penyiar radio di Bogor. Sudah pasti lebih cantik dan pandai membawa diri, mahasiswi pula.

P.S. Ikuti terus kisahnya!




Selasa, 23 Desember 2008

SI TUKANG RAMAL BOJONG CAE

Kami memanggilnya Abah. Dia adalah sesepuh Desa Bojong Cae di Rangkas Bitung, tempat kami menghabiskan masa KKN kami. Rambutnya sudah memutih. Namun Usianya yang sudah hampir menyentuh angka 70 seakan tersembunyi di balik ketegapannya. Walau keriput sudah menjadi teman kulitnya.

Sejenak mata Abah menerawang jauh, asap rokok Djinggonya mengepul. Abah menghela nafas seakan berusaha memberangus awan gelap yang membayangi hatinya. Wajah keriputnya mengulas senyum. Senyum menawan khas seorang bapak tua yang telah banyak makan asam garam memikat perempuan. Abah pun memulai ceritanya.

"Abah dulu seorang petualang. Sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Layaknya orang ngelmu. Abah tak lekas puas. Abah terus berkelana mencari pengalaman. Abah teh dulu tampan pisan........" Senyum genitnya memperkuat cerita. Kami kaum perempuan hanya berpandangan.

Sebelumnya kami memang sudah tahu sepak terjang Abah ini. Abah seorang dukun ilmu kebatinan. Masalah ilmu pelet dan gendam adalah hal yang teramat sepele. Istri Abah ada dimana-mana. Lebih dari dua puluh yang tersebar di berbagai daerah. Setiap Abah berkelana, disitu pula Abah berkelana mencari cinta bersama gadis-gadis lugu kembang desa.

Abah sama sekali tidak pernah punya kesulitan untuk memikat perempuan. Wajah Abah memang tampan di masa mudanya. Itu dari foto yang dipertontonkan kepada kami. Abah berbadan tegap, berkulit terang, dan berwajah bagus. Abah juga pandai bicara, sekali rayu perempuan akan bertekuk lutut tanpa ampun dan langsung minta dikawin. Ditambah lagi Abah kesohor sebagai dukun pelet. Beberapa artis terkenal adalah pasiennya. Mau pasang susuk di wajah, dada, pinggul atau tempat-tempat erotis kaum perempuan? Adalah hal teramat mudah. Ajian pengasihan, semar mesem adalah beberapa produknya. Dijamin sang pujaan akan langsung bertekuk lutut.

Maka dari itu sejak awal aku mewanti-wanti Dije, Dewi untuk banyak merapal doa sebelum terlibat perbincangan tatap mata dengan Abah.

"Awas! Jangan lupa. Baca dulu Alfatihah dalam hati, tahan nafas! Baru kita aman menatap mata jalangnya. Kalian tidak mau kan, jadi Istri ke 30 si Abah." Satu kali aku berkata. Disusul dengan tawa riuh kami kaum perempuan. Si Abang tiba-tiba menimpali.

"Ada apa kalian rupanya? Girang kali", dengan logat Bataknya yang kental. Kami kaum perempuan hanya cekikikan.

"Siapa lagi kalau bukan membicarakan si dukun pelet", pendek Fian tetap asyik dengan korannya.

Maka kami benar-benar mengingat-ingat itu. Demi Allah, kami takut. Teramat takut bila suratan takdir harus membawa kami ke pangkuan lelaki gaek. Huh! Horor dan mengerikan. Namun justru Abang dan Fian semakin tertarik untuk mengenal dekat si Abah. Kami sempat curiga mereka sedang berusaha mencari tahu trik memikat perempuan.

Abah adalah bagian dari episode kami di Istana Bojong Cae. Kala itu kami tidak benar-benar percaya seratus persen pada kata-katanya. Mungkin hanya 10 %. Itu pun hanya tentang cerita istri-istrinya yang bertebaran dimana-mana. Tentang Istri tuanya yang menampungnya di Bojong Cae di masa tuanya.

Sampai akhirnya kami berlima hadir di suatu undangan nikah salah seorang warga Desa Bojong Cae. Selama di Bojong Cae, kami memang layaknya pejabat daerah yang selalu menjadi tamu kehormatan pada setiap acara kenduri warga kampung. Kami selalu diundang, bahkan dengan bangga mereka menyebut-nyebut nama kami di acara kenduri.

"Hari ini kita kedatangan tamu agung dari kota, mahasiswa-mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor."

Dan seluruh warga kampung melihat ke arah kami. Kami hanya tersenyum-senyum akibat salah tingkah. Maka kami pun tak luput untuk dipersilahkan menyampaikan sepatah dua patah kata sambutan. Waduh.......! Bila kami pulang. Mereka akan membawakan 'berkat' dan sekardus kue-kue. Adalah suatu kebahagiaan bagi mereka bila kami makan banyak di pestanya.

Malah pernah suatu hari kami mengunjungi 2 tempat kenduri plus beberapa rumah yang mengundang makan. Mustahil bagi kami untuk menolak makan atas alasan apapun. Maka kami menampung semua makanan dengan gegap gempita. Badan kami menjadi gembul dan subur.

Malam itu kami diundang pesta nikah seorang tokoh desa yang cukup terpandang. Acara ini meriah sekali. Kebetulan tempat pestanya di seberang istana kami. Maka kali ini kami benar-benar siap mental untuk datang. Kami juga mengosongkan perut sedari siang, agar bisa menampung makanan gratis sebanyak mungkin. Kami memang berniat untuk singgah sampai larut. Agar kami bisa menikmati keseluruhan acara.

Acara dimulai selepas Isya. Biasalah seperti kebanyakan pesta. Ramah-tamah, makan-makan, kami juga disuguhi teh hangat dengan aneka jajan pasar di meja kehormatan yang ditempati oleh kami berlima, sesepuh desa, kepala desa, bahkan camat. Hingga kami jengah dan merasa perlu untuk menyingkir dari meja kehormatan. Kami hanya ingin menjadi lajang biasa.

Malam kian larut. Banyak tamu yang sudah pulang. Kami masih bertahan. Justru ini adalah puncak acara. Sang juru ramal Abah akan membuka kitab primbon dan membacakannya untuk pengunjung.

Satu jam pertama kami hanya mendengarkan Abah membacakan primbon dari kitab besar dengan bahasa yang tidak kami mengerti. Walau kami berkuliah di Bogor, Tanah Sunda. Kami awam berbahasa Sunda.

Kami melihat beberapa orang tua menyisipkan kertas bertulis nama di lembaran kitab primbon ketika Abah serius menembang primbon. Semula kami tidak mengerti namun setelah mendapat penjelasan dari sesepuh desa kami tahu bahwa itu syarat. Kita sisipkan kertas di dalam kitab primbon dimana suka. Maka Abah akan membacakan nasib kita sesuai primbon.

Satu-satu dari kami dibacakan nasibnya. Saat itu kami tidak benar-benar percaya. Itu hanya selingan. Namun sepulang dari pernikahan Fian dan Dewi kami membincangkan perihal ramalan itu.

Tentang Fian yang diramalkan akan berjodoh dengan orang sendiri. Kami waktu itu tidak mengerti apa arti orang sendiri. Olala..ternyata maksudnya adalah menikah dengan teman se-KKN yang notabene sudah dikenal baik karena kami pernah tinggal bersama dalam seatap.

Aku agak lupa ramalan untuk Abang, Dije dan Dewi. Tetapi untuk aku? Tiba-tiba aku meringis ngeri, karena ramalan itu benar-benar terjadi pada diriku.

"Risma akan berjodoh dengan orang jauh dan baru. Orangnya besar, tinggi. Katanya peranakanku 'jero' hanya sesuai untuk laki-laki itu. Setelah kehilangan, maka teman lelaki dari tempat yang sangat jauh justru berdatangan menjadi saudara. Bahkan lebih baik dibandingkan saudara sesungguhnya. Tiba saatnya mimpi jadi nyata, banyak dikenal orang.......".

Subhanallah. Tanpa bermaksud mempercayai kata-kata primbon itu. Tetapi memang itulah yang terjadi. Suamiku adalah orang seberang yang terpisah ribuan mil. Aku di pinggiran Jakarta, sedang dia besar di Manhattan. Tinggi dan besar.

Kehilangan? Yah........kehilangan Saiful Malook telah mengubah aku 180%. Aku justru menemukan kembali serpihan mimpi yang sempat terserabut dari angan. Menjadi seorang penulis yang dikenal.

Teman lelaki jauh yang menjadi saudara. Yah.......salah satunya adalah seorang bangsawan Kenya berkulit putih yang singgah di rumahku secara misterius. Saat itu adalah mahasiswa asing yang menginap di rumah kami yang mungil. Kemudian menjadi bagian dari keluarga. Walau semula menyimpan cinta pertama padaku yang tak pernah sekalipun menyimpan cinta melebihi seorang adik pada kakak laki-laki. Akhirnya pergi jauh ketika aku memutuskan untuk menikah. Maka episode setelah itu adalah persaudaraan.

Dia adalah kakakku, brother Mustaf. Dia pula yang menyelipkan mimpi di hidupku. Ketika aku kesusahan selalu ada dia. Namun ketika aku suka, aku tak pernah ingat pada dirinya. Ketika semua orang mencibir proposal bisnisku. Maka dia tanpa bertanya memberikan 5000 US$ kontan untukku.

"Good luck sister!", hanya itu ucapannya padaku. Penuh senyum.

Ketika aku sedih. Maka dia yang membesarkanku dengan ucapan bijak yang sungguh lugu. Bukan kedewasaan yang terpancar justru hanya kepolosan.

Dia tak pernah melupakan keluarga sementaranya di Jakarta. Biar bagaimana pun rumah kecil kami adalah istananya beberapa tahun silam. Maka kami dihujani bingkisan tanpa henti. Aku masih lugu. Aku tidak tahu. Sehingga akhirnya lelaki itu malah datang ke rumahku dua minggu sebelum pernikahanku. Bukan temu kangen. Melainkan menawarkan istana untukku.

"Brother I thought......." Aku tak enak hati.

"Yeah I'm late. Nop......I tried to let you know how much I love you from first. But no....you never love me. I was just like your brother. No problem". Aku justru menangis. Karena aku merasa terpojok. Aku pikir ah.......

Maka ketika dia meninggalkan rumahku dengan menangis. Tangisnya kali ini berbeda. Terlambat. Tak hanya dia. Tetapi ibuku pun menangis. Bagaimana bisa? Dia saudaraku? Takdir mengirimnya ke rumah kami sebagai mahasiswa asing yang lugu. Kemudian menjadi bagian dari keluarga besar kami.

Ah sudahlah tentang Mustaf. Kembali ke soal ramalan. Ramalan itu ternyata secara kebetulan sama persis dengan jalan kehidupanku. Apakah Abah cenayang? Atau Jin Abah mencuri dengar pembicaraan para malaikat di langit? Atau primbon itu memang yahud.......Tidak! Demi Allah.....sebagai orang Islam aku tidak suka ramalan. Aku hanya..........ah.....hanya.

Perihal pernikahan Fian dengan Dewi. Abang pernah berkata,

"Dulu kami lelaki diajarkan bagaimana memikat perempuan. Entahlah apa ilmu itu yang digunakan Fian untuk memikat Dewi".

Kami diam. Bukan tak peduli, hanya sedikit ngeri kami telah cukup jauh mendekati syirik. Tetapi kami tidak memungkiri, Abah si tukang ramal adalah bagian dari episode terindah di Istana kami di Bojong Cae.

Moral:
You are what you think all day long
Barangkali ramalan adalah sebuah sugesti yang tanpa sadar merasuk dalam pikiran.
Berbahaya, anda bisa terjerumus dalam dosa besar.

P.S. Nantikan kisah selanjutnya! Mungkin lain kali dengan foto.

Senin, 22 Desember 2008

ISTANA BOJONG CAE

Tiba-tiba saja ingatanku melayang kepada suatu waktu. Mundur enam tahun ke belakang. Ketika aku dan empat orang temanku terdampar di sebuah desa terpencil bernama Bojong Cae. Bagiku desa itu lebih dari sebuah tempat yang menjadi suratan takdirku. Suratan takdir yang membuat akhirnya pihak kampus memilihkan tempat itu untuk aku dan empat orang temanku berdarma bakti. Layaknya mahasiswa pertanian yang sudah cukup mumpuni makan asam garam perkuliahan. Maka waktunya sudah teramat sesuai untuk memulai hidup bermasyarakat dengan segenap ilmu.

Kami adalah serombongan mahasiswa 'bau kencur'. Aku dan empat orang temanku Dije, Dewi, Fian dan Faisal adalah mahasiswa Agribisnis calon sarjana pertanian. Sedang satu orang temanku perempuan adalah mahasiswa gizi. Benar-benar kombinasi yang payah untuk sekelompok mahasiswa KKN di daerah pertanian. Di antara kami berempat tidak ada seorang pun yang cukup 'mumpuni' perihal pertanian.

Pernah suatu ketika kami menyelenggarakan penyuluhan pertanian cara bercocok tanam sayur. Ketika para warga tengah serius memperhatikan kami. Maka kami malah kebingungan menebak-nebak, berapa centi jarak tanam bayam. Aku yang sempat mengambil mata kuliah hortikultur dipasrahkan untuk menebak.

Kami tidak tahu berapa proporsi kimiawi dalam pupuk bokashi. Atau bagaimana bingungnya kami saat ditanya bagaimana cara membasmi hama. Waduh! Mereka pikir kami benar-benar mahasiswa pertanian calon dokter tanaman yang serba tahu soal pertanian. My GOD!

Di awal kedatangan kami di desa Bojong Cae. Penyambutan terkesan biasa saja. Maka kami mahasiswa lugu yang setua itu masih menganggap masyarakat desa lah yang lugu. Masyarakat desa berhati bersih dan tidak banyak intrik. Balon-balon imajinasi kami dipenuhi akan sebentuk kedamaian yang tidak akan pernah kami temui di kota. Kala itu kami benar-benar optimis dapat mengubah sesuatu hanya dalam waktu dua bulan.

Kami menumpang semalam di rumah kepala desa. Belakangan kami tahu bahwa kepala desa itu memliki dua orang istri. Dan kala itu kepala desa sedang bersama istri tuanya. Sejenak kami menganggap kepala desa adalah seorang yang bijak dan penuh welas asih. Maka kami menurut saja ketika kami diarahkan untuk ditinggal dimana.

Keesokan harinya Kepala Desa menyiapkan rumah kontrakan untuk kami yang harus kami bayar dengan berapa ratus ribu untuk dua bulan. Tidak mahal juga untuk ukuran kami, walau kami juga bukan sekelompok mahasiswa kaya. Kami hanya membuat perbandingan sederhana dengan harga kontrakan rumah berkamar dua fully furnished di Jakarta atau di Bogor.

Cukup besar untuk kami berlima. Lumayan, hanya perlu sedikit usaha untuk membersihkannya. Maklum itu adalah rumah tua yang sudah cukup lama tidak dihuni. Belakangan kami tahu, tidak ada yang betah tinggal di rumah tua itu. Konon suatu ketika penghuni aslinya mati dibunuh. Terus terang kami tidak pernah benar-benar merasa terganggu dengan kehadiran makhluk lain di rumah hantu itu. Maka kami hanya menganggap itu hanya angin lalu.

Siapapun yang menginjak rumah itu akan bergidik ngeri. Tapi tidak bagi kami lima orang pemberani. Kami dengan semangat bekerja sama membersihkan istana kami di Bojong Cae. Setidaknya rumah itu yang akan menjadi tempat berteduh kami untuk dua bulan ke depan. Butuh waktu seharian bagi kami untuk membersihkannya. Baru terlihat bentuk rumahnya. Bersih dan nyaman untuk ditinggali. Maka sejak itu kami menghabiskan masa-masa indah kami di rumah itu.

Kami layaknya keluarga bahagia. Walaupun pertengkaran-pertengkaran kecil sering mewarnai istana kami di Bojong Cae tetapi itu tidak benar-benar membuat kami bercerai. Justru itu adalah pengalaman pertamaku dalam memahami karakter orang. Karena sebelumnya aku belum pernah jauh dari orang tuaku.

Abang Faisal adalah kepala keluarga kami. Sekilas dia adalah orang yang sangat tidak perhatian. Terkesan cuek. Wataknya keras, maka kami agak takut untuk melanggar hak-hak pribadinya. Tak hanya satu dua kali aku menangis tersedu-sedu oleh perkataannya yang terbilang cukup tajam menghujam dada. Mungkin karena logat Bataknya yang kental seringkali membuat aku salah sangka menebak keadaan emosionalnya. Tetapi di balik itu dia adalah pria yang lembut dan bertanggung jawab. Beberapa kali aku pernah terselamatkan olehnya. Aku selalu mengingatnya, entah apa dia mengingatnya.

Faisal juga seorang yang teramat perfeksionis. Pria yang sangat mengetahui bagaimana cara mencuci baju dengan baik menurut kaidah yang benar. Deterjen apa yang paling baik, berapa lama sebaiknya merendam, berapa kali seharusnya membilas, berapa lama seharusnya merendam dalam larutan pewangi. Atau bagaimana trik menggunakan cairan pemutih agar dapat berfungsi dengan baik. Termasuk bagaimana harus menggosok agar licin. Maka tak heran dibalik kecuekannya. Dia adalah pria yang senang berlaku sempurna. Walau terkadang kecuekannya seringkali lebih dominan dibanding sifat serba sempurnanya.

Dije adalah perempuan Batak. Wataknya keras, dia memiliki ketegaran baja seorang perempuan tangguh. Sebelumnya, aku dan dia memang sudah saling mengenal dekat. Sesekali kami memang suka beradu argumen. Namun dia sebetulnya adalah perempuan yang paling mengerti aku. Aku yang tidak terlalu pandai mengekspresikan perasaanku dalam bentuk kata-kata lisan, seringkali terbantu dengan dirinya.

Ketika aku melarikan diri dari istana kami karena kasus 'sumpia berdarah' dengan Abang. Maka dia yang mengkomunikasikan dengan baik kepada abang perihal kepergianku.

"Kau tahu? Risma pergi karena kau." Dije menyampaikannya kepada Abang Faisal.

"Bah, perkara apa rupanya? Anak itu terlalu cengeng rupanya!" Abang Faisal dengan logat Bataknya.

Aku pergi melarikan diri ke Serang. Tidak sendirian. Tetapi bersama Sumi yang bertugas di Bojong Leles. Kami bersenang-senang, walau aku masih sembab. Akibat terlalu banyak menangis. Aku masih ingat perkataan abang yang menyakiti hatiku.

"Siapa pula yang habiskan Sumpiaku! Kurang ajar kali" Suara abang menggelegar.

Maka aku ketakutan setengah mati mendengarnya. Saat itu aku sama sekali tidak bisa membedakan antara amarah dan perkataan biasa seorang Batak Tulen. Aku masih bisa menahan tangis dan mencoba bersikap biasa. Dengan membuatkan makan malam berupa nasi goreng special mungkin akan mencairkan ketegangan.

Nasi goreng super lezat akhirnya terhidang. Semua orang memuji kelihaianku membuat nasi goreng special. Begitu juga abang.

"Enak kali makan malam kita kali ini", Abang benar-benar membuat aku seperti terbang ke atas awan. Setidaknya aku lupa sejenak akan sumpia.

Tiba-tiba abang, "Beri aku resepnya lah. Barangkali aku bisa coba di rumah".

Aku menjawabnya dengan penuh semangat, "Mudah kok. Cuma cabe, bawang merah, bawang putih, garam, kecap dan gula putih".

"Hah? Kau kasih gula putih?!? Mamakku di kampung tak pernah kasih gula di masakan. Kenapa kau kasih?" Logat Bataknya yang kental semakin membuat nada suaranya terkesan marah dan meledak-ledak.

"Mmmhhhh itu penyedap. Aku tak suka micin", Aku membela.

"Bah.......! Tak ada itu aturan gula putih dalam masakan. Tak enak rasanya".

Waduh baru saja dia memujiku setinggi langit lantas membantingku dari tebing tinggi. AKu hancur. Maka lenyap sudah lapar yang menghinggapiku. Aku tinggalkan piring berisi nasi goreng yang masih penuh, karena aku baru memakannya sedikit. Aku berlari menuju kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya. Aku baru berhenti untuk wudhu kemudian pergi tidur. Aku tidak bersuara sedikitpun hingga hari kepergianku.

Aku sempat membenci abang, hingga aku menyadari dia telah beberapa kali menyelamatkanku. Tidak hanya menyelamatkan kehormatanku tetapi juga menyelamatkan jiwaku di Bojong Cae. Dan aku semakin tahu betapa dia adalah pria baik. Hanya saja logat Bataknya mengagetkan aku yang besar di keluarga Jawa. Jantungku bisa berdebar keras bila mendengar suaranya.

Fian? Fian adalah pria pesolek. Hari-hari pertamaku di Istana Bojong Cae. Aku dibuat terheran-heran dengan tingkahnya. Ketika kami sudah siap pergi ke peraduan, maka dia asyik membersihkan mukanya. Ketika kami bersiap untuk melakukan kunjungan ke pelosok desa, maka dia sibuk mengoleskan tabir surya ke wajah dan sebagian kulitnya yang tampak. Dia adalah kebalikan dari Abang yang 'cowok' banget.

Begitu pun masalah kebersihan. Fian satu-satunya orang yang tidak bisa mencuci dengan baik di antara kami. Entah teknik mencuci apa yang dia gunakan. Hingga hasil cuciannya masih saja berbau. Padahal dia cukup boros deterjen.

Dewi satu-satunya mahasiswa gizi di tempat kami, adalah salah satu orang yang paling tidak suka kelakuan Fian. Hampir bisa dipastikan Fian adalah bukan tipe pria yang ideal. Malah kami sempat berpikir, justru Abang yang mampu merebut hati Dewi. Tetapi malah suratan takdir membawa Dewi justru menikah dengan Fian.

Dewi suka sekali memenuhi piring makannya dengan nasi yang menggunung. Tidak untuk dihabiskan. Tetapi untuk dibuang percuma sisanya. Dia hampir tidak pernah menghabiskan nasinya. Hanya lapar mata di permulaan. Kemudian hilang rasa di pertengahan. Selalu begitu. Aku beberapa kali menasihatinya.

"Duh, Deci lain kali kalau ambil nasi sedikit aja. Nanti kalau kurang tambah! Kan mubazir kalau dibuang", suatu kali aku menasihati. Dan kejadian itu terus berulang, hingga akhirnya Dewi benar-benar berubah.

Kami berbeda. Namun tanpa sadar kami saling menyayangi dan kehilangan. KKN telah berakhir hampir enam tahun lalu. Namun kenangan itu tidak pernah lekang dimakan waktu.


P.S. Nantikan kisah selanjutnya








Senin, 08 Desember 2008

Sebuah Impian

Tiba-tiba aku teringat pada proyek besar yang belum selesai. Lebih mirip terbengkalai tanpa penyelesaian. Tentang novelku berikutnya. Uh........mungkin ada baiknya mulai posting kali ini, aku akan mengurai sebagian proyek yang belum selesai. Bakal calon novel berikutnya. Aku tidak ingin ini hanya jadi konsumsi ku seorang.

Ini adalah sekuel Surat Cinta Saiful Malook. Proses kehilangan, hingga akhirnya pangeran berkuda datang menjemputku. Setelah sebelumnya, beberapa pangeran mencoba untuk mencuri tempat di hatiku. Baiklah, ini kisahnya!

Kamis, 20 November 2008

SUATU HARI DI NEGERI DONGENG II (Habis)

Setelah kami memuaskan diri kami dengan makanan dan minuman alakadarnya. Kami kaum muslim bersegera shalat berjamaah. Walau kami tidak tahu pasti kisaran waktu yang sedang berjalan. Di antara kami tidak ada yang memiliki penunjuk waktu yang valid. Beberapa dari kami yang memakai jam, tiba-tiba jarum jam berhenti. Begitu pun jam digital. Telepon selular pun mati. Semua benda bermuatan elektromagnetik mati tak berfungsi. Maka kami shalat menurut keyakinan kami saja. Menggabungkan dua waktu shalat Maghrib dan Isya bersamaan. Mas Fatah yang memimpin shalat kami. Memang di antara kami, hanya dia yang paling faham benar tentang Islam. Maka kami menyebut Mas Fatah adalah da'i sedangkan Bang Parlin pendeta. Dua orang ini yang paling kami hormati keshalihannya.

Sebenarnya Mas Syaiful pun pandai agama. Terkadang pemikiran amat jauh kedepan. Pemahaman agamanya amat baik. Hanya saja lelaki itu tidak terlalu mendapat tempat sebagai yang terhormat. Karena dia masih bujang, belum banyak makan asam garam kehidupan layaknya dua lelaki matang beruban Mas Fatah dan Bang Parlin.

Setelah menunaikan shalat. Maka kami mulai mencari tempat strategis untuk merebahkan diri. Beristirahat barang sekejap sebelum pagi menjelang. Para lelaki bergeletakan di muka rumah, sedangkan perempuan di dalam. Aku pun terlelap. Tidak sepenuhnya hanyut di alam mimpi. Aku masih sedikit sadar ketika Iya, si Mahasiswi itu kebingungan mencari teman yang akan menemaninya untuk buang air kecil.

"Mbak Hanum.......temenin Iya!" Iya menggoyang-goyangkan badan Hanum yang sudah sedari tadi terlelap. Hanum hanya melenguh.

Tak habis akal. Iya coba membangunkan Mbak Viza yang tidur di sebelah kirinya. Lagi-lagi Mbak Viza menolak. Aku bisa maklum, mereka terlalu capek. Kemudian Yani, apalagi Yani dia bahkan sudah tertidur sedari kita pesta singkong bakar. Sedang aku, malas....

Maka Iya memberanikan diri untuk berjalan sendiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh bergeletakan dengan sangat hati-hati. Terlihat betapa takutnya dia. Tetapi sepertinya kebutuhan biologis itu harus segera terselesaikan kalau tidak ingin mengompol. Maka Ia membenahi kerudungnya, sebelum keluar. Dia membuka dan menutup perlahan pintu kayu itu perlahan. Tak ingin terdengar berderit, karena dia tahu temannya sudah kelelahan. Dia tak mau mengganggu temannya.

Iya akhirnya berhasil melangkahi para lelaki yang sedang tertidur, setelah melalui perjuangan. Karena Iya harus melakukannya teramat hati-hati. Iya pun menuruni 5 anak tangga dari kayu itu perlahan. Sejenak agak ragu melangkah, matanya celingukan melihat ke kanan dan ke kiri. Matanya terpejam sambil komat-kamit seperti merapal mantera. Kemudian menghela nafas panjang untuk menguatkan hati.

Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Iya dikejutkan dengan suara lelaki.

"Mau kemana lo?" Suara Yusuf membuat Iya terkesiap. Iya menoleh. Benar sekali, itu adalah Yusuf pemuda tampan sebayanya. Dia membawa obor dari kayu. Cahayanya sesekali menyinari rahangnya yang bagus. Pantas sekali bila orang akan menyamakan dia dengan wajah Barack Obama.

"Oh eh.Kak Yusuf"

"Mau kemana?" Yusuf menyelidik.

"Mau.....pipis Kak", menatap dengan pandangan memelas.

"Sendiri?" Yusuf penasaran dan kagum dengan keberanian Iya menembus gulita malam sendiri. Padahal dia belum pernah kesitu. Iya mengangguk kemudian menunduk ke bawah. Sedih...

"Ya sudah.biar gue anter", dengan gentle-nya dia menawarkan diri.

"Beneran?" Mata Iya berbinar-binar bahagia.

"Iya......ayo buruan! Gue ngantuk nih" Yusuf. Maka mereka pun jalan berdua menembus malam.

Keduanya membisu dan terkesan kikuk. Iya berusaha mencairkan suasana.

"Beneran nih Kak?"

"Perlu yah diulang?" agak kesal karena terus dipertanyakan keseriusannya.

"Kenapa?" Iya

"Karena kamu perempuan, tak baik perempuan jalan sendiri"

"Emang kakak lihat Iya?"

"Gue belum tidur. Gue kasihan aja lihat lo jalan sendirian. Gue juga punya kakak perempuan. Makanya gue empati. Gue.....Gue....." Yusuf panjang lebar dengan serius.

"Gue apa? kok gak diterusin?" Iya serius.

"Gue ..... Gue peduli sama lo", cepat berharap Iya tak mendengarnya.

"Maksudnya.........?" Iya menatap mata Yusuf dengan sorot mata tajam, penasaran. Yusuf menunduk resah.

"Sudahlah...tidak penting" Yusuf memutus topik pembicaraan.

"Tuh kalinya....!" Yusuf menunjuk ke suatu arah. Iya memperhatikan.

"Cepat! aku tunggu disini. Bawa obor ini bersamamu", Yusuf menyerahkan obornya. Tanpa banyak pikir dan bicara Iya meraihnya dan bergegas menuruni tumpukan batu kali yang tersusun menyerupai tangga.

Agak lama juga Yusuf menunggu. Mungkin sepuluh menit, hingga Iya kembali dengan membawa obor. Mereka berdua berjalan bersebelahan menuju pondokan. Keduanya membisu, hingga akhirnya mereka sampai di gubukan.

Mereka berdua menghentikan langkah. Saling berpandangan.

(TO BE CONTINUED)



Selasa, 11 November 2008

SUATU HARI DI NEGERI DONGENG

(Sebuah Imaginasi Liar Sang Penulis)

Tersebutlah sebuah tim kompak di sebuah stasiun TV swasta nasional. Mereka adalah Ci Cathy alias Ciket Sang Wakil GM, Abang Parlin sang perlente asal Batak yang banyak makan asam garam kehidupan, Mas Agus sang Manajer riset, Mas Sofyan sang ketua planner pemeriah suasana, Mas Saiful si perjaka ting-ting yang pekerja keras, Mas Fatah pria paling senior yang bercita-cita menjadi petani, Mas Miko seniman gila yang penuh ide brilian, Agung sang jenius yang terdampar di dunia planner marketing, Hanum perempuan pekerja keras yang selalu memenangkan kompetisi pembuatan paket terbanyak, Emiria alias Ia, mahasiswa yang selalu dengan bangga memamerkan foto-foto kuliahnya, Yusuf alias Ucup yang terobsesi menjadi guru di desa terpencil, Mbak Viza sang ahli riset yang ikhlas meninggalkan anak ratusan mil demi segenggam berlian, Yani sang sekretaris yang tak pernah bermuka masam, Wahyu seorang pria penuh mimpi paling realistik, Mas Murti yang terobsesi menjadi milyarder dari bisnis 'tetek-bengek' bayi, Ramad yang tetap saja tersenyum setelah 'mempelototi' puluhan keping video, Ada Torang-pria lembut yang terlalu lemah gemulai menjadi seorang Batak. Ada Dewa, sang sekretaris GM yang juga pemandu sorak Tim Marketing dengan gaya uniknya. Masih ada dua ibu-ibu Tari dan Mbak Kristin yang masih menikmati masa cuti melahirkannya. Sedang aku adalah pemerhati dan penulis yang terkadang terlalu liar dalam berimajinasi. Masih ada Endang, admin sales yang sering mampir berkelana di ruang kami yang penuh tawa. Ada Selvi orang finance yang entah mengapa dia lebih suka bercengkerama dengan kami tim marketing.

Sudah menjadi kebiasaan tim kami untuk tidak melewatkan hari tanpa mengolok-olok salah seorang dari kami. Ruang kami yang tak terlalu besar selalu ramai oleh tawa dan senda gurau. Walau kami tak pernah melupakan pekerjaan tetap kami. Kami selalu meluangkan waktu untuk tertawa riang. Lepas tanpa beban.

Terkadang ada juga olokan bernada 'nyinyir' yang menyudutkan salah satu pihak. Maka kami tak pernah mengakhirinya dengan percekcokan dan baku hantam. Hanya senyum simpul atau geli. Sesekali terpingkal-pingkal karena ledekan itu amatlah tidah dibuat-buat. Terkadang kami harus menutup rapat-rapat pintu ruang, agar kegilaan kami tidak sampai menembus ruang sebelah.

Atau malah Ciket dan Mas Agus yang serta-merta menutup rapat pintu pembatas antara ruang kami para 'cecunguk' dengan ruang para bos. Karena tawa kami sungguh memekakkan telinga bagi siapa saja yang mendengar. Apalagi bila aku dan Dewa bergabung dalam satu ruang. Maka kehebohan benar-benar takkan terelakkan.

Masalah kekompakan tidak terpungkiri lagi. Hanya pria-pria dari tim kami yang selalu kemana-mana bersama. Pergi ke masjid untuk menunaikan shalat pun harus bersama. Makan siang, makan sore pun harus bersama. Kami seakan tidak ingin terpisahkan satu sama lain. Begitupun perempuannya. Walau sesekali kami memang harus tercerai-berai demi suatu urusan.

Sesekali kami memang memimpikan sebuah petualangan yang melibatkan semua anggota kami. Tentu saja itu adalah hal yang muskil untuk diwujudkan karena kesibukan kami. Bahkan sekalipun kami belum pernah meluangkan waktu untuk pergi bersama selain untuk pergi makan di rumah makan tak jauh dari kantor kami.

Hingga pada suatu ketika, saat itu datang juga. Tiba-tiba aku berada di sebuah tempat. Gelap gulita. Tempat yang teramat asing bagiku. Aku berusaha bangkit dari tanah basah. Susah payah, namun aku berusaha keras. Kepalaku teramat pusing, seperti baru saja terkena bogem mentah. Pandangan mataku tak lagi awas. Berkunang-kunang layaknya orang yang baru bangkit dari pingsan, tak sadarkan diri. Aku melihat diriku. Tuhan! Bajuku kotor, sekotor-kotornya oleh tanah basah. Beberapa robek-robek seperti terkena ranting-ranting tajam. Noda darah yang telah mengering terlihat mengotori pashmina biru muda penutup kepalaku.

Sejenak aku berusaha menguasai diriku. Agar aku tidak terjebak lama dalam kebingungan dan ketakutan teramat sangat. Aku melihat kesekeliling. Dan sejauh mata memandang aku hanya melihat kegelapan.

"Allah, aku ada dimana?" Aku berseru setengah menangis.

Karena aku tidak juga menemukan siapa pun juga disampingku. Maka aku benar-benar menangis sejadi-jadinya. Aku takut sendiri. Tiba-tiba aku ingat senyum manis suamiku yang pagi ini kubuat kesal karena aku memasukkan terlalu banyak cabai ke dalam pasta spageti sarapannya. Katanya aku terlalu egois karena hanya memikirkan perut dan selera makanku sendiri. Maka aku pun hanya diam membisu. Tidak ada ciuman mesra sebelum meninggalkan rumah.

Apakah ini surga? atau neraka? Inikah kematianku? Aku takut. AKu belum meminta maaf pada suamiku atas perkara itu. Aku sudah berjanji akan membuatkan 'pumpkin soup' kesukaannya malam ini. Tetapi, aku malah ada di sini. Aku pun tak tahu aku ada dimana. Maka aku pun semakin menangis histeris.

"Tolong! tolong!"

Lamat-lamat aku mendengar suara. Aku pun menghentikan tangisku. Aku harus memasang kuping. Siapa tahu suara itu adalah jawaban dari pertanyaanku. Barangkali dia adalah dewa penolongku. Atau setidaknya temanku dalam melampau perjalanan aneh ini. Aku pun tidak menolak jika dia adalah malaikatku.

"Halo............siapa itu!" Aku berteriak.

"Aku!" Suara itu lagi dengan teriakan yang lemah.

"Dimana?"

"Disini"

Aku pun mulai mencari arah sumber suara. Aku berusaha untuk berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju arah suara.

"Dimana?"

"Disini!"

Aku tahu itu suara milik perempuan. Sepertinya tidak asing di telingaku. Dan aku pun terus berjalan di tengah kegelapan. Hingga aku berada sangat dekat dengannya. Aku tidak bisa melihat. Aku hanya meraba-raba. Ketika aku meraba-raba jalan, aku tersandung.

"Aduh!" aku mengaduh.

"Awww!" Dia juga

Aku menemukannya, maka aku menunduk dan menggapai tangannya. Ya Tuhan itu kan......

"Yani? Kamu Yani kan?" Aku menebak dengan yakin.

"Iya......Kamu? Kamu.......Kamu Risma kan?" Tanyanya.

"Yani!"

"Risma!"

Kami pun berteriak kegirangan dan kami saling berpelukan. Kami pun bertangisan haru. Saat kami berpelukan. Tiba-tiba aku mendengar suara.

"Woi Yani! Risma! Gue disini!" Tiba-tiba kami juga mendengar suara Agung.

Kamipun berbarengan menoleh ke arahnya setelah sebelumnya saling berpandangan.

"Agung kamu juga disini?" Kami agak berbarengan sambil menghampirinya.

"Iya!"

"Aku pikir aku sendirian disini", aku memulai.

"Nggak lah. Itu gue juga lihat Mas Sofyan di pojok sana. Mas Fatah dan Mas Saiful di bawah pohon. Ucup..iya gue lihat Ucup. Gue sempet denger suara Mas Murti sih. ......" Agung menjelaskan dengan gamblang.

"Woi, gue disini!" Tiba-tiba pria bertubuh agak gempal yang tidak lain adalah Mas Murti menghampiri kami. Agak terhuyung-huyung sembari memegang kepalanya.

"Mas Murti?" Aku antara terkesiap dan bingung.

"Iya?" Mas Murti memastikan.

Maka tanpa dikomando, kami memanggil teman yang lain. Dengan tenaga yang tersisa kami berteriak.

"Mas Sofyan!"

"Mas Saiful!"

"Mas Fatah!"

"Hanum!"

"Ucup!"

"Mas Miko!"

"Iya!"

"Mbak Viza!"

"Wahyu!"

"Ramad!"

"Torang!"

Sekilas kami melihat beberapa orang dari berbagai penjuru mulai menghampiri kami dengan tertatih-tatih. Mereka bersahutan memberi kode-kode bahwa mereka adalah orang yang dipanggil. Sesaat aku, Yani, Agung dan Mas Murti berpandangan.

"Mereka semua ada disini?" Aku memandang Yani, Agung dan Mas Murti bergantian dengan sorot mata takjub.

Tiba-tiba ada sesosok perempuan yang mendekati kami. Dia juga kepayahan. Baju yang sepertinya semula berwarna putih bersih juga sudah terkotori. Tangan kanannya menenteng sepatu high-heel cantik berwarna hitam.

"Loh kalian juga ada disini?" Perempuan itu menyapa kami. Kami terkesiap dan memandanginya. Dan kami saling berpandangan bergantian.

"Ciket......." Kami hampir berbarengan.

"Ciket juga ikut?" Agung.

"Tidak tahu tiba-tiba aku bangun sudah berada disini. Aku pikir ini mimpi. Tetapi kenapa aku bertemu kalian juga?" Ciket kebingungan, sepatu high-heelnya berpindah tangan ke tangan kiri. Sedang tangan kanannya berusaha mencubit-cubit tangan kirinya sekuat mungkin.

"Awww!!!" Ciket histeris.

"Sakit..." Ujar Ciket lirih dengan pandangan sayu.

"Tentu saja. Ini sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri" Aku ikut bicara.

"Kita seperti terbawa mesin waktu di dongeng-dongeng" Tiba-tiba suara seorang lelaki ikut serta dalam perbincangan kami. Yah itulah Mas Agus, manajer riset kami.

Saat itu kami sudah berkumpul semua. Semua anggota tim marketing. Kami duduk agak berdekatan. Dengan ekspresi yang berbeda-beda. Rata-rata mereka syok berat akan kejadian yang mereka alami. Dan sudah pasti banyak di antar amereka seperti juga aku yang berdarah akibat luka tergores.

"Gila!" Tiba-tiba suara Mas Sofyan mengagetkan.

"Mengapa kejadian ini mesti terjadi kepada kita?" Mas Syaiful ikut serta.

"Apa benar mesin waktu Doraemon telah mencerabut kehidupan kita ke suatu masa di suatu tempat?" Hanum menimpali.

"Oh no! Tidak mungkin ini terjadi" Suara Dewa menggelegar dengan gaya bicara ala 'Cinta Laura'. Heran! masih sempat Dewa memonyongkan mulutnya demi membentuk ekspresi uniknya.

"I don't wanna here! I wanna go home! Please!" Dewa agak histeris.

"Dewa, kita semua juga ingin pulang. Apalagi gue yang punya anak. Jadi please dong tenang!", Mbak Viza agak senewen. Berhasil! Dewa memang terdiam, dan menunduk dalam menekuri tanah basah berumput alang-alang. Sesekali dia bergelinjatan, waspada bila ada ular di antara semak-semak belukar.

"Iya Dewa! kita semua juga takut dan ingin pulang" Suara kecil Endang tiba-tiba.

"Hei...!teman-teman tenang yah! Ayo semuanya berkumpul. Kita tidak bisa keluar dari masalah ini, kalau kita tidak kompak dan saling bekerja sama" Ciket mengomando. Kami pun tertib diam. Sesekali di antara kami masih saling berbisik-bisik.

"Coba kita ingat-ingat kembali apa yang terjadi sebelum kita terdampar di tempat ini!" Ciket memimpin.

"Kan kita lagi ngomongin masalah TV Day 2009, Ci" Ma Sofyan dengan suara cemprengnya.

"Iya Ci tadi lagi presentasi TV Day pakai laptop. Loh laptop.....laptop.......laptopnya dimana?" Mas Fatah kebingungan dan panik. Semua ikut kelimpungan.

Tiba-tiba Wahyu menghampiri kami. Dia menyerahkan sesuatu kepada Mas Fatah. "Ini laptopnya. Kepalaku tertimpa ini sepertinya". Dia memegangi kepalanya yang memar.

Mas Fatah girang. "Alhamdulillah"

"Lantas apa yang menyebabkan kita ada disini?" Ciket lagi

"Benar kata Agus, kemungkinan besar ini adalah mesin waktu" Bang parlin tiba-tiba dengan logat Bataknya yang kental. Heran, si Abang Parlin masih saja tampak perlente dengan rompi kulit yang dibelinya di Amrik beberapa tahun silam.

"Mungkin saja!" Mas Miko menimpali.

"Maksudnya?" Ciket.

"Iya mungkin saja ini terjadi", Mas Miko optimis.

"Omong kosong! Ini dunia nyata. Tak mungkin ada mesin waktu. Ayolah semua harus berpikir logis secara statistik", Ucup dengan angkuh menimpali.

"Ucup, tidak semua harus dipahami secara logika. Seperti halnya kebenaran dalam Injil. Walaupun Davinci Code dan The Templar telah mengobrak-abrik kesucian Injil dengan segala cara yang penuh logika. Abang sebagai Kristiani sejati, tetap meyakini walau tanpa logika. Semata-mata karena Iman", Bang Parlin tegas namun tenang seperti seorang pendeta.

"Iya bang...." CIket menimpali.

"Buktinya Mas Agus sang jago riset juga setuju dengan fenomena mesin waktu", Aku menimpali.

"Itu ilmiah Ucup" Mas Agus.

"Ilmiah apanya? Itu kan hanya dalam imajinasi film", Ucup.

"Itu kan konsep Teori Relativitas Einstein
On The Electrodynamics of Moving Bodies. Menurut Teori Relativitas Khusus, ruang dan waktu tidak absolut, melainkan relatif. Artinya, ruang dan waktu berbeda untuk setiap orang. Bagaimana seseorang mengalami kejadian dalam ruang dan waktu bergantung pada dua hal: di mana orang tersebut mengamatinya dan seberapa cepat ia bergerak bila dibandingkan dengan kecepatan cahaya. Sesuai dengan rumus, kecepatan (v) adalah jarak (d) dibagi waktu (t). Jika v adalah konstan, t dan d-lah yang seharusnya berubah-ubah. Salah satu konsekuensi adalah bahwa jam yang ada di dalam sesuatu yang bergerak selalu berdetak lebih lambat ketimbang jam yang diam di tempat. Dari sini muncul hipotesis yang terkenal "paradoks kembar". Sepasang kembar dipisahkan, seorang menjadi astronot diterbangkan dengan roket berkecepatan tinggi menjelajahi galaksi dan kembali ke bumi, yang lain tinggal di bumi. Meskipun kecepatan roket mendekati kecepatan cahaya, butuh 10 ribu tahun bagi astronot itu menjelajah galaksi dan kembali ke titik tertentu di bumi. Karena geraknya relatif tinggi, usia astronot itu lebih lama ketimbang orang lain yang tinggal di bumi. Astronot akan kembali ke bumi hanya lebih tua beberapa tahun dari waktu ia meluncur. Sementara itu, saudara kembarnya sudah lama meninggal", Agung berbicara panjang lebar.

"Tetapi itu hanya berlaku bila kita menaiki pesawat luar angkasa" Wahyu memungkas.

"Iya yah", Mas Murti.

Semua hanya saling berpandangan. Karena mereka sungguh tidak mengerti apa yang sedang diperbincangkan oleh orang jenius itu. Agung berkoar-koar dengan semangatnya tentang teori relativitas Einstein. Sedang yang lain sibuk bergumam. Entah merapal mantera atau malah hanya mengutuk-ngutuk mengapa mereka hanya dapat nilai C atau bahkan D untuk mata pelajaran science. Sehingga tak sedikit pun teori fisika yang nyangkut di otak. Entah mengapa Agung sedemikian briliannya.

"Tapi itu kan butuh kecepatan cahaya", Ramad malu-malu berkomentar. Sebenarnya anak ini pintar dan melek IT, tetapi entah mengapa dia selalu ragu akan pendapatnya.

"Duh....ayo dong pikir! Gue harus pulang nih. Gue nanti dicariin sama bos gue. Bisa-bisa kalau gue gak ada kabar berita, posisi gue bisa digantikan orang lain. Ohhhhh........" Selvi anak nyasar itu setengah menangis.

"Sabar dong........ini juga semua lagi mikir", Dewa senewen.

"Terus Agung.....bagaimana kita harus pulang?" Bang Parlin.

"Iya........Hanum juga harus pulang. Belum bilang sama Kakak", Hanum angkat bicara dengan muka yang tak kalah acak-acakkan. Hanum terlihat takut, maklum perempuan itu baru saja melepas masa lajang. Kakak sebutan untuk suaminya adalah orang yang dihormati dan ditakuti saat ini. Aku bisa mengerti bagaiman perasaan perempuan itu.

"Tenang...! Tenang! Semuanya kita akan pulang!" Mas Fatah menenangkan dengan Arif.

"Coba lihat Torang! dia bisa setenang itu. Ya tidak?" Aku menimpali.

Torang malu-malu dan tersenyum. "Mmmhhhhh sebenarnya takut juga mbak".

Sumpah anak ini terlalu datar. Di keadaan semencekam ini pun dia masih bisa tersenyum malu-malu dengan ekspresi datar. Terlalu naif untuk seorang Batak. Entah apa dia benar-benar Batak.

"Sudah....sudah, biarkan Agung yang menjelaskan fenomena ini. Di antara kita cuma dia yang paling jenius. Apalagi namanya kalau bulan jenius, jika IPK-nya melebihi 3,9", Iya menengahi.

"Jadi bagaimana Agung?" Mas Agus memutus.

"Iya kemungkinan besar ada gelombang elektromagnetik maha dahsyat yang mengakibatkan kita tertelan ke dimensi lain. Mungkin kecepatannya setara kecepatan cahaya. Sudah untung hanya berefek sedikit pada kita, bukan kematian", Agung panjang lebar.

"Lantas bagaimana?" Mas Saiful.

"Apa yang menyebabkan gelombang elektromagnetik itu?" Hanum

"Laptop!" Wahyu berseru.

"Laptop......?" Mas Sofyan.

"Iya Laptop!" Agung mengiyakan.

"Mas Fatah, coba tolong dilihat Laptopnya masih bisa dipakai tidak?", pinta Ciket.

Mas Fatah yang sedari tadi memeluk laptop. Segera mencari tempat yang nyaman untuk menyalakan laptopnya. Membuka laptop perlahan. Sementara kami bergerombol mengelilinginya. Mas Fatah dengan penuh aksi mengangkat kedua tangannya, mengusap butir keringat yang membasahi pipinya. Kemudian dia mulai memencet tombol 'power'. Kami harap-harap cemas. Sejenak tombol berwarna merah. Kemudian kembali mati.

"Yah!" Hampir serempak dengan muka-muka kecewa di antara kita.

"Belum di charge". Mas Fatah menatap dengan pandangan kecewa.

"Oh, Wahyu. Kamu lihat cas-an baterei tidak?" Tanya Fatah dengan wajah berseri-seri.

"Nggak.......Hanya itu yang menimpa kepala gue", Wahyu.

"Hem.............Ini bukan?" Tiba-tiba Endang mendekati kita. Membawa seperti kotak hitam kecil. Kemudian menyodorkan kepada kami yang berkerumun. Mas Sofyan meraihnya. Dan mengamati dengan seksama. Begitu pun kami yang ikut terpaku melihatnya.

"Kayaknya sih", Mas Sofyan sambil terus mengamati.

"Tapi............"

"Kok.......kabelnya putus?"

"Ah.............Haleluya! Bersyukurlah setidaknya Tuhan telah menunjukkan rahmatnya. Ini sebuah petunjuk. Kelak kita akan tahu jalan keluar dari tempat ini", Tiba-tiba Bang Parlin dengan gaya pendetanya menceramahi kita.

"Iya lah.........Nanti juga ketemu jalan", Mas Syaiful menenangkan.

"Oh My GOD, Mbak Desi akan kelimpungan mencari dirikuw. Mana nanti sore ada meeting dengan tim produksi untuk gala dinner lagi. Oh No.......We should be hurry to get out from here", Dewa dengan memonyongkan bibirnya, sambil tangannya bergerak absurd. Tampak dia panik.

"Aku lapar.......!" aku memegangi perut sambil terduduk lemah. Semua memandang ke arahku. Aku menatap mereka menularkan perasaan tidak berdaya karena lapar yang menghebat. Aku belum makan sedari tadi pagi. Maksudku sebelum kami menghilang ke tempat ini.

"Hanum juga!" Hanum.

"Gue juga" Agung......

"Gue juga!" Semua bergantian mengungkapkan kelaparannya.

"Ya sudah.......Seperti hari sudah semakin larut. Lebih baik kita cari tempat berlindung. Syukur, bila kita menemukan sepotong roti", Ciket. Saat itu memang semakin gelap. Lebih gelap dari ketika kami menyadari berada di tempat asing. Kami mulai mendengar suara jengkerik, auman harimau, longlongan serigala, dan..........Ih mengerikan.

"Jangan sepotong roti Ci, gak cukup buat lebih dari selusing orang", Mas Sofyan dengan konyolnya sembari memegangi perutnya.

"Iya iya", Ciket.

"Ya sudah.......kita mulai jalan saja. Jangan terpisah dari rombongan. Perempuan di tengah. Bagian depan sebagai tim ekspedisi Abang, Agus, Murti, Fatah, Ramad, Torang. Bagian belakang ada Sofyan, Wahyu, Miko, Agung, Syaiful dan Yusuf. Perempuan di tengah. Kalau terjadi sesuatu, sebisa mungkin lindungi perempuan. Ayo kita mulai susun barisan!" Bang Parlin mengomandi dengan ketegasan layaknya komando perang Vietnam.

Kami yang sudah kelaparan, kelelahan bersiap untuk mengatur barisan. Beberapa dari kami berjalan terpincang-pincang. Sebelum kami memulai perjalanan. Beberapa dari kami membawa ranting-ranting pohon atau kayu keras sebagai senjata bila ada yang menghadang. Untung Yani membawa pisau yang sedianya untuk memotong kue. Pisau itu dipegang oleh Syaiful. Karena kami pikir dia karena dia pernah berlatih silat di masa muda belia. Perawakannya yang kecil akan lebih lincah menghadang musuh atau harimau.

Maka rombongan kami pun berjalan perlahan. Dibagian depan para lelaki membabat jalan dengan alat seadanya. Sedang di belakang para lelaki tetap siaga. Dan kami kaum perempuan bergosip. Seakan kegemaran kami ini bisa menghilangkan penat, stress, lapar dan lelah yang mendera kami. Kami bergosip tentang apa saja. Sesekali tentang Dewi Persik yang nyaris diusir dari apartemennya, kemudian tentang cake keju buatan Dewa. Atau tentang model pakaian ter-update dan diskon-diskon di pusat perbelanjaan. Kami berbicara dengan riang, seakan lupa kami ada dimana.Mungkin suara kami memecah keheningan hutan belantara ini. Sesekali para lelaki menegur kami. Atau kami saling ledek dan tertawa cekikikan antara sesama.

Tak terasa kami sudah berjalan cukup lama. Mungkin ada sekitar dua jam. Tapi rasanya sudah seabad. Kami berjalan jauh sekali. Hingga kami lecet-lecet. Kami tidak beralas kaki. Beberapa dari kami sudah benar-benar kehilangan tenaga.

Tiba-tiba Mas Agus berlari menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Belum sempat dia mengatur nafas dia berseru, "Hai teman-teman, saya lihat ada gubuk di sana!"

"Gubuk!" Kami hampir berbarengan.

Kami kaum perempuan berisik. Ada yang kegirangan, ada yang menangis haru. Ada yang berceritat heboh penuh imajinasi tentang kenyataan apa yang akan menghampiri kita nanti. Adakah makanan disana?

Maka tanpa menunggu waktu. Kami mempercepat langkah menuju gubuk itu. Kami penuh harap akan menemukan makanan. Setidaknya kami bisa beristirahat dengan layak. Hawa dingin malam tidak langsung menyentuh kulit kami.

"Alhamdulillah!" Beberapa teman muslim berseru saat kami akhirnya sampai di gubuk itu.

"Puji syukur! Haleluyah!" Teman Kristiani juga bersyukur.

Mas Syaiful yang membawa pisau belati segera masuk untuk menyisir ruangan. Hanya 5 menit kemudian dia keluar.

"Aman!" seru Mas Syaiful. Kami pun kegirangan.

Gubuk itu buruk rupa. Hanya terbuat dari anyaman bambu. Sepertinya gubuk itu sudah lamam sekali ditinggalkan oleh pemiliknya. Gubuk itu hanya memiliki satu ruangan yang tidak begitu besar dan teras. Bergaya rumah panggung. Ruangan besar itu menyatu dengan ruang yang kami kira adalah dapur, karena ada kuali alat masak tungku, kayu bakar, dan lain-lain. Gelap gulita. tetapi belakangan kami menemukan beberapa batang bambu yang serupa dengan lampu teplok. Lelaki perokok untungnya tidak kehilangan korek api gasnya. Walau mereka kehilangan rokoknya.

Kami memutuskan untuk membagi wilayah. Ruang dalam untuk kaum perempuan. Sedang teras untuk para lelaki. Kami merebahkan diri sejenak.

Aku keluar dan mengeluh pada para lelaki, "Teman-teman, kami kelaparan. Tidak adakah makanan untuk kita makan?"

"Iya nih, gue laper banget" Mas Sofyan.

"Sama", Mas Fatah dan Mas Miko hampir berbarengan. Semua mengiyakan.

"Hei.........kesini deh.......Ada singkong!" Tiba-tiba Selvi berteriak kegirangan.

Para lelaki merangsek masuk ke dalam. Aku pun ikut. Yah kami menemukan tempat penyimpanan singkong. Aneh singkongnya masih bagus. Padahal kami kira rumah ini sudah ditinggalkan pemiliknya berbulan-bulan. Tetapi ada singkong. Ah peduli amat!

Tanpa menunggu lama, para lelaki dibantu perempuan termasuk aku membakar singkong. Kelihatan sekali disini mana yang orang kota dan tak terbiasa hidup susah. Setelah matang, kami memakannya. Singkong bakar nikmat sekali. Lebih nikmat dibanding makanan di cafe Media. Bahkan lebih lezat dari Pizza. Ahhhh.........Apapun menjadi nikmat saat lapar dan tak ada pilihan.

Aku tertawa cekikikan melihat coreng-moreng dimuka Ciket saat memakan singkong bakar. Sedang Si Abang Parlin sepertinya lincah memakannya. Apalagi Mas Sofyan yang lama tinggal di kampung.

Kami tidak kesulitan mencari air untuk minum. Karena tak jauh dari situ ada mata air. Kami hanya perlu menengadahkan muka dan membuka mulut. Maka air segar akan mengalir membasahi kerongkongan. Segar!



(to be continued)