Selasa, 06 Oktober 2009

SELAMAT JALAN, YUSUF

Aku berjalan menyusuri lorong dengan interior desain mewah ala hotel. Masih dengan kekaguman, mataku menerawang pada setiap detil lorong. Sesekali mengintip sepintas lalu dari kaca pintu-pintu yang tertutup rapat. Rasa ingin tahuku yang besar di antara segenap kekaguman yang membuncah mendorongku untuk mencari tahu ada apakah gerangan di dalam pintu-pintu yang mirip kamar hotel itu. Bila gelagatku tertangkap mata orang yang lalu-lalang, aku buru-buru mengalihkan pandangan ke permadani cantik yang menutupi seluruh lantai di lorong. Lagi-lagi otakku sibuk menghayalkan apakah di balik karpet itu ada ubin keramik, marmer atau malah tanah. Ah tak penting….

Aku masih berjalan di lorong yang sebetulnya tidak terlalu panjang. Namun aku menikmati sekali setiap langkahku. Ini kali pertamaku menginjakkan kaki di sebuah kantor pemberitaan. Hari ini ada serangkaian tes yang harus aku lalui. Bila aku mampu melewatinya, maka dalam bilangan minggu aku akan menjadi bagian dari tempat ini. Perasaan senang tiba-tiba menyeruak tanpa permisi dari dalam hatiku. Namun segera kutepis dengan kegalauan alami yang mengalir begitu saja. Galau, khawatir, berdebar, semua bercampur menjadi satu. Aku menghentikan langkah sejenak demi membenarkan posisi tas tanganku, menarik nafas dalam dan menghembuskannya kembali secara perlahan demi sebentuk perasaan lega. Kemudian aku melangkahkan kaki dengan gagah layaknya seorang prajurit yang siap bertempur di medan laga.

Akhirnya aku menemukan meja bundar besar di dekat dua mesin fotokopi. Aku sedikit celingak-celinguk memastikan bahwa aku tidak salah menafsirkan petunjuk ibu-ibu personalia yang baru beberapa menit yang lalu kutemui. Damn! Tidak ada tulisan atau papan nama yang memberikan sedikit informasi tentang ruangan apa itu.

Aku sempat menghentikan langkah lagi. Kali ini aku mengedarkan pandang pada lebih dari 5 orang berpakaian hitam putih sama seperti yang aku pakai. Terlihat dari ekspresinya, mereka pasti sedang menantikan sesuatu. Kesemuanya perempuan, kecuali satu-satunya laki-laki berbadan tinggi tegap, dengan rahang yang kuat, berkulit agak gelap, hidung sedikit mancung dan bermata polos. Dia satu-satunya makhluk ganteng di antara sejumlah perempuan yang mengelilingi meja bundar.

Aku pun menghampiri mereka, sambil sedikit berbasa-basi. Dari situ aku tahu bahwa mereka semua sedang menantikan hal yang sama dengan diriku.
“Silahkan!” Lelaki tegap itu berdiri dan menyorongkan kursinya kepadaku sebagai isyarat dia mempersilahkan aku duduk.
What a gentleman…

“ Serius?!?”

“ Tentu saja serius….”

Tanpa banyak cingcong aku pun menghempaskan pantatku ke kursi kulit imitasi berwarna hitam itu.

“Terimakasih…”

“ Sama-sama…” Pria itu kelihatannya masih bersikap sok gentleman.

“ Ohya aku Risma….” Aku mengulurkan tanganku kepadanya. Mata kami saling bersirobok. Tangannya meraih tanganku dan kami pun berjabatan.

“ Yusuf…”

Selebihnya kami bercakap-cakap untuk mencairkan suasana. Dari situ aku tahu dia masih satu almamater dengan diriku, fresh graduate, dan sedang menanti babak kualifikasi selanjutnya untuk menjadi tenaga riset marketing.

Itulah pertemuan pertamaku dengan Yusuf. Ternyata takdir mempertemukan aku kembali. Aku menjadi bagian yang sama dengan dirinya. Saat aku memperkenalkan diriku kepada seluruh anggota tim, tibalah giliran aku memperkenalkan diri ke mejanya.

“ Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Aku sambil mengingat-ingat sosok bermata polo situ.

“ Saya pikir tidak….” Dia sambil cengengesan.

“ Whuat….?!? Sepertinya aku belum linglung deh. Kamu Yusuf kan? Kita menjelang tes. Kamu yang satu almamater denganku kan?”

Matanya masih belum berpindah menatapku, dia masih asyik melihat deretan angka di layar monitor sambil tangannya tetap asyik menari-nari di atas keyboard. Cool! Menyebalkan….

“ Salah lihat kali…” Matanya menatapku tajam.

“ Ah mana mungkin….”

Orang-orang yang menangkap perdebatan kami ikut memojokkan. Hampir aku percaya bahwa aku hanya sedang mengalami ‘dejavu’ merasa sok kenal dengan pria itu. Tapi aku tetap yakin, aku tidak salah. Namun sekeras aku memastikan, saat itu pula aku merasa tenggelam karena malu salah menyapa orang. Sok kenal…. Belakangan aku tahu, aku hanya dikerjai.

Ada semacam tradisi tidak tertulis di tim kami. Bahwa setiap anggota tim harus melewati masa perpeloncoan untuk menajamkan intuisi kami dalam membedakan mana yang dusta mana yang benar dan membiasakan mental kami. Maka dua minggu pertama aku di tempat itu adalah masa-masa dimana aku berusaha memilah-milah mana yang dusta mana yang benar. Antara kenyataan dan rekaan adalah hal teramat tipis perbedaannya. Mereka sangat kompak mengerjai aku. Namun sejatinya hal itu tidak membuat aku sedih atau luka. Yang ada masa perpeloncoan itu meringankan beban masa adaptasiku. Kelucuan demi kelucuan malah mencairkan suasana dan menambah keakraban.

Hanya dalam bilangan minggu, Yusuf menjadi popular di tim kami. Kami memanggilnya Ucup. Yusuf pun sepertinya tidak berkeberatan dengan panggilan barunya. Dia malah mengukuhkan nama bekennya itu dengan menuliskan sendiri di kursinya dengan tulisan ‘UCUP’. Dia memanggil dirinya sendiri dengan nama Ucup, dan dia merasa bangga dengan nama itu. Pria bermata polos itu terlalu lugu dan polos. Dia adalah sasaran bulan-bulanan kami. Entah mengapa, selalu saja ada hal lucu tentang dia yang membuat kami seruangan dengan kompak mengolok-oloknya.

Yusuf adalah pria lugu dari planet yang berbeda dengan bumi. Dia seperti merasa asing dengan planet bumi. Sepanjang umurnya dia hanya mengenal hitam dan putih. Baginya tidak ada abu-abu. Yang ada di benaknya hanya benar dan salah. Kalau berjalan lurus dan benar maka akan dapat pahala, kalau salah jalan maka akan mendapat dosa.

Pertanyaan-pertanyaannya yang sangat polos dan menggelikan malah semakin menambah keyakinan kami bahwa dia benar-benar makhluk planet lain yang tidak mengenal ‘dosa’. Dan kami merasa seperti ‘setan-setan’ yang menggoda anak kecil yang baru disapih.
Entah mengapa setiap tingkah polah yang dilakukan Yusuf selalu menggelikan. Membuat kami tertawa terpingkal-pingkal dan menggoda kami untuk semakin membuatnya bersemu merah karena menjadi bulan-bulanan kami. Hingga suatu ketika kami mengetahui bahwa Yusuf adalah perjaka ting-ting yang belum pernah jatuh cinta. Maka dimulailah usaha perjodohan kami dengan gadis-gadis pilihan untuk Yusuf.

“ Tapi lo normal kan?” Mas Sofyan memancing tawa seisi ruangan. Yusuf yang polos hanya bersemu merah, sambil membela diri.

Sesekali aku merasa kasihan sekali dengan pria itu jika intensitas dan kualitas ejekan sudah semakin keterlaluan.

“ Sabar ya Cup! Orang sabar disayang Tuhan. Orang yang teraniaya itu doanya dikabulkan. Jadi kamu kalau merasa teraniaya doa aja. Nanti pasti dikabulkan. Doanya yang bagus-bagus aja, rugi banget kalo kesempatan emas digunakan untuk menyumpah-nyumpah. Sekalian yah gue titip doa….”

Maka seketika itu juga tawa meledak. Semua ingin ikut bicara. Ada yang mengaminkan ada yang ikutan titip doa agar cepat menikah dan lain-lain. Maka Yusuf orang paling teraniaya di tim kami menjadi tukang doa dadakan.

Yusuf adalah orang yang paling perhatian di ruangan. Jika salah satu dari kami seruangan curhat atau mengeluhkan sesuatu, semisal sakit perut. Maka dia akan menasihati kita dengan kekhawatiran yang teramat sangat untuk segera ke klinik atau minum obat. Dan dia akan menjadi orang paling cerewet yang menanyakan kabar atau malah menyuruh pulang untuk istirahat.

Tugasnya sebagai tukang riset menjadikannya menjadi kamus berjalan acara televisi. Setiap ada acara televisi terbaru, dia pasti akan mengatakan kepada kami dan mengomentarinya hamper setiap saat. Kalau perlu merekomendasikannya.

Aku masih ingat ketika ‘Termehek-mehek’ melejit. Dia merekomendasikannya kepada semua orang di ruangan untuk melihat reality show itu. Dia menceritakannya penuh semangat dengan bumbu-bumbu penyedap yang membuat kami tergoda untuk menonton.

Aku pun salah seorang korban yang tergoda untuk menonton atas promosi Yusuf. Saat aku mengkonfirmasi kepadanya bahwa aku mulai menonton ‘Termehek-mehek’. Maka dia me-maintain aku sebagai downline-nya untuk selalu menontonnya. Setiap akhir pekan dia akan sangat rajin mengingatkanku akan ‘Termehek-mehek’ yang ditontonnya. Tujuannya tak lain tak bukan agar aku tergoda untuk menonton.

Isi pesannya singkat dan menggelikan.

“ Lihat deh Termehek-mehek, cowoknya itu ternyata jalan bareng sama tante-tante.”

“ Istrinya memergoki suaminya lagi di rumah istri muda…”

Atau

“ Lihat deh rumahnya. Kayaknya gue tau daerah itu…”

Maka keesokan harinya kami akan membahasnya dengan seru. Obrolan kami memancing orang lain untuk ikut menonton acara tersebut. Hingga akhirnya kami mengetahui sendiri bahwa itu hanyalah DRAMA yang bertajuk REALITY SHOW. Aku berhenti menontonnya, dan balik melontarkan bulan-bulanan ke Yusuf.

“ Reality Show is a bullshit! Masa iya semua orang disitu selalu tertangkap pake make up dan baju bagus. Trus kok kayak acting yah…?” Yusuf hanya manggut-manggut dan menarik diri secara drastic dari perkumpulan penggemar ‘Termehek-mehek’.

Lain kali kami di ruangan kami yang nyaman, disela-sela masa rehat. Kami membicarakan sebuah reportase di TV swasta yang mengungkap dangdut kampung yang bergoyang seronok di suatu daerah. Namanya ‘Cangdoleng-doleng’. Kami yang penasaran berusaha mencari tahu dengan browsing.

Hingga pada suatu hari aku sudah lupa tentang si ‘Cangdoleng-doleng’. Sebuah pesan singkat masuk di telepon genggamku.

“ Ada cangdoleng-doleng di TRANS sekarang!” Aku pun bergegas menyalakan TV dan menonton. Maka keesokan harinya kami akan membahasnya. Dan dia dengan berapi-api tak henti-hentinya mengomentari.

“Gila….kebayang gak sih di situ ada anak kecil ikutan nonton.” Yusuf dengan gaya ekspresif menggambarkan bocah ingusan mendongak sambil matanya melotot,mulut terbuka dan liur menetes. Ngiler melihat biduan ‘Cangdoleng-doleng’ bergoyang seronok.

“Terus ibu-ibunya ikutan nonton aja sambil tepuk tangan.” Yusuf pun menirukan gerakan itu untuk menambah bumbu dalam ceritanya. Kami serius mendengarkan sambil tertawa geli melihat tingkah polah Yusuf.

Saat akhirnya Barack Obama terpilih menjadi presiden Amrik. Kami jadi sering membanding-bandingkan Yusuf dengan Barack Obama. Keduanya sama-sama berkulit gelap, berhidung mancung, berambut agak ikal, tinggi, tegap, bermuka agak tirus, dan memiliki sorot mata yang penuh pengharapan. Namun Yusuf agak lebih polos. Maka kami menjulukinya Berak Obama.

Yusuf juga seringkali membanggakan darah Arab yang mengalir di dalam dirinya. Kami pun sebetulnya tidak tahu dari mana ke Arab-annya muncul. Kami hanya tertawa saja mengiyakan sambil sesekali mengoloknya.

Yusuf sebenarnya pria yang tampan. Namun auranya tertutup oleh tingkah polahnya. Kalau ada yang mengoloknya untuk membuatnya nyalinya ciut sebagai pria tampan. Maka aku serta-merta membelanya.

“ Eh jangan dong teman-teman. Ucup dinamain Yusuf sama orang tuanya karena berharap Ucup akan setampan Nabi Yusuf. Nama itu doa. Yah lumayan lah segini….” Alhasil Yusuf kan terdiam sambil merasakan panasnya kuping menjadi bulan-bulanan. Tetapi sesekali aku juga yang menjadi bulan-bulanan. Yusuf sudah semakin mahir melancarkan balas dendam kepada semua orang yang turut serta mengolok-olok. Sudah pasti semuanya sekedar lelucon untuk menyegarkan suasana di tengah-tengah pekerjaan kami yang serius.

Yusuf agak sedikit tidak sabaran. Suatu ketika kami seisi ruangan melakukan wisata kuliner di bebek Janus untuk makan siang kami. Masing-masing dari kami mendapatkan bagiannya. Kami tanpa basa-basi langsung bergegas menikmati makanan kami, tanpa mempedulikan sekitar kami. Ternyata Yusuf belum juga mendapatkan makanan, padahal para lelaki sudah hampir ronde kedua.

Dengan tidak sabaran, Yusuf berteriak dengan lantang. “Pak punya saya mana, Pak?”
Bapak penjual bebek goreng yang kerepotan melayani pembeli hanya berkata, “Sabar ya!”
Yusuf melihat teman-teman lelakinya sudah meminta tambahan seporsi nasi. Yusuf semakin blingsatan dibuatnya. Bagaimana tidak? Pesanan nasinya sama sekali belum dating. Padahal teman sebelahnya sudah hampir ronde kedua.

“Lo ambil nasi gue aja!” Mas Saiful menawarkan.

Yusuf menolak, namun Yusuf semakin menciptakan kehebohan sendiri menanyakan nasinya yang belum datang. Kami menggodanya, yang digoda malah semakin blingsatan. Yusuf malah meminta bebek goreng dan nasinya dibungkus saja. Karena dia takut terlambat menyelesaikan makannya dan ditinggal. Yusuf melihat para lelaki sedang menyelesaikan nasi porsi kedua.

“Loh Ucup kenapa makan di kantor? Makan sini aja nanti juga ditungguin.” Mas Sofyan.
“Tau nih Ucup, cewek-cewek aja belum selesai.”

“ Gak ah….” Dengan mata sedikit memerah dan agak menahan marah. Dia kembali menanyakan pesanannya dengan lebih tegas, nada suara agak bergetar. Aku malah jadi geli sendiri, di mataku Ucup tampak seperti bocah yang merajuk karena mainannya diambil atau tidak diberikan.

Lagi-lagi Yusuf menjadi sasaran bulan-bulanan kami. Namun Yusuf tetap pada pendiriannya untuk membungkus pesanannya saja, karena dia tidak ingin makan terburu-buru dan membuat kami menunggunya. Dia mau menikmati bebek gorengnya di ruangan tercinta.

Yusuf yang hanya mengenal hitam dan putih, menganggap satu kesalahan kecil adalah dosa besar yang tak termaafkan. Dia sering dengan lantang dan berapi-api menceritakan kebobrokan moral para pejabat. Dan dia nyata-nyata menyatakan ketidak-sukaannya dengan hal tersebut. Dia mengecam habis tindakan mereka yang tidak berbudi. Yusuf yang polos bercita-cita untuk memutihkannya kelak. Yusuf ingin menjadi abdi Negara yang jujur dan menjadi oase di tengah padang gersang dimana kejujuran adalah hal langka dan musykil.

Sekali waktu Yusuf yang baru saja membaca kenaikan gaji hingga berpuluh-puluh persen bagi para guru negeri. Yusuf dengan semangat mengkalkulasi bahwa gaji guru lulusan S1 akan mendapatkan paling tidak 6 juta. Yusuf tiba-tiba ingin jadi guru, dengan asumsi gajinya akan segera mencapai angka tersebut.

Belum lagi dengan idealisme dia yang sungguh polos untuk menjadi pak guru di desa terpencil. Dia sangat bergairah mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa pamrih. Pengabdian untuk sadaqah jariyah jika azal telah menjemput.

“Ucup guru baru belum tentu langsung PNS. Semua butuh proses. Sudah pasti kamu harus menunggu giliran jadi PNS. Ribuan guru honorer bergaji 300 ribu sudah menanti pra-jabatan. Sebagian dari mereka malah sudah menjadi guru honorer/bantu selama puluhan tahun. Kamu tega dengan mereka? Sudahlah cari rezeki yang lain, jangan ambil ladang orang. “

Atas nama idealisme ‘karbitan’. Maka cita-cita luhur itu pun segera musnah tanpa jejak. Ucup tidak lagi berkoar-koar ingin menjadi guru. Aku rasa membayangkannya saja, dia sudah ngeri. Rasanya menjadi guru bukan jalan hidupnya.

Yusuf adalah pekerja keras. Dia mendedikasikan seluruh waktunya untuk pekerjaannya. Sekalipun libur, dia akan datang ke kantor bila atasan menyuruhnya. Dia paling ringan kaki di antara kami. Dia selalu menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Seandainya ada pekerjaan yang menharuskan dia pulang larut malam pun, pasti akan dilakukannya dengan sepenuh hati. Tidak pernah mengeluh. Tak mengherankan bila dia sangat diandalkan.

Dia adalah lelaki shalih. Makanya dia kami daulat untuk menjadi dubes dari salah satu partai politik Islam terbesar di negeri ini. Kesalahan kecil dari seorang Yusuf akan menambah poin bagi kami untuk mengolok-oloknya sebagai dubes yang tidak becus dan tidak menggambarkan spirit dari sebuah partai beraliran kanan.

Namun akhirnya takdir kebersamaan kami sudah sampai di sini. Yusuf hendak meraih mimpinya yang luhur menjadi seorang abdi Negara yang jujur. Ketika akhirnya dia dinyatakan lulus tes CPNS. Kami berlomba-lomba mengomentarinya.

“ Jangan lupa sama janji kamu untuk jadi abdi Negara yang jujur!”

“ Awas yah kalau aku ketemu kamu, kamu sudah bawa mobil Jaguar. Itu indikator kamu sudah korupsi. Karena gaji PNS jujur tuh gak akan mampu beli Jaguar.”

“ Awas ya kalau beberapa bulan dari sekarang, ganti HP mahal, motor besar atau apalah yang mewah-mewah. Berarti kamu sudah lupa sama idealismemu.”

Hidung Yusuf yang dikomentari hanya kembang kempis, pipi bersemu merah. Dahinya berkerut-kerut mencari alasan yang tepat untuk membalas komentar kami yang sungguh pedas.

“ Ya nanti kalo mau ketemuan, ganti lagi sama HP dan motor bututku.” Yusuf berusaha berkilah.

“ Tapi disana kamu pasti merindukan suasana ini. Kamu bakalan rindu setengah mati dengan banyolan-banyolan segar kita bahkan olok-olok kami yang mengerikan.”

Yusuf tersenyum masih dengan ekspresi tidak peduli. Tetapi aku tahu hatinya berkejap-kejap menanti kejutan apa di tempat yang baru. Dalam bilangan hari dia juga akan kehilangan semua tawa, canda dan keceriaan bersama kami di sini. Tidak ada lagi yang mengolok-oloknya dan membuatnya kesal sekaligus tertawa terbahak-bahak hingga sakit perut.

“ Kamu pasti akan memohon-mohon ke kami di telepon agar kami mengolok-olok kamu.”

Yusuf masih tersenyum, aku tahu hatinya pasti luka akan meninggalkan kami. Tidak akan ada lagi suara cempreng Mas Sofyan yang menceriakan. Tidak ada lagi atasan sebaik Mas Agus dan Mbak Viza yang selalu mau mengerti. Tidak ada lagi Bang Parlin yang berceramah tentang jalan kristus. Tidak ada lagi cerita tentang Mas Miko, sang seniman nyentrik yang selalu berpikiran ‘out of the box’. Tidak adalagi cerita Mas Fatah dan istri-istrinya. Tidak adalagi cerita Tari tentang Axel yang semakin menggemaskan dan bisnis rajutnya. Tidak ada lagi cerita tentang Hanum dengan buah hatinya yang baru saja menceriakan hari-harinya.

Begitu pun Yusuf tidak akan mendengar kelanjutan kisah Agung dan Ugi. Apakah Agung dan Ugi akan berakhir bahagia atau duka. Tidak akan lagi mendengar kisah Mas Syaiful dengan kehidupan barunya kelak dengan sang istri. Tidak lagi mendengar perjodohan setengah olok-olok dengan perawan-perawan di kantor. Tidak lagi mendengar kisah cinta sepasang kelinci Emiria. Atau tentang kucing-kucing sepanjang sejarah Risma. Atau teriakan lantang Yani sang assistant to assistant GM sewaktu memberikan pengumuman penting. Tidak ada lagi cerita Wahyu yang menerangkan konsep bisnis dan marketing atau sekadar menyadarkan Yusuf bahwa dia hidup di dunia nyata yang penuh intrik. Tidak ada lagi kisah burung-burung kesayangan Mamat.

Yusuf tidak akan mendengar lagi kisah sukses Mas Murti dan Baby Zone. Celotehan seru Mbak Rika dan Avi. Atau cerewetnya Mbak Christine untuk mengingatkan hal-hal yang perlu diingatkan. Dan sudah pasti Yusuf tidak akan lagi mendengar cerita Selvi, gadis di tim berbeda yang ikhlas menyiapkan bekal rantang setiap hari untuk sang suami yang PNS bergaji kecil. Dan yang sudah pasti tidak akan mendapatkan jatah oleh-oleh lagi dari CK. Begitu pun Yusuf tidak ada lagi teman yang bisa ditanya tentang perkembangan fashion dan make up seperti Dewa. Dan tidak dapat jatah traktiran ulang tahun Mbak DA Desember ini.

Semuanya akan berhenti sampai di sini. Mungkin jikalau pertemanan kita masih berlanjut, semuanya pasti akan berbeda. Tidak akan sama. Semuanya berubah.
Pertemuan dan perpisahan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, karena perpisahan akan membawa kita akan pertemuan yang lain. Setiap manusia harus menyiapkan mental untuk keduanya.

Akhirnya dalam bilangan hari Yusuf akan segera pergi meraih asa. Kudoakan semoga asa itu membawa kebahagiaan, keceriaan yang lebih dan tidak bisa kau temukan ketika bersama kami. Cerita telah usai sampai di sini, namun kenangan akan Yusuf akan selalu ada di hati kami.

Selamat jalan Yusuf! Semoga idealisme itu tidak menguap bersama angin.

Jumat, 17 Juli 2009

THE CHOSEN PRINCE


Sebuah novel terbaru dari Risma Budiyani, akan menyapa anda di akhir bulan Juli 2009.

“The Chosen Prince. Adalah seorang Jasmine, gadis berusia 25 tahun yang dikejar waktu agar segera menemukan pasangan hidupnya, dikejar keluarga dan orang sekitarnya perihal ‘kapan menikah?’ sementara ia sendiri mengejar mimpinya mendapatkan sang pangeran ‘The Chosen Prince’, pria idaman yang ia cintainya dan mencintainya.

Disinilah dilema seorang gadis yang belajar dari pengalamannya pernah jatuh cinta dan patah hati sehingga cinta tidak lagi menjadi sesuatu yang alami, mengalir dan datang dengan tiba-tiba sebagai misteri kehidupan yang indah, namun menjadi sebuah keinginan dan visi-misi beserta berbagai macam kondisi yang terkait seolah sebuah obyek yang dapat dicari, suatu proposal bisnis yang ditawarkan. Dan bila tidak sesuai, cintapun tidak akan berkembang.

Cinta tidak lagi buta tapi harus begini dan begitu, datang dari seseorang yang tidak boleh terlalu muda, tapi harus matang, dari orang yang harus memiliki kepribadian tertentu, cara pandang yang dapat diterima, memiliki cita-cita yang layak, disambut baik oleh keluarga dll. dll. Sehingga cinta tidak lagi merupakan getaran hati yang bermula dari tatapan pandang dan membuat sepasang kekasih menyelami misteri alam yang melahirkan cinta diantara mereka, namun diawali oleh angan-angan terhadap arti cinta yang walaupun berdalih kepentingan religi, akan tetapi sebenarnya termotivasi oleh ego masing-masing yang telah terlebih dahulu mendefinisi cinta dengan membatasnya dalam pagar perkawinan.

Masing-masing tokoh, Jasmine, Rashid dan Mike Carlos, memiliki aliran berfikir yang sama: mengungkung cinta dalam kesempitan ruang egonya dan pengalaman mereka terhadap cinta. Rashid yang memandang cinta sebagai permen yang diinginkan seorang anak kecil, harus direngek, diemis-emis, dipaksakan untuk didapat. Bila tidak hidupnya penuh kekecewaan. Mike Carlos, yang melihat cinta sebagai pelengkap terhadap jalan hidup yang ia pilih dalam usianya yang cukup matang – setelah pindah agama, mengganti nama, kini ia memerlukan pendamping yang pas untuk mendapatkan kesempurnaan hidup dan cocok untuk membesarkan anak.

Sementara Jasmine, yang tak henti-hentinya memanjatkan doa bukan untuk bersyukur melainkan meminta diberikan sang Pangeran dalam kehidupannya namun pada saat yang sama ia menutup erat hatinya. Sebaliknya perasaan cintanya murni dikendali oleh otaknya, yang menimbang, mengevaluasi, mengkritik dan pada akhirnya, setelah semua persyaratan dan kondisi yang ia cantumkan terpenuhi, barulah ia siap menanam benih-benih cinta.

‘The Chosen Prince’ merupakan sebuah kisah yang menarik dimana bila cinta telah kehilangan esensi romantikanya, akhirnya menjadi kepanjangan ego yang penuh pertimbangan dan tawar menawar karena dijadikan komoditas dan tuntutan sosial semata. Mengutip pernyataan Jasmine, ‘love is unconditional, but marriage is not.’ Bravo, Risma. (Desi Anwar, senior anchor/journalist).

Siapa tak kenal Barrack Hussein Obama, Jr? Presiden Amerika Serikat ke-44 ini punya campuran menarik: Kenya – Amerika - Indonesia. Tiga negara itu juga memiliki arti tersendiri bagi Jasmine. Setelah terombang-ambing di Surat Cinta Saiful Malook, kini ia kembali dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit.

Di novel keduanya ini, Risma Budiyani kian mengeksplorasi kemampuannya meracik kata. Lewat The Chosen Prince, pembaca dibawa menyelami permasalahan yang acap dihadapi kaum lajang: soal jodoh dan keputusan untuk menikah. Amat menggelitik. Terutama jika sedang dihadapi sendiri dan pertanyaan bernada dorongan untuk segera menikah sudah datang dari segala penjuru.

Jadi, bagi para lajang yang tengah bimbang membuat keputusan dan menentukan pilihan, saatnya membaca buku ini. Semoga bisa memutuskan dan menentukan dengan tepat: jodoh dan waktu untuk menikah. Selamat memilih. (Hagi Hagoromo, pekerja media)


MULAI BEREDAR DI KOTA ANDA 30 JULI 2009. DAPATKAN DI TOKO-TOKO BUKU KESAYANGAN ANDA.

Minggu, 21 Juni 2009

1001 PERTANYAAN

Sepanjang perjalanan hidup, kita sering dihadapkan pada rentetan pertanyaan yang tiada henti. Pertanyaan yang seringkali terlalu retoris dan tak perlu penjelasan yang gamblang. Pertanyaan yang terlalu pribadi yang terkadang tak perlu dipertanyakan.

Ketika masih bocah kencur berusia SD. Pertanyaan basa-basi yang keluar dari mulut orang-orang dewasa adalah pertanyaan seputar;

Kapan naik kelas? rangking berapa? NEM berapa? Kapan lulus SD? Mau masuk SMP mana? Negeri atau swasta?

Saat kita beranjak remaja, pertanyaan sudah mulai berbeda. Kapan lulus SMA? Kapan kuliah?

Saat kita di bangku kuliah, pertanyaan berikutnya adalah; Kapan skripsi? Kapan lulus? Atau lebih parahnya adalah kok gak lulus-lulus? Betah ya di kampus?

Saat lulus kuliah, kita kembali diberondong pertanyaan; Kapan kerja?

Mungkin pertanyaan-pertanyaan ini masih bisa ditolerir dan dianggap sebagai pemicu dan motivasi bagi kita. Karena dengan berhasilnya kita memuaskan jawaban si penanya, disitulah titik prestasi kita. Pertanyaan itu masih bisa dianggap sebagai suatu standar keberhasilan bagi seseorang. Patokan usia menjadi standar mutlak bagi seseorang menempuh jenjang karirnya, dari SD hingga lulus kuliah.

Adalah keterlaluan bila seseorang bertahan di bangku SD saat dirinya menginjak usia 17 tahun. Atau sudah usia 27 tahun belum juga menamatkan bangku SMA tanpa sebab. Makanya pertanyaan itu bisa dijadikan standar keberhasilan seseorang.

Dan menurut saya lulus SD, rangking, lulus kuliah, dll bukan merupakan takdir mutlak. Tuhan masih memberikan pilihan baginya untuk bisa menjadi apa yang diinginkannya dengan ikhtiar. Bila seseorang ingin lulus SD/SMP/SMA, dapat ranking, masuk sekolah atau perguruan tinggi negeri ya harus belajar dengan sungguh-sungguh.

Tapi bagaimana dengan pertanyaan yang telah menanti lajang ketika di usia dewasa, seperti; Sudah menikah?

Pertanyaan ini masih sopan dan bisa ditolerir. Begitu juga dengan pertanyaan “Kapan nikah?” Tetapi ketika pertanyaan sudah berubah menjadi kesinisan dari seorang penanya/komentator kurang ajar.

“Kok belum nikah-nikah sih? Kapan nyusul? Memangnya tidak kepengen? Memangnya gak ada yang cocok? Sampai kapan melajang, nanti jadi perawan tua/bujang lapuk loh. Memangnya belum laku-laku yah? Sebenarnya kamu normal l tidak sih?”

Sudah pasti pertanyaan ini akan membuat kuping seorang lajang menjadi panas, muka merah padam menahan amarah atau malah kentut. Dada bergelora, tangan mengepal tinju, kaki siap melayang bebas ke muka si penanya atau komentator parah ini.

Lama-kelamaan pertanyaan ini bisa membuat seorang lajang yang sudah sedikit depresi dalam penantian menjadi semakin depresi. Dan akhirnya mencari jalan pintas untuk segera membuat perburuan jodoh. Targetnya hanya satu, sesegera mungkin mencari seseorang yang akan dikawini atau mengawini dirinya demi untuk menjawab pertanyaan yang dilontarkan dari seluruh penjuru mata angin.

Pernikahan seperti kehilangan esensinya karena tujuannya bukan lagi untuk membangun keluarga sakinah mawaddah warrahmah. Tetapi untuk masuk dalam standarisasi yang ditetapkan oleh manusia. Agar tidak mendapat malu karena ‘gak laku-laku’ atau ‘perawan tua’ dan ‘bujang lapuk’.

Tak jarang orang-orang beriman memohon-mohon kepada Tuhan-Nya untuk segera diberikan jodoh atau segera menggerakkan hati kekasihnya untuk menikahinya. Tidak hanya memohon, tetapi doa yang mengancam.

Allah adalah Dzat Yang Maha Pemurah. Siapapun yang berdoa kepadanya dengan penuh kesungguhan, pasti akan dikabulkan. Seandainya kamu meminta sekarang juga agar kekasih yang kau cintai untuk menikahimu sekarang juga mungkin akan kabulkan. Tetapi apakah kamu yakin dia adalah seseorang yang tepat untuk menemani hidupmu. Apa kamu yakin waktunya telah tepat? Apa kamu yakin pernikahan akan menyelesaikan masalah dan membuatmu bahagia?

Saya selalu berpikiran positif terhadap Allah. Saya selalu menekankan dalam diri saya bahwa apapun yang diberikan Allah kepada saya adalah yang terbaik. Setiap detik yang diberikan Allah kepada saya adalah waktu-waktu terbaik saya.

Saya belajar untuk berdoa dengan penambahan kata-kata, “Ya Allah berikanlah kepadaku yang terbaik menurut-Mu.” Karena kacamata manusia terlalu buram untuk melihat jauh ke masa depan tentang hal-hal yang terbaik.

Saya tidak ingin seperti teman saya, yang waktu lajang dia terburu nafsu untuk menikah dengan kekasihnya. Hingga dalam setiap doanya dia selalu ‘mengancam’ agar dipasangkan dengan kekasihnya dalam pernikahan. Pernikahan memang terjadi, namun setahun kemudian perceraian memisahkan mereka dengan teramat pahit.

Mungkin saat doa-doa itu mengetuk pintu Ar Rasy. Allah sudah tahu bahwa lelaki itu sangat tidak baik untuk dirinya. Namun kasih sayang Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang tak sanggup melihat hamba-Nya merajuk. Maka dikabulkan juga, namun resikonya harus ditanggung sendiri.

Boleh jadi sebenarnya bila dia mau bersabar sedikit, atau menyerahkan urusan jodohnya kepada Allah tanpa mengabaikan ikhtiar. Allah telah menyiapkan jodoh yang teramat sesuai untuk dirinya. Tetapi teman saya tidak sabar. Cinta telah membutakan matanya, dan dia juga sudah bosan ditanya ‘kapan menikah’. Maka pernikahan tanpa esensi itu pun dilakoninya. Bukan kebahagiaan yang diraihnya, namun kekecewaan yang mendalam.

Kepada pasangan menikah yang belum dikaruniai anak, seringkali dihadang dengan pertanyaan, “Kapan punya momongan?”

Parahnya pertanyaan lama-lama mulai bernada sinis dari orang-orang yang merasa dirinya lebih beruntung daripada orang yang ditanyai. Sepertinya penanya merasa lebih tahu dari Tuhan tentang arti bahagia.

“Kok belum-belum punya momongan? Sengaja ditunda yah? KB yah? Kenapa ditunda? “ Dan banyak lagi pertanyaan yang tidak penting untuk dijawab.

Tidak sedikit pasangan yang bubar jalan saat kelahiran anak pertama. Saya tidak bermaksud untuk mengeneralisasi kasus ini. Namun ini hanya sebagai contoh.

“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Albaqarah:216)

Jangan membuat standar kebahagiaan sendiri hingga mendahului Allah. Allah Maha Tahu Yang Terbaik untuk kita semua.

Seorang sahabat saya adalah sosok shalihah. Sudah beberapa bulan ini pertanyaan tentang anak menghantui hari-harinya yang telah menikah selama dua tahun. Rasa kecewa, sedih dan hampir putus asa mendera. Berganti-ganti dengan kepasrahannya sebagai seorang hamba yang shalih.

Mungkin dia tak tahan juga untuk berdoa kepada Allah untuk meminta kehadiran anak yang menurutnya adalah sebuah kebahagiaannya kali ini. Dalam kesungguhan doa-Nya yang mengancam, dia lupa menambahkan kalimat, “….Jika kehadiran anak adalah yang terbaik untukku menurut-Mu. Hadirkanlah anak ke tengah-tengah kami. Jika tidak, siapkan kami dan berikan kami saat yang tepat…”.

Setiap desah nafasnya doanya hanyalah meminta kehadiran seorang anak. Lagi-lagi i Allah yang Maha Pemurah mengabulkannya, namun dengan konsekuensi segala sebab akibat dari doanya. Harap ditanggung sendiri.

Sahabat saya diberikan kesempatan mengandung janin di luar kandungan, tanpa sepengetahuannya. Yang ia tahu, dirinya dalam sudah berada di salah satu kamar operasi rumah sakit untuk mengeluarkan janin di luar kandungan. Setelah mengalami pendarahan parah dan mungkin nyaris dipanggil Allah.

Saya hanya mengatakan hal singkat di masa pemulihannya, “Mungkin ini yang ditakutkan Allah kenapa kamu belum juga hamil. Waktunya belum tepat, kamu akan kepayahan….”

Sahabat saya bertekad untuk tidak lagi mengancam Allah dengan doanya. Dia hanya berikhtiar tanpa harus memaksa. Pasrah karena Allah Maha Tahu yang terbaik untuk Hamba-Nya.

Saya juga hampir terjerumus kepada hal yang sama. Namun hikmah-hikmah yang hadir di sekeliling saya menjadikan saya untuk berhenti menjadi manusia yang egois dalam menetapkan standar hidup. Saya yakin Allah telah menyiapkan sesuatu yang sangat indah. Saya hanya perlu berikhtiar tanpa harus mengancamnya dengan doa.

Setelah Jumat lalu terbakar amarah dan menangis oleh pernyataan sinis yang katanya spontan dari salah seorang teman saya, “Daripada ngurusin kucing mending kamu bikin anak. Kenapa sih gak bikin anak aja?”

Itu bukan pernyataan sinis pertamanya. Sebelumnya dia telah melontarkan pertanyaan dan pernyataan sinis yang sungguh lebih sadis. Saya yakin orang itu sudah lupa.Tapi saya yang sudah berusaha untuk melupakannya tiba-tiba diingatkan kembali oleh kejadian Jumat lalu.

Kali ini saya bisa dengan tegar menyatakan:

“Saya tahu Allah akan selalu memberikan hal yang terbaik untuk Hamba-Nya. Dan saya tidak akan pernah menjalani hidup hanya demi untuk memuaskan 1001 pertanyaan orang. “

Saya yakin setelah kelahiran anak pertama akan ada lagi pertanyaan lain yang siap menghadang dari seluruh penjuru mata angin.

Kapan nih si sulung punya adik? Kapan menyekolahkan? Kapan anaknya jadi sarjana? Kapan menikahkan anaknya? Kapan punya cucu? Dan lain sebagainya.

Hingga pertanyaan berikutnya saat kita di usia uzur adalah, “Kapan nih mati? Kan udah bangkotan, cepetan deh sana! Kuburan dah menanti loh”

Jodoh, kelahiran, dan kematian adalah sebagian dari suratan takdir yang tidak dapat diganggu gugat. Allah telah menyiapkan waktu yang tepat untuk perihal itu. Kalau cepat atau tidaknya seseorang menikah, punya anak-cucu dianggap sebagai sebuah prestasi membanggakan yang merupakan standar kebahagiaan hidup seseorang. Seperti halnya lulus SD/SMP/SMA/Kuliah. Maka seharusnya KEMATIAN juga merupakan sebuah standar kebahagiaan hidup seseorang. Semakin cepat mati semakin baik, sama seperti kasus semakin cepat menikah, punya anak, dll semakin baik.

Jangan pernah menjalani hidup demi untuk menjawab pertanyaan orang! Hanya pecundang yang berlaku begitu. Begitu pun hanya orang-orang kerjaan yang menanyakan hal itu.

Ukuran kebahagiaan seseorang tidak sama satu sama lain. Rezeki seseorang tidak sama satu sama lain. Namun setiap orang bisa berbahagia bila mampu mensyukuri setiap detik yang diberikan Allah kepada kita. Pernikahan, kehamilan, kelahiran, kematian, dll akan indah pada waktunya.

Saya pasti akan segera hamil tetapi bukan untuk menjawab pertanyaan orang perihal ‘kapan hamil?’. Tetapi pada saat yang tepat menurut Allah. Karena saya juga tidak mau dipaksa untuk segera MATI oleh orang-orang gila kurang kerjaan.

“Jadi kapan nih mati???”

*Dilarang menyalin sebagian atau seluruhan artikel ini tanpa seizin penulis, atau mencantumkan nama penulis.

RISMA BUDIYANI

Senin, 08 Juni 2009

PLAGIATOR

Sudah dua hari ini saya dibuat jengkel dengan keberadaan http://maniacstory.blogspot.com Bagaimana tidak? Tulisan saya yang berjudul USTAD KEPARAT BOJONG CAE di copy-paste oleh orang tidak bertanggung jawab MANIAC STORY. Tulisan bertanggal posting 1 Februari 2009 itu nyata-nyata adalah tulisan saya persis, hanya saja diganti judul PISAN. Saya marah, karena orang ini bahkan tidak menyertakan nama saya disitu apalagi permisi dan minta izin. Menyebalkan!!! Saya yakin ini akan sering terjadi di Indonesia. Plagiat sudah merupakan hal biasa di bumi Indonesia.

Saya juga mohon maaf, jika ada gambar-gambar anda yang saya posting disini. Silahkan komentar dan saya akan segera menghapusnya. Terima kasih! Dan semoga MANIAC STORY menyadari kekhilafannya.

Mari kita bumi hanguskan kegiatan plagiat di bumi Indonesia!

Rabu, 06 Mei 2009

AKU DAN DIA


"Dengar yah James! Kamu itu punya status yang berbeda dengan perempuan-perempuan kampung itu. Berkacalah dengan dirimu! Siapa kamu? Dimana kamu tinggal?" Nyonya itu berteriak-teriak penuh emosi. Suaranya memekakkan telinga, aku hanya diam. Sekali lagi aku hanya diam. Aku tak mampu bersuara, bahkan mengangkat kepala demi untuk melihat ekspresinya.

Aku bisa bayangkan bagaimana nyonya tua itu bila marah. Maka rambutnya yang tersasak tinggi akan semakin meninggi. Mukanya yang mulus lagi putih akan memerah seperti udang rebus. Sama mengerikannya ketika dia baru saja mengelupaskan kulitnya yang berjerawat di salon. Matanya akan mendelik-delik dan menakutkan.

Iya, aku tahu. Sejak aku lahir. Dialah yang merawatku. Memenuhi semua kebutuhanku, hingga aku sedewasa ini. Aku tinggal di rumah mewah bertingkat tiga dengan halaman yang cukup luas, dengan kolam renang ukuran olimpiade. Rumah kami teramat luas hingga kami membutuhkan lebih dari dua pelayan. Karena kami juga punya koki, tukang kebun, dan lain-lain.

Aku biasa memanggil mereka dengan sebutan tuan dan nyonya. Karena begitulah orang-orang biasa memanggilnya. Tentu saja seharusnya aku memanggil mereka mama papa. Tetapi aku lebih suka memanggilnya tuan dan nyonya. Karena mereka seperti tukang perintah yang tidak bisa dibantah sedikitpun. Sekalipun oleh aku anak kesayangan mereka.

Tuan adalah orang terpandang. Dia memiliki beberapa perusahaan besar. Setiap hari mobil yang digunakan berganti-ganti. Maka aku benar-benar tinggal di sebuah istana. Aku bermandikan kesenangan. Semua menyayangiku dan memanjakanku. Tidak ada yang tidak terpenuhi. Makanan lezat, pelayanan tingkat satu, perawatan terbaik, pendidikan terbaik, dan hal-hal lain yang kata orang membanggakan.

Tuan dan nyonyaku memiliki anak-anak yang sudah dewasa dan lepas dari pengawasan mereka. Mereka bahkan bertebaran di beberapa negara. Hanya aku yang tinggal di rumah untuk menyenangkan mereka. Aku lah yang membuat mereka tertawa lebar saat suntuk dan stress. Bagaimanapun juga aku bahagia tinggal bersama mereka.

Tuan hampir tidak pernah bicara dengan orang rumah. Bila tidak penting. Apalagi bercanda. Hanya Nyonya yang lebih punya banyak waktu untukku. Aku adalah kebanggaannya. Aku sering diajak beliau kemana-mana. Hingga aku sebesar ini. Nyonya hampir tidak pernah marah padaku. Kecuali saat ini.

"James, dengar kataku! Jangan sekali-kali kau meninggalkan rumah untuk alasan apapun tanpa aku atau pengawasan siapapun suruhanku. Orang di luar sana jahat. Bisa-bisa kamu diculik dan memintaku sejumlah tebusan. Ingat kata-kataku!" Nyonya itu lalu berlalu dari hadapanku setelah sebelumnya membelaiku lembut dan menciumku.

Sebenarnya aku jengah. Aku kan sekarang sudah dewasa. Tepatnya pria dewasa. Makanya aku patut untuk memilih jalanku sendiri. Aku juga ingin melihat dunia luar. Pastilah indah bermain dengan sebayaku. Dan mungkin jatuh cinta dengan perempuan.

Maka aku bulatkan tekadku untuk keluar dari rumah ini. Istana yang telah memberikanku kebahagiaan tiada tara. Tidak untuk selamanya. Hanya sekejap. Aku hanya ingin bertemu perempuan sebayaku. Yang mungkin bisa menjadi pujaanku.

Setelah berjuang keras mengendap-endap. Akhirnya aku benar-benar keluar. Oh nikmatnya udara luar. Aku melihat kesekeliling. Sebagian besar rumah tidak sebesar istanaku. Itulah yang aku heran bagaimana mereka bisa hidup di rumah seperti itu.

Saat aku berjalan sendirian. Aku merasa seluruh pasang mata menatapku dengan kagum. Yah, aku memang memiliki ras asing. Makanya perawakanku berbeda. Aku hanya menebar senyum kepada mereka.

"Hai.....selamat pagi! Selamat pagi semua. Hai....aku James!" Aku terus menyapa dan menebar senyum. Tetapi mereka tidak membalas. Mereka hanya menatapku kagum dan penuh keheranan.

Aku melihat mereka berbisik-bisik, "Eh...ada bule...ada bule lewat...". Sebagian besar yang bergumam adalah para perempuan.

"Tampan ya..." beberapa memujiku. Aku jadi tersanjung terbang ke atas awan. Aku hanya tersenyum. Sampai akhirnya aku melihat seorang gadis cantik menawan hatiku. Terlihat sekali penampilannya sederhana. Tentu saja dia adalah gadis lokal. Anehnya dia tidak menatapku heran. Dia malah asyik berjalan tanpa mempedulikanku.

Kurang ajar! Yah memang wanita itu cantik dan menawan. AKu bertekad untuk mencari tahu siapa dia. Ah tapi ini sudah terlalu jauh. Bagaimana kalau ada yang menculikku? Bagaimana apa yang dikatakan nyonya alias mama benar tentang orang-orang di luar sini. Tetapi, aku tidak peduli. Aku akan mendekatinya. Hanya untuk tahu nama.

Maka aku mendekatinya perlahan. Yah...aku berjarak kurang dari semeter dari tempatnya.

"Mhhh....Oh..." Aku gugup untuk memulai.

"Nnnnamaku....James kamu siapa?" Aku lagi. Tapi tiba-tiba, seseorang mengejutkanku. Tangannya ingin mencengkeramku kuat. Aku....aku.........aku nyaris pingsan ketakutan. Benar kata mama. Mungkin aku ....aku akan mati disini. Mama maafkan aku. Mereka tidak hanya satu orang tetapi dua orang penculik.

"Tuhan kalau aku masih hidup, maka aku akan selalu mendengar apa kata nyonya...eh mama"........Aku menutup mata, dan berdoa. Dan tiba-tiba kekuatanku muncul. Aku berontak. Dan akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari mereka. AKu berlari sekencang-kencangnya hingga mereka tak bisa mengejarku. Aku menuju istanaku dan segera menerobos masuk. Anjing Rotweillerku melihat ku dan menggonggong. Ah aku tidak peduli. Akju berlari menuju sofa. Dan segera beringsut.

Uh tadi benar-benar mengerikan. Benar, aku tidak akan mau keluar rumah tanpa seseorang disampingku. Sekali lagi mama benar. Biar bagaimanapun mama selalu benar dan tahu yang terbaik untukku. Mama bukan nyonya dia adalah mamaku.

"James.........james.! dimana kamu?" Tiba-tiba teriakan khas mamaku yang khas mengagetkan lamunanku.

"Oh disini rupanya kamu. Yuk waktunya minum susu!" Mama membelaiku lembut dan menciumiku. Aku membalas ciumannya. Aku rindu mama. Maka tanpa menunggu lama aku segera bangkit dari sofa dan berlari-lari kecil di belakang mama menuju mangkuk susuku di dapur.

"Meong! meowww!" Aku mengeong gembira mendapat susu lezat. Aku memang beruntung. Sudah sepatutnya aku mensyukuri keadaanku. Aku tidak perlu iri dengan kucing kampung yang bebas. Aku memang terkungkung. Tetapi terkungkung di dalam istana yang penuh kenikmatan. Takdirku sebagai kucing rumahan ras Persia. Suatu saat aku juga akan menikah tetapi dengan Persia atau dengan Anggora. Bukan kucing kampung.

Aku adalah James si kucing Persia. Aku bangga dengan itu.


***Yes, I'm a cat lover***

Minggu, 18 Januari 2009

USTAD KEPARAT BOJONG CAE

Namanya Dadang. Dia adalah adik satu-satunya dari kepala desa Bojong Cae yang beristri dua. Badannya tinggi dan tegap, walau dia tidak bisa menutupi perutnya yang sedikit membuncit. Kulitnya coklat matang seperti kebanyakan orang Indonesia. Matanya sendu tetapi jalang. Hidungnya tidak mancung dan tidak terlihat pesek. Usianya saat itu menjelang dua puluh tujuh tahun. Logat Sundanya terdengar kental bila berbicara.

Dadang selalu berusaha berpenampilan perlente ala orang kota. Untuk menunjukkan statusnya yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di sebuah universitas Islam negeri di kotanya. Di setiap kesempatan dia tidak pernah lepas dengan topi warna merah berlabel merek NIKE, yang aku berani bertaruh bahwa itu PALSU. Bila dia tidak sedang bertopi maka dia memilih peci sebagai penutup kepalanya. Aku tidak pernah tahu ada apa dengan kepalanya sehingga dia tidak bisa lepas dengan penutup kepala.

Tetapi tentu saja hanya dia dan orang desa yang menganggap dia perlente. Bagi kami orang kota, dia tidak ubahnya seperti pria kampung yang berlagak kota. Dia senang memadukan kaus tangan panjangnya dengan celana bahan resmi dan ikat pinggang. Lengkap dengan topi NIKE satu-satunya.

Saat mengendarai sepeda motor tuanya dia akan dengan gayanya menambah aksesoris jaket kulit imitasi lengkap dengan kacamata hitam ala tukang pijatnya. Lantas dia berlagak layaknya pengendara motor gagah yang digilai para gadis. Maklum, tidak banyak orang yang memiliki kendaraan bermotor seperti dia.

Memang benar, banyak gadis yang tergila-gila pada kumbang kampung ini. Itu pun menurut penuturan Minul dan kawan-kawan sejawatnya. Bila Dadang lewat, para gadis kampung yang sedang asyik bercengkrama serta-merta segera mengatur sikap agar terlihat anggun dan ayu sebelum menyapa lelaki itu.

“Kang, bade kemana?” Hanya segelintir gadis yang berani melontarkan pertanyaan seperti itu.

“Oh, bade ke surau”, dengan senyum simpul sang Dadang yang sengaja ditebarkan untuk menyenangkan para gadis.

Maka setelah sang Dadang berlalu dari hadapan, para gadis akan berjingkrakan senang. Tertawa senang. Dan si penanya tak henti-hentinya menceritakan peristiwa itu kepada gadis lainnya. Sambil berapi-api mendeskripsikan bagaimana rupa Dadang saat itu. Senyumnya, pakaiannya, matanya, dan lain-lain. Layaknya obrolan para gadis yang sedang menggilai seorang pemuda tampan.

Dadang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah menengah Islam di Rangkas. Tetapi aku tidak pernah tahu dan mau tahu apa mata pelajaran yang diajarkan. Dadang yang dianggap paling mumpuni di bidang agama Islam, didaulat untuk menjadi guru mengaji di Bojong Cae. Sesekali dia juga berceramah agama. Makanya orang-orang kampung menghormati dirinya. Dia adalah ustad muda kebanggaan Bojong Cae.

Awal perkenalan kami adalah pada sebuah rapat desa. Dia yang memimpin doa dan memberikan ceramah agama. Maklum sebagai adik seorang raja desa, dia memiliki aktivitas segudang. Selain mengetuai Ikatan Remaja Surau Bojong Cae. Dia juga menjadi pelindung di organisasi Karang Taruna Desa Bojong Cae. Maka tidak mengherankan bila hampir di setiap acara desa, dia selalu hadir.

Mulanya sebelum kami tahu dia adalah seorang Ustad. Kami hanya memanggilnya dengan sebutan Aa Dadang. Namun ketika kami tahu dia juga seorang Ustad, maka kami agak rikuh juga memanggil seakrab itu. Kami memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan Pak Dadang. Lagipula kemudaan usianya tidak terlihat oleh wajahnya yang kebapakan alias bertampang tua itu. Pantaslah dia dipanggil bapak oleh kami yang muda belia lagi ‘bau kencur’.

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menyesuaikan diri dan mulai bergaul dengan Pak Dadang. Dia senang melontarkan lelucon garing yang membuat kami merasa bersalah bila tidak tertawa. Kami pun tertawa setelah sekian detik berpikir keras mencari tahu dimana letak kelucuannya. Setelah itu baru kami tertawa dengan ekspresi yang penuh kepalsuan.

Pak Dadang ini pria baik. Teramat baik malah. Kami sering sekali terbantu oleh kehadirannya. Kami pun seringkali mendapatkan kiriman makanan gratis darinya. Hal itu tentu saja menguntungkan kami. Maklum, saat itu kami masih merupakan mahasiswa kere yang sedang masa pertumbuhan. Sering merasa lapar tetapi tidak ditunjang dengan keuangan kami yang pas pasan. Maka kami dengan senang hati dan tangan terbuka menerimanya. Sebagai imbalannya, kami menjadikan dia sebagai teman bicara kami. Kami harus sukarela menemani dia mengobrol hingga larut malam. Tetapi lebih sering Abang yang menemaninya untuk berbicara.

Pak Dadang adalah penyokong utama dari setiap kegiatan kami. Bahkan ketika kami harus menembus gelapnya malam melewati hutan untuk menuju dusun terpencil di Bojong Cae. Dia dengan sukarela menyiapkan transportasi dengan mengerahkan beberapa teman yang memiliki motor untuk mengantar kami.

Tetapi entah mengapa setiap kali kami bertugas dan membutuhkan motor sebagai transportasi. Dari sekian banyak motor. Aku selalu didaulat untuk menjadi pembonceng tetap Pak Dadang. Temanku yang lain bisa berganti-ganti. Hanya aku yang selalu membonceng Pak Dadang. Namun aku yang saat itu teramat polos, menganggap itu hanya sebagai suratan takdir yang tidak disengaja. Yah sudahlah daripada aku sama sekali tidak mendapatkan tumpangan.

Pak Dadang juga memperlihatkan keanehan yang teramat sangat bila berdekatan denganku. Dia lebih senang beraku-kamu bila berbicara denganku. Dan dia berkali-kali mengingatkanku untuk memanggilnya Aa. Namun aku selalu lupa dengan memanggilnya bapak. Karena aku menaruh hormat padanya yang seorang ustad.

Sudah menjadi kebiasaanku untuk tidak memegang atau memeluk pengendara motor laki-laki yang bukan muhrim ketika dibonceng. Maka kebiasaan itu juga kuterapkan pada Pak Dadang yang menjadi tumpangan tetapku. Dia selalu mengingatkanku.

“Pegang yang erat Ris! Aku khawatir kamu terjatuh. Perjalanan kita melewati medan yang cukup sulit” Dia mengingatkanku.

Maka aku mengeratkan peganganku pada badan motor. “Oh sudah, saya sudah pegang kok”.

“Maksudku kamu bisa pegang aku bila kamu khawatir jatuh”. Dia menjelaskan lagi.

“Insya Allah tidak”. Aku menyahut.

“Yah hanya jaga-jaga saja”.

Seketika itu Pak Dadang memacu motornya dengan cepat. Dia seperti menyari-nyari jalan yang sulit untuk dilewati. Sehingga posis motor agak oleng. Aku di belakang ketakutan setengah mati, pucat pasi membayangkan bila aku harus terjatuh di bebatuan. Aku mengeratkan penganganku pada ekor motor di belakang. Tetapi percuma, tubuhku malah hampir limbung ke belakang dibuatnya. Sedangkan lelaki itu sama sekali tidak memelankan motornya.

Akhirnya aku menyerah juga. Aku mulai memegang jaketnya, seperti memegang pinggangnya. Dan sialnya lelaki itu malah semakin mencari jalan yang terjal, agar aku mempererat peganganku. Dan itu berhasil. Aku memegangnya. Sial!

Pak Dadang sering sekali mengunjungi istana kami di Bojong Cae. Sesekali waktu membawa teman seorang tokoh desa. Sering juga hanya sendiri. Dan itu dilakukan hampir setiap malam selepas Isya. Dia akan memakai pakaian yang sama yaitu baju koko berwarna biru lengkap dengan peci.

Suatu kali aku memang pernah tanpa sengaja mengungkapkan kecintaanku pada warna biru. Maka sejak saat itu, dia selalu berusaha memakai baju berwarna biru di hadapanku di setiap kesempatan. Dia juga menebarkan aroma harum minyak nyong-nyong yang menusuk hidung. Aku, Fian, Abang, Deci dan Dije sering sekali bergurau bahwa Pak Dadang bermandikan parfum.

Lelaki itu selalu berusaha mencari tahu semua kesukaanku. Dan dia akan berusaha memenuhi itu. Ketika aku berkata,

“Dingin-dingin begini enaknya makan nasi goreng panas yang super pedas”.

Maka dia akan dengan senang hati membelikannya di kota Rangkas. Tidak hanya satu, tetapi juga untuk Abang, Fian, Deci dan Dije. Semua kebagian. Ketika aku berkata,

“Panas terik sungguh nikmat bila ada air kelapa muda yang manis untuk melepas dahaga.”

Maka tanpa menunggu lama Lima butir kelapa muda akan dikirimkan ke istana kami oleh sang kurir. Atau bila dia menemani kami melakukan penyuluhan di siang hari. Dia akan menggiring kami ke kebun warisan dari orang tuannya untuk mengambilkan kelapa kopyor muda terbaik untuk kami. Dia bahkan mengupasnya untukku.

Atau bila aku gelisah menahan lapar saat kami rapat membicarakan rencana program di malam hari. Maka dia serta-merta menyuruh kurir untuk membelikan martabak telur kesukaanku. Sepanjang aku makan martabak itu dengan lahap. Matanya jalang mengamati aku.

Saat aku memergokinya, “Kenapa?”

Dia hanya berdalih, “Ah tidak apa-apa”.

Dia hampir setiap hari berkunjung ke istana kami. Terkadang aku sangat jengah untuk sekedar menyapanya. Maka hanya Abang yang menemaninya berbicara. Saat itulah lelaki itu mencari-cari alasan untuk bisa melihatku barang sekejap di dalam istana.

“Nuhun, bade ke kamar mandi?” Dia beralasan.

“Sok atuh. Silahkan masuk aja”. Abang mempersilahkan.

Pak Dadang melenggang masuk ke dalam rumah. Dia memergoki kami para gadis yang sedang menonton televisi kecil di ruang tamu. Kami beradu pandang, dan dia tersnyum salah tingkah. Aku hanya bingung dibuatnya. Dia akan memperlambat langkahnya demi untuk melihat aku. Atau aku yang kege-eran yah?

Waktu itu aku masih terlalu naif untuk bisa menebak tipu muslihat lelaki. Aku layaknya gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. Selama proses pendekatan lelaki itu yang terkesan membabi-buta dan terkesan direstui oleh seluruh tokoh desa. Aku tidak kurang pengawasan dan bantuan dari sahabat-sahabatku di Istana Bojong Cae.

Bojong Cae desa yang kecil. Tidak ada yang rahasia di desa ini. Hubungan antara aku dan Ustad keparat tersebar luas. Padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Dengan skenario yang terorganisir, aku masih saja didaulat sebagai pembonceng tetap lelaki itu. Sekeras apapun aku menolak. Aku tidak akan bisa menghindari. Karena jumlah motor terbatas. Dan selalu aku yang mendapat bagian terakhir, dan pengendara motor itu tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Dadang. Lagipula yang menyuruh aku ikut dengannya banyak termasuk tetua kampung.

Pernah suatu saat aku tertinggal jauh dari rombongan. Si ustad keparat sepertinya mengendarai motor dengan sangat pelan. Dan dia terus menerus mengajakku berbincang. Padahal aku sudah ketakutan setengah mati. Aku hanya berdua saja dengan dia di gelapnya malam. Seandainya terjadi apa-apa denganku dan aku berteriak. Tak akan ada seorang pun yang mendengarnya. Hanya ada rerimbunan pohon, suara jangkrik dan kodok. Mungkin juga derik ular. Dan parahnya saat itu aku sama sekali tidak membawa telepon genggam.

Aku komat-kamit berdoa seperti merapal mantra, “Audzubillahiminassyaitan ni rrajim. Aku berlindung dari godaan syetan yang terkutuk yang mungkin saja menyelinap di dalam raga lelaki ini”.

Hembus angin malam yang biasanya terasa menyegarkan. Kali ini terasa menusuk kalbu. Aku benar-benar menggigil ketakutan. Aku memperhatikan jalan. Berusaha mengingat-ingat bagaimana tampak jalannya ini bila siang hari. Jadi seandainya terjadi hal buruk, aku tahu kemana harus melarikan diri. Aku benar-benar tidak konsentrasi lagi pada omongan si Ustad keparat. Aku menyibukkan diri untuk berpikir keras bagaimana menyelamatkan diri.

Tiba-tiba aku melihat sesosok pengendara motor sambil berjongkok seperti membenarkan motornya. Ya Allah! Semoga itu penolongku. Ya sosok itu kian jelas. Aku rasa Ustad keparat juga melihatnya. Tunggu dulu! Bukannya itu....itu ... Abang. Yah itu abang.

Kami menghampiri abang. Ustad keparat itu berbasa-basi menanyakan gerangan apa yang membuat Abang berhenti di tengah jalan.

“Oh tahu nih tiba-tiba mogok”. Abang menjawab. Maka ustad keparat menghentikan motornya dan menghampirinya.Agak lama juga kami berhenti. Sampai akhirnya motor yang abang tumpangi kembali berfungsi. Ustad keparat kembali ke motornya. Sebenarnya aku ingin ikut abang, tetapi motor abang tidak bisa dibonceng. Maka aku terpaksa duduk lagi di belakang ustad keparat.

Saat Ustad keparat mempersilahkan abang untuk melajukan motornya dahulu. Abang dengan basa-basi malah mempersilahkan kami untuk lewat dahulu. Abang ingin memastikan motornya baik-baik saja. Maka dengan berat hati Ustad keparat melajukan kendaraannya. Saat kami sudah berjalan. Baru abang mengikuti kami dari belakang.

Belakangan aku baru tahu, bahwa itu adalah tipu muslihat abang. Abang tiba-tiba menyadari motor yang ditumpangi aku dan si usatad keparat tertinggal jauh dari rombongan. Abang merasa khawatir dengan keselamatan dan kehormatanku makanya dia melambatkan motor dan berhenti. Berpura-pura motornya mogok tak lain agar dia bisa mengawasiku dari belakang. Kejadian itu benar-benar tak pernah lekang dari ingatanku. Sosok abang yang sering membuatku menangis ternyata telah menyelamatkanku.

Suatu kali ada nomer telepon masuk ke telepon genggamku. Nomer yang sama sekali tidak aku kenal. Aku pun mengangkatnya.

“Assalamualaikum”, suara lelaki di ujung sana.

“waalaikumsalam”,Jawabku ragu-ragu.

“Risma?”

“Iya saya sendiri. Ini siapa ya?”

“Aduh masak lupa yah. Ini teh Dadang”.

Otakku bekerja berusa keras mengingat siapakah Dadang. Dan sekian detik kemudian sosok Pak Dadang melintas di mataku. Ustad keparat? Hah! Bagaimana mungkin dia mengetahui nomer teleponku. Padahal aku sama sekali tidak pernah mengumbar nomer teleponku kepada siapapun di desa ini. Kecuali........Oh ya kecuali pada awal pencatatan daftar tamu lapor waktu pertama kali kami tiba di desa ini. Yah...Itu dia. Sial! Kalau tahu begitu, aku tidak akan menulis nomer yang benar.

“Oh iya...........Pak Dadang. Ada apa yah?” Aku dengan hormat.

“Oh nggak, Cuma tanya kabar saja. Apa kabar Risma?”

“Baik. Alhamdulillah”. Singkatku tanpa berminat untuk menanya balik.

“Oh ya katanya mau naik sampan di Kali Ciujung. Jadi nggak?”

Kali Ciujung? Apalagi ini? Oh ya aku ingat. Tempo hari saat kami melakukan kunjungan desa di Kali Ciujung untuk melihat proses penambangan pasir dan batu Kali Ciujung. Kami sempat berfoto-foto di Kali Ciujung. Kami melihat sampan-sampan dan perahu yang agak besar berseliweran di sekitar kali Ciujung. Aku sempat berujar dengan noraknya,

“Ih pasti seru kalau kita naik perahu itu. Terus kita berfoto ria”. Namun saat itu aku juga tahu bahwa itu mustahil dilakukan karena tidak ada perahu yang bersandar.

“Naik perahu. Wuah seru tuh. Serius?” Aku menimpali Pak Dadang.

“Tentu saja serius. Kapan sih aku main-main dengan kamu”.

“Oh ya, kapan?” Aku antusias.

“Hari ini”.

“Loh ini kan sudah sore?”

“Iya, kan memang perahunya bersandar setelah jam 5 sore”.

“Sama yang lain kan. Maksudku sama Abang, Fian, Deci dan Dije?”

“Oh nggak, sama kamu saja. Sampannya kecil soalnya. Takut nggak muat”. Jawab lelaki itu dnegan diplomatis. Aku malah semakin curiga. Saat itu aku dan penghuni Istana Bojong Cae sedang berkumpul di ruang tamu. Aku memberi isyarat kepada mereka bahwa yang menelpon adalah Pak Dadang. Maka aku serta-merta menyalakan fungsi loadspeaker di telepon genggamku. Agar mereka juga ikut mendengarkan.

“Terus berangkatnya kapan?”

“Nanti jam 6”.

“Loh kok maghrib-maghrib kesananya. Terus sholatnya bagaimana?”

“Iya itu nanti gampang”.

Saat itu musnahlah rasa hormat dalam hatiku untuk lelaki itu. Seorang Ustad dari Bojong Cae. Ustad macam apa yang mengajak seorang perempuan bukan muhrim untuk berjalan bersama menikmati pemandangan Kali Ciujung saat maghrib hanya berdua saja?

Aku membayangkan bagaimana otak lelaki itu bekerja. Bagaimana pikiran kotor lelaki itu yang sudah merencanakan sebuah kencan romantis menaiki sampan melintasi Kali Ciujung sambil menikmati indahnya malam. Serasa naik gondola di tengah kota Venezia. Atau malah dia sedang membayangkan adegan romantis Leonardo Decaprio dan Kate Winslet di kapal Titanic. Aku akan merentangkan tangan sambil berdiri di ujung kapal dan menghirup udara segar malam hari, melepas segenap ketegangan yang membuncah. Kemudian dia menghampiri aku bak Leonardo Decaprio, dan memegang tanganku. Kemudian kami berdua ikut menikmati deru ombak Kali Ciujung dengan debar jantung dua orang pencinta yang membara. Huek!!! Please deh.

“Maaf saya tidak tertarik dengan tawaran anda. Lagipula, saya tidak terbiasa keluar maghrib. Apalagi dengan lelaki yang bukan muhrim. Saya harus sholat dan mengaji”. Aku pun menutup telepon dengan marah.

Lelaki itu masih berusaha meneleponku. Namun aku segera menonaktifkan telepon genggamku. Aku benci lelaki itu. Dia menganggapku layaknya perempuan murahan yang mudah terpikat dengan segenap kebaikannya. Mungkin dipikirnya keramah-tamahanku selama ini adalah tanda aku suka padanya. Padahal sekali pun tidak terbersit pikiran suka, simpati apalagi Naudzubillahiminzalik untuk suka pada lelaki itu.

Kami hanya berbasa-basi untuk sekedar beramah –tamah.Toh kami hanya tamu. Kami memang sudah diwanti-wanti untuk bisa bergaul dengan baik dengan orang kampung, terutama dengan tokoh kalau kita tidak mau diusir sebelum masa KKN berakhir. Namun setelah suatu kali si Ustad keparat benar-benar menyatakan cintanya di suatu malam selepas pertemuan. Aku benar-benar menarik diri sejauh mungkin.

Kami di Istana Bojong Cae seringkali membincangkan masalah. Sebelumnya abang sempat mempertanyaan perasaanku pada si Ustad keparat. Hanya untuk memastikan bahwa cinta si Ustad keparat tidak bersambut olehku.

“Demi Allah. Tidak terbersit sedikitpun perasaan tertarik dengan si Ustad keparat itu!” Aku dengan penuh ketegasan.

“Aku hanya perlu kepastian saja. Habis kulihat kau terlalu lemah. Kupikir kau juga terpikat.” Abang naik pitam.

Setelah dia tahu apa perasaanku. Maka kami semalaman membahas skenario apa yang harus dilakukan untuk menghindarkan aku dari perangkap Ustad Keparat. Maka kami mengambil keputusan untuk membuat skenario bahwa aku tengah bertunangan dengan Dicky Pasaribu, seorang teman kami yang bertugas di Desa Kadu Agung Barat. Mengapa Dicky? Yah karena Dicky pandai bersandiwara, lagipula Dicky dan aku sama-sama tidak terikat dengan hubungan percintaan dengan siapapun. Jadi kami bisa lebih menjiwai sandiwara.

Maka kami pun segera mengkomunikasikan dengan Dicky dan rekan-rekan lain di desa lain. Kami pun sepakat mensukseskan sandiwara itu. Dicky selalu datang di acara penyuluhan kami. Dan kami bersandiwara layaknya sepasang kekasih. Dan aku memproklamirkan dengan terang-terangan bahwa Dicky tunanganku, juga kepada Ustad keparat itu. Hahahha................si Ustad mulai menjauh dan lari tunggang langgang.

Salah satu program KKN kami adalah menyediakan taman bacaan di surau. Nah aku salah satu penyumbang buku terbanyak. Sebagian besar bukuku di waktu SD memiliki label nama dan alamatku. Walau aku sudah tidak tinggal di alamat rumah itu lagi, namun orang-orang masih mengenalku.

Suatu kali surat dari Ustad keparat itu benar-benar sampai ketanganku. Ketua RT dari lingkungan rumah masa kecilku mengantarkan ke rumah baruku. Aku ketakutan setengah mati bila, ustad keparat benar-benar menghampiriku. Telepon-telponnya masih sering mampir. Walau aku sering tidak mengangkatnya. Dia memakai nomer yang berganti-ganti. Hingga aku memutuskan untuk mengganti nomer telepon genggamku. Agar cerita itu musnah sampai disitu.

Moral: Dont judge book from its cover!

Minggu, 04 Januari 2009

WARNA-WARNI PERSAHABATAN

Dua bulan bukan waktu yang sebentar untuk memulai sebuah persahabatan. Juga bukanlah waktu yang lama untuk bisa mengenal pribadi seseorang. Sepanjang dua bulan masa KKN. Kami mendapatkan banyak sekali hikmah tentang arti persahabatan yang sejati. Setidaknya kami telah belajar banyak untuk bertoleransi pada segala bentuk perbedaan.

Salah seorang rekan kami di Kadu Agung Barat bernama Lala. Dia satu desa dengan Irma, Dicky, Wulan dan Yopi. Walau kami berbeda desa. Tetapi kami sering bertemu, dalam pertemuan rutin tim KKN di Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak. Maka beberapa kali kami terlibat perbincangan. Sekadar berbasa-basi ala teman.

Lala adalah teman kami yang misterius. Entah di sengaja atau tidak. Dia seperti menarik diri dari pergaulan sesama kami. Kalau kami perempuan seringkali bercanda dengan ceria. Maka Lala memilih untuk duduk menyendiri di pojok. Padahal kami sudah berusaha keras mengajaknya tertawa dan berbincang bersama. Tetapi sepertinya dia masih merasa tidak nyaman dengan kami.

Perkenalanku dengannya bermula ketika bus yang mengantar kami tiba di Kecamatan Cibadak. Kami terdampar agak lama di sebuah surau kecil. Ketika kami semua menunaikan shalat, maka Lala hanya terdiam di pojok ruang. Kupikir itu mungkin persoalan bulanan perempuan yang tidak perlu lagi dipertanyakan. Toh Lala adalah seorang muslimah berjilbab.

Ketika kami sesama anggota KKN saling bercengkerama dan berkenalan satu sama lain. Maka Lala memilih untuk duduk di tepian. Aku mendekatinya demi mencari tahu apakah gerangan yang terjadi. Lala terlalu asyik menekuni buku catatan kecilnya, menulis-nulis sesuatu hingga ia tak menyadari aku mendekatinya. Aku mencuri lihat. Aku bisa melihat jelas bahwa Lala sedang merinci rupiah demi rupiah yang sudah dikeluarkannya hari itu. Rapih sekali seakan tidak ada yang tertinggal. Karena pembelian permen pun di catat dengan sangat teliti.

”Lala, sedang apa?” Tanyaku basa-basi.

”Oh...eh........... bukan apa-apa,” Lala terlihat gugup, segera menutup buku catatannya dan menyembunyikannya di tas tangannya. Kemudian dia memberikan senyumannya padaku. Dia memainkan pulpen di tangannya demi untuk menutupi rasa groginya yang berloncatan di dadanya. Aku pun memberi senyuman yang tak kalah indah untuk menentramkan hatinya. Sekedar memberi bukti bahwa aku tidak sedang menginterogasi. Aku hanya ingin membuka wacana sebuah persahabatan.

Saat itu aku masih memegang mukena. Maka dengan nada basa-basi juga aku menyodorkan mukena itu kepadanya sambil tersenyum.

”Mau pinjam?”

Lala hanya menggeleng pelan dan melemparkan senyum ke arahku. Maka aku membalas senyumnya dengan mafhum. Mungkin benar dugaanku bahwa itu adalah persoalan bulanan perempuan. Aku pun segera memasukkan mukenaku ke dalam tas. Bukannya berlalu aku malah duduk di sampingnya. Aku tergelitik untuk menanyakan sebuah pertanyan bodoh.

”Lagi halangan yah?” Aku malu-malu. Lala yang ditanya hany atersenyum. Beberapa detik kemudian baru dia menjawab.

”Tidak kok.......” Setelah itu dia berusaha untuk mengalihkan pandangan ke arah lain. Suasana jadi semakin tidak enak. Aku pun segera mungkin mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih netral. Seperti mengomentari teman-teman kami yang sedang bertingkah lucu. Mengomentari orang-orang desa yang melihat ke arah kami, dan hal-hal lain yang remeh tetapi cukup bisa mencairkan suasana. Itu pengalaman pertamaku berinteraksi dengan Lala.

Aku berusaha mencari tahu keanehan yang terjadi pada Lala pada teman sedesanya. Terutama Irma dan Wulan, mereka pasti tinggal satu kamar. Sudah barang tentu mereka saling bercakap-cakap tentang apa saja. Tetapi percuma, Irma dan Wulan juga tidak pernah terlibat percakapan yang pribadi layaknya para gadis bergosip. Lala pendiam sekali. Namun di balik diamnya dia menyimpan sebuah misteri, rahasia hidupnya yang ingin ditutupinya. Ternyata Lala juga tidak terbuka dengan Irma dan Wulan. Namun dari percakapanku dengan Irma dan Wulan aku sedikit banyak bisa menilai Lala.

Menurut penuturan Irma, di awal kedatangan mereka di Desa Kadu Agung Barat. Lala baru menyadari bahwa Ia tidak membawa jilbab instan yang praktis. Sudah barang tentu Irma dan Wulan dengan senang hati menawarkan jilbabnya. Namun Lala menolaknya dengan serta-merta. Dia lebih memilih mengenakan mukena panjangnya sebagai jilbab daripada meminjam.

Tidak hanya itu, keesokan harinya Lala meminta izin untuk tidak menginap di case camp. Sepanjang dua bulan, Lala akan menginap di rumah saudaranya yang tinggal di pinggiran Kota Rangkas. Padahal jaraknya hampir dua jam perjalanan. Namun itu akan dilakoninya selama KKN. Anehnya selama itu, kami tidak pernah melihat Lala shalat. Ketika hal itu kami tanyakan kepada Lala. Dia hanya menjawab singkat,

”Aku menggabungnya dalam satu waktu di malam hari saat aku tiba di rumah saudaraku.”

Beberapa kali kami terlibat perbincangan dengan sedikit bumbu perdebatan perihal keanehannya. Kami juga sedikit menginterogasi Lala. Maka terungkaplah bahwa menurut keyakinan Lala, dalam menunaikan shalat juga ada aturan. Adalah najis bila melaksanakan sholat di tempat orang yang tidak segolongan. Di dalam keyakinan Lala, jarak antara tempat wudhu dan sajadah shalat harus sedekat mungkin. Dan harus berada di lingkungan suci kaumnya.

Lala dan kaumnya memiliki masjid khusus di setiap daerah untuk memudahkan jamaatnya menunaikan shalat. Tidak ada pinjam meminjam alat-alat shalat atau apapun juga yang berhubungan dengan peribadatan antara golongan Lala dan orang di luar golongan. Bahkan bila ada yang tak sengaja meminjam, menyentuh, apalagi menggunakan barang-barang pribadi golongan Lala, padahal mereka tidak seideologi. Lala dan golongannya akan segera mungkin mencuci dan membersihkannya agar tidak bernajis.

”Oh jadi kita ini najis, begitu?” Ujar Deci bernada sewot suatu kali saat kami membincangkannya.

”Yah dia kan juga korban dari sebuah sistem. Bila satu keluarga penganut kepercayaan tersebut, maka Lala hanya akan jadi pengikut. Tak bisa sepenuhnya disalahkan. Lala menjadi seperti itu karena dia terbelenggu dalam suatu paham yang tidak sepenuhnya dimengerti.” Aku memberikan pledoi pembelaan.

”Iya, suatu kali kami telah berdebat berdasarkan Al Quran dan Hadits, dan dia sama sekali tidak mengerti landasan dalilnya.” Irma ikut memberikan pendapat.

”Kasihan juga dia ya”, Ari teman kami dari Bojong Leules ikut berbicara.

”Tidak punya teman”, Lilis dari Desa Cibadak berempati.

”Yah sudah sepantasnyalah dia demikian tidak ditemani, lah wong kita ini dianggap barang najis sejenis anjing.” Deci masih saja berapi-api.

”Dia sendiri yang membuat jarak”, Dije.

”Iya benar. Aku ingat suatu kali kelompok kami diundang makan bersama di saung selepas penyuluhan. Kami makan bersama dengan sesepuh desa dan beberapa penyuluh pertanian. Saat makanan tersaji, Lala malah memilih memakan biskuit yang dibawa dari rumah. Dengan alasan tidak lapar.” Wulan membenarkan.

Di desa-desa terpencil di Kabupaten Lebak, Kami memang memiliki kegiatan makan bersama untuk menghormati tamu. Tradisi makan ini cukup unik. Karena makanan tidak terhidang di atas piring, tetapi di hamparkan di atas daun pisang yang lebar. Nasi dan lauk pauk menjadi satu plus sambal terasi. Kemudian setelah dipersilahkan dan berdoa kami makan bersama dengan tangan. Tidak ada rasa jijik dan malu-malu semua bercampur tidak kenal kasta dan status, makan dalam satu daun pisang dengan nikmat. Adalah merupakan suatu penghinaan, bila tamu menolak makanan yang dihidangkan oleh tuan rumah. Dan tindakan Lala yang menolak untuk makan bersama adalah sungguh menyakitkan.

Namun Yopi sang koordinator kecamatan, bisa dengan bijak memberikan alibi untuk menutupi kesalahan Lala. Sekaligus untuk menghindari prasangka buruk yang berlebihan kepada tim mereka.

”Oh................si Lala ini ada gangguan dengan pencernaan. Jadi sejam sebelum makan harus diisi dengan biskuit. Mohon maaf bila menyinggung.” Yopi berdiplomasi.

Lala terkucilkan. Namun Lala tidak pernah merasa terganggu. Lala sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Di setiap kelas yang diikutinya Lala memang selalu terkucil. Dia selalu mengambil tempat di pojok ruangan yang jauh dari kerumunan mahasiswa. Agar dia tak perlu berinteraksi dengan mahasiswa lainnya. Tatapan aneh dari orang di sekelilingnya adalah santapan sehari-harinya.

Sepanjang KKN aku dan beberapa perempuan masih dengan sabar berusaha mendekati hatinya. Berusaha menjadi tukang cerita yang baik saat dia membisu. Begitu pun berusaha menjadi pendengar setia ketika dia berbicara. Dan berusaha untuk mafhum atas semua hal aneh yang dilakukannya. Berusaha untuk tidak bertanya dan menganggapnya sebuah kebiasaan. Meniadakan keanehan yang ada pada dirinya, menganggap dia tak berbeda dengan diriku dan teman-teman lainnya untuk memberikan rasa nyaman pada dirinya. Agar tidak merasa terasing.

Sepertinya kami berhasil. Di akhir perpisahan kami kaum perempuan makan cilok dalam tempat yang sama. Aku, dia dan beberapa gadis. Dia tidak merasa jengah, begitu pun aku. Walau sejenak dia sempat ragu kan apa yang dilakukannya. Namun dia mengabaikannya. Kami menikmati santapan lezat cilok atau sejenis somay dalam satu wadah dengan suka cita. Yah........kami benar-benar berhasil menerjang dan meniadakan perbedaan yang mengungkung. Sampai detik ini aku masih mengingat sosok Lala. Bila ada yang tahu keberadaan Lala, gadis yang terasing di Fakultas Ekonomi Manajemen. Katakan padanya aku merindukannya.

Aku sudah mengenal Yopi sejak lama. Kami terlibat banyak sekali kerjasama dalam kelompok-kelompok tugas yang secara tidak sengaja terbentuk. Maka aku sudah mengenalnya sebagai pribadi yang penuh welas asih dan bijak, namun tetap menyimpan ketegasan seorang pemimpin. Sepanjang ingatanku, dia memang hampir selalu menjadi pimpinan proyek dan tim kami di setiap kesempatan.

Kenangan saat kami melaksanakan tugas membuat laporan tentang pertanian di daerah Sukabumi untuk mata kuliah Dasgron. Yopi menjadi mengepalai aku, Widi, Irma, Ari, Afif, Anita dan siapa lagi aku lupa. Mungkin lain kali akan aku ceritakan juga episode ini. Yopi mampu memnggiring kami dengan baik. Aku juga ingat, setelah draft kotor selesai dibuat. Aku yang merangkainya menjadi kata-kata yang indah dalam laporan sebanyak lebih dari tigapuluh halaman. Dan itu adalah rekor laporan terpanjang seluruh kelas Dasgron. Aku meramunya dengan kata-kata bunga-berbunga bak pujangga. Hal yang paling menggelikan adalah Aku menuliskan kata-kata ’dua batang kara’ untuk mendeskripsikan sepasang suami istri petani yang hanya tinggal berdua di gubuknya. Bodoh! Rupanya sedari dulu, aku sudah pandai merangkai kata.

Yopi lelaki baik hati. Sekali pun aku tidak pernah melihat dia marah. Walau pun kami telah membut kesalahan yang teramat fatal. Dia hanya tersenyum dan segera mencari solusi untuk memperbaikinya. Dia juga lihai dalam berdiplomasi kepada bapak-bapak. Makanya dia selalu ditunjuk menjadi ketua. Tanpa harus menunggu konfrensi yang menjemukan. Bila dia jadi ketuanya, dijamin semuanya beres dan teratasi dengan baik.

Dicky adalah salah seorang dari teman lelaki terdekat. Dia hampir selalu ada dalam episode hidupku. Aku memang selalu merasa nyaman berbicara dan berada di dekatnya. Walau dia berasal dari daerah yang sama dengan abang. Namun dia memiliki tabiat yang sama sekali berbeda dengan abang. Walau logat Bataknya terdengar kental. Namun tutur katanya lembut. Tak pernah sekali pun kulihat dia marah atau berbicara keras. Bicaranya lembut dan menyenangkan. Dia bisa menjadi pendengar terbaik. Bila aku bercerita padanya, maka dengan sabar matanya akan mengamati aku penuh rasa ingin tahu. Membuat aku yang bercerita menjadi semakin bersemangat.

Beberapa kali aku meminta pertolongan kepadanya. Dan beberapa kali itu pula ia mengabulkannya permintaanku tanpa banyak komentar. Dari berpura-pura menjadi tunanganku untuk mengelabui si ustad keparat dari Bojong Cae yang tergila-gila kepada diriku, bahkan hingga menemani aku menemui sang duta besar Pakistan. Dia partner setiaku. Aku menyebut-nyebutnya dengan penuh hormat dan penghargaan namanya dalam novel perdanaku sebagai penyelamat.

Tidak banyak orang yang mau dan punya cukup nyali untuk menemani seorang teman menemui petinggi negara asing untuk urusan apa pun. Mungkin pula mereka akan mundur teratur sedetik setelah aku minta dengan banyak alasan. Tidak lancar berbahasa Inggris lah, bingung harus memakai baju apa lah, tidak cukup percaya diri lah, dan lain-lain. Maka si Dicky ini adalah lelaki yang memiliki cukup nyali besar untuk menolong siapa pun tanpa pamrih. Dia adalah teman yang teramat menyenangkan hati.

Begitu hebatnya aku mengelu-elukan namanya di antara Saiful Malook dan nama-nama lain di novelku, membuat banyak pembacaku yang mempertanyakan kedekatanku dengan Dicky. Bahkan ketika akhirnya tersiar kabar aku telah melepas masa lajang. Maka berbondong-bondong email masuk mempertanyakan apakah Dicky yang telah menggantikan tempat seorang Saiful Malook yang malang. Aku tersenyum simpul. Dan di balon-balon imajinasiku bermunculan nama Dicky. Kupikir Dicky adalah tipikal pria idaman bagiku. Hanya saja takdir berkata lain.

Sedang Wulan, dia adalah sosok gadis yang baik dan sederhana. Satu yang kuingat dari dia adalah sorot matanya yang tajam setajam mata Najwa Shihab presenter Metro TV. Dia cantik dan agak kearaban. Sekali aku pernah menanyakan tentang asal muasalnya, apakah dia memiliki darah Arab. Maka dia menjawab tegas bahwa dia sama sekali bukan Arab dan tak memiliki darah Arab selain dari garis Nabi Adam. Dia Indonesia tulen dan berdarah Jawa.

Namun dia sempat memberikan asal muasal yang terdengar cukup aneh perihal tempat lahirnya yang di Saudi Arabia. Maka mungkin udara Saudi Arabia yang pertama kali menerpa wajahnya membuatnya memiliki kemiripan dengan gadis keturunan Arab.

Semenjak kami berpisah hampir enam tahun lalu, kami tidak pernah bertemu kembali. Kami berpisah tepat saat KKN berakhir. Sekali waktu aku pernah melepas rindu dengan mengiriminya SMS beberapa bulan lalu, hanya untuk menanyakan kabar berita. Wulan masih seperti yang dulu. Hanya saja dia kini ibu muda beranak satu dari seorang suami yang berpangkat tinggi di angkatan laut. Dia memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, meninggalkan karir untuk selamanya.

Irma adalah salah satu dari sahabatku yang masih akrab hingga detik ini. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Irma adalah melankolik sejati yang terkadang merepotkan orang-orang sanguinis yang ingin bebas dan tak ingin terkungkung seperti aku. Ritual merayu dan mengajaknya pergi ke suatu tempat adalah ritual menggelikan yang memerlukan tahap wawancara menjemukan. Kapan? Dimana? Untuk apa? Dengan Siapa? Dan lain-lain.

Di antara sahabat-sahabatku, dia adalah yang terpintar dengan nilai IPK tertinggi di antara kami. Dia juga yang dulu serta merta menghujat kelakuan bank-bnk konvensional sekaligus bersumpah-sumpah untuk bekerja di bank tersebut. Maka kini dia mengingkarinya. Irma menghabiskan lebih dari tiga tahun menjadi kuli di Citibank. Bank konvensional yang nyata-nyata pioner dari segala bank konvensional. Praktek-praktek kredit yang melibatkan riba dalam jumlah besar adalah jenis usahanya. Irma benar-benar termakan sumpah serapahnya sendiri.

Sumiyati sejatinya adalah salah seorang teman dekatku semenjak di bangku kuliah. Hanya saja kemudian kesibukannya menjalani sebuah lembaga pernikahan mengaburkan persahabatan kami. Selama bertugas di Bojong Leules pun dia hampir sering sekali mangkir dari tempat tugas. Namun kemudian anggota tim yang lain beramai-ramai memakluminya. Entah apa karena Sumi sudah berumah tangga atau karena Sumi menyogok teman-teman dengan makanan-makanan enak yang tergolong langka di desa sepulangnya dari Rumah.

Ketika aku melarikan diri dari Bojong Cae, kepada Sumilah aku berlindung dan berpelesiran tak tentu arah di Serang. Sumi memang hampir selalu ada untuk tempatku berkeluh kesah. Namun aku hampir tidak pernah ada untuknya ketika dia kesulitan. Ketika saat ini dia mencalonkan diri menjadi Caleg. Maka aku sungguh tak punya waktu bahkan sekedar untuk mendukung ide gilanya. Padahal dia selalu menjadi pendukung nomor satu ide gilaku di masa lampau.

Ariyanah juga merupakan salah satu dari sahabatku. Dia adalah pribadi yang menyenangkan. Beberapa tahun yang lalu dia adalah sosok yang sedikit maskulin. Dan tidak begitu menyukai hal-hal yang berbau wanita. Namun kini dia telah berubah seratus delapan puluh derajat lebih dewasa dan matang sebagai wanita dewasa. Ari tidak lagi berpenampilan ala akhwat yang maskulin.

Aku agak lupa beberapa teman di Bojong Leules. Bukan karena mereka tertendang dari hatiku. Demi Allah aku hanya lupa sedikit. Aku hanya ingat Sumiyati dan Ariyanah.

Sedang tim di desa Cibadak aku mengenal hampir semuanya. Mereka adalah Lilis, Ane, Jusmarwan dan Ofan. Dulu aku sempat berfikir Lilis agak menyukai Ofan yang bertampang lumayan bagus. Kakak kelas yang tertinggal jauh dari teman-teman seangkatannya. Karena Lilis selalu bertindak kemayu dan manis di hadapannya. Oh tidak, Lilis memang selalu tampak manis di hadapan semua orang. Hanya saja Lilis suka malu-malu kucing bila kami meledek perihal kedekatannya.

Aku juga sempat berasumsi, Jusmarwan itu menyukai Lilis. Gelagatnya memang terlihat mencurigakan sebagai layaknya orang yang sedang kasmaran. Dia selalu bertindak layaknya lelaki sejati di hadapan perempuan. Tetapi Jusmarwan memang terkesan terlalu over acting di hadapan kami. Lagaknya seperti orang yang sangat serius dan bertanggung jawab akan proyek-proyek KKN-nya. Dia selalu membuat kami iri hati dengan keluwesannya membuat rencana proyek yang sedikit bombastis Ketika Jusmarwan sudah memulai membuat papan nama jalan, kami masih kebingungan menentukan arah proyek besar kami.

Ofan hampir tidak pernah berada di lokasi. Dia selalu menghilang tanpa jejak. Kegiatan proyek lebih sering diatasi oleh Jusmawran, Lilis dan Aneh. Mungkin mereka juga tidak enak hati untuk menegur kakak kelas yang usianya jauh di atas mereka. Namun justru kegiatan mereka berjalan dengan baik tak kurang suatu apapun walau tanpa Ofan.

Ane itu adalah pribadi yang sedikit biasa dan tak menonjol kala itu. Dia hanya menampakkan keluwesannya dalam bergaul. Aku dan dia seringkali terlibat pembicaraan yang penuh tawa. Karena pada dasarnya dia anak yang baik. Dia bisa menjadi pendengar yang baik. Makanya Lilis dan Ane adalah sejoli. Lilis seorang yang agak ekspresionis dan selalu butuh teman bicara, sedangkan Ane selalu siap sedia mendengarkan.

Sepanjang ingatanku. Ane memiliki orang tua yang teramat memperhatikannya. Suatu ketika Ane terserang penyakit parah. Kalau tidak salah magnya kambuh atau malah dia sedang PMS. Maka keesokan harinya orang tua Ane langsung meluncur ke lokasi. Apa Ane itu anak tunggal yah? Atau setidaknya anak perempuan satu-satunya yang menjadi kesayangan.

Kami paling senang berkunjung ke Desa Kadu Agung Barat. Bila kami berkunjung disana, dijamin kami akan mendapatkan jamuan makan yang teramat enak. Maklum tuan rumah mereka adalah kepala desa Kadu Agung Barat. Dan kebetulan mereka termasuk keluarga kaya yang terpandang. Mereka memperlakukan anak-anak KKN layaknya anak mereka sendiri. Maklum anak mereka sesungguhnya telah terpencar-pencar diberbagai daerah. Daging dan ayam adalah makanan yang teramat biasa di Kadu Agung Barat. Hebatnya tuan rumah tidak membebankan biaya apa pun kepada mereka.

Lain lagi bila di Desa Cibadak. Tuan rumah memberlakukan tarif kos all in termasuk makan untuk anak-anak KKN. Nyaman memang. Mereka tak perlu lagi memikirkan makan. Bahkan tuan rumah juga menyediakan cemilan di pagi hari seperti arem-arem. Gorengan dan aneka kueh jajan pasar lainnya. Dan itu benar-benar buatan tangan. Aku paling suka arem-aremnya. Maka bila kami berkunjung ke desa itu, aku kan menyerbu arem-arem terlebih dahulu. Kami selalu menyempatkan diri untuk mampir sepulang dari Kota Rangkas.

Sedang Bojong Leules benar-benar bukan merupakan tempat tujuan mampir. Tuan rumah menyewakan kontrakannya kepada mereka. Untuk makan mereka harus memasak. Karena tuan rumah memiliki masalah intern keluarga. Tuan rumah yang juga sekaligus kepala desa itu memiliki lebih dari satu istri seperti di Bojong Cae. Terus apa hubungannya? Tidak ada hubungannya memang. Aku hanya menegaskan saja.

Kami menikmati warna-warni persahabatan yang menyertai perjalanan kami di Kecamatan Cibadak selama dua bulan. Seperti kubilang di awal. Dua bulan bukan waktu yang pendek untuk memulai suatu persahabatan, namun juga bukan waktu yang panjang untuk mengenali karakter secara mendalam. Tetapi aku sudah belajar banyak dari sekelumit episode itu. Aku belajar tentang bagaimana bertenggang rasa pada perbedaan. Justru itu adalah warna-warni persahabatan yang membuat hidup menjadi lebih hidup dan menyenangkan.

Dengan ini kutegaskan bahwa aku merindukan kalian. Aku masih ada disini, menunggu. Kita akan bercerita tentang indahnya warna-warni persahabatan sambil menunggu senja tiba. Ketahuilah, aku akan dengan bangga menceritakan kisah ini pada anak-anakku bahwa aku pernah mengenal kalian.

Moral: Terkadang persahabatan baru terasa indah bila kita telah berpisah jauh.