Minggu, 18 Januari 2009

USTAD KEPARAT BOJONG CAE

Namanya Dadang. Dia adalah adik satu-satunya dari kepala desa Bojong Cae yang beristri dua. Badannya tinggi dan tegap, walau dia tidak bisa menutupi perutnya yang sedikit membuncit. Kulitnya coklat matang seperti kebanyakan orang Indonesia. Matanya sendu tetapi jalang. Hidungnya tidak mancung dan tidak terlihat pesek. Usianya saat itu menjelang dua puluh tujuh tahun. Logat Sundanya terdengar kental bila berbicara.

Dadang selalu berusaha berpenampilan perlente ala orang kota. Untuk menunjukkan statusnya yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di sebuah universitas Islam negeri di kotanya. Di setiap kesempatan dia tidak pernah lepas dengan topi warna merah berlabel merek NIKE, yang aku berani bertaruh bahwa itu PALSU. Bila dia tidak sedang bertopi maka dia memilih peci sebagai penutup kepalanya. Aku tidak pernah tahu ada apa dengan kepalanya sehingga dia tidak bisa lepas dengan penutup kepala.

Tetapi tentu saja hanya dia dan orang desa yang menganggap dia perlente. Bagi kami orang kota, dia tidak ubahnya seperti pria kampung yang berlagak kota. Dia senang memadukan kaus tangan panjangnya dengan celana bahan resmi dan ikat pinggang. Lengkap dengan topi NIKE satu-satunya.

Saat mengendarai sepeda motor tuanya dia akan dengan gayanya menambah aksesoris jaket kulit imitasi lengkap dengan kacamata hitam ala tukang pijatnya. Lantas dia berlagak layaknya pengendara motor gagah yang digilai para gadis. Maklum, tidak banyak orang yang memiliki kendaraan bermotor seperti dia.

Memang benar, banyak gadis yang tergila-gila pada kumbang kampung ini. Itu pun menurut penuturan Minul dan kawan-kawan sejawatnya. Bila Dadang lewat, para gadis kampung yang sedang asyik bercengkrama serta-merta segera mengatur sikap agar terlihat anggun dan ayu sebelum menyapa lelaki itu.

“Kang, bade kemana?” Hanya segelintir gadis yang berani melontarkan pertanyaan seperti itu.

“Oh, bade ke surau”, dengan senyum simpul sang Dadang yang sengaja ditebarkan untuk menyenangkan para gadis.

Maka setelah sang Dadang berlalu dari hadapan, para gadis akan berjingkrakan senang. Tertawa senang. Dan si penanya tak henti-hentinya menceritakan peristiwa itu kepada gadis lainnya. Sambil berapi-api mendeskripsikan bagaimana rupa Dadang saat itu. Senyumnya, pakaiannya, matanya, dan lain-lain. Layaknya obrolan para gadis yang sedang menggilai seorang pemuda tampan.

Dadang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah menengah Islam di Rangkas. Tetapi aku tidak pernah tahu dan mau tahu apa mata pelajaran yang diajarkan. Dadang yang dianggap paling mumpuni di bidang agama Islam, didaulat untuk menjadi guru mengaji di Bojong Cae. Sesekali dia juga berceramah agama. Makanya orang-orang kampung menghormati dirinya. Dia adalah ustad muda kebanggaan Bojong Cae.

Awal perkenalan kami adalah pada sebuah rapat desa. Dia yang memimpin doa dan memberikan ceramah agama. Maklum sebagai adik seorang raja desa, dia memiliki aktivitas segudang. Selain mengetuai Ikatan Remaja Surau Bojong Cae. Dia juga menjadi pelindung di organisasi Karang Taruna Desa Bojong Cae. Maka tidak mengherankan bila hampir di setiap acara desa, dia selalu hadir.

Mulanya sebelum kami tahu dia adalah seorang Ustad. Kami hanya memanggilnya dengan sebutan Aa Dadang. Namun ketika kami tahu dia juga seorang Ustad, maka kami agak rikuh juga memanggil seakrab itu. Kami memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan Pak Dadang. Lagipula kemudaan usianya tidak terlihat oleh wajahnya yang kebapakan alias bertampang tua itu. Pantaslah dia dipanggil bapak oleh kami yang muda belia lagi ‘bau kencur’.

Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menyesuaikan diri dan mulai bergaul dengan Pak Dadang. Dia senang melontarkan lelucon garing yang membuat kami merasa bersalah bila tidak tertawa. Kami pun tertawa setelah sekian detik berpikir keras mencari tahu dimana letak kelucuannya. Setelah itu baru kami tertawa dengan ekspresi yang penuh kepalsuan.

Pak Dadang ini pria baik. Teramat baik malah. Kami sering sekali terbantu oleh kehadirannya. Kami pun seringkali mendapatkan kiriman makanan gratis darinya. Hal itu tentu saja menguntungkan kami. Maklum, saat itu kami masih merupakan mahasiswa kere yang sedang masa pertumbuhan. Sering merasa lapar tetapi tidak ditunjang dengan keuangan kami yang pas pasan. Maka kami dengan senang hati dan tangan terbuka menerimanya. Sebagai imbalannya, kami menjadikan dia sebagai teman bicara kami. Kami harus sukarela menemani dia mengobrol hingga larut malam. Tetapi lebih sering Abang yang menemaninya untuk berbicara.

Pak Dadang adalah penyokong utama dari setiap kegiatan kami. Bahkan ketika kami harus menembus gelapnya malam melewati hutan untuk menuju dusun terpencil di Bojong Cae. Dia dengan sukarela menyiapkan transportasi dengan mengerahkan beberapa teman yang memiliki motor untuk mengantar kami.

Tetapi entah mengapa setiap kali kami bertugas dan membutuhkan motor sebagai transportasi. Dari sekian banyak motor. Aku selalu didaulat untuk menjadi pembonceng tetap Pak Dadang. Temanku yang lain bisa berganti-ganti. Hanya aku yang selalu membonceng Pak Dadang. Namun aku yang saat itu teramat polos, menganggap itu hanya sebagai suratan takdir yang tidak disengaja. Yah sudahlah daripada aku sama sekali tidak mendapatkan tumpangan.

Pak Dadang juga memperlihatkan keanehan yang teramat sangat bila berdekatan denganku. Dia lebih senang beraku-kamu bila berbicara denganku. Dan dia berkali-kali mengingatkanku untuk memanggilnya Aa. Namun aku selalu lupa dengan memanggilnya bapak. Karena aku menaruh hormat padanya yang seorang ustad.

Sudah menjadi kebiasaanku untuk tidak memegang atau memeluk pengendara motor laki-laki yang bukan muhrim ketika dibonceng. Maka kebiasaan itu juga kuterapkan pada Pak Dadang yang menjadi tumpangan tetapku. Dia selalu mengingatkanku.

“Pegang yang erat Ris! Aku khawatir kamu terjatuh. Perjalanan kita melewati medan yang cukup sulit” Dia mengingatkanku.

Maka aku mengeratkan peganganku pada badan motor. “Oh sudah, saya sudah pegang kok”.

“Maksudku kamu bisa pegang aku bila kamu khawatir jatuh”. Dia menjelaskan lagi.

“Insya Allah tidak”. Aku menyahut.

“Yah hanya jaga-jaga saja”.

Seketika itu Pak Dadang memacu motornya dengan cepat. Dia seperti menyari-nyari jalan yang sulit untuk dilewati. Sehingga posis motor agak oleng. Aku di belakang ketakutan setengah mati, pucat pasi membayangkan bila aku harus terjatuh di bebatuan. Aku mengeratkan penganganku pada ekor motor di belakang. Tetapi percuma, tubuhku malah hampir limbung ke belakang dibuatnya. Sedangkan lelaki itu sama sekali tidak memelankan motornya.

Akhirnya aku menyerah juga. Aku mulai memegang jaketnya, seperti memegang pinggangnya. Dan sialnya lelaki itu malah semakin mencari jalan yang terjal, agar aku mempererat peganganku. Dan itu berhasil. Aku memegangnya. Sial!

Pak Dadang sering sekali mengunjungi istana kami di Bojong Cae. Sesekali waktu membawa teman seorang tokoh desa. Sering juga hanya sendiri. Dan itu dilakukan hampir setiap malam selepas Isya. Dia akan memakai pakaian yang sama yaitu baju koko berwarna biru lengkap dengan peci.

Suatu kali aku memang pernah tanpa sengaja mengungkapkan kecintaanku pada warna biru. Maka sejak saat itu, dia selalu berusaha memakai baju berwarna biru di hadapanku di setiap kesempatan. Dia juga menebarkan aroma harum minyak nyong-nyong yang menusuk hidung. Aku, Fian, Abang, Deci dan Dije sering sekali bergurau bahwa Pak Dadang bermandikan parfum.

Lelaki itu selalu berusaha mencari tahu semua kesukaanku. Dan dia akan berusaha memenuhi itu. Ketika aku berkata,

“Dingin-dingin begini enaknya makan nasi goreng panas yang super pedas”.

Maka dia akan dengan senang hati membelikannya di kota Rangkas. Tidak hanya satu, tetapi juga untuk Abang, Fian, Deci dan Dije. Semua kebagian. Ketika aku berkata,

“Panas terik sungguh nikmat bila ada air kelapa muda yang manis untuk melepas dahaga.”

Maka tanpa menunggu lama Lima butir kelapa muda akan dikirimkan ke istana kami oleh sang kurir. Atau bila dia menemani kami melakukan penyuluhan di siang hari. Dia akan menggiring kami ke kebun warisan dari orang tuannya untuk mengambilkan kelapa kopyor muda terbaik untuk kami. Dia bahkan mengupasnya untukku.

Atau bila aku gelisah menahan lapar saat kami rapat membicarakan rencana program di malam hari. Maka dia serta-merta menyuruh kurir untuk membelikan martabak telur kesukaanku. Sepanjang aku makan martabak itu dengan lahap. Matanya jalang mengamati aku.

Saat aku memergokinya, “Kenapa?”

Dia hanya berdalih, “Ah tidak apa-apa”.

Dia hampir setiap hari berkunjung ke istana kami. Terkadang aku sangat jengah untuk sekedar menyapanya. Maka hanya Abang yang menemaninya berbicara. Saat itulah lelaki itu mencari-cari alasan untuk bisa melihatku barang sekejap di dalam istana.

“Nuhun, bade ke kamar mandi?” Dia beralasan.

“Sok atuh. Silahkan masuk aja”. Abang mempersilahkan.

Pak Dadang melenggang masuk ke dalam rumah. Dia memergoki kami para gadis yang sedang menonton televisi kecil di ruang tamu. Kami beradu pandang, dan dia tersnyum salah tingkah. Aku hanya bingung dibuatnya. Dia akan memperlambat langkahnya demi untuk melihat aku. Atau aku yang kege-eran yah?

Waktu itu aku masih terlalu naif untuk bisa menebak tipu muslihat lelaki. Aku layaknya gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. Selama proses pendekatan lelaki itu yang terkesan membabi-buta dan terkesan direstui oleh seluruh tokoh desa. Aku tidak kurang pengawasan dan bantuan dari sahabat-sahabatku di Istana Bojong Cae.

Bojong Cae desa yang kecil. Tidak ada yang rahasia di desa ini. Hubungan antara aku dan Ustad keparat tersebar luas. Padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Dengan skenario yang terorganisir, aku masih saja didaulat sebagai pembonceng tetap lelaki itu. Sekeras apapun aku menolak. Aku tidak akan bisa menghindari. Karena jumlah motor terbatas. Dan selalu aku yang mendapat bagian terakhir, dan pengendara motor itu tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Dadang. Lagipula yang menyuruh aku ikut dengannya banyak termasuk tetua kampung.

Pernah suatu saat aku tertinggal jauh dari rombongan. Si ustad keparat sepertinya mengendarai motor dengan sangat pelan. Dan dia terus menerus mengajakku berbincang. Padahal aku sudah ketakutan setengah mati. Aku hanya berdua saja dengan dia di gelapnya malam. Seandainya terjadi apa-apa denganku dan aku berteriak. Tak akan ada seorang pun yang mendengarnya. Hanya ada rerimbunan pohon, suara jangkrik dan kodok. Mungkin juga derik ular. Dan parahnya saat itu aku sama sekali tidak membawa telepon genggam.

Aku komat-kamit berdoa seperti merapal mantra, “Audzubillahiminassyaitan ni rrajim. Aku berlindung dari godaan syetan yang terkutuk yang mungkin saja menyelinap di dalam raga lelaki ini”.

Hembus angin malam yang biasanya terasa menyegarkan. Kali ini terasa menusuk kalbu. Aku benar-benar menggigil ketakutan. Aku memperhatikan jalan. Berusaha mengingat-ingat bagaimana tampak jalannya ini bila siang hari. Jadi seandainya terjadi hal buruk, aku tahu kemana harus melarikan diri. Aku benar-benar tidak konsentrasi lagi pada omongan si Ustad keparat. Aku menyibukkan diri untuk berpikir keras bagaimana menyelamatkan diri.

Tiba-tiba aku melihat sesosok pengendara motor sambil berjongkok seperti membenarkan motornya. Ya Allah! Semoga itu penolongku. Ya sosok itu kian jelas. Aku rasa Ustad keparat juga melihatnya. Tunggu dulu! Bukannya itu....itu ... Abang. Yah itu abang.

Kami menghampiri abang. Ustad keparat itu berbasa-basi menanyakan gerangan apa yang membuat Abang berhenti di tengah jalan.

“Oh tahu nih tiba-tiba mogok”. Abang menjawab. Maka ustad keparat menghentikan motornya dan menghampirinya.Agak lama juga kami berhenti. Sampai akhirnya motor yang abang tumpangi kembali berfungsi. Ustad keparat kembali ke motornya. Sebenarnya aku ingin ikut abang, tetapi motor abang tidak bisa dibonceng. Maka aku terpaksa duduk lagi di belakang ustad keparat.

Saat Ustad keparat mempersilahkan abang untuk melajukan motornya dahulu. Abang dengan basa-basi malah mempersilahkan kami untuk lewat dahulu. Abang ingin memastikan motornya baik-baik saja. Maka dengan berat hati Ustad keparat melajukan kendaraannya. Saat kami sudah berjalan. Baru abang mengikuti kami dari belakang.

Belakangan aku baru tahu, bahwa itu adalah tipu muslihat abang. Abang tiba-tiba menyadari motor yang ditumpangi aku dan si usatad keparat tertinggal jauh dari rombongan. Abang merasa khawatir dengan keselamatan dan kehormatanku makanya dia melambatkan motor dan berhenti. Berpura-pura motornya mogok tak lain agar dia bisa mengawasiku dari belakang. Kejadian itu benar-benar tak pernah lekang dari ingatanku. Sosok abang yang sering membuatku menangis ternyata telah menyelamatkanku.

Suatu kali ada nomer telepon masuk ke telepon genggamku. Nomer yang sama sekali tidak aku kenal. Aku pun mengangkatnya.

“Assalamualaikum”, suara lelaki di ujung sana.

“waalaikumsalam”,Jawabku ragu-ragu.

“Risma?”

“Iya saya sendiri. Ini siapa ya?”

“Aduh masak lupa yah. Ini teh Dadang”.

Otakku bekerja berusa keras mengingat siapakah Dadang. Dan sekian detik kemudian sosok Pak Dadang melintas di mataku. Ustad keparat? Hah! Bagaimana mungkin dia mengetahui nomer teleponku. Padahal aku sama sekali tidak pernah mengumbar nomer teleponku kepada siapapun di desa ini. Kecuali........Oh ya kecuali pada awal pencatatan daftar tamu lapor waktu pertama kali kami tiba di desa ini. Yah...Itu dia. Sial! Kalau tahu begitu, aku tidak akan menulis nomer yang benar.

“Oh iya...........Pak Dadang. Ada apa yah?” Aku dengan hormat.

“Oh nggak, Cuma tanya kabar saja. Apa kabar Risma?”

“Baik. Alhamdulillah”. Singkatku tanpa berminat untuk menanya balik.

“Oh ya katanya mau naik sampan di Kali Ciujung. Jadi nggak?”

Kali Ciujung? Apalagi ini? Oh ya aku ingat. Tempo hari saat kami melakukan kunjungan desa di Kali Ciujung untuk melihat proses penambangan pasir dan batu Kali Ciujung. Kami sempat berfoto-foto di Kali Ciujung. Kami melihat sampan-sampan dan perahu yang agak besar berseliweran di sekitar kali Ciujung. Aku sempat berujar dengan noraknya,

“Ih pasti seru kalau kita naik perahu itu. Terus kita berfoto ria”. Namun saat itu aku juga tahu bahwa itu mustahil dilakukan karena tidak ada perahu yang bersandar.

“Naik perahu. Wuah seru tuh. Serius?” Aku menimpali Pak Dadang.

“Tentu saja serius. Kapan sih aku main-main dengan kamu”.

“Oh ya, kapan?” Aku antusias.

“Hari ini”.

“Loh ini kan sudah sore?”

“Iya, kan memang perahunya bersandar setelah jam 5 sore”.

“Sama yang lain kan. Maksudku sama Abang, Fian, Deci dan Dije?”

“Oh nggak, sama kamu saja. Sampannya kecil soalnya. Takut nggak muat”. Jawab lelaki itu dnegan diplomatis. Aku malah semakin curiga. Saat itu aku dan penghuni Istana Bojong Cae sedang berkumpul di ruang tamu. Aku memberi isyarat kepada mereka bahwa yang menelpon adalah Pak Dadang. Maka aku serta-merta menyalakan fungsi loadspeaker di telepon genggamku. Agar mereka juga ikut mendengarkan.

“Terus berangkatnya kapan?”

“Nanti jam 6”.

“Loh kok maghrib-maghrib kesananya. Terus sholatnya bagaimana?”

“Iya itu nanti gampang”.

Saat itu musnahlah rasa hormat dalam hatiku untuk lelaki itu. Seorang Ustad dari Bojong Cae. Ustad macam apa yang mengajak seorang perempuan bukan muhrim untuk berjalan bersama menikmati pemandangan Kali Ciujung saat maghrib hanya berdua saja?

Aku membayangkan bagaimana otak lelaki itu bekerja. Bagaimana pikiran kotor lelaki itu yang sudah merencanakan sebuah kencan romantis menaiki sampan melintasi Kali Ciujung sambil menikmati indahnya malam. Serasa naik gondola di tengah kota Venezia. Atau malah dia sedang membayangkan adegan romantis Leonardo Decaprio dan Kate Winslet di kapal Titanic. Aku akan merentangkan tangan sambil berdiri di ujung kapal dan menghirup udara segar malam hari, melepas segenap ketegangan yang membuncah. Kemudian dia menghampiri aku bak Leonardo Decaprio, dan memegang tanganku. Kemudian kami berdua ikut menikmati deru ombak Kali Ciujung dengan debar jantung dua orang pencinta yang membara. Huek!!! Please deh.

“Maaf saya tidak tertarik dengan tawaran anda. Lagipula, saya tidak terbiasa keluar maghrib. Apalagi dengan lelaki yang bukan muhrim. Saya harus sholat dan mengaji”. Aku pun menutup telepon dengan marah.

Lelaki itu masih berusaha meneleponku. Namun aku segera menonaktifkan telepon genggamku. Aku benci lelaki itu. Dia menganggapku layaknya perempuan murahan yang mudah terpikat dengan segenap kebaikannya. Mungkin dipikirnya keramah-tamahanku selama ini adalah tanda aku suka padanya. Padahal sekali pun tidak terbersit pikiran suka, simpati apalagi Naudzubillahiminzalik untuk suka pada lelaki itu.

Kami hanya berbasa-basi untuk sekedar beramah –tamah.Toh kami hanya tamu. Kami memang sudah diwanti-wanti untuk bisa bergaul dengan baik dengan orang kampung, terutama dengan tokoh kalau kita tidak mau diusir sebelum masa KKN berakhir. Namun setelah suatu kali si Ustad keparat benar-benar menyatakan cintanya di suatu malam selepas pertemuan. Aku benar-benar menarik diri sejauh mungkin.

Kami di Istana Bojong Cae seringkali membincangkan masalah. Sebelumnya abang sempat mempertanyaan perasaanku pada si Ustad keparat. Hanya untuk memastikan bahwa cinta si Ustad keparat tidak bersambut olehku.

“Demi Allah. Tidak terbersit sedikitpun perasaan tertarik dengan si Ustad keparat itu!” Aku dengan penuh ketegasan.

“Aku hanya perlu kepastian saja. Habis kulihat kau terlalu lemah. Kupikir kau juga terpikat.” Abang naik pitam.

Setelah dia tahu apa perasaanku. Maka kami semalaman membahas skenario apa yang harus dilakukan untuk menghindarkan aku dari perangkap Ustad Keparat. Maka kami mengambil keputusan untuk membuat skenario bahwa aku tengah bertunangan dengan Dicky Pasaribu, seorang teman kami yang bertugas di Desa Kadu Agung Barat. Mengapa Dicky? Yah karena Dicky pandai bersandiwara, lagipula Dicky dan aku sama-sama tidak terikat dengan hubungan percintaan dengan siapapun. Jadi kami bisa lebih menjiwai sandiwara.

Maka kami pun segera mengkomunikasikan dengan Dicky dan rekan-rekan lain di desa lain. Kami pun sepakat mensukseskan sandiwara itu. Dicky selalu datang di acara penyuluhan kami. Dan kami bersandiwara layaknya sepasang kekasih. Dan aku memproklamirkan dengan terang-terangan bahwa Dicky tunanganku, juga kepada Ustad keparat itu. Hahahha................si Ustad mulai menjauh dan lari tunggang langgang.

Salah satu program KKN kami adalah menyediakan taman bacaan di surau. Nah aku salah satu penyumbang buku terbanyak. Sebagian besar bukuku di waktu SD memiliki label nama dan alamatku. Walau aku sudah tidak tinggal di alamat rumah itu lagi, namun orang-orang masih mengenalku.

Suatu kali surat dari Ustad keparat itu benar-benar sampai ketanganku. Ketua RT dari lingkungan rumah masa kecilku mengantarkan ke rumah baruku. Aku ketakutan setengah mati bila, ustad keparat benar-benar menghampiriku. Telepon-telponnya masih sering mampir. Walau aku sering tidak mengangkatnya. Dia memakai nomer yang berganti-ganti. Hingga aku memutuskan untuk mengganti nomer telepon genggamku. Agar cerita itu musnah sampai disitu.

Moral: Dont judge book from its cover!

Minggu, 04 Januari 2009

WARNA-WARNI PERSAHABATAN

Dua bulan bukan waktu yang sebentar untuk memulai sebuah persahabatan. Juga bukanlah waktu yang lama untuk bisa mengenal pribadi seseorang. Sepanjang dua bulan masa KKN. Kami mendapatkan banyak sekali hikmah tentang arti persahabatan yang sejati. Setidaknya kami telah belajar banyak untuk bertoleransi pada segala bentuk perbedaan.

Salah seorang rekan kami di Kadu Agung Barat bernama Lala. Dia satu desa dengan Irma, Dicky, Wulan dan Yopi. Walau kami berbeda desa. Tetapi kami sering bertemu, dalam pertemuan rutin tim KKN di Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak. Maka beberapa kali kami terlibat perbincangan. Sekadar berbasa-basi ala teman.

Lala adalah teman kami yang misterius. Entah di sengaja atau tidak. Dia seperti menarik diri dari pergaulan sesama kami. Kalau kami perempuan seringkali bercanda dengan ceria. Maka Lala memilih untuk duduk menyendiri di pojok. Padahal kami sudah berusaha keras mengajaknya tertawa dan berbincang bersama. Tetapi sepertinya dia masih merasa tidak nyaman dengan kami.

Perkenalanku dengannya bermula ketika bus yang mengantar kami tiba di Kecamatan Cibadak. Kami terdampar agak lama di sebuah surau kecil. Ketika kami semua menunaikan shalat, maka Lala hanya terdiam di pojok ruang. Kupikir itu mungkin persoalan bulanan perempuan yang tidak perlu lagi dipertanyakan. Toh Lala adalah seorang muslimah berjilbab.

Ketika kami sesama anggota KKN saling bercengkerama dan berkenalan satu sama lain. Maka Lala memilih untuk duduk di tepian. Aku mendekatinya demi mencari tahu apakah gerangan yang terjadi. Lala terlalu asyik menekuni buku catatan kecilnya, menulis-nulis sesuatu hingga ia tak menyadari aku mendekatinya. Aku mencuri lihat. Aku bisa melihat jelas bahwa Lala sedang merinci rupiah demi rupiah yang sudah dikeluarkannya hari itu. Rapih sekali seakan tidak ada yang tertinggal. Karena pembelian permen pun di catat dengan sangat teliti.

”Lala, sedang apa?” Tanyaku basa-basi.

”Oh...eh........... bukan apa-apa,” Lala terlihat gugup, segera menutup buku catatannya dan menyembunyikannya di tas tangannya. Kemudian dia memberikan senyumannya padaku. Dia memainkan pulpen di tangannya demi untuk menutupi rasa groginya yang berloncatan di dadanya. Aku pun memberi senyuman yang tak kalah indah untuk menentramkan hatinya. Sekedar memberi bukti bahwa aku tidak sedang menginterogasi. Aku hanya ingin membuka wacana sebuah persahabatan.

Saat itu aku masih memegang mukena. Maka dengan nada basa-basi juga aku menyodorkan mukena itu kepadanya sambil tersenyum.

”Mau pinjam?”

Lala hanya menggeleng pelan dan melemparkan senyum ke arahku. Maka aku membalas senyumnya dengan mafhum. Mungkin benar dugaanku bahwa itu adalah persoalan bulanan perempuan. Aku pun segera memasukkan mukenaku ke dalam tas. Bukannya berlalu aku malah duduk di sampingnya. Aku tergelitik untuk menanyakan sebuah pertanyan bodoh.

”Lagi halangan yah?” Aku malu-malu. Lala yang ditanya hany atersenyum. Beberapa detik kemudian baru dia menjawab.

”Tidak kok.......” Setelah itu dia berusaha untuk mengalihkan pandangan ke arah lain. Suasana jadi semakin tidak enak. Aku pun segera mungkin mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih netral. Seperti mengomentari teman-teman kami yang sedang bertingkah lucu. Mengomentari orang-orang desa yang melihat ke arah kami, dan hal-hal lain yang remeh tetapi cukup bisa mencairkan suasana. Itu pengalaman pertamaku berinteraksi dengan Lala.

Aku berusaha mencari tahu keanehan yang terjadi pada Lala pada teman sedesanya. Terutama Irma dan Wulan, mereka pasti tinggal satu kamar. Sudah barang tentu mereka saling bercakap-cakap tentang apa saja. Tetapi percuma, Irma dan Wulan juga tidak pernah terlibat percakapan yang pribadi layaknya para gadis bergosip. Lala pendiam sekali. Namun di balik diamnya dia menyimpan sebuah misteri, rahasia hidupnya yang ingin ditutupinya. Ternyata Lala juga tidak terbuka dengan Irma dan Wulan. Namun dari percakapanku dengan Irma dan Wulan aku sedikit banyak bisa menilai Lala.

Menurut penuturan Irma, di awal kedatangan mereka di Desa Kadu Agung Barat. Lala baru menyadari bahwa Ia tidak membawa jilbab instan yang praktis. Sudah barang tentu Irma dan Wulan dengan senang hati menawarkan jilbabnya. Namun Lala menolaknya dengan serta-merta. Dia lebih memilih mengenakan mukena panjangnya sebagai jilbab daripada meminjam.

Tidak hanya itu, keesokan harinya Lala meminta izin untuk tidak menginap di case camp. Sepanjang dua bulan, Lala akan menginap di rumah saudaranya yang tinggal di pinggiran Kota Rangkas. Padahal jaraknya hampir dua jam perjalanan. Namun itu akan dilakoninya selama KKN. Anehnya selama itu, kami tidak pernah melihat Lala shalat. Ketika hal itu kami tanyakan kepada Lala. Dia hanya menjawab singkat,

”Aku menggabungnya dalam satu waktu di malam hari saat aku tiba di rumah saudaraku.”

Beberapa kali kami terlibat perbincangan dengan sedikit bumbu perdebatan perihal keanehannya. Kami juga sedikit menginterogasi Lala. Maka terungkaplah bahwa menurut keyakinan Lala, dalam menunaikan shalat juga ada aturan. Adalah najis bila melaksanakan sholat di tempat orang yang tidak segolongan. Di dalam keyakinan Lala, jarak antara tempat wudhu dan sajadah shalat harus sedekat mungkin. Dan harus berada di lingkungan suci kaumnya.

Lala dan kaumnya memiliki masjid khusus di setiap daerah untuk memudahkan jamaatnya menunaikan shalat. Tidak ada pinjam meminjam alat-alat shalat atau apapun juga yang berhubungan dengan peribadatan antara golongan Lala dan orang di luar golongan. Bahkan bila ada yang tak sengaja meminjam, menyentuh, apalagi menggunakan barang-barang pribadi golongan Lala, padahal mereka tidak seideologi. Lala dan golongannya akan segera mungkin mencuci dan membersihkannya agar tidak bernajis.

”Oh jadi kita ini najis, begitu?” Ujar Deci bernada sewot suatu kali saat kami membincangkannya.

”Yah dia kan juga korban dari sebuah sistem. Bila satu keluarga penganut kepercayaan tersebut, maka Lala hanya akan jadi pengikut. Tak bisa sepenuhnya disalahkan. Lala menjadi seperti itu karena dia terbelenggu dalam suatu paham yang tidak sepenuhnya dimengerti.” Aku memberikan pledoi pembelaan.

”Iya, suatu kali kami telah berdebat berdasarkan Al Quran dan Hadits, dan dia sama sekali tidak mengerti landasan dalilnya.” Irma ikut memberikan pendapat.

”Kasihan juga dia ya”, Ari teman kami dari Bojong Leules ikut berbicara.

”Tidak punya teman”, Lilis dari Desa Cibadak berempati.

”Yah sudah sepantasnyalah dia demikian tidak ditemani, lah wong kita ini dianggap barang najis sejenis anjing.” Deci masih saja berapi-api.

”Dia sendiri yang membuat jarak”, Dije.

”Iya benar. Aku ingat suatu kali kelompok kami diundang makan bersama di saung selepas penyuluhan. Kami makan bersama dengan sesepuh desa dan beberapa penyuluh pertanian. Saat makanan tersaji, Lala malah memilih memakan biskuit yang dibawa dari rumah. Dengan alasan tidak lapar.” Wulan membenarkan.

Di desa-desa terpencil di Kabupaten Lebak, Kami memang memiliki kegiatan makan bersama untuk menghormati tamu. Tradisi makan ini cukup unik. Karena makanan tidak terhidang di atas piring, tetapi di hamparkan di atas daun pisang yang lebar. Nasi dan lauk pauk menjadi satu plus sambal terasi. Kemudian setelah dipersilahkan dan berdoa kami makan bersama dengan tangan. Tidak ada rasa jijik dan malu-malu semua bercampur tidak kenal kasta dan status, makan dalam satu daun pisang dengan nikmat. Adalah merupakan suatu penghinaan, bila tamu menolak makanan yang dihidangkan oleh tuan rumah. Dan tindakan Lala yang menolak untuk makan bersama adalah sungguh menyakitkan.

Namun Yopi sang koordinator kecamatan, bisa dengan bijak memberikan alibi untuk menutupi kesalahan Lala. Sekaligus untuk menghindari prasangka buruk yang berlebihan kepada tim mereka.

”Oh................si Lala ini ada gangguan dengan pencernaan. Jadi sejam sebelum makan harus diisi dengan biskuit. Mohon maaf bila menyinggung.” Yopi berdiplomasi.

Lala terkucilkan. Namun Lala tidak pernah merasa terganggu. Lala sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Di setiap kelas yang diikutinya Lala memang selalu terkucil. Dia selalu mengambil tempat di pojok ruangan yang jauh dari kerumunan mahasiswa. Agar dia tak perlu berinteraksi dengan mahasiswa lainnya. Tatapan aneh dari orang di sekelilingnya adalah santapan sehari-harinya.

Sepanjang KKN aku dan beberapa perempuan masih dengan sabar berusaha mendekati hatinya. Berusaha menjadi tukang cerita yang baik saat dia membisu. Begitu pun berusaha menjadi pendengar setia ketika dia berbicara. Dan berusaha untuk mafhum atas semua hal aneh yang dilakukannya. Berusaha untuk tidak bertanya dan menganggapnya sebuah kebiasaan. Meniadakan keanehan yang ada pada dirinya, menganggap dia tak berbeda dengan diriku dan teman-teman lainnya untuk memberikan rasa nyaman pada dirinya. Agar tidak merasa terasing.

Sepertinya kami berhasil. Di akhir perpisahan kami kaum perempuan makan cilok dalam tempat yang sama. Aku, dia dan beberapa gadis. Dia tidak merasa jengah, begitu pun aku. Walau sejenak dia sempat ragu kan apa yang dilakukannya. Namun dia mengabaikannya. Kami menikmati santapan lezat cilok atau sejenis somay dalam satu wadah dengan suka cita. Yah........kami benar-benar berhasil menerjang dan meniadakan perbedaan yang mengungkung. Sampai detik ini aku masih mengingat sosok Lala. Bila ada yang tahu keberadaan Lala, gadis yang terasing di Fakultas Ekonomi Manajemen. Katakan padanya aku merindukannya.

Aku sudah mengenal Yopi sejak lama. Kami terlibat banyak sekali kerjasama dalam kelompok-kelompok tugas yang secara tidak sengaja terbentuk. Maka aku sudah mengenalnya sebagai pribadi yang penuh welas asih dan bijak, namun tetap menyimpan ketegasan seorang pemimpin. Sepanjang ingatanku, dia memang hampir selalu menjadi pimpinan proyek dan tim kami di setiap kesempatan.

Kenangan saat kami melaksanakan tugas membuat laporan tentang pertanian di daerah Sukabumi untuk mata kuliah Dasgron. Yopi menjadi mengepalai aku, Widi, Irma, Ari, Afif, Anita dan siapa lagi aku lupa. Mungkin lain kali akan aku ceritakan juga episode ini. Yopi mampu memnggiring kami dengan baik. Aku juga ingat, setelah draft kotor selesai dibuat. Aku yang merangkainya menjadi kata-kata yang indah dalam laporan sebanyak lebih dari tigapuluh halaman. Dan itu adalah rekor laporan terpanjang seluruh kelas Dasgron. Aku meramunya dengan kata-kata bunga-berbunga bak pujangga. Hal yang paling menggelikan adalah Aku menuliskan kata-kata ’dua batang kara’ untuk mendeskripsikan sepasang suami istri petani yang hanya tinggal berdua di gubuknya. Bodoh! Rupanya sedari dulu, aku sudah pandai merangkai kata.

Yopi lelaki baik hati. Sekali pun aku tidak pernah melihat dia marah. Walau pun kami telah membut kesalahan yang teramat fatal. Dia hanya tersenyum dan segera mencari solusi untuk memperbaikinya. Dia juga lihai dalam berdiplomasi kepada bapak-bapak. Makanya dia selalu ditunjuk menjadi ketua. Tanpa harus menunggu konfrensi yang menjemukan. Bila dia jadi ketuanya, dijamin semuanya beres dan teratasi dengan baik.

Dicky adalah salah seorang dari teman lelaki terdekat. Dia hampir selalu ada dalam episode hidupku. Aku memang selalu merasa nyaman berbicara dan berada di dekatnya. Walau dia berasal dari daerah yang sama dengan abang. Namun dia memiliki tabiat yang sama sekali berbeda dengan abang. Walau logat Bataknya terdengar kental. Namun tutur katanya lembut. Tak pernah sekali pun kulihat dia marah atau berbicara keras. Bicaranya lembut dan menyenangkan. Dia bisa menjadi pendengar terbaik. Bila aku bercerita padanya, maka dengan sabar matanya akan mengamati aku penuh rasa ingin tahu. Membuat aku yang bercerita menjadi semakin bersemangat.

Beberapa kali aku meminta pertolongan kepadanya. Dan beberapa kali itu pula ia mengabulkannya permintaanku tanpa banyak komentar. Dari berpura-pura menjadi tunanganku untuk mengelabui si ustad keparat dari Bojong Cae yang tergila-gila kepada diriku, bahkan hingga menemani aku menemui sang duta besar Pakistan. Dia partner setiaku. Aku menyebut-nyebutnya dengan penuh hormat dan penghargaan namanya dalam novel perdanaku sebagai penyelamat.

Tidak banyak orang yang mau dan punya cukup nyali untuk menemani seorang teman menemui petinggi negara asing untuk urusan apa pun. Mungkin pula mereka akan mundur teratur sedetik setelah aku minta dengan banyak alasan. Tidak lancar berbahasa Inggris lah, bingung harus memakai baju apa lah, tidak cukup percaya diri lah, dan lain-lain. Maka si Dicky ini adalah lelaki yang memiliki cukup nyali besar untuk menolong siapa pun tanpa pamrih. Dia adalah teman yang teramat menyenangkan hati.

Begitu hebatnya aku mengelu-elukan namanya di antara Saiful Malook dan nama-nama lain di novelku, membuat banyak pembacaku yang mempertanyakan kedekatanku dengan Dicky. Bahkan ketika akhirnya tersiar kabar aku telah melepas masa lajang. Maka berbondong-bondong email masuk mempertanyakan apakah Dicky yang telah menggantikan tempat seorang Saiful Malook yang malang. Aku tersenyum simpul. Dan di balon-balon imajinasiku bermunculan nama Dicky. Kupikir Dicky adalah tipikal pria idaman bagiku. Hanya saja takdir berkata lain.

Sedang Wulan, dia adalah sosok gadis yang baik dan sederhana. Satu yang kuingat dari dia adalah sorot matanya yang tajam setajam mata Najwa Shihab presenter Metro TV. Dia cantik dan agak kearaban. Sekali aku pernah menanyakan tentang asal muasalnya, apakah dia memiliki darah Arab. Maka dia menjawab tegas bahwa dia sama sekali bukan Arab dan tak memiliki darah Arab selain dari garis Nabi Adam. Dia Indonesia tulen dan berdarah Jawa.

Namun dia sempat memberikan asal muasal yang terdengar cukup aneh perihal tempat lahirnya yang di Saudi Arabia. Maka mungkin udara Saudi Arabia yang pertama kali menerpa wajahnya membuatnya memiliki kemiripan dengan gadis keturunan Arab.

Semenjak kami berpisah hampir enam tahun lalu, kami tidak pernah bertemu kembali. Kami berpisah tepat saat KKN berakhir. Sekali waktu aku pernah melepas rindu dengan mengiriminya SMS beberapa bulan lalu, hanya untuk menanyakan kabar berita. Wulan masih seperti yang dulu. Hanya saja dia kini ibu muda beranak satu dari seorang suami yang berpangkat tinggi di angkatan laut. Dia memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, meninggalkan karir untuk selamanya.

Irma adalah salah satu dari sahabatku yang masih akrab hingga detik ini. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Irma adalah melankolik sejati yang terkadang merepotkan orang-orang sanguinis yang ingin bebas dan tak ingin terkungkung seperti aku. Ritual merayu dan mengajaknya pergi ke suatu tempat adalah ritual menggelikan yang memerlukan tahap wawancara menjemukan. Kapan? Dimana? Untuk apa? Dengan Siapa? Dan lain-lain.

Di antara sahabat-sahabatku, dia adalah yang terpintar dengan nilai IPK tertinggi di antara kami. Dia juga yang dulu serta merta menghujat kelakuan bank-bnk konvensional sekaligus bersumpah-sumpah untuk bekerja di bank tersebut. Maka kini dia mengingkarinya. Irma menghabiskan lebih dari tiga tahun menjadi kuli di Citibank. Bank konvensional yang nyata-nyata pioner dari segala bank konvensional. Praktek-praktek kredit yang melibatkan riba dalam jumlah besar adalah jenis usahanya. Irma benar-benar termakan sumpah serapahnya sendiri.

Sumiyati sejatinya adalah salah seorang teman dekatku semenjak di bangku kuliah. Hanya saja kemudian kesibukannya menjalani sebuah lembaga pernikahan mengaburkan persahabatan kami. Selama bertugas di Bojong Leules pun dia hampir sering sekali mangkir dari tempat tugas. Namun kemudian anggota tim yang lain beramai-ramai memakluminya. Entah apa karena Sumi sudah berumah tangga atau karena Sumi menyogok teman-teman dengan makanan-makanan enak yang tergolong langka di desa sepulangnya dari Rumah.

Ketika aku melarikan diri dari Bojong Cae, kepada Sumilah aku berlindung dan berpelesiran tak tentu arah di Serang. Sumi memang hampir selalu ada untuk tempatku berkeluh kesah. Namun aku hampir tidak pernah ada untuknya ketika dia kesulitan. Ketika saat ini dia mencalonkan diri menjadi Caleg. Maka aku sungguh tak punya waktu bahkan sekedar untuk mendukung ide gilanya. Padahal dia selalu menjadi pendukung nomor satu ide gilaku di masa lampau.

Ariyanah juga merupakan salah satu dari sahabatku. Dia adalah pribadi yang menyenangkan. Beberapa tahun yang lalu dia adalah sosok yang sedikit maskulin. Dan tidak begitu menyukai hal-hal yang berbau wanita. Namun kini dia telah berubah seratus delapan puluh derajat lebih dewasa dan matang sebagai wanita dewasa. Ari tidak lagi berpenampilan ala akhwat yang maskulin.

Aku agak lupa beberapa teman di Bojong Leules. Bukan karena mereka tertendang dari hatiku. Demi Allah aku hanya lupa sedikit. Aku hanya ingat Sumiyati dan Ariyanah.

Sedang tim di desa Cibadak aku mengenal hampir semuanya. Mereka adalah Lilis, Ane, Jusmarwan dan Ofan. Dulu aku sempat berfikir Lilis agak menyukai Ofan yang bertampang lumayan bagus. Kakak kelas yang tertinggal jauh dari teman-teman seangkatannya. Karena Lilis selalu bertindak kemayu dan manis di hadapannya. Oh tidak, Lilis memang selalu tampak manis di hadapan semua orang. Hanya saja Lilis suka malu-malu kucing bila kami meledek perihal kedekatannya.

Aku juga sempat berasumsi, Jusmarwan itu menyukai Lilis. Gelagatnya memang terlihat mencurigakan sebagai layaknya orang yang sedang kasmaran. Dia selalu bertindak layaknya lelaki sejati di hadapan perempuan. Tetapi Jusmarwan memang terkesan terlalu over acting di hadapan kami. Lagaknya seperti orang yang sangat serius dan bertanggung jawab akan proyek-proyek KKN-nya. Dia selalu membuat kami iri hati dengan keluwesannya membuat rencana proyek yang sedikit bombastis Ketika Jusmarwan sudah memulai membuat papan nama jalan, kami masih kebingungan menentukan arah proyek besar kami.

Ofan hampir tidak pernah berada di lokasi. Dia selalu menghilang tanpa jejak. Kegiatan proyek lebih sering diatasi oleh Jusmawran, Lilis dan Aneh. Mungkin mereka juga tidak enak hati untuk menegur kakak kelas yang usianya jauh di atas mereka. Namun justru kegiatan mereka berjalan dengan baik tak kurang suatu apapun walau tanpa Ofan.

Ane itu adalah pribadi yang sedikit biasa dan tak menonjol kala itu. Dia hanya menampakkan keluwesannya dalam bergaul. Aku dan dia seringkali terlibat pembicaraan yang penuh tawa. Karena pada dasarnya dia anak yang baik. Dia bisa menjadi pendengar yang baik. Makanya Lilis dan Ane adalah sejoli. Lilis seorang yang agak ekspresionis dan selalu butuh teman bicara, sedangkan Ane selalu siap sedia mendengarkan.

Sepanjang ingatanku. Ane memiliki orang tua yang teramat memperhatikannya. Suatu ketika Ane terserang penyakit parah. Kalau tidak salah magnya kambuh atau malah dia sedang PMS. Maka keesokan harinya orang tua Ane langsung meluncur ke lokasi. Apa Ane itu anak tunggal yah? Atau setidaknya anak perempuan satu-satunya yang menjadi kesayangan.

Kami paling senang berkunjung ke Desa Kadu Agung Barat. Bila kami berkunjung disana, dijamin kami akan mendapatkan jamuan makan yang teramat enak. Maklum tuan rumah mereka adalah kepala desa Kadu Agung Barat. Dan kebetulan mereka termasuk keluarga kaya yang terpandang. Mereka memperlakukan anak-anak KKN layaknya anak mereka sendiri. Maklum anak mereka sesungguhnya telah terpencar-pencar diberbagai daerah. Daging dan ayam adalah makanan yang teramat biasa di Kadu Agung Barat. Hebatnya tuan rumah tidak membebankan biaya apa pun kepada mereka.

Lain lagi bila di Desa Cibadak. Tuan rumah memberlakukan tarif kos all in termasuk makan untuk anak-anak KKN. Nyaman memang. Mereka tak perlu lagi memikirkan makan. Bahkan tuan rumah juga menyediakan cemilan di pagi hari seperti arem-arem. Gorengan dan aneka kueh jajan pasar lainnya. Dan itu benar-benar buatan tangan. Aku paling suka arem-aremnya. Maka bila kami berkunjung ke desa itu, aku kan menyerbu arem-arem terlebih dahulu. Kami selalu menyempatkan diri untuk mampir sepulang dari Kota Rangkas.

Sedang Bojong Leules benar-benar bukan merupakan tempat tujuan mampir. Tuan rumah menyewakan kontrakannya kepada mereka. Untuk makan mereka harus memasak. Karena tuan rumah memiliki masalah intern keluarga. Tuan rumah yang juga sekaligus kepala desa itu memiliki lebih dari satu istri seperti di Bojong Cae. Terus apa hubungannya? Tidak ada hubungannya memang. Aku hanya menegaskan saja.

Kami menikmati warna-warni persahabatan yang menyertai perjalanan kami di Kecamatan Cibadak selama dua bulan. Seperti kubilang di awal. Dua bulan bukan waktu yang pendek untuk memulai suatu persahabatan, namun juga bukan waktu yang panjang untuk mengenali karakter secara mendalam. Tetapi aku sudah belajar banyak dari sekelumit episode itu. Aku belajar tentang bagaimana bertenggang rasa pada perbedaan. Justru itu adalah warna-warni persahabatan yang membuat hidup menjadi lebih hidup dan menyenangkan.

Dengan ini kutegaskan bahwa aku merindukan kalian. Aku masih ada disini, menunggu. Kita akan bercerita tentang indahnya warna-warni persahabatan sambil menunggu senja tiba. Ketahuilah, aku akan dengan bangga menceritakan kisah ini pada anak-anakku bahwa aku pernah mengenal kalian.

Moral: Terkadang persahabatan baru terasa indah bila kita telah berpisah jauh.

IBU RUMAH TANGGA

Istana Bojong Cae adalah pengalaman berumah tanggaku yang pertama. Di situ aku belajar banyak tentang hidup berkeluarga. Saling berbagi dan bertanggung jawab agar kelangsungan hidup antara sekelompok orang dengan isi kepala yang berbeda dapat terjalin dengan harmonis. Belajar memahami karakter orang lain dan menekan ego sendiri agar tidak terjadi konflik. Belajar untuk menerima pendapat, kelebihan dan kekurangan orang lain.

Walau kami hanya berkeluarga selama dua bulan. Tetapi kami memiliki pembagian tugas rumah tangga yang jelas. Siapa pun itu tidak ada yang boleh menghindarinya. Karena itu kesepakatan dari kami yang telah didiskusikan bersama. Siapa yang bertugas mengepel, menyapu, memasak, berbelanja, memotong rumput, membersihkan kamar mandi dan lain sebagainya. Bahkan kami pun harus membagi tugas, giliran mencuci. Karena kami tidak memiliki cukup banyak ruang kosong untuk menjemur pakaian. Maksudku ruang yang cukup mendapatkan sinar matahari langsung untuk tali jemuran kami. Sebenarnya ruang kosong di dapur kotor cukup luas. Namun akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk mengeringkan pakaian. Makanya itu tidak menjadi tempat favorit untuk menjemur. Tempat itu hanya digunakan bila jatah menjemur kami sudah habis sedangkan pakaian masih belum kering benar.

Terkadang kami perempuan tidak sabar juga menunggu dua lelaki itu bangun dari tidurnya. Kami seringkali mengambil alih tugas harian para lelaki untuk membersihkan rumah di pagi hari. Tentu saja tidak dengan hati ikhlas. Tetapi dengan mulut yang terus berkomat-komat merutuk kelakuan abang dan Fian. Ketika akhirnya mereka terbangun, dan kami mengeluh dengan nada sedikit mengomel. Maka mereka hanya berkomentar pendek yang menyebalkan.

”Loh salah sendiri, seharusnya kalian tunggu kami bangun dari tidur. Itu kan tanggung jawab kami”.

”Tapi kan?” Ah lelah sekali berdebat dengan kaum lelaki. Makanya kami seringkali harus memaksa diri untuk mafhum demi ketentraman. Toh di siang hari, merka cukup banyak membantu kami. Bahkan mereka dengan senang hati berbelanja kebutuhan pokok di warung apabila kami menyuruhnya.

Ternyata abang dan Fian juga mahir memasang sumbu kompor minyak tanah. Kami perempuan hanya tinggal memakainya. Dije memiliki tugas tetap memasak nasi. Karena hanya dia yang mahir memasak nasi dengan menggunakan ketel.

Ketel itu sejenis panci yang terbuat dari besi tebal semacam baja. Cara memasak nasinya hampir serupa dengan memasak nasi di dalam rice cooker. Cukup memasukkan beras dan air kedalam ketel, masak dengan api sedang. Setelah airnya agak tiris baru, apinya dikecilkan hingga nasi matang. Hasil nasinya memang agak lembek. Tetapi kelebihannya, memasak di ketel ini anda akan mendapatkan bonus berupa kerak nasi. Setelah nasi matang dan dipindahkan ke tempat nasi hidang. Kami biasanya berebutan menyantap kerak nasi panas yang gurih dan renyah itu. Rasanya nikmat sekali. Beberapa kali aku membuatnya, dan sebanyak itu pula gagal. Nasi berubah menjadi gosong yang sesungguhnya. Bahkan rasa nasi berubah seperti bau gosong.

Kalau aku yang terpaksa harus disuruh memasak nasi. Aku akan memilih memasak nasi dua langkah. Setelah air dalam ketel mulai habis, segera mungkin dipindahkan dalam panci kukus yang airnya sudah mendidih. Baru ditanak hingga matang. Aman walau pun repot.

Di antara kami berlima hanya aku yang tidak pernah meninggalkan rumah untuk kos. Jadi aku adalah anak rumahan tulen. Tentu saja tipikal anak rumahan agak lebih rajin dibandingkan anak kos. Paling tidak aku juara bangun pagi. Karena di rumahku semenjak, aku dan adik-adikku cukup besar kami sudah tidak memiliki pembantu. Aku terbiasa bangun pagi sebelum jam lima pagi untuk shalat subuh dan membantu ibuku menyiapkan sarapan sekaligus makan siang. Maklumlah, ibuku juga seorang wanita karir. Maka kehidupan kami sudah dimulai sejak pagi buta. Tepat jam enam pagi, masing-masing dari kami sudah berpencar. Ada yang ke kantor, sekolah dan kampus.

Siang hari, ibuku tak perlu cemas lagi bagaimana makan siang anak-anaknya. Karena beliau sudah menyiapakannya sejak pagi buta. Baru malam hari, kami biasanya bergantung pada penjaja makanan untuk makan malam kami.

Jadi aku sudah terbiasa untuk sarapan pagi. Berbeda dengan keempat orang temanku di Istana Bojong Cae yang merupakan anak kosan. Mereka hampir tidak pernah sarapan. Kalau tidak ada jadwal kuliah pagi, mereka akan bangun sesuka hati. Bangun setelah jam sembilan pagi. Setelah membersihkan diri dan bersiap ke kampus, mereka merapel sarapan mereka dengan makan siang. Hemat dan praktis. Atau kalau memang terpaksa, sebelum pergi menjerang air hingga mendidih untuk memasak mi instan dengan telur. Tetap praktis dan hemat, namun makan tetap teratur. Walau pun lama-lama tanpa mereka sadari itu akan merusak tubuh mereka.

Kebiasaan itu terbawa di Istana Bojong Cae. Selepas shalat subuh biasanya mereka melanjutkan mimpi hingga jam delapan pagi untuk perempuan sedang lelaki bisa lebih dari itu. Hanya kelaparan yang akan membangunkan mereka. Saat bangun, mereka berebutan menyerbu dapur untuk memasak mi instan. Sedang aku?

Saat itu aku sedang melaksanakan sumpah untuk tidak makan mi dan sejenisnya hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Mungkin bagi anda yang telah membaca dan menyimak dengan baik novel perdana Surat Cinta Saiful Malook mengetahui hal itu. Bahwa aku yang semula pencinta mi dan menganggap mi adalah kesenangan memutuskan untuk tidak lagi menyentuh mi setelah aku kehilangan Saiful Malook. Sepertinya aku terilhami oleh sumpah Patih Gajah Mada yang tidak akan makan buah palapa sebelum dapat mempersatukan nusantara. Sedang aku memilih untuk tidak makan mi dan sejenisnya sebelum aku akhirnya menemukan tambatan hati.

Akhirnya aku memang berhasil untuk tidak makan mi selama hampir lima tahun. Tidak hanya mi, tetapi juga kwetiau, bihun, spaghetti, soun, dan lain sebagainya. Baru kurang lebih sepuluh bulan aku menikah, aku mulai lagi menyentuh mi. Itu pun aku sudah mulai kehilangan selera akan kelezatan mi, setelah sekian lama meninggalkannya. Mungkin karena metabolisme tubuhku sudah mulai menyesuaikan diri dengan keadaan itu, terbebas dari racun-racun pengawet dan zat penguat rasa yang tersimpan di dalam mi instan.

Maka aku memutuskan untuk bangun pagi dan menyiapkan sendiri sarapanku. Aku juga tidak egois, manalah mungkin aku menyiapkan makananku sendiri. Layaknya ibu rumah tangga, aku juga memikirkan anggota keluarga yang lain. Sepertinya tubuh mereka juga berhak mendapatkan asupan gizi yang baik.

Setiap hari aku menjadi juru masak tetap. Setiap pagi saat abang, Dian, Dije dan Deci bangun. Pasti di meja makan sudah terhidang makanan untuk sarapan, bahkan untuk makan siang. Menunya berganti-ganti setiap hari, bisa nasi goreng special, atau nasi biasa dengan aneka sayur dan lauk pauk yang bis dinikmati hingga siang bahkan malam hari. Sayur bayam, sayur asam, bakwan, balado ikan pindang, bandeng presto goreng, cah kangkung, pepes ikan mas, ikan teri dan kacang, sop, sambal adalah sebagian menu sehat yang biasa terhidang di meja makan hasil buatanku.

Makananku berciri khas pedas. Atau setidaknya bila itu masakan yang tidak lazim dibuat pedas seperti sup. Maka aku akan membuatkan sambal tomat super pedas sebagai pendampingnya. Atau lauknya yang dibuat pedas. Mulanya Fian agak terganggu dengan tingkat kepedasan masakanku. Beberapa hari pertama aku memasak dia terserang mules dan diare. Namun selanjutnya dia mulai terbiasa dengan masakanku. Begitu juga dengan abang, Deci dan Dije yang memang sama sekali tidak bermasalah dengan masakanku. Malahan sepanjang dua bulan kami di Bojong Cae. Bobot kami bertambah lima kilo. Pipi kami semakin tembem, badan kami menggemuk. Itu tanda kami makmur dan kerasan tinggal di Istana Bojong Cae. Padahal makanan yang kami buat terbilang sederhana. Kami tidak pernah minum susu atau makan daging-dagingan.

Dije juga cukup ahli dalam memasak makanan khas Medan. Beberapa kali dia membuat gulai nangka, gulai berisi daun singkong tumbuk, rendang kentang dan sayur yang menggugah selera. Ciri masakannya adalah bersantan kental dan berbumbu layaknya masakan Sumatera. Dan tentu saja tanpa gula putih sebagai penyedap seperti kami orang dari suku Jawa.

Deci juga pandai membuat masakan rumahan. Namun dia memiliki satu kelemahan. Dia seringkali kehilangan selera untuk memasak. Dia membutuhkan suasana hati yang mendukung untuk memasak. Memasak bukan sebuah kebutuhan baginya. Masakan andalannya adalah kering tempe pedas. Dia tidak pernah lupa membubuhi masakannya dengan micin sebagai penyedap. Itu yang membuat kami seringkali terlibat perdebatan panjang tentang bahaya micin bagi kesehatan.

Padahal Deci adalah ahli gizi. Seharusnya dia lebih tahu tentang bahayanya dibanding aku yang calon sarjana pertanian. Namun dia terus-menerus menyodorkan argumentasi bahwa belum ada penelitian yang membuktikan tentang bahaya micin. Aku menawarkan solusi untuk menggantinya dengan gula putih atau jika terpaksa Royco. Tetapi dia tetap memilih micin sebagai bagian dari racikan bumbu.

Sekali waktu Deci bereksperimen membuatkan tumis oncom. Alih-alih membuat hidangan istimewa, kami semua malah mual dibuatnya. Oncomnya masih mentah, karena Deci memasaknya sekejap dengan harapan agar masih ada vitamin yang tersisa di dalamnya. Kontan aku segera memasak ulang tumis oncom itu dan menambahkan beberapa biji cabe rawit untuk memperbaiki rasanya. Terus terang aku baru tahu kalau oncom memiliki kandungan gizi yang akan hilang bila terlalu lama dimasak.

Fian juga bisa memasak. Tetapi itu hanya untuk memenuhi hasrat nafsu makannya yang tak kunjung hilang walau sudah makan banyak. Merebus mi instan, menggoreng telur mata sapi atau membuat eksperimen tempe goreng yang renyah dengan banyak garam. Alhasil tidak ada yang menyentuh tempe gorengnya kecuali dia karena keasinan. Tempe itu perlu dicemplungkan ke dalam bak mandi untuk menghilangkan rasa asinnya yang luar biasa.

Abang terbilang cukup cekatan sebagai seorang lelaki. Dia memiliki lebih banyak pengetahuan untuk memasak yang baik dan benar. Selain telur mata sapi, mi instan, telur berbumbu, tempe goreng, dia juga pandai menggoreng nasi. Satu hal yang tidak dipisahkan olehnya dalam ritual makannya adalah kecap asin. Kebutuhan abang akan kecap asin dalam sebulan melebihi jumlah kebutuhan kecap manis untuk kami sekeluarga. Entah hal apa yang membuatnya begitu menggilai kecap asin.

Beberapa kali kami juga kedatangan tamu yang melebihi jumlah piring yang kami miliki. Maka kami mengakalinya dengan mengambil daun pisang dan memotongnya untuk piring alami. Bila kedatangan tamu, aku yang paling sibuk menyiapkan hidangan layaknya ibu rumah tangga. Makanya tidak mengherankan bila aku dijuluki upik abu. Wajahku sering terlihat kusam tertutup oleh coreng-moreng hitam angus. Badanku bau asap. Dan aku memiliki lebih banyak tato dibanding siapapun di Istana Bojong Cae. Tato akibat pergulatanku dengan kompor dan minyak panas.

Pernah sekali waktu tangan kananku terkena minyak panas. Aku menjerit sejadi-jadinya. Saat itu hanya ada Fian. Fian yang sedang asyik menonton televisi di ruang tamu, tergopoh-gopoh menghampiriku di dapur yang sedang meringis kesakitan sembari memegangi tangan yang melepuh. Sejenak Fian terlihat panik melihatku begitu. Dia berlari ke kamar mandi mencari odol. Kemudian meraih tangan kananku, dan mengolesinya dengan odol. Dia juga yang mengipasi tanganku dengan kipas sate. Sambil berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa aku tidak apa-apa.

”Kamu tidak apa-apa kan?” Menatap mataku yang sendu. Aku hanya menggeleng pelan sambil meringis kesakitan. Itu kecelakaan rumah tangga terparah yang pernah terjadi dalam hidupku.

”Ya sudah biar aku gantikan saja masaknya. Sudah sana kamu istirahat!” Kami saling bertatapan. Aku sekedar meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja bila aku menyerahkan tugasku kepadanya. Setelah aku yakin, tanpa menunggu aba-aba berikutnya aku segera berlalu dari hadapannya menuju kamar. Aku tidur sepanjang hari. Aku benar-benar ingin melupakan kecelakaan itu.

Luka bakar itu cukup parah. Keesokan harinya tanganku benar-benar melepuh. Keseluruhan permukaan tangan tertutup dengan gelembung air yang mengerikan. Bentuknya benar-benar mengerikan dan menjijikkan. Butuh waktu hampir seminggu untuk memulihkannya. Itu pun tangan kananku masih meninggalkan tato hingga enam bulan kedepan.

TELEVISI DAN HANTU BLEDUG

Tolong jangan tanya kami, apakah kami tetap menonton televisi di awal-awal kedatangan kami di Bojong Cae. Karena tentu saja kami tak bisa melakukannya. Bukan karena tidak ada listrik di Istana Bojong Cae. Tetapi memang karena istana kami tidak memiliki televisi. Maka kami melewatkan hari demi hari tanpa televisi. Hiburan kami satu-satunya adalah berbincang antara sesama anggota keluarga. Entah sudah berapa kisah yang terangkum sepanjang petualangan kami di Bojong Cae.

Tentu tidak tiap hari hubungan kami baik-baik saja. Sekali waktu kami juga pernah saling diam. Karena suasana hati kami yang tidak baik, atau kami baru saja berselisih paham. Apalagi bila salah seorang dari kami kaum perempuan sedang di masa haidh. Maka keadaan sedikit memanas. Suasana hati perempuan menjadi lebih sensitif dan penuh emosi.

Tapi bila suasana sedang baik. Kami sekeluarga sedang stabil, maka Istana Bojong Cae layaknya sebuah pasar yang selalu riuh oleh celotehan. Ramai. Bahkan keramaian kami hampir-hampir tak mengenal waktu. Pagi, siang, sore, malam kami lewatkan dengan bercanda, berceloteh atau saling berbagi mimpi. Bahkan kami tak segan-segan memamerkan suara-suara sumbang kami dengan bernyanyi dengan nada-nada yang tak beraturan. Bodoh memang! Tetapi itu hiburan bagi kami.

Tanpa adanya televisi sebenarnya kehidupan kami lebih sehat. Alam pikiran kami sama sekali tidak terkotori racun-racun yang disebarkan media televisi. Tahu sendiri lah bagaimana cermin televisi di Indonesia. Tayangan televisi digempur oleh acara-acara tidak bermutu yang sama sekali tidak cerdas. Sinetron-sinetron kacangan saling beradu rating dan share. Belum lagi reality show penuh kebohongan yang menyesatkan pemirsa televisi. Semua demi penilaian sang dewa televisi bernama AC Nielsen. Rating dan Share yang tinggi hasil penilaian AC Nielsen yang didasarkan pada survey random sampling pemirsa televisi dari berbagai kalangan adalah dambaan semua insan pertelevisian yang menggantungkan hidupnya pada laba semata. Karena sebagian besar produk massa hanya tertarik mengucurkan dana iklan kepada acara dengan rating dan share tertinggi. Tidak ada lagi idealisme. Sekalipun acara itu penuh kekerasan, penyebaran seks bebas, kebohongan dan segala keburukan lainnya, asalkan itu menguntungkan. Why not?

Tetapi begitulah tipikal sebagian besar masyarakat Indonesia. Mereka menyukai bahkan menggilai acara-acara televisi semacam itu. Mereka agak sulit menerima kebenaran yang mencerdaskan. Makanya Metro TV sebagai televisi berita terkesan tidak punya tempat di hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Menggelikan sekali memang. Justru televisi yang memiliki idealisme untuk mencerdaskan bangsa, menyelamatkan bangsa dari kebodohan malah harus tertatih-tatih untuk tetap tegar di medan perjuangan merebut pasar. Aku tidak akan berbicara panjang lebar tentang persaingan dunia televisi dan intrik-intriknya. Lebih baik kita kembali pada keadaan kami tanpa televisi di Istana Bojong Cae.

Sebenarnya kami mulai terbiasa dengan kehidupan tanpa televisi di Istana Bojong Cae. Lagipula hidup kami juga lebih teratur. Selepas shalat isya berjamaah, bila kami tidak ada jadwal penyuluhan, rapat karang taruna, kenduri ataupun pengajian di surau. Maka kami memilih untuk segera tidur. Maklum istana kami dikelilingi pohon-pohon besar. Maka keadaan jadi semakin mencekam bila malam menjelang. Selain suara jangkrik, sahut-sahutan binatang malam atau malah derik ular. Kami tidak mendengar apa-apa lagi. Sunyi senyap. Itu menambah kengerian di hati kami. Mengingat istana kami memiliki track record yang mengerikan. Sebuah rumah yang pernah memiliki sejarah pembunuhan sungguh bukan merupakan rumah yang cukup nyaman.

Walau kami tidak benar-benar merasa terganggu dengan kehadiran para makhluk halus penghuni istana kami. Tetapi bukan berarti kami benar-benar aman tanpa gangguan. Sesekali bulu kuduk kami berdiri, tiba-tiba terasa dingin mencekam. Maka kami tahu, si penghuni rumah sedang berkeliaran. Maka kami mengaji yasin untuk mengusir ketakutan kami. Masalah pintu yang tiba-tiba tertutup sendiri adalah hal yang teramat biasa bagi kami.

Sepanjang di sana, baru sekali aku merasakan keanehan yang teramat muskil. Masih ingat dengan kondisi istana kami? Bangunan yang terpisah dengan dapur berlantaikan tanah dan berdinding bilik, pompa air tua, dan kamar mandi kami. Jadi kami harus membuka pintu di bangunan utama untuk menuju kamar mandi. Itu berarti kami harus melewati area dapur yang open area. Maksudnya kami bisa leluasa melihat pohon-pohon yang rimbun dan menjulang dari ventilasi udara di dinding yang hanya tertutup jaring-jaring kawat. Padahal hampir setengah keatas dari dinding kami seperti itu. Berselang-seling antara bilik bambu dan jaring kawat. Kami juga bisa merasakan hembus angin malam yang dinginnya menusuk hingga ke kalbu.

Keanehan itu terjadi ketika suatu kali aku bangun malam untuk menunaikan shalat tahajud menjelang jam tiga pagi dinihari. Awalnya aku tidak merasa ada yang aneh. Atau mungkin karena aku masih terserang kantuk yang menghebat. Makanya aku tidak takut sama sekali ketika kau membuka pintu penghubung antara bangunan utama menuju pompa air. Aku sengaja berjalan lurus tidak mengedarkan pandangan ke kanan tempat dapur kotor berlantaikan tanah. Karena aku tidak mau melihat ke arah pepohonan di gelapnya malam. Itu terlalu mengerikan walau aku bukan seorang penakut.

Pompa air kami sebenarnya terhubung listrik. Tetapi tidak sepenuhnya canggih. Sebenarnya itu pompa air besi merek dragon yang di era delapan puluhan merupakan masa keemasannya sebelum pompa merek Sanyo yang lebih canggih datang menggantikan keberadaannya. Pompa air besi jenis ini memiliki fungsi ganda. Sekalipun aliran listrik terputus kita masih bisa menggunakannya. Cukup menyingsingkan lengan baju, menarik nafas dalam-dalam dan mulailah memompa dengan sekuat tenaga. Maka air akan mengucur dari sisi yang berlawanan dari posisi kita. Mudah menggunakannya.

Hanya pompa jenis ini masih membutuhkan teknik pemancingan. Kami harus memancingnya dengan memasukkan segayung air ke dalam katup di permukaan atas pompa air dengan sedikit ayunan tangan memompa tuas pompa saat listrik menyala membangkitkan mesin pompa untuk menaikkan air di dasar tanah. Setelah menunggu beberapa menit, paling cepat sepuluh menit. Barulah air akan mengucur deras.

Sewaktu aku bersiap akan berwudhu. Baru aku akan mencari air pancingan di ember. Tiba-tiba air mengucur deras dari keran, tanpa aku harus membuka keran dn melakukan ritual ribet pemancingan mesin pompa air jadul.

”Subhanallah!”’ Aku memekik keras. Bulu kudukku berdiri dan tiba-tiba angin dingin berdesir di sekelilingku. Aku benar-benar mematung dan nyaris tak sadarkan diri, karena tak mampu menguasai diri dari keadaan itu. Aku segera beristighfar tanpa henti.

Segera aku berwudhu. Mulutku tak henti-hentinya berkomat-kamit merapal doa. Selepas berwudhu memang aku agak sedikit tenang. Makanya aku bisa dengan sedikit bergurau pada hantu bledug penghuni istana kami.

”Maaf yah. Pak dan Ibu hantu. Aku tahu kalian ada disini. Terima kasih yah atas air wudhunya. Tapi mohon jangan ganggu. Aku mau sholat tahajud. Nanti kalau nakal aku laporkan Allah!” sehabis berkata demikian, aku segera berlari. Menutup pintu dengan tergesa hingga bersuara. Segera memakai mukena dan shalat.

Rupanya tidak hanya aku yang pernah merasakan hal serupa. Abang dan Fian juga pernah mengalaminya. Bila Abang menganggapnya itu hanya angin lalu, tidak penting untuk dibicarakan. Beda dengan Fian yang benar-benar ketakutan setengah mati. Apalagi bila abang tidak bermalam di istana. Maklum Fian dan abang tidur di ruang tamu. Sedang kami para gadis tidur di ranjang empuk.

Suatu kali aku pernah menemukan Fian tidur dengan memeluk kitab suci Al Quran. Saat itu memang abang sedang tidak ada di istana. Makanya Fian tidur sendirian di ruang tamu. Itu adalah pengalaman paling horor baginya. Kami para perempuan, tertawa terkekeh-kekeh mengetahui itu. Kami suka meledeknya. Kami juga dengan semangat menceritakan hal itu kepada semua orang. Entah apa Fian mengingat kejadian ini?

Kali lain di suatu malam, kopi Dije yang sudah terseduh lenyap tak jelas rimbanya diseruput hantu bledug. Karena saat itu tidak ada satu pun di antara kami yang berada di dalam rumah. Kami semua di beranda berbincang dengan beberapa tamu kami.

Kejadiannya agak membingungkan juga karena memang tidak ada saksi. Kami semua berada di beranda. Dije menyeduh kopi untuknya dan beberapa gelas. Dia menaruhnya di meja tengah. Kemudian Dije menyusul kami di beranda untuk berbincang. Beberapa menit kemudian, kopi itu sudah lenyap terseruput habis. Padahal tidak ada salah seorang dari kami yang meminum. Mulanya kami agak bingung dan bertanya-tanya, ”Masa hantu suka minum kopi?”

Belakangan kami banyak menonton film, reportase tentang dunia klenik dan juga beberapa cerita dari tetua, bahwa salah satu dari persembahan pada acara adat atau ritual gaib perdukunan selain kemenyan dan bunga setaman adalah kopi. Entahlah apakah di dunia gaib, kopi adalah minuman yang juga bergengsi dan menyegarkan bila diminum di malam hari. Menambah stamina para hantu bledug untuk melancarkan operasinya di malam hari. Agar tidak mengantuk. Bah! Logika apa pula itu. Yah memang hantu bledug tidak pernah masuk di logika siapa pun yang merasa modern. Kecuali orang-orang yang pernah merasakan fenomena tersebut.

”Hey..........aku punya ide. Bagaimana kalau aku pulang sebentar ke kosan ku di Bogor untuk mengambil TV kecil? Lumayan kan ada sedikit hiburan untuk kita.” Suatu kali Fian beride.

”Ide bagus tuh Fian. Jadi kita punya hiburan. Bosan juga lama-lama hidup tanpa TV,” Dije berkomentar dengan penuh semangat.

”Iya Fian, lumayan kan ada yang bisa ditonton di malam hari. Ketimbang kita harus terus-terusan mengunjingkan hantu bledug itu bila kita terserang Insomnia.” Deci ikut bicara.

”Kapan kau balik ke Bogor?” Abang.

”Mungkin besok.”

”Baguslah makin cepat makin baik.Bisa gila aku disini tanpa TV.” Abang menimpali.

Keesokan harinya Fian memang benar-benar pergi meninggalkan istana demi mengambil televisi impian kami. Maka tiga hari kedepan, Istana Bojong Cae semakin meriah dengan kehadiran televisi. Walau televisi itu hanya selebar 7 inchi, gambarnya lebih sering bersemut dibanding jelasnya. Tetapi itu sudah sangat bagus. Hebatnya televisi ini juga memiliki fungsi radio. Jadi bila kami sedang bosan menonton gambar buram televisi, kami memanjakan telinga dengan mendengarkan siaran radio. Hari-hari Istana Bojong Cae berikutnya adalah lebih indah.