Selasa, 06 Oktober 2009

SELAMAT JALAN, YUSUF

Aku berjalan menyusuri lorong dengan interior desain mewah ala hotel. Masih dengan kekaguman, mataku menerawang pada setiap detil lorong. Sesekali mengintip sepintas lalu dari kaca pintu-pintu yang tertutup rapat. Rasa ingin tahuku yang besar di antara segenap kekaguman yang membuncah mendorongku untuk mencari tahu ada apakah gerangan di dalam pintu-pintu yang mirip kamar hotel itu. Bila gelagatku tertangkap mata orang yang lalu-lalang, aku buru-buru mengalihkan pandangan ke permadani cantik yang menutupi seluruh lantai di lorong. Lagi-lagi otakku sibuk menghayalkan apakah di balik karpet itu ada ubin keramik, marmer atau malah tanah. Ah tak penting….

Aku masih berjalan di lorong yang sebetulnya tidak terlalu panjang. Namun aku menikmati sekali setiap langkahku. Ini kali pertamaku menginjakkan kaki di sebuah kantor pemberitaan. Hari ini ada serangkaian tes yang harus aku lalui. Bila aku mampu melewatinya, maka dalam bilangan minggu aku akan menjadi bagian dari tempat ini. Perasaan senang tiba-tiba menyeruak tanpa permisi dari dalam hatiku. Namun segera kutepis dengan kegalauan alami yang mengalir begitu saja. Galau, khawatir, berdebar, semua bercampur menjadi satu. Aku menghentikan langkah sejenak demi membenarkan posisi tas tanganku, menarik nafas dalam dan menghembuskannya kembali secara perlahan demi sebentuk perasaan lega. Kemudian aku melangkahkan kaki dengan gagah layaknya seorang prajurit yang siap bertempur di medan laga.

Akhirnya aku menemukan meja bundar besar di dekat dua mesin fotokopi. Aku sedikit celingak-celinguk memastikan bahwa aku tidak salah menafsirkan petunjuk ibu-ibu personalia yang baru beberapa menit yang lalu kutemui. Damn! Tidak ada tulisan atau papan nama yang memberikan sedikit informasi tentang ruangan apa itu.

Aku sempat menghentikan langkah lagi. Kali ini aku mengedarkan pandang pada lebih dari 5 orang berpakaian hitam putih sama seperti yang aku pakai. Terlihat dari ekspresinya, mereka pasti sedang menantikan sesuatu. Kesemuanya perempuan, kecuali satu-satunya laki-laki berbadan tinggi tegap, dengan rahang yang kuat, berkulit agak gelap, hidung sedikit mancung dan bermata polos. Dia satu-satunya makhluk ganteng di antara sejumlah perempuan yang mengelilingi meja bundar.

Aku pun menghampiri mereka, sambil sedikit berbasa-basi. Dari situ aku tahu bahwa mereka semua sedang menantikan hal yang sama dengan diriku.
“Silahkan!” Lelaki tegap itu berdiri dan menyorongkan kursinya kepadaku sebagai isyarat dia mempersilahkan aku duduk.
What a gentleman…

“ Serius?!?”

“ Tentu saja serius….”

Tanpa banyak cingcong aku pun menghempaskan pantatku ke kursi kulit imitasi berwarna hitam itu.

“Terimakasih…”

“ Sama-sama…” Pria itu kelihatannya masih bersikap sok gentleman.

“ Ohya aku Risma….” Aku mengulurkan tanganku kepadanya. Mata kami saling bersirobok. Tangannya meraih tanganku dan kami pun berjabatan.

“ Yusuf…”

Selebihnya kami bercakap-cakap untuk mencairkan suasana. Dari situ aku tahu dia masih satu almamater dengan diriku, fresh graduate, dan sedang menanti babak kualifikasi selanjutnya untuk menjadi tenaga riset marketing.

Itulah pertemuan pertamaku dengan Yusuf. Ternyata takdir mempertemukan aku kembali. Aku menjadi bagian yang sama dengan dirinya. Saat aku memperkenalkan diriku kepada seluruh anggota tim, tibalah giliran aku memperkenalkan diri ke mejanya.

“ Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?” Aku sambil mengingat-ingat sosok bermata polo situ.

“ Saya pikir tidak….” Dia sambil cengengesan.

“ Whuat….?!? Sepertinya aku belum linglung deh. Kamu Yusuf kan? Kita menjelang tes. Kamu yang satu almamater denganku kan?”

Matanya masih belum berpindah menatapku, dia masih asyik melihat deretan angka di layar monitor sambil tangannya tetap asyik menari-nari di atas keyboard. Cool! Menyebalkan….

“ Salah lihat kali…” Matanya menatapku tajam.

“ Ah mana mungkin….”

Orang-orang yang menangkap perdebatan kami ikut memojokkan. Hampir aku percaya bahwa aku hanya sedang mengalami ‘dejavu’ merasa sok kenal dengan pria itu. Tapi aku tetap yakin, aku tidak salah. Namun sekeras aku memastikan, saat itu pula aku merasa tenggelam karena malu salah menyapa orang. Sok kenal…. Belakangan aku tahu, aku hanya dikerjai.

Ada semacam tradisi tidak tertulis di tim kami. Bahwa setiap anggota tim harus melewati masa perpeloncoan untuk menajamkan intuisi kami dalam membedakan mana yang dusta mana yang benar dan membiasakan mental kami. Maka dua minggu pertama aku di tempat itu adalah masa-masa dimana aku berusaha memilah-milah mana yang dusta mana yang benar. Antara kenyataan dan rekaan adalah hal teramat tipis perbedaannya. Mereka sangat kompak mengerjai aku. Namun sejatinya hal itu tidak membuat aku sedih atau luka. Yang ada masa perpeloncoan itu meringankan beban masa adaptasiku. Kelucuan demi kelucuan malah mencairkan suasana dan menambah keakraban.

Hanya dalam bilangan minggu, Yusuf menjadi popular di tim kami. Kami memanggilnya Ucup. Yusuf pun sepertinya tidak berkeberatan dengan panggilan barunya. Dia malah mengukuhkan nama bekennya itu dengan menuliskan sendiri di kursinya dengan tulisan ‘UCUP’. Dia memanggil dirinya sendiri dengan nama Ucup, dan dia merasa bangga dengan nama itu. Pria bermata polos itu terlalu lugu dan polos. Dia adalah sasaran bulan-bulanan kami. Entah mengapa, selalu saja ada hal lucu tentang dia yang membuat kami seruangan dengan kompak mengolok-oloknya.

Yusuf adalah pria lugu dari planet yang berbeda dengan bumi. Dia seperti merasa asing dengan planet bumi. Sepanjang umurnya dia hanya mengenal hitam dan putih. Baginya tidak ada abu-abu. Yang ada di benaknya hanya benar dan salah. Kalau berjalan lurus dan benar maka akan dapat pahala, kalau salah jalan maka akan mendapat dosa.

Pertanyaan-pertanyaannya yang sangat polos dan menggelikan malah semakin menambah keyakinan kami bahwa dia benar-benar makhluk planet lain yang tidak mengenal ‘dosa’. Dan kami merasa seperti ‘setan-setan’ yang menggoda anak kecil yang baru disapih.
Entah mengapa setiap tingkah polah yang dilakukan Yusuf selalu menggelikan. Membuat kami tertawa terpingkal-pingkal dan menggoda kami untuk semakin membuatnya bersemu merah karena menjadi bulan-bulanan kami. Hingga suatu ketika kami mengetahui bahwa Yusuf adalah perjaka ting-ting yang belum pernah jatuh cinta. Maka dimulailah usaha perjodohan kami dengan gadis-gadis pilihan untuk Yusuf.

“ Tapi lo normal kan?” Mas Sofyan memancing tawa seisi ruangan. Yusuf yang polos hanya bersemu merah, sambil membela diri.

Sesekali aku merasa kasihan sekali dengan pria itu jika intensitas dan kualitas ejekan sudah semakin keterlaluan.

“ Sabar ya Cup! Orang sabar disayang Tuhan. Orang yang teraniaya itu doanya dikabulkan. Jadi kamu kalau merasa teraniaya doa aja. Nanti pasti dikabulkan. Doanya yang bagus-bagus aja, rugi banget kalo kesempatan emas digunakan untuk menyumpah-nyumpah. Sekalian yah gue titip doa….”

Maka seketika itu juga tawa meledak. Semua ingin ikut bicara. Ada yang mengaminkan ada yang ikutan titip doa agar cepat menikah dan lain-lain. Maka Yusuf orang paling teraniaya di tim kami menjadi tukang doa dadakan.

Yusuf adalah orang yang paling perhatian di ruangan. Jika salah satu dari kami seruangan curhat atau mengeluhkan sesuatu, semisal sakit perut. Maka dia akan menasihati kita dengan kekhawatiran yang teramat sangat untuk segera ke klinik atau minum obat. Dan dia akan menjadi orang paling cerewet yang menanyakan kabar atau malah menyuruh pulang untuk istirahat.

Tugasnya sebagai tukang riset menjadikannya menjadi kamus berjalan acara televisi. Setiap ada acara televisi terbaru, dia pasti akan mengatakan kepada kami dan mengomentarinya hamper setiap saat. Kalau perlu merekomendasikannya.

Aku masih ingat ketika ‘Termehek-mehek’ melejit. Dia merekomendasikannya kepada semua orang di ruangan untuk melihat reality show itu. Dia menceritakannya penuh semangat dengan bumbu-bumbu penyedap yang membuat kami tergoda untuk menonton.

Aku pun salah seorang korban yang tergoda untuk menonton atas promosi Yusuf. Saat aku mengkonfirmasi kepadanya bahwa aku mulai menonton ‘Termehek-mehek’. Maka dia me-maintain aku sebagai downline-nya untuk selalu menontonnya. Setiap akhir pekan dia akan sangat rajin mengingatkanku akan ‘Termehek-mehek’ yang ditontonnya. Tujuannya tak lain tak bukan agar aku tergoda untuk menonton.

Isi pesannya singkat dan menggelikan.

“ Lihat deh Termehek-mehek, cowoknya itu ternyata jalan bareng sama tante-tante.”

“ Istrinya memergoki suaminya lagi di rumah istri muda…”

Atau

“ Lihat deh rumahnya. Kayaknya gue tau daerah itu…”

Maka keesokan harinya kami akan membahasnya dengan seru. Obrolan kami memancing orang lain untuk ikut menonton acara tersebut. Hingga akhirnya kami mengetahui sendiri bahwa itu hanyalah DRAMA yang bertajuk REALITY SHOW. Aku berhenti menontonnya, dan balik melontarkan bulan-bulanan ke Yusuf.

“ Reality Show is a bullshit! Masa iya semua orang disitu selalu tertangkap pake make up dan baju bagus. Trus kok kayak acting yah…?” Yusuf hanya manggut-manggut dan menarik diri secara drastic dari perkumpulan penggemar ‘Termehek-mehek’.

Lain kali kami di ruangan kami yang nyaman, disela-sela masa rehat. Kami membicarakan sebuah reportase di TV swasta yang mengungkap dangdut kampung yang bergoyang seronok di suatu daerah. Namanya ‘Cangdoleng-doleng’. Kami yang penasaran berusaha mencari tahu dengan browsing.

Hingga pada suatu hari aku sudah lupa tentang si ‘Cangdoleng-doleng’. Sebuah pesan singkat masuk di telepon genggamku.

“ Ada cangdoleng-doleng di TRANS sekarang!” Aku pun bergegas menyalakan TV dan menonton. Maka keesokan harinya kami akan membahasnya. Dan dia dengan berapi-api tak henti-hentinya mengomentari.

“Gila….kebayang gak sih di situ ada anak kecil ikutan nonton.” Yusuf dengan gaya ekspresif menggambarkan bocah ingusan mendongak sambil matanya melotot,mulut terbuka dan liur menetes. Ngiler melihat biduan ‘Cangdoleng-doleng’ bergoyang seronok.

“Terus ibu-ibunya ikutan nonton aja sambil tepuk tangan.” Yusuf pun menirukan gerakan itu untuk menambah bumbu dalam ceritanya. Kami serius mendengarkan sambil tertawa geli melihat tingkah polah Yusuf.

Saat akhirnya Barack Obama terpilih menjadi presiden Amrik. Kami jadi sering membanding-bandingkan Yusuf dengan Barack Obama. Keduanya sama-sama berkulit gelap, berhidung mancung, berambut agak ikal, tinggi, tegap, bermuka agak tirus, dan memiliki sorot mata yang penuh pengharapan. Namun Yusuf agak lebih polos. Maka kami menjulukinya Berak Obama.

Yusuf juga seringkali membanggakan darah Arab yang mengalir di dalam dirinya. Kami pun sebetulnya tidak tahu dari mana ke Arab-annya muncul. Kami hanya tertawa saja mengiyakan sambil sesekali mengoloknya.

Yusuf sebenarnya pria yang tampan. Namun auranya tertutup oleh tingkah polahnya. Kalau ada yang mengoloknya untuk membuatnya nyalinya ciut sebagai pria tampan. Maka aku serta-merta membelanya.

“ Eh jangan dong teman-teman. Ucup dinamain Yusuf sama orang tuanya karena berharap Ucup akan setampan Nabi Yusuf. Nama itu doa. Yah lumayan lah segini….” Alhasil Yusuf kan terdiam sambil merasakan panasnya kuping menjadi bulan-bulanan. Tetapi sesekali aku juga yang menjadi bulan-bulanan. Yusuf sudah semakin mahir melancarkan balas dendam kepada semua orang yang turut serta mengolok-olok. Sudah pasti semuanya sekedar lelucon untuk menyegarkan suasana di tengah-tengah pekerjaan kami yang serius.

Yusuf agak sedikit tidak sabaran. Suatu ketika kami seisi ruangan melakukan wisata kuliner di bebek Janus untuk makan siang kami. Masing-masing dari kami mendapatkan bagiannya. Kami tanpa basa-basi langsung bergegas menikmati makanan kami, tanpa mempedulikan sekitar kami. Ternyata Yusuf belum juga mendapatkan makanan, padahal para lelaki sudah hampir ronde kedua.

Dengan tidak sabaran, Yusuf berteriak dengan lantang. “Pak punya saya mana, Pak?”
Bapak penjual bebek goreng yang kerepotan melayani pembeli hanya berkata, “Sabar ya!”
Yusuf melihat teman-teman lelakinya sudah meminta tambahan seporsi nasi. Yusuf semakin blingsatan dibuatnya. Bagaimana tidak? Pesanan nasinya sama sekali belum dating. Padahal teman sebelahnya sudah hampir ronde kedua.

“Lo ambil nasi gue aja!” Mas Saiful menawarkan.

Yusuf menolak, namun Yusuf semakin menciptakan kehebohan sendiri menanyakan nasinya yang belum datang. Kami menggodanya, yang digoda malah semakin blingsatan. Yusuf malah meminta bebek goreng dan nasinya dibungkus saja. Karena dia takut terlambat menyelesaikan makannya dan ditinggal. Yusuf melihat para lelaki sedang menyelesaikan nasi porsi kedua.

“Loh Ucup kenapa makan di kantor? Makan sini aja nanti juga ditungguin.” Mas Sofyan.
“Tau nih Ucup, cewek-cewek aja belum selesai.”

“ Gak ah….” Dengan mata sedikit memerah dan agak menahan marah. Dia kembali menanyakan pesanannya dengan lebih tegas, nada suara agak bergetar. Aku malah jadi geli sendiri, di mataku Ucup tampak seperti bocah yang merajuk karena mainannya diambil atau tidak diberikan.

Lagi-lagi Yusuf menjadi sasaran bulan-bulanan kami. Namun Yusuf tetap pada pendiriannya untuk membungkus pesanannya saja, karena dia tidak ingin makan terburu-buru dan membuat kami menunggunya. Dia mau menikmati bebek gorengnya di ruangan tercinta.

Yusuf yang hanya mengenal hitam dan putih, menganggap satu kesalahan kecil adalah dosa besar yang tak termaafkan. Dia sering dengan lantang dan berapi-api menceritakan kebobrokan moral para pejabat. Dan dia nyata-nyata menyatakan ketidak-sukaannya dengan hal tersebut. Dia mengecam habis tindakan mereka yang tidak berbudi. Yusuf yang polos bercita-cita untuk memutihkannya kelak. Yusuf ingin menjadi abdi Negara yang jujur dan menjadi oase di tengah padang gersang dimana kejujuran adalah hal langka dan musykil.

Sekali waktu Yusuf yang baru saja membaca kenaikan gaji hingga berpuluh-puluh persen bagi para guru negeri. Yusuf dengan semangat mengkalkulasi bahwa gaji guru lulusan S1 akan mendapatkan paling tidak 6 juta. Yusuf tiba-tiba ingin jadi guru, dengan asumsi gajinya akan segera mencapai angka tersebut.

Belum lagi dengan idealisme dia yang sungguh polos untuk menjadi pak guru di desa terpencil. Dia sangat bergairah mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa pamrih. Pengabdian untuk sadaqah jariyah jika azal telah menjemput.

“Ucup guru baru belum tentu langsung PNS. Semua butuh proses. Sudah pasti kamu harus menunggu giliran jadi PNS. Ribuan guru honorer bergaji 300 ribu sudah menanti pra-jabatan. Sebagian dari mereka malah sudah menjadi guru honorer/bantu selama puluhan tahun. Kamu tega dengan mereka? Sudahlah cari rezeki yang lain, jangan ambil ladang orang. “

Atas nama idealisme ‘karbitan’. Maka cita-cita luhur itu pun segera musnah tanpa jejak. Ucup tidak lagi berkoar-koar ingin menjadi guru. Aku rasa membayangkannya saja, dia sudah ngeri. Rasanya menjadi guru bukan jalan hidupnya.

Yusuf adalah pekerja keras. Dia mendedikasikan seluruh waktunya untuk pekerjaannya. Sekalipun libur, dia akan datang ke kantor bila atasan menyuruhnya. Dia paling ringan kaki di antara kami. Dia selalu menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu. Seandainya ada pekerjaan yang menharuskan dia pulang larut malam pun, pasti akan dilakukannya dengan sepenuh hati. Tidak pernah mengeluh. Tak mengherankan bila dia sangat diandalkan.

Dia adalah lelaki shalih. Makanya dia kami daulat untuk menjadi dubes dari salah satu partai politik Islam terbesar di negeri ini. Kesalahan kecil dari seorang Yusuf akan menambah poin bagi kami untuk mengolok-oloknya sebagai dubes yang tidak becus dan tidak menggambarkan spirit dari sebuah partai beraliran kanan.

Namun akhirnya takdir kebersamaan kami sudah sampai di sini. Yusuf hendak meraih mimpinya yang luhur menjadi seorang abdi Negara yang jujur. Ketika akhirnya dia dinyatakan lulus tes CPNS. Kami berlomba-lomba mengomentarinya.

“ Jangan lupa sama janji kamu untuk jadi abdi Negara yang jujur!”

“ Awas yah kalau aku ketemu kamu, kamu sudah bawa mobil Jaguar. Itu indikator kamu sudah korupsi. Karena gaji PNS jujur tuh gak akan mampu beli Jaguar.”

“ Awas ya kalau beberapa bulan dari sekarang, ganti HP mahal, motor besar atau apalah yang mewah-mewah. Berarti kamu sudah lupa sama idealismemu.”

Hidung Yusuf yang dikomentari hanya kembang kempis, pipi bersemu merah. Dahinya berkerut-kerut mencari alasan yang tepat untuk membalas komentar kami yang sungguh pedas.

“ Ya nanti kalo mau ketemuan, ganti lagi sama HP dan motor bututku.” Yusuf berusaha berkilah.

“ Tapi disana kamu pasti merindukan suasana ini. Kamu bakalan rindu setengah mati dengan banyolan-banyolan segar kita bahkan olok-olok kami yang mengerikan.”

Yusuf tersenyum masih dengan ekspresi tidak peduli. Tetapi aku tahu hatinya berkejap-kejap menanti kejutan apa di tempat yang baru. Dalam bilangan hari dia juga akan kehilangan semua tawa, canda dan keceriaan bersama kami di sini. Tidak ada lagi yang mengolok-oloknya dan membuatnya kesal sekaligus tertawa terbahak-bahak hingga sakit perut.

“ Kamu pasti akan memohon-mohon ke kami di telepon agar kami mengolok-olok kamu.”

Yusuf masih tersenyum, aku tahu hatinya pasti luka akan meninggalkan kami. Tidak akan ada lagi suara cempreng Mas Sofyan yang menceriakan. Tidak ada lagi atasan sebaik Mas Agus dan Mbak Viza yang selalu mau mengerti. Tidak ada lagi Bang Parlin yang berceramah tentang jalan kristus. Tidak ada lagi cerita tentang Mas Miko, sang seniman nyentrik yang selalu berpikiran ‘out of the box’. Tidak adalagi cerita Mas Fatah dan istri-istrinya. Tidak adalagi cerita Tari tentang Axel yang semakin menggemaskan dan bisnis rajutnya. Tidak ada lagi cerita tentang Hanum dengan buah hatinya yang baru saja menceriakan hari-harinya.

Begitu pun Yusuf tidak akan mendengar kelanjutan kisah Agung dan Ugi. Apakah Agung dan Ugi akan berakhir bahagia atau duka. Tidak akan lagi mendengar kisah Mas Syaiful dengan kehidupan barunya kelak dengan sang istri. Tidak lagi mendengar perjodohan setengah olok-olok dengan perawan-perawan di kantor. Tidak lagi mendengar kisah cinta sepasang kelinci Emiria. Atau tentang kucing-kucing sepanjang sejarah Risma. Atau teriakan lantang Yani sang assistant to assistant GM sewaktu memberikan pengumuman penting. Tidak ada lagi cerita Wahyu yang menerangkan konsep bisnis dan marketing atau sekadar menyadarkan Yusuf bahwa dia hidup di dunia nyata yang penuh intrik. Tidak ada lagi kisah burung-burung kesayangan Mamat.

Yusuf tidak akan mendengar lagi kisah sukses Mas Murti dan Baby Zone. Celotehan seru Mbak Rika dan Avi. Atau cerewetnya Mbak Christine untuk mengingatkan hal-hal yang perlu diingatkan. Dan sudah pasti Yusuf tidak akan lagi mendengar cerita Selvi, gadis di tim berbeda yang ikhlas menyiapkan bekal rantang setiap hari untuk sang suami yang PNS bergaji kecil. Dan yang sudah pasti tidak akan mendapatkan jatah oleh-oleh lagi dari CK. Begitu pun Yusuf tidak ada lagi teman yang bisa ditanya tentang perkembangan fashion dan make up seperti Dewa. Dan tidak dapat jatah traktiran ulang tahun Mbak DA Desember ini.

Semuanya akan berhenti sampai di sini. Mungkin jikalau pertemanan kita masih berlanjut, semuanya pasti akan berbeda. Tidak akan sama. Semuanya berubah.
Pertemuan dan perpisahan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, karena perpisahan akan membawa kita akan pertemuan yang lain. Setiap manusia harus menyiapkan mental untuk keduanya.

Akhirnya dalam bilangan hari Yusuf akan segera pergi meraih asa. Kudoakan semoga asa itu membawa kebahagiaan, keceriaan yang lebih dan tidak bisa kau temukan ketika bersama kami. Cerita telah usai sampai di sini, namun kenangan akan Yusuf akan selalu ada di hati kami.

Selamat jalan Yusuf! Semoga idealisme itu tidak menguap bersama angin.