Rabu, 21 Juli 2010

CATATAN PERJALANAN CALDERA

Day 1 (16 Juli 2010)

Jum’at tanggal 16 Juli 2010, menjadi momen yang paling menegangkan buat saya. Hati saya berkerjap-kerjap membayangkan kelak akan seperti apa petualangan yang akan saya dapatkan dua hari mendatang. Karena pada hari sabtu dan Minggu, kami akan melaksanakan serangkaian kegiatan outbound ‘Tim Building’ yang dirancang oleh Personalia untuk departemen kami.

Ini kali pertama, saya mengikuti outbound di markas besar elang. Karena memang sepanjang hampir tiga tahun saya berjibaku di sini, tim kami belum pernah mengadakan kegiatan serupa. Saya sudah memikirkannya sepanjang waktu, kiranya petualangan seperti apa yang akan kami hadapi.

“ Kita akan tinggal di pondok kayu yang terbuka di hampir setiap sisinya…” Suatu kali Yani sang sekretaris bercerita. Saya hanya mengangguk-angguk dengan penuh antusias.

“ Rafting, flying fox, kamu pasti tidak akan pernah membayangkan segenap keseruan yang ditawarkan…” Mata Yani berbinar-binar menjelaskannya pada saya. Dan alam pikiran saya dipenuhi oleh khayalan-khayalan akan petualangan-petualangan seru yang akan terjadi nanti.

“ Kamu ikut kan?” Sorot mata Yani tajam melekat pada mata saya. Dalam hitungan detik, saya mengangguk pasti tanpa keraguan sedikitpun.

“ Terus kita naik apa?” Tanya saya kala itu.

“ Bis…”

“ Bis?” Saya memastikan, dan Yani mengangguk.

“ Wew…. Bis!” Saya berseru dalam hati.

Saya sudah lupa bagaimana rasanya tamasya dengan rombongan dalam sebuah bis yang besar. Terakhir kali saya ingat, tamasya terakhir saya bersama rombongan adalah bertahun-tahun silam ketika saya masih duduk di bangku kuliah.

Itupun sejatinya bukan sebuah perjalanan tamasya. Kami hanya serombongan mahasiswa bau kencur yang sedang siap-siap bertugas KKN di wilayah Rangkas Bitung.Itu pun rasanya sudah seperti rombongan sirkus yang sedang bertamasya. Seisi bis hampir tidak pernah sepi oleh tawa, canda, nyanyi dan teriakan-teriakan histeris para gadis yang digoda bujang. Acara saling ledek dan cerca menjadi hiburan tersendiri yang menyenangkan untuk mengusir bosan selama perjalanan.

Dan saya berpikir akan jauh berbeda bila yang berada dalam rombongan bis tersebut adalah sekumpulan orang berusia dewasa yang bekerja di sebuah kantor pemberitaan. Saya sempat memikirkan bahwa mereka akan menjadi sangat serius. Hanya pembicaraan formal seputar politik, ekonomi, atau target kantor.

Ternyata perkiraan saya salah besar. Saya hampir tidak menyangka bahwa saya sedang duduk di dalam bis yang membawa rombongan para professional. Suasana bis sama riuhnya dengan bisa yang saya tumpangi bersama teman-teman saya saat usia saya masih menginjak usia hampir dua puluh tahun. Bahkan lebih heboh. Semua tertawa dan saling berkelakar, melempar lelucon dewasa yang terkadang menggelikan, terkadang juga membuat wajah bersemu merah.

Semuanya seperti tanpa beban. Walau sebelumnya, seharian penuh mereka berjibaku di kantor hingga jam tujuh malam. Sepertinya energi mereka tidak ada habisnya.
Beberapa di antara kami yang semula mengutuk keadaan bis kami yang tidak sempurna mulai berhenti mengeluh. Bahkan sepertinya mereka lupa dan mulai mafhum pada keadaan.
Ketika malam semakin larut, suara tawa mulai berhenti. Bertukar dengan suara musik-musik yang mengalun dari beberapa blackberry. Sedang yang lain mulai hanyut terbawa mimpi, termasuk saya. Yang lain masih bertahan dengan berbincang-bincang. Ada juga yang memuaskan diri dengan mengedarkan pandangan jauh ke luar jendela bis, menembus kegelapan malam. Melihat dengan asyik pemandangan pegunungan di malam hari.
Saat bis yang kami tumpangi memasuki jalanan mendaki yang berkelok-kelok. Beberapa di antara kami termasuk saya mulai terbangun dari tidur. Sang supir memacu bis dengan lihai di jalan berkelok. Tidak hanya dengan kecepatan standar, tetapi dengan kecepatan yang ‘luar biasa’. Kami serasa naik roller coaster.

Awalnya kami memang merasa tertantang. Suasana bis menjadi riuh oleh sorak-sorai menyemangati sang supir yang bak pembalap handal. Namun lama-kelamaan suara mulai melemah seiring dengan semakin mengerikannya laju bis kami. Saya yakin beberapa di antara kami termasuk saya, mulai merapal doa dengan bibir yang berkomat-kamit.
Puncaknya adalah ketika tiba-tiba sang supir mengerem bis dengan mendadak. Hingga kami terloncat dari posisi duduk kami. Saya terkesiap, dengan harap-harap cemas berdiri dari tempat saya duduk agar saya dapat melihat dengan jelas gerangan apa di depan.

Ya Tuhan!

Sebuah lubang cukup besar yang memakan hampir setengah dari bahu jalan. Dan bila sang supir tidak sigap mengerem bis. Maka kami semua akan celaka. Saya pikir setelah kejadian ini, sang supir akan mengurungkan niatnya untuk menunjukkan kelihaiannya dalam memacu kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata, sekalipun di jalanan terjal dan berkelok-kelok. Ternyata, sang supir tidak juga gentar. Setelah itu dia masih terus memacu bisnya.

Tetapi syukurlah, setelah lebih dari 5 jam, tepat jam setengah satu malam. Akhirnya kami tiba dengan selamat di pondokan Caldera tempat kami akan menghabiskan dua hari ke depan.

Suasana bis kembali riuh oleh seisi bis yang sedang bersiap-siap hendak turun dari bis. Sesekali suara teriakan ikut mewarnai di antara derai tawa. Suasana bis menjadi hiruk-pikuk oleh kesibukan penumpang bis yang saling berebut untuk turun. Semua terlihat begitu antusias untuk melihat kejutan apa yang menanti kami.

Karena ini adalah kali pertama saya. Saya sempat tertegun menatap deretan rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun kelapa kering. Luar biasa, ingatan saya langsung melayang beberpa tahun silam ketika saya menghabiskan waktu di rumah-rumah tradisional milik suku primitif Baduy di pedalaman Rangkas Bitung. Tetapi tentunya ini lebih tertata rapih.



Setelah memuaskan mata saya dengan memandang sekeliling. Saya tersadar, beberapa teman sudah beranjak pergi meninggalkan halaman parkir. Saya pun segera meninggalkan halaman parkir sambil menenteng tas saya menuju penginapan yang disediakan.

Setelah meletakkan barang bawaan kami di pondokan. Kami semua digiring ke sebuah tenda di antara pondokan perempuan dan lelaki. Rupanya Caldera sudah menyiapkan penyambutan untuk kami. Aneka penganan kecil dan minuman hangat telah menanti kami. Tentu saja kami girang bukan kepalang, perjalanan panjang Jakarta-Caldera cukup membuat kami lapar, walau sebetulnya di dalam bis kami juga disuguhi nasi kotak.
Kami diperkenalkan dengan fasilitator kami, Mas Ucup dan Mas Thamrin. Mas Ucup dan Mas Thamrin juga memperkenalkan kami sapaan khas ala Caldera. Jika fasilitator menyapa ‘Halo’ maka kami harus membalasnya dengan ‘Hai’. Begitupun sebaliknya. Di Caldera tidak ada sapaan hari selain ‘Selamat Pagi’. Dan ketika fasilitator menyapa, ‘Apa Kabar Metro TV?’ kami harus menjawab dengan kompak ‘Siap, Luar biasa!’.



Setelah itu kami para perempuan segera bergegas pergi ke pondokan untuk mandi malam dan pergi tidur. Sedang para lelaki masih melanjutkan perbincangan hingga larut malam. Bahkan ketika saya terbangun jam 3 pagi. Saya masih mendengar suara-suara dari pondokan lelaki. Saya tidak tahu, jam berapa mereka tertidur.

Day 2 (17 Juli 2010)

Sesuai dengan jadwal, tepat jam 6 pagi kami sudah berkumpul di lapangan untuk berolahraga pagi. Mas Ucup dan Mas Thamrin sudah menanti kami di lapangan. Kami semua berdiri membuat lingkaran, dengan pemandu di tengah.



Ada yang tidak biasa di dalam lingkaran tim kami. Tiga orang penumpang gelap ikut serta dalam tim kami. Mereka adalah tiga lelaki Arab yang katanya turis dari Yaman. Dengan penuh percaya diri, mereka masuk di barisan kami dan mengikuti instruksi yang diberikan oleh pemandu kami tanpa menghiraukan pandangan aneh kami kepada mereka.
Setelah pemanasan untuk melemaskan otot-otot yang kaku. Sang pemandu memulai permainan-permainan yang membutuhkan konsentrasi sekaligus olah tubuh agar kami tidak mengantuk. Maklum, saat itu keadaan kami seperti orang yang sedang mabuk. Terhuyung-huyung dan sedikit sulit membedakan antara kenyataan dan alam khayal. Separuh nyawa kami serasa berada di alam yang berbeda. Inilah akibat kurang tidur. Sebagian besar dari kami terutama para lelaki hanya tidur kurang dari 3 jam. Dan sekarang kami sama sekali tidak bisa mencerna instruksi dengan baik.

Alhasil banyak di antara kami yang terkena hukuman. Saya pikir ini adalah hukuman paling menyenangkan sejagat. Hukumannya adalah bergaya ala foto model. Bahkan di kehidupan nyata sekali pun tanpa di suruh kami adalah banci-banci kamera.



Tak terasa satu jam telah berlalu. Setelah berolahraga pagi. Pemandu menggiring kami ke tenda yang telah disediakan untuk jamuan sarapan pagi yang lezat. Hanya menu sederhana berupa nasi goreng, suwiran ayam goreng, telor ceplok berbentuk bintang dan bunga, tempe & tahu goreng, garnish beruba tomat dan timun, emping. Tak lupa teh dan kopi hangat, air putih, dan jus jeruk sebagai pelengkap hidangan. Kami makan dengan lahap. Karena kami tidak ingin kelaparan selama beraktivitas nanti.

Setelah sarapan pagi, kami diberi waktu kurang dari satu jam untuk istirahat sebelum masuk ke sesi selanjutnya. Sang fasilitator pun mewanti-wanti kami agar tidak datang terlambat pada sesi selanjutnya. Bila terlambat, akan ada sangsi hukuman menanti. Beberapa perempuan memilih untuk mandi. Sedang yang lainnya lebih senang duduk-duduk dan bercerita di beranda pondokan.

Tepat jam delapan pagi, Mas Ucup dan Mas Thamrin menggiring kami ke tanah lapang tak jauh dari pondokan kami. Namun untuk mencapai tanah lapang tersebut kami harus berjalan kaki kurang lebih sepuluh menit melewati pematang sawah.

Sambil menunggu yang lainnya berkumpul. Mata saya sempat tertumbuk pada aktivitas sekelompok lelaki di dekat deretan toilet. Para lelaki sedang sibuk mengisi plastik-plastik bening berukuran satu kilo dengan air kemudian diikat dan dikumpulkan ke satu sisi.

Setelah sebagian besar peserta berkumpul, seperti biasa kami membuat lingkaran. Instruksi pertama yang kami lakukan adalah kami saling menghadap punggung teman. Ketika fasilitator memberikan aba-aba ‘Hujan!’ maka kami menggunakan telunjuk kami untuk memijat punggung teman dengan jari telujuk. Jika fasilitator menyebut ‘Petir!’ maka kami menggunakan sisi telapak kanan untuk memijat. Jika ‘Batu!’ maka kami harus memijat dengan kepalan tangan. ‘Long beach’ maka kami harus memijat dengan gerakan memijat yang sesungguhnya. Sedangkan ‘Badai’ berarti kita harus mengguncang-guncangkan bahu teman kita. Selanjutnya kami ditantang untuk duduk dengan nyaman di pangkuan teman kami dalam lingkaran.

Saya berasumsi, permainan ini selain untuk melatih konsentrasi, ini juga merupakan tahapan awal dalam sebuah Team Building yaitu perkenalan. Kami saling berkenalan agar menjadi saling percaya dan nyaman satu sama lain.

Setelah kami berkenalan barulah menginjak pada permainan selanjutnya yang lebih seru. Masih di dalam lingkaran. Fasilitator memberi instruksi gerakan ‘Patung Pancoran’, ‘Lampu Merah’, ‘Dansa’, ‘Bunga Matahari’. Masing-masing instruksi memiliki gerakan yang berbeda dan aturan main yang berbeda pula.



Jika fasilitator memberi aba-aba ‘Patung Pancoran’ maka kami harus bergaya ala ‘Patung Pancoran’. Sedangkan bila fasilitator memberi aba-aba ‘Dansa’ maka kami harus mencari pasangan untuk menari ala orang gila sambil menyuarakan gending gebo giro ‘ning nang ning gung…ning nang ning gung’.

Bila fasilitator menyebut ‘Lampu Merah’, kami harus berkelompok 3 orang dalam posisi tangga sambil kedua tangannya menyerupai kelap-kelip lampu. ‘Bunga Matahari’ berarti kami harus berkelompok yang terdiri dari 5 orang untuk bergandengan tangan dalam lingkaran membuat gerakan buka matahari mekar dan menguncup.

Kejadian yang paling menggelikan dalam sesi ini adalah ketika salah seorang dari kami yang bernama Mr. G. Begitu hebohnya dia menari hingga celana pendeknya robek. Namun di antara kami hanya tertawa cekikikan saja melihat hal itu. Dan anehnya Mr. G sama sekali tidak menyadari kalau celananya sudah robek parah.



Tantangan berikutnya adalah kami di ajak berhitung. Tetapi bukan dengan hitungan yang biasa. Peraturannya, untuk angka ganjil kami harus menyebut ‘bing’ dan untuk angka genap harus disebut lengkap. Namun entah kurang konsentrasi atau memang ‘lemot’, selama hampir dua puluh kali percobaan, kami belum juga menemui titik temu. Kami masih saja salah sebut. Sampai akhirnya salah satu pimpinan dalam kehidupan kantor kami yang sebenarnya memberi solusi agar kami bisa menyelesaikan permainan ini dengan cepat. Dan ajaib! Kami pun bisa menyelesaikan permainan itu dengan cepat dan tanpa cacat.



Permainan berikutnya, kami diajak oleh fasilitator untuk membayangkan diri kami sebagai seorang samurai yang siap berperang dengan ‘katana’ kami. Kami diajari membuat kuda-kuda, selebihnya adalah instruksi biasa yang sebenarnya sepele. Anehnya saat kami disuruh untuk menutup mata selagi kami melakukan gerakan yang dinstruksikan, posisi akhir kami berbeda jauh. Sebagian besar dari kami salah mengartikan instruksi depan, belakang. Jika belakang berarti balik arah, maka ketika instruksi berikutnya adalah depan, kebanyakan dari kami berbalik arah ke posisi semula. Padahal seharusnya depan adalah maju pada posisi kita sebelumnya. Kami sempat mengalami perdebatan yang sangat alot sebelumnya akhirnya menemukan titik temu. Permainan ini menggambarkan betapa perbedaan persepsi dapat mengaburkan makna instruksi. Peranan pemimpin penting untuk menyampaikan perintah sekaligus menyamakan persepsi anak buahnya agar tujuan organisasi berjalan sesuai rencana.

Saat-saat yang dinanti-nanti tiba. Waktunya Coffee break. Hidangan risol goreng dan pisang molen yang ditaburi gula halus menjadi pengganjal perut yang sudah mulai lapar akibat beraktivitas.

Dan mata saya masih mengamati sekelompok lelaki yang sedang asyik mengumpulkan plastik-plastik bening berisi air. Saya masih bertanya-tanya untuk apakah gerangan plastik air tersebut.

Setelah coffe break, fasilitator menggiring kami ke suatu area di bawah pohon. Sang Fasilitator menaruh beraneka-ragam gambar di atas rumput. Dan kami disuruh mengamati dan mengambil salah satu gambar sekehendak hati kami. Gambar yang kita ambil harus mewakili ke arah mana Metro TV akan dibawa. Di akhir permainan harus ada satu kesepakatan, setelah melewati perundingan yang cukup alot.

Saya sempat berandai-andai seandainya di situ ada gambar elang, maka tanpa berpikir lagi saya akan memilih elang yang merupakan maskot Metro TV. Saya tahu benar betapa filosofi elang menjiwai setiap gerak dan langkah Metro TV. Namun sayang di sana tidak ada gambar elang. Saya sempat berpikir untuk mengambil gambar pesawat agar Metro TV bisa terbang tinggi. Namun pesawat itu sudah diambil kelompok lain. Saya malah tergoda mengambil taburan warna-warni. Bagi saya itu menggambarkan universalitas Metro TV, agar Metro TV tetap menjadi ‘Knowledge to Elevate’ yang menaungi berbagai bangsa, ras, kelompok, dll.

Di akhir permainan, gambar tangan berjabatan menjadi kesepakatan kami. Karena untuk mencapai semuanya, perlu kebersamaan antara personel di dalam sebuah organisasi. Bila tidak ada kebersamaan, maka suatu organisasi akan tampak sebagai sebuah kapal tanpa arah tujuan yang jelas, masing-masing bercerai berai memilih tujuan yang berbeda.

Setelah permainan tadi, kami dibagi menjadi tiga kelompok. Kami digiring ke suatu tempat yang berbeda. Di sana sudah tersedia tiga batang bambu panjang yang di letakkan di atas penyangga berupa paku kecil. Tugas kami hanyalah memindahkan bambu secara berbarengan dengan jari telunjuk ke tempat yang hanya berjarak kurang dari 10 centimeter dari tempat semula. Saya sempat berpikir itu adalah tantangan paling mudah.



Namun, ternyata itu adalah tantangan tersulit. Entah bagaimana, bambu kami tidak mau diajak berdamai. Dia seperti punya kekuatan sendiri untuk bergerak sesuka hati, tidak mau diatur untuk dipindahkan ke tempat baru. Kami sempat ditakut-takuti oleh sang fasilitator, bahwa bambu itu memiliki kekuatan magis.

Akhirnya setelah hampir satu jam kami berjibaku dengan bambu ajaib, kami bisa memindahkannya. Rahasianya adalah, kami harus menjadi satu tim yang utuh. Tidak ada yang saling mendahului, atau tidak ikut aturan. Harus ada satu pemimpin yang mengatur bawahan agar bergerak sesuai aturan. Setelah Mr. G memimpin…dan bravo! Bambu-bambu kami pun berhasil dipindahkan. Dan kami bisa segera beristirahat makan siang.



Tanpa basa-basi, kami segera menyerbu tenda tempat panitia menyuguhkan hidangan makan siang. Menu kali ini adalah sayur asam, ayam goreng, tempe-tahu goreng, lalapan, nasi panas, karedok, kerupuk dan sambal terasi. Yummy…! Hidangan sederhana itu tampak sangat istimewa, kamipun melahapnya dengan semangat empat-lima.
Tepat jam satu siang, kamipun berkumpul di lapangan tempat kami berkegiatan sebelumnya. Fasilitator tahu benar kalau kami dalam keadaan sangat ngantuk. Kami diajak bernyanyi-nyanyi yang katanya itu adalah nyanyian khas suku Aborigin saat akan pergi berperang. Saya lupa liriknya, tetapi seingat saya nyanyian itu cukup menyegarkan kami yang semula mengantuk.

Setelah selesai bernyanyi-nyanyi. Barulah fasilitator membagi kami dalam dua kelompok besar. Kelompok saya di pandu oleh Mas Ucup. Mas Ucup segera menginstruksikan kami agar berdiri melingkar. Setelah memberi penjelasan secukupnya. Maka permainan bola tangkap pun dimulai.

Mula-mula fasilitator melempar satu bola tenis. Kami pun saling melempar dan menangkap bola dam pola yang teratur dan terstruktur. Setelah kami lihai menguasai satu bola. Tiba-tiba masuk bola kedua yang lebih kecil berwarna biru dan dapat mengeluarkan bunyi bila kami meremasnya terlalu kencang. Setelah itu boneka karet berbentuk kura-kura, bola berwarna merah yang sangat ringan. Kami masih bisa menguasai keadaan walau kami agak sedikit bingung. Konsentrasi salah seorang dari kami pecah saat sebutir telur pecah di tangannya. Ternyata di antara lima bola ada satu telur mentah.

Kami pun belajar dari kesalahan dan bertekad untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Tim kami mulai kompak. Kami berhasil melewati tantangan bermain bola tangkap di lingkaran hingga lima bola sekaligus. Setelah dirasa fasilitator, tim kami sudah cukup mumpuni. Fasilitator mengajak kami menuju pojok yang berbeda di bawah pohon rindang, sambil membawa alat tulis tulis. Fasilitator mengajak kami berpikir apa maksud dari permainan itu sambil beristirahat.

Dalam kehidupan dunia kerja, kita seringkali dihadapkan pada beraneka ragam tugas dari yang ringan hingga yang berat. Terkadang tugas itu datang bertubi-tubi pada saat yang bersamaan. Siap atau tidak siap, kita harus siap karena itu adalah tugas. Dan dalam mendelegasikan perkerjaan ada aturan yang jelas. Kita tidak bisa ‘asal’ menyerahkan tugas kepada rekan lainnya yang tidak kompeten. Begitulah kira-kira maksud permainan itu.



Setelah kami berdiskusi. Mas Ucup memberikan tantangan lain. Kali ini hanya satu bola, dan kami harus melakukan bola tangkap dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kami menghabiskan waktu 17 detik untuk satu putaran. Kemudian 15 detik dan 9 detik. Mas Ucup mengatakan bahwa rekor yang sudah diraih adalah 2 detik untuk sejumlah orang yang sama dengan tim kami. Kami sempat tidak percaya. Namun fasilitator membangkitkan rasa kepercayaan diri kita. Hingga muncul ide-ide brilian dari berbagai orang untuk mendekatkan posisi kami, dan kali ini kami hanya perlu menggelindingkan bola dalam posisi jari telunjuk kami berdekatan. Dan kami mencatat rekor baru di bawah satu detik atau sekitar 40 frame.

Setelah menyelesaikan permainan bola tangkap, kami digiring ke sudut lain. Di sana sudah ada holahoop yang digantung sedemikian rupa. Tantangannya adalah kami harus bisa melewati holahoop tanpa menyenggolnya dan tidak boleh terputus dengan anggota lainnya.



Mungkin itu bukanlah hal yang sulit bagi orang semungil saya. Tetapi bagaimana dengan teman saya yang berukuran jumbo. Dan kami masih harus ditantang untuk saling terkait, tidak bercerai-berai sekalipun kami kerepotan berusaha melewati holahoop.
Tetapi kami punya solusi. Barisan paling depan adalah orang yang berukuran sedang, yang bisa melewati holahoop dengan mudah. Setelah itu anggota tim lainnya dan terakhir saya. Saat satu anggota melewati holahoop, kami yang dibelakang harus membantunya mengangkat kakinya. Begitupun setelah berhasil melewatinya, mereka masih harus berpegangan. Dan kebetulan kelompok saya yang berhasil memenangkan pertandingan melewati holahoop tanpa menyenggolnya.

Tantangan berikutnya, kami dua tim besar diberi sekitar 8 karet hitam berbentuk kotak berukuran 40 cm X 40 cm. Dan kami ditantang untuk menyeberangi jalan sepanjang 300 meter dengan alas tadi. Sedangkan satu tim terdiri dari dari 16 orang. Kami memutar otak bagaimana caranya kami bisa menyeberang bersama-sama tanpa menyentuh rumput. Namun hingga hampir 45 menit, kami belum juga bisa memecahkan tantangan tersebut. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menyatukan seluruh kekuatan. Kami bekerja-sama untuk menyeberangi jalan, dengan 16 alas hitam dan 32 orang. Dan kami berhasil. Inti dari permainan ini adalah, dalam satu organisasi kita harus bekerja-sama untuk mencapai satu tujuan.

Saya baru menyadari bila kantong-kantong plastik berisi air sudah disebar di hampir setiap titik. Beberapa jalur ditandai dengan tali. Dan di sisi kolam lumpur ada bendera Metro TV yang belum berkibar. Saya bertanya-tanya kira-kira tantangan apa yang sedang dipersiapkan oleh fasilitator.

Ternyata di ujung garis start ada obor untuk menyalakan lilin. Dan kami harus bekerja bahu membahu untuk menyelamatkan nyala lilin tersebut dari serangan air hingga garis finish. Tepat di garis finish ada jaring berbentuk lingkaran kecil seukuran bokong orang dewasa, dengan empat tali di keempat sisinya. Sang pembawa lilin harus duduk di atasnya dan diangkat oleh seluruh anggota kelompok. Sang pembawa lilin harus menyalakan obor yang berada di tengah kubangan lumpur. Obor itulah yang akan membakar tali pengait bendera. Saat tali itu putiyus karena terbakar api obor, maka saat itulah bendera Metro TV akan berkibar.

Para penyerang yang melemparkan kantong plastik berisi air adalah perumpamaan para kompetitor yang siap menyerbu kapan saja. Nyala lilin adalah nyawa Metro TV yang harus dipertahankan dengan penuh pengorbanan oleh segenap karyawan Metro TV. Dan semuanya harus bersatu-padu untuk mengibarkan kejayaan Metro TV.

Itu adalah pengalaman paling menegangkan. Kami sudah menggunakan berbagai taktik agar nyala lilin tersebut luput dari serangan begundal-begundal yang melempar air. Namun kami selalu gagal, hingga akhirnya kami membuat scenario pembawa lilin bayangan. Agar para penyerang terkecoh dan tidak tahu manakah pembawa lilin yang sebenarnya. Dan taktik ini berhasil sampai di finish walau semua pakaian kami basah kuyup.



Kini giliran saya menyalakan obor kemenangan. Saya sampai harap-harap cemas. Saya takut nyala lilin itu malah padam di tangan saya. Itu berarti saya sudah melukai banyak orang yang telah mengorbankan ‘jiwa dan raga’ demi nyala sang lilin. Dan akhirnya, saya berhasil juga. Bendera Metro TV berkibar dengan gagah diiringi dengan sorak-sorai seluruh tim. Ada haru, rasa suka dan kegembiraan yang teramat sangat.
Sambil menikmati kue dadar gulung dan risol, setelah permainan petang itu berakhir. Alam pikiran saya melayang jauh. Mungkinkah di kehidupan sebenarnya para elang juga akan bahu-membahu menyelamatkan markas besar elang (Metro TV) dari gempuran luar. Mungkinkah mereka akan mengorbankan ‘pikiran-jiwa-raga’ seperti dalam permainan ini. Wallahualam bisshawab.



Setelah permainan itu berakhir kami punya waktu kurang lebih dua jam untuk istirahat dan berbenah diri. Tepat jam 7 kami baru berkumpul kembali untuk makan malam di aula. Di sana sudah tersedia nasi panas, tumis kangkung, Tom Yam, ikan kakap, calamari, sambal, krupuk sebagai menu makan malam kami.

Baru saja kami menyelesaikan makan malam kami, Mas Thamrin sudah berseru, “Halo!”

Dan dengan spontan kami menjawab, “ Hai!”

Sebagai pemanasan, kami diajak bernyanyi bersama dengan gerakan yang khas.

Marina…Marina… Menari di Menara
Marince…Marince Menari di Menara.
Mas Epoy…Mas Epoy menari di menara


Setelah pemanasan di rasa cukup. Fasilitator memberikan kami gambar dan kami dipersilahkan untuk membaca gambar tersebut dengan seksama selama beberapa menit. Kami tidak boleh memperlihatkan gambar kami kepada orang lain.

Setelah itu masing-masing dari kami menceritakan gambar yang dimiliki. Mas Zul membuka ceritanya tentang seorang anak kecil yang mengintip keluar jendela, terlihat beberapa ekor ayam, babi/kuda kecil, dan lain-lainnya layaknya sebuah peternakan. Kemudian seperti biasa pemimpin kami Pak Arif memberikan ide agar kami berkelompok sesuai dengan gambar yang kami miliki untuk mempermudah terkuaknya misteri gambar.
Setelah berdiskusi, kami pun menaruh gambar-gambar kami berderetan dalam posisi tertutup. Dan ternyata setelah dibuka, gambar tersebut memiliki cerita yang berurutan. Luar biasa! Saya sampai tak habis pikir betapa ajaibnya jika kita saling menyatukan pikiran dan bekerjasama, maka tidak ada yang tidak mungkin dalam mencapai tujuan. Bahkan dengan mata tertutup sekalipun.



Dengan berakhirnya permainan ‘picture sequences’ maka berakhirlah serangkaian permainan Team Building pada outbound kali itu. Luar biasa! Dari permainan remeh, dapat terlihat dengan jelas karakter asli dari seseorang, mana yang manja, berjiwa pemimpin, lemot, egois, pemberontak, cerdas, sok tahu, setia kawan, dan lain-lainnya.
Selesai dengan permainan ‘picture sequences’, kami digiring ke aula yang berada tepat di bawah posisi aula tempat kami makan malam. Acara selanjutnya adalah bernyanyi dan berjoget dangdut. Sayang sekali saya melewatkan acara ini, karena kebetulan pada saat itu saya sedang mengobrol dengan pangeran saya yang merasa kesepian di rumah. Ternyata tidak hanya saya yang tidak hadir dalam acara itu. Mbak Linda dan Mbak Nurul sudah terlebih dulu menyingkir untuk memanjakan otot-otot yang kaku karena kelelahan yang teramat sangat dengan tukang pijat

Namun saya masih mengingat beberapa momen penting. Seperti ketika primadona tim kami, Mbak Livy menyanyikan lagu ‘Jablay’ dengan goyangan mautnya. Seluruh peserta bersorak-sorai, sambil berjoget ikut irama. Saya juga sempat mendengar suara sumbang Mas Miko menyanyikan lagu ‘Kemesraan’.



Dan malam itu pun berakhir, seiring dengan berakhirnya acara ‘gila-gila-an’ dengan bernyanyi dan berjoget dangdut. Jika malam sebelumnya kami hampir tidak tidur. Maka malam itu kami tidak ada alasan lagi untuk tidak tidur. Kelelahan teramat sangat sudah menyerang bersama kantuk yang tak tertahankan.

Sambil berbaring di atas selembar kasur tipis yang terhampar di atas lantai kayu, saya berusaha memejamkan mata. Dalam gelap, saya sempat mengedarkan pandang ke sekeliling. Yani yang tidur di sebelah kiri saya tampak sudah pulas, begitu juga Mbak Yanti. Dan sebagaian besar perempuan di pondokan kami. Hanya mbak Linda dan Mbak Nurul yang masih belum menyelesaikan sesi pemijatannya di bagian bawah pondokan.

Sunyi mulai terasa seiring dengan malam yang merambat naik. Saya pun tidak mendengar suara apa pun dari pondokan lelaki. Tampaknya mereka juga sudah terlelap karena kelelahan. Dan perlahan tapi pasti, saya pun terlelap. Saya tidak sabar menyambut pagi. Hoahem….zzzzzz

Day 3 (18 Juli 2010)



Setelah menikmati sarapan pagi berupa nasi uduk lengkap, kami pun digiring oleh pemandu menuju tempat perlengkapan rafting. Kemudian kami dipersilakan untuk mulai mengenakan perlengkapan rafting. Perlengkapan terdiri dari Life Jacket, Helmet dan dayung. Life Jacket disesuaikan dengan ukuran badan, mulai dari S-XL. Setelah tiap orang telah mengenakan perlengkapan dengan lengkap, kami pun dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Masing-masing terdiri 4 orang dan dipandu oleh 1 orang guide. Beberapa kelompok dipandu oleh dua guide. Ada juga tim yang dipandu oleh lebih dari satu guide. Biasanya mereka adalah guide baru yang jam terbangnya belum sebanyak guide senior.



Kebetulan saya sekelompok dengan Mas Miko, Agung, Mas Epoy, dengan guide bernama Lalan. Setelah semua siap, kami diberangkatkan ke tempat start dengan mobil pickup. Masing-masing mobil pick up terdiri dari 2 kelompok, lengkap dengan para pemandunya.
Dan pengalaman waktu di bus saat menuju caldera pun terulang kembali. Berkelok-kelok, naik-turun, terguncang-guncang. Benar-benar memacu adrenalin. Hal yang paling mengerikan adalah ketika pick up kami harus mendaki dengan ketinggian yang nyaris mencapai 90 derajat.

Tak lama kemudian mobil pick up yang kami tumpangi berhenti di suatu tempat. Saya pikir perjalanan kami telah berakhir. Ternyata tidak! Kami masih harus menuruni jalanan becek berbatu-batu yang curam, berjalan di pematang sawah nan becek, semak belukar, dan lain-lain. Kami benar-benar merasakan suasana desa yang sesungguhnya.
Dalam hati saya berdoa, semoga desa-desa itu tetaplah begitu. Tidak tergerus arus modernisasi yang terbawa oleh para turis peserta wisata rafting. Semoga, sawah-sawah itu juga tidak diambil-alihkan menjadi pondokan-pondokan baru.

Sampai di tempat start, kami pun mengantri untuk naik ke perahu karet. Sambil menunggu antrian, kami diberi pengarahan oleh leader mengenai kode-kode yang akan dia ucapkan saat nanti kami rafting. Karena ini pengalaman pertama saya berarung jeram. Maka saya mendengarkan dengan cermat setiap penjelasan dari arung jeram.
‘Maju’ berarti mendayung ke arah belakang. ‘Mundur’ berarti mendayung ke arah depan.
Terkadang pada beberapa kasus, perahu karet kami harus menghindari batu di sebelah kiri atau pun kanan. Maka ketika guide memberi aba-aba ‘Pindah kiri’, maka orang di sebelah kanan pindah ke kiri. Begitu pun ketika guide memberi aba-aba ‘Pindah Kanan’ maka orang di sebelah kiri pindah ke kanan. Sedangkan aba-aba ‘bump’ berarti penumpang perahu karet harus segera menunduk / duduk di lantai perahu untuk menghindari ranting-ranting pohon di sungai.

Sang leader juga tidak henti-hentinya mengingatkan agar dalam kondisi apapun, tangan kiri kita harus menutupi ujung dayung agar tidak mencederai penumpang lainnya. Karena dari sekian banyak kasus kecelakaan di dalam perahu karet terjadi karena akibat terbentur gagang dayung.

Selain itu kami juga diajarkan tentang apa yang harus kita lakukan kalau-kalau anggota tim tercebur. Bagian yang harus diangkat adalah pelampungnya, bukan tangan atau malah kepala. Hingga akhirnya tiba giliran kami untuk masuk ke boat dan rafting pun dimulai!

Mas Miko salah satu anggota tim kami yang katanya sudah berkali-kali berarung jeram tampak sangat antusias dan terkesan tidak sabaran. Saat sang guide belum memberi aba-aba, Mas Miko sudah mendayung. Bahkan Mas Miko mengabaikan cara peletakan kaki yang benar untuk keselamatan. Kami cemas dengan kelakuan Mas Miko yang bisa berdampak buruk bagi keselamatan seluruh awak. Akhirnya kami mulai mendayung.

Kami akan mengarungi sungai citarik sepanjang 9 km dan akan menghadapi 21 jeram selama kurang lebih 2 jam. Jeram pertama yang kami lewati adalah jeram Ayu, sesuai dengan namanya jeramnya terlalu kemayu alias tidak terasa. Saya tidak terlalu ingat nama-nama setiap jeram, saya hanya ingat beberapa seperti jeram which way (karena di bawahnya ada 2 jalur), jeram kincir (karena dulu ada kincir angin kecil buatan belanda di pinggir sungai), jeram sirkuit (karena di jeram tersebut para instruktur berenang semasa pelatihan), dan jeram yang paling dahsyat adalah jeram Jumping Jackless, dll.

Selama berarung jeram, seperti yang kami duga sebelumnya. Mas Miko lah yang paling sering bermasalah. Saat guide memberi aba-aba maju, Mas Miko malah diam. Saat tidak ada aba-aba, Mas Miko malah mendayung. Mas Miko mengabaikan kemana harus meletakkan kaki selama berarung jeram. Akibatnya, Mas Miko lah yang paling sering terjatuh saat perahu karet kami mengalami goncangan hebat akibat arus liar. Puncaknya adalah ketika Mas Miko terjatuh keluar. Untung saja ada perahu tim lain yang berada di antara perahu kami dan tebing batu, kalau tidak mungkin Mas Miko bisa celaka. Saya bisa lihat jelas betapa saat itu Mas Miko panik. Kami pun bahu-membahu saling membantu untuk mengangkat Mas Miko naik ke atas perahu karet.

Tiba-tiba saya ditarik oleh tangan kekar yang tidak lain adalah Mas Miko hingga terjatuh ke dalam air sedalam lebih dari dua meter. Saya yang kaget dan panik hampir tidak dapat menguasai diri selain pasrah meminum air sungai butek, dan membiarkan air masuk ke lubang hidung dan telinga saya. Saya tenggelam dan ini tidak bercanda. Kontan, Mas Miko dan anggota tim yang lain menyelamatkan saya.

Saya pun mulai menikmati berenang-renang di air. Saya hanya mencemaskan kalau-kalau sepatu crocs kesayangan saya ikut hanyut. Suasana mencekam berubah menjadi derai tawa. Akhirnya seluruh anggota tim, ikut berenang-renang di dalam air sungai yang cukup tenang. Hingga sang guide mengisyaratkan untuk naik kembali ke dalam perahu karet dan melanjutkan perjalanan.

Namanya Pak Lalan. Dia adalah guide tim kami. Pak Lalan termasuk salah satu guide senior yang sudah hampir 10 tahun menjadi guide arung jeram. Sebelum bekerja di Caldera, dia pernah beberapa kali bekerja di tempat-tempat serupa, termasuk di Bali. Keahlian Pak Lalan dalam mengendalikan perahu karet di arus liar tidak perlu diragukan lagi. Pak Lalan pun sangat jenaka, dia tahu benar bagaimana memanfaatkan kecemasan kami untuk bercanda.



Sesekali Pak Lalan memberi aba-aba ‘bump’. Dan kami dengan cekatan menunduk menghindari sesuatu yang kami sendiri tidak tahu. Pak Lalan tertawa terbahak-bahak. Rupanya Pak Lalan menipu kami. Kali lain Pak Lalan melempar tali menyerupai biawak sambil berseru ‘Biawak!’ ke arah saya. Dan seketika itu pula saya berteriak sekencang-kencangnya memecah kesunyian. Dan para lelaki hanya tertawa terbahak-bahak.

Pak Lalan juga mengajak kami merasakan “komedi putar” yang berarti adalah mengarungi jeram dengan perahu karet yang sambil berputar-putar. Caranya adalah orang disebelah kanan mendayung mundur sedangkan orang di kiri mendayung maju. Jadilah kami terombang-ambing sambil terputar-putar. Tidak terasa hampir dua jam telah berlalu. Perahu karet kami telah tiba di garis finish. Sesampainya kami di sana, kami langsung disuguhi kelapa muda, bakwan dan Tom Yam hangat. Sungguh hidangan yang pas untuk kami yang sedang kelelahan dan kehausan sekaligus lapar. Kami saling bersendera-gurau melepas lelah sambil menikmati hidangan istimewa. Namun sayang dua orang dari kami, terluka. Bang Parlin, anggota senior kamilah yang terparah. Luka akibat terpelanting dari perahu karet dan tergores batu tajam membuatnya harus dibantu dua orang untuk berjalan.

Setelah cukup beristirahat, kami pun diantarkan kembali ke pondokan dengan mobil pick up. Jalur yang kami lewati masih sama terjalnya dengan keberangkatan kami. Yang berbeda hanyalah, kali ini pakaian kami basah kuyup dan didera kelelahan yang teramat sangat. Saya tidak sabar untuk mengikuti permainan selanjutnya. Flying Fox.
Sesampainya di Caldera, kami melompat dari pick up dengan sisa tenaga yang tersisa. Setelah kami mengembalikan semua peralatan rafting ke tempat semula, kami berlari-lari kecil menuju tempat persiapan flying fox. Beberapa orang sudah memisahkan diri dari rombongan untuk membersihkan diri. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang memiliki phobia dengan ketinggian.

Saya dan beberapa orang lainnya dalam keadaan basah kuyup yang telah siap dengan peralatan keselamatan untuk flying fox segera menyeberangi jembatan kayu setapak yang diberi pengaman jaring-jaring di sisi kanan dan kirinya. Jembatan akan bergoyang-goyang seirama dengan langkah kaki kita. Untuk keamanan, kami hanya diperbolehkan menyeberang lima orang dalam sekali jalan.

Setelah sukses menyeberangi jembatan, kami berbaris antri untuk menunggu giliran flying fox. Walaupun itu pengalaman pertama saya melakukan flying fox, sedikitpun hati saya tidak merasa kecut. Saya malah merasa sangat antusias untuk terjun bebas dengan bantuan tali pengaman.

Turun dari flying fox, kue Putri Ayu berwarna hijau dengan taburan parutan kelapa di atasnya dan risoles goreng sudah menanti di meja. Yummy! Tanpa basa-basi, saya dan beberapa teman yang lain langsung menyerbu untuk menyantapnya. Setelah puas dengan sajian camilan alakadarnya itu, saya pun memilih segera kembali ke pondokan untuk membersihkan diri dan berbenah, karena tepat jam 12 siang kami akan meninggalkan tempat ini.

Akhirnya sajian menu makan siang berupa nasi panas, ayam goreng, empal goreng, urap, soto babat, emping, sambel merupakan makan terakhir kami sebelum meninggalkan Caldera. Bis ‘White Horse’ dan mobil lainnya yang membawa rombongan kami sudah menanti di halaman parkir.

Setelah menyelesaikan makan siang, mengambil foto petualangan rafting kami, dan berpamitan dengan fasilitator dan segenap kru yang telah membantu kami. Akhirnya kami naik ke dalam bis dan kembali ke Jakarta.

Selamat tinggal Caldera! Saya pasti akan kembali, entah kapan.

Jakarta, 21 Juli 2010

Jumat, 16 Juli 2010

TENTANG MALAIKAT

(Lanjutan dari JANGAN AMBIL MALAIKATKU!)
Sepanjang kehidupan saya, para malaikat datang dan pergi silih berganti. Satu-persatu dari mereka datang saat saya sedang kepayahan melangkah, kemudian kembali pergi setelah saya mampu berdiri dengan tegak dan tersenyum. Para malaikat tanpa sayap dalam bentuk manusia ini seperti dikirim Tuhan untuk menemani masa-masa sulit saya. Mereka dikontrak dengan periode kontrak yang telah ditentukan. Setelah waktunya berakhir, maka dia juga akan segera pergi dan pindah ke kontrak barunya dengan menjadi ‘guardian angel’ untuk orang yang berbeda.

Saya tak pernah bisa menerka kapan Tuhan akan mengirimkan malaikatnya untuk saya. Bahkan terkadang saya baru bisa mengenali malaikat saya di penghujung waktu atau malah setelah takdir memisahkan kami dan membawa saya pada malaikat lain yang berbeda.

Beberapa waktu lalu saya kembali dalam posisi yang tidak menguntungkan. Saya dirundung kesedihan setelah mengalami beberapa ujian, dan ketika saya mencoba memahaminya. Tuhan mengirimkan malaikat lagi untuk menemani saya.

Dia tidak datang sebagai malaikat sempurna seperti sebelumnya. Dia justru datang dengan segenap permasalahannya. Namun justru dari permasalahannyalah saya bisa belajar banyak, bahwa hidup tidak selamanya mulus sesuai rencana. Saya belajar untuk mensyukuri hidup saya yang jauh lebih beruntung darinya. Dan saya belajar untuk memahami bahwa segala sesuatu pasti ada alasannya. Sekalipun itu adalah tindakan yang kejam.

Sebelumnya dia datang, saya adalah perempuan yang terluka. Dia datang menyembuhkan dengan caranya sendiri. Karena dia ternyata adalah gambaran dari seseorang yang menyakiti saya.

Dia menemani saya memahami hidup dalam kesenyapan. Dia membuka mata hati saya bahwa hidup ini adalah kejam, tidak seputih yang saya bayangkan. Dia juga yang mematahkan teori-teori saya tentang bagaimana membalas kejahatan dengan kebaikan dan doa.

Dia mengajari saya dengan kebencian dan kemarahannya yang teramat sangat pada hidupnya, juga pada orang-orang yang pernah menyakitinya. Dia tidak hanya mengurai hidupnya yang getir, tetapi juga menularkan kebenciannya pada saya. Hingga saya ikut menangis dan meradang pada mereka yang telah menyakiti malaikat saya. Bahkan saya ikut merasakan kehancuran yang sama seperti yang dia rasakan.

Bersamanya saya seperti ikut serta dalam hidupnya yang seperti roller coster, melambat kemudian menghentak dan bergerak sedemikan cepat bersama deru emosi, kemudian melambat lagi dan kemudian jungkir-balik dalam roda ceritanya. Saya yang semula takut dan mengambil jarak tiba-tiba ingin ikut menyelesaikan akhir perjalanan dari roller coster tersebut. Saya tidak mau berhenti di tengah, atau saat saya berada dalam posisi jungkir-balik, kepala di bawah bergantung pada pengaman pinggang, yang siap menjatuhkan saya kapan saja dengan gaya gravitasi bumi.

Dia mengajarkan saya sebuah pembalasan dendam yang sempurna. Bersamanya saya seperti menjadi seorang agen rahasia yang sedang melancarkan aksi rahasia dengan sembunyi-sembunyi. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu.

Saya hanya terkagum-kagum ketika dia mengurai sederet taktik yang sudah dipersiapkannya dengan sempurna. Dia tahu benar kapan harus maju menyerang dan kapan harus mundur untuk menghilangkan jejak. Dia mengajari saya menjadi spionase ulung yang semula hanya saya lihat di film-film Barat.

Dia menceritakan hampir setiap detil rencananya kepada saya. Dan saya hanya ternganga mendengar setiap kejutan yang dia lontarkan. Dia menawari saya untuk menjadi bagian dari aksinya.

” Aku harap kamu mau membantu...”

Saya sampai terkesiap ketika tanpa terduga dia mengatakan hal itu. Saya sempat menimang-nimang, hingga akhirnya dengan gegap gempita saya menerima tantangan itu. ” Baik... siapa takut.” Mata saya berbinar-binar dan dia mengangguk. Setelah itu saya resmi menjadi Ms. Spy dari seorang James Bond.

Malaikat saya mengajari saya untuk bermimpi. Dia menularkan mimpinya kepada saya. Mimpinya untuk mengejar suksesnya yang juga merupakan bagian dari pembalasan dendamnya.

” Kamu tahu, suatu hari nanti mereka yang pernah mencampakkan aku, akan menyesal...” Dia mengatakan hal itu berkali-kali di hadapanku, sambil sorot matanya memancarkan emosi yang meletup-letup.

” Dalam waktu dekat, aku akan mendapatkannya....”

” Kamu tahu, sebentar lagi Ferrari itu akan jadi milikku...”

” Suatu hari nanti, kamu pasti akan sulit bertemu denganku. Karena aku akan menjadi orang sukses yang teramat sibuk....”

Dan hampir setiap hari saya dicokoli dengan kalimat afirmatif positif tentang mimpinya. Saya tidak menghindar, malah saya terus mendekat.

Begitupun saya adalah seorang pemuja mimpi. Saya percaya benar bahwa apa yang terjadi nanti tergantung dari apa yang kita pikirkan sekarang, You are what you think all day long. Saya berkali-kali membuktikannya. Dan saya terus-menerus membesarkan hatinya dan menyemangatinya agar tidak menyerah merebut mimpinya.

” You are what you think all day long!” Saya dengan berapi-apinya menyemangatinya ketika dia kembali menceritakannya.

” Well, I’m thinking I’m Brad Pitt but neever been Brad Pitt. Bahkan mungkin tidak akan pernah menjadi Brad Pitt.” Katanya saat itu. Saya dibuat melongo, hampir bingung mau membalas apa.

” Yah....bermimpi juga mesti realistik, bung!”

” Well, itu berarti teorimu tidak valid...”

Dan saya memilih untuk diam daripada harus mendebat sang jago berkelit. Saya tahu, mungkin dia hanya sedang menguji hati saya yang mudah kecut.

” Dan aku bingung, kenapa kamu mau bertahan dalam keadaan seperti ini. Aku benci melihat orang dengan talenta seperti kamu berada dalam posisi tidak berguna seperti ini.”

Leher saya hampir tercekat ketika dia mengatakan hal tersebut kepada saya.
” Kamu seharusnya bisa menjadi lebih baik lagi dengan memanfaatkan semua potensi kamu? Dan kamu malah memilih terpenjara tanpa penghargaan yang pantas.” Sorot matanya yang tajam lekat menghujam hati saya yang paling dalam. Saya hampir menangis kehabisan kata. Saya tidak sanggup membela diri.

Huh....Saya kesal setengah mati saat itu. Walau dalam hati saya membenarkan kata-katanya. Bahwa saya, hampir saja menjauh dan mengambil arah yang berbeda dari mimpi saya. Saya bahkan hampir tidak sanggup memunguti kepingan-kepingan mimpi yang sempat tercerai-berai. Saya menunduk.

Pandangan matanya mulai melembut, mungkin dia mulai melihat kerapuhan saya. ” Well, itu semua pilihanmu....” Dia mengangkat bahunya sambil mulutnya komat-kamit.
Saya mengangkat wajah menatapnya, dan dia membalasnya dengan senyum sinis membuat hati saya semakin kecut.

” Pilihanmu untuk memasrahkan diri pada sesuatu yang kamu sebut takdir. Sambil terus berkisah tentang betapa nyamannya dirimu pada orang-orang sekelilingmu. Kamu pikir mereka benar-benar peduli dengan kamu?” Matanya mendelik. Saya melongo.

” Tidak...tidak ada yang lebih peduli kepada diri kamu selain diri kamu sendiri. Camkan itu...berlarilah mengejar mimpimu! Tinggalkan omong kosong itu!”

Kali lain dia menceritakan tentang kegilaannya pada seorang wanita. Kegilaan karena cinta yang menyakitkan. Dia lagi-lagi menceritakan tentang betapa getir adalah teman akrabnya, begitu juga dalam hal percintaan. Satu-persatu cintanya memilih mundur teratur demi sebuah cinta yang dirasionalisasi.

” Semua perempuan itu sama saja...”

” Maksudmu?” Saya mengernyitkan dahi menatap wajahnya yang penuh kegeraman teramat sangat.

” Perempuan mengejar kenyamanan, financial security alias materialistis. Cinta bagi mereka adalah memanjakan dirinya dengan berlian, mobil mewah, rumah mewah, dan ...”
” Maksudmu?” Saya memutusnya sambil mendelik.

” Ya perempuan itu pada dasarnya materialistis...” Kegeramannya masih belum berkurang.

” Aku tidak...” Saya membela diri, dia melihat saya sejenak, sebelum akhirnya dia berkata,

” Well, mungkin kamu adalah pengecualian. Tapi kurasa tidak juga. Aku tidak yakin kamu siap hidup susah...” Saya terkesiap.

Terserahlah saya malas berdebat dengannya. Saya pasti kalah. Saya benci kalah. Dia memang malaikat yang aneh, dia membuat saya nyaman dengan caranya sendiri.
Malaikat saya mengajarkan bagaimana mengejar cinta. Dan saya terang-terangan menolak teorinya. Saya setuju pendapat John Powell, konselor dan penasihat spiritual. Bahwa dalam mencinta, yang terjadi adalah: cinta bersyarat atau cinta tak bersyarat.

”Tidak ada kemungkinan ketiga!”

Bila untuk mencintai kita memerlukan syarat, berarti cinta itu bukan cinta sejati. Cinta sejati adalah harus dan merupakan hadiah yang diberikan secara cuma-cuma. Kita benar-benar cinta bila orang yang kita cintai mendapatkan cinta kita, bukan karena ia pantas menerima cinta kita. Disebut pantas karena cantik, anggun, ganteng, baik hati, dsb. Kita sadar bahwa orang yang kita cintai bukanlah orang yang terbaik, bukan orang yang paling hebat, bukan yang paling cocok.

Namun, itu semua tidak menjadi persoalan. Yang penting adalah bahwa kita telah memilih untuk memberikan kepada orang yang kita cintai berupa cinta kita, dan juga telah memilih untuk mencintai kita. Dalam kondisi inilah cinta dapat tumbuh dengan baik.

Sebaliknya, orang yang dicintai karena alasan pantas atau dianggap berhak menerima cinta, selalu menimbulkan keraguan: mungkin saya tak dapat membahagiakan orang yang saya inginkan mencintai saya. Atau mungkin selalu ada rasa cemas, jangan-jangan suatu waktu cinta akan lenyap.

Selain itu, cinta yang didapat karena alasan pantas menerimanya selalu meninggalkan rasa getir dalam kesan: bahwa orang dicintai bukan karena dirinya, tetapi kemampuannya membuat orang lain senang. Ini bukan cinta, tetapi manipulasi! Cinta sejati tanpa syarat, dan bersifat membebaskan.

“ Kamu tidak tahu apa-apa tentang sakit hati…” Dan dia pun geram.

“ Aku pernah kehilangan cinta... Saiful Malook?”

“ Saiful Malook itu berbeda…dia maya. Dan aku nyata.” Dia membuat saya kecut untuk kesekian kalinya.

Singkat cerita, Dia dengan cepat menguasai hidup saya. Membenahi hal-hal yang perlu dibenahi dalam hidup saya. Setiap satu hal terselesaikan, saya mulai cemas kalau malaikat saya ini juga akan pergi meninggalkan saya.

Demi Tuhan saya tidak rela bila saya harus kehilangan malaikat saya kali ini. Malaikat yang telah menceriakan hari-hari saya. Malaikat yang telah memberi warna dalam hidup saya, dan bahkan menginspirasi saya pada novel saya berikutnya.
Hingga saya memohon kepada Tuhan agar Dia tak mengambil malaikat saya kali ini.
” Tuhan, tolong jangan ambil malaikatku!”

Saya menjadi serakah dan egois. Saya tidak ingin siapa pun memiliki dia. Saya mencoba merampasnya dari Tuhan. Agar Tuhan tidak bisa memindah-tugaskan malaikat saya pada orang lain.

Suatu kali saya bertanya padanya, ” Apakah kamu juga akan terbang meninggalkanku sendiri seperti malaikat-malaikat lain?”

Dia membalikkannya dengan, ” You are what you think all day long. Tergantung dari apa yang kamu pikirkan.” Dia tersenyum sinis.

” Aku tidak mau...”

” Maka aku akan menjadi malaikatmu selamanya...” Dia membesarkan saya.

Seiring dengan waktu, perlahan tapi pasti. Dia mulai menjauh dan bersiap terbang. Mula-mula, kedua kakinya berdiri tegak sambil memandang saya. Kemudian dia menghiraukan saya sambil merentangkan sayapnya yang membuat saya terpukau, karena sebelumnya saya pikir dia tidak bersayap. Hingga dia mulai mengangkat kakinya satu, sambil menoleh ke arah saya yang memelas agar dia tidak terbang.

Hingga saya hampir kehabisan alasan untuk menahannya agar tidak terbang. Begitu pun saya mulai kehabisan alasan untuk menangis.

Dan saya masih memandang sudut-sudut dimana dia menemui saya. Saya masih memandang setiap jengkal jalan tempat dia pernah membawaku terbang. Sambil terus mengingat setiap kisah yang meluncur dari mulutnya.

Sudut-sudut itu masih sama, jalan raya, rambu, bangunan, dan lainnya masih sama. Yang berbeda hanyalah tidak ada lagi dirinya. Dan pasti tidak akan sama.
Pertemuan dan perpisahan adalah dua sisi mata uang yang tak akan terpisahkan. Tidak akan pernah ada pertemuan bila tidak ada perpisahan. Begitu juga tidak pernah ada perpisahan tanpa pertemuan.

Mungkin di belahan bumi lain, ada seseorang yang sedang membutuhkan hangatnya sayap sang malaikat. Mungkin Tuhan tahu, saya sudah cukup kuat berjalan. Dan mungkin, Tuhantelah mempersiapkan malaikat lain untuk menemani saya. Mungkin juga anda adalah malaikat saya berikutnya....

Jakarta, 16 Juli 2010
Risma Budiyani

Kamis, 24 Juni 2010

MAAFKAN, AKU SELINGKUH



Aku adalah perempuan bersuami , yang sangat mencintai suamiku. Karena hampir tidak ada yang perlu kusangsikan untuk tidak mencintai pangeran tampan yang telah mendampingiku dalam suka dan duka, dalam gelisah dan mendesah, dalam temaram dan terang. Setiap detik desah nafasku adalah hanya wajahnya yang selalu membayangi. Tidak ada yang lainnya.

Aku mencintainya tanpa syarat. Sedang debar hatiku masih sama kerasnya ketika aku pertama kali menjumpainya. Senyumnya menceriakan duniaku, sekalipun saat itu duniaku seperti neraka. Dia memanjakanku dengan segenap perhatian. Seandainya aku meminta bulan sekalipun, dia akan bersusah-payah untuk mendapatkannya asal aku bisa tersenyum.

Dia selalu berusaha keras untuk tidak membuat aku menangis. Satu tetes air mataku jatuh akan membuatnya terluka hingga dia tidak henti-hentinya menyalahkan kebodohannya yang telah menyia-nyiakan anugerah terindah dalam hidupnya.

Baginya, aku adalah anugerah terindah yang pernah ada dalam hidupnya. Dia telah melewati perjalanan panjang untuk mencari seorang bidadari untuk menemani hidupnya yang gersang. Dan akulah bidadari itu.

Tersanjung? Tentu saja aku tersanjung. Dan aku yakin perempuan mana pun akan tersanjung bila kekasihnya, suaminya memujanya setengah mati. Hingga kau sampai tidak tahu lagi, bahwa di sana ada ratusan juta pasangan yang saling mengkhianati pasangannya. Hingga kau pikir bahwa kamu adalah perempuan paling beruntung sedunia.

Apakah aku bahagia? Tentu, tentu saja aku bahagia. Setiap detik yang terlewati ada senyum, canda dan tawa. Aku sudah lupa bagaimana rasanya menangis ketika aku kehilangan sesuatu. Aku sudah lupa bagaimana rasanya kecewa karena aku tidak mendapatkan sesuatu yang aku inginkan. Aku sudah lupa rasanya bersedih. Karena semenjak aku berjumpa dia, yang ada adalah episode bahagia.

Kalau misalkan kisah Sampek – Engtay, Romeo – Juliet, Laila Majnun, Rama-Shinta, Maka kamilah kisah itu. Aku yakin bila sesuatu yang buruk terjadi pada diriku. Pangeranku akan mati perlahan. Atau malah parahnya dia akan mati bunuh diri.

Baginya aku adalah separuh jiwanya. Bila separuh jiwanya pergi, maka dia tidak akan bertahan hidup lebih lama. Sama seperti elang yang setia sampai mati dengan pasangannya.

Baginya aku adalah dunianya. Aku dan segenap pesona yang kumiliki telah mengalihkan dunianya. Telah menutup matanya dari para gadis-gadis muda belia lagi cantik yang berseliweran. Aku…aku…

Ah… Tidak ada lagi yang patut aku ceritakan selain kami adalah pasangan serasi. Kami berharap, cinta kami tidak akan pernah lekang di makan oleh waktu. Biarkan kami mencinta sampai nyawa ini terlepas dari raga. Dan izinkan kami mencinta hingga masanya kami berkumpul di surga.

Hingga pada suatu hari aku bertemu dengan lelaki lain dalam kehidupanku. Lelaki itu tidak lebih tampan dari pangeranku. Tetapi pesonanya seakan mampu mengalihkan sebagian duniaku yang semula dikuasai oleh pangeranku. Bagiku pangeran dan dia adalah dua sosok berbeda yang saling melengkapi.

Namanya James. Entah bagaimana tiba-tiba Tuhan mengirimkan lelaki itu di salah satu episode dalam hidupku. Dan menurutku ini adalah episode yang salah. Mengapa James datang terlambat? Mengapa tidak dahulu ketika aku masih lajang dan belum bertemu pangeran.

James adalah lelaki yang tampan. Dia selalu terlihat percaya diri, dalam setiap kesempatan. Dia seperti tahu apa yang ingin dilakukannya. Aura positifnya terlihat sedemikian kuatnya memancar dan menjadi daya tarik tersendiri. Aku yakin James, mampu memikat siapa saja yang bertemu dengannya. Tidak hanya para gadis lajang, mungkin siapap pun orangnya akan suka memandangnya.

Aku tidak pernah berkenalan langsung dengan James. Tetapi aku mengenalnya. Dan aku yakin semua orang yang tinggal sekomplek dengannya akan mengenalnya tanpa berkenalan dengannya. James memang berbakat menjadi seorang selebritis.

James sangat tampan. Suatu kali aku pernah berpapasan dengan James. Dan Oh Tuhan, bola matanya yang perpaduan biru dan hijau demikian cantiknya menghias matanya. Aku hampir tidak berkedip melihatnya. Tiba-tiba saja, mata coklat pangeranku di rumah yang selama ini aku puja dan aku kagumi, tidak ada apa-apanya dibandingkan mata James.

Aku sampai menghentikan langkahku demi untuk melihat James lebih dekat. Sambil menciumi habis aroma tubuhnya yang harum. Walaupun sebenarnya, wangi James tidak lebih harum dari Obsession for Men-nya Calvin Klein milik pangeran. Tetapi aku menyukainya. Terlihat sekali bahwa James adalah lelaki yang merawat diri.

Aneh, sejak kapan aku menyukai lelaki berkumis? Dahulu aku tidak pernah suka lelaki berkumis yang terlihat sangat kebapakan. Tetapi kumis James, sungguh memikatku. Dan justru kumis itu membuatnya tampak maskulin di usianya yang aku yakin masih muda.

Dan aku masih belum berani berkenalan langsung dengannya. Selain malu, aku juga masih menjaga diri. Apa kata orang kalau seorang perempuan bersuami berkenalan dengan lelaki yang bukan muhrim. Lagipula apa alasan aku untuk berkenalan dengan James?

Tanya PR seperti di masa-masa sekolahku dulu? Tanya laporan revenue penjualan program untuk melengkapi laporan mingguanku? Atau menanyakan mengapa hukum ekonomi tidak lagi bisa menjelaskan keadaan negara kita? ATau malah menanyakan kredibilitas hukum di Indonesia? Ah sepertinya itu terlalu mengada-ada. Jangan-jangan James malah mundur teratur dan lari tunggang-langgang karena aku mendekatinya dengan cara yang aneh.

Dan aku hanya berani memandangnya dari kejauhan. Dalam jarak yang tidak terlalu jauh namun juga tidak cukup dekat. Asalkan dari tempatku berdiri, aku bisa dengan leluasa mengamati James.

Aku sampai hafal jadwal James. Di pagi-pagi buta biasanya James berlari pagi keliling kompleks. Kemudian sekitar jam setengah tujuh pagi. James akan berdiri di sekitar taman, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Aku tidak pernah tahu James sebenarnya bekerja sebagai apa? Dan dimana? Tetapi aku tidak peduli dan tak perlu tahu.

Akhirnya aku memajukan sedikit jam pergi ke kantorku agar aku bisa melihat James pada jam-jam itu. Suatu kami pangeran curiga, mengapa kini aku berangkat pagi lebih cepat dari biasanya. Dan aku hanya berkelit,

“ Pekerjaan kantor sibuk sekali…” Kemudian aku mengambil tas dan laptop-ku, kemudian menciumnya mesra.

“ Dagh…honey, sampai sore nanti…” Kemudian aku dengan tergesa-gesa meninggalkan halaman rumah diiringi tatapan heran pangeran. Aku berharap semoga Pangeran tidak curiga oleh perubahan sikapku yang lebih ceria dan selalu berangkat pagi hanya demi melihat James.

Suatu kali pangeran memaksa, “Hari ini aku antar kamu ke kantor?”

Oow…. Gawat…! Aku sedikit gugup, namun aku berusaha menguasai diriku. “ Gak usah sayang, nanti kamu telat ke kantor.”

Padahal aku tahu kalau pangeran sudah memanaskan mobil semenjak pagi buta, hanya demi mengantar aku bidadarinya. Namun aku memutus harapannya dengan merajuk.

“ Tapi ini kan hujan sayang…” Pangeran lagi. Aku tersenyum mesra, kemudian menggelendot manja pada pangeran.

“ Cuma gerimis, nanti aku bisa naik taksi.” Aku sambil memeluk pangeran.

Pangeran agak berat membiarkan aku.

“ Boleh ya sayang?” AKu merajuk. Lama menunggu jawaban, Pangeranku mengkerutkan dahinya seperti menimang-nimang. Kemudian dia menatapku yang sedang memasang tampang memelas. Dia agak ragu sebelum akhirnya memutuskan untuk membiarkan istrinya pergi sendiri. Pangeran tersenyum, dan mengangguk.

“ YES !” Dalam hatiku berseru, sambil melonjak kegirangan. Tentu saja aku tidak mau membiarkan suamiku mengetahui rencanaku. Tentang aku yang sengaja menolak suamiku untuk mengantarku. Karena sebenarnya aku ingin melihat James. Aku pun mencium bibir suamiku dengan cepat.

“ Thanks honey…” Suamiku tersenyum, kemudian kedua tangannya menegakkan kepalaku dengan lembut, agar dia bisa dengan leluasa menciumku keningku. Kupeluk dia dengan erat untuk yang terakhir kalinya. Sebelum aku meninggalkannya dan menyambar tasku.

“ Don’t you want to call cab, beloved?” Tanya suamiku lagi.

“ Ya biar aku stop taksi di depan jalan. Kalau telpon takutnya kelamaan.” Aku menjawab dengan spontan, sambil mataku pura-pura sibuk mencari sesuatu dalam tasku. Aku tidak ingin pangeranku melihat mataku. Karena kalau dia sampai melihatnya, dia akan tahu bahwa aku sedang membuat alasan.

“ Okey honey….I’m going. Assalamualaikum…” Aku berlalu meninggalkannya dengan sedikit terburu-buru. Karena aku takut aku tidak bisa melihat James lagi, karena dia sudah masuk ke dalam rumahnya atau malah sudah pergi meninggalkan rumah.

“ Jemput gak?” Suamiku setengah berteriak.

Aku menghentikan langkahku dan menatapnya sambil memperagakan gerakan menelpon dan bibir komat-kamit, “I’ll call you…” Pangeran mengangguk. Aku pun tidak membuang waktu lagi. Aku segera berlari meninggalkannya. Ah, mungkin pangeran sedikit curiga mengapa aku begitu bersemangatnya meninggalkan rumah demi kantor.

Aku mempercepat langkahku namun tidak berjalan lurus ke depan jalan raya, tetapi memutar arah menuju blok yang berbeda. Agar aku bisa melewati rumah James. Sengaja aku memperlambat langkahku, sambil mataku menatap sekeliling kalau-kalau ada James di situ. Aku sampai harus menghentikan langkahku agar aku bisa melihat dengan jelas ke arah rumah besar berpagar putih.

Benar saja apa yang aku khawatirkan. James sudah pergi. Jam segini pasti James sudah ada jadwal lain. Karena didorong oleh rasa penasaran, akhirnya aku mendekati rumah James. Dari balik jeruji pagar besi berwarna putih itu, aku melihat sebuah mobil merci E-Series dan sebuah mobil Nissan X-Trail yang masih terparkir di halaman rumahnya.

Ups, mobilnya masih lengkap ada kemungkinan si Mata Biru ada di dalam. Mataku menyelidik, menembus jeruji pagar. Tetapi aku tidak melihat siapa pun di sana. Agak lama aku menunggu, hingga aku melirik jam tangan yang melingkar di jemari tanganku.

“Ha?!? Jam setengah delapan…” Aku terkejut setengah mati. Hari ini aku ada jadwal meeting tepat jam setengah Sembilan. Aku bisa telat… Buru-buru aku berlari meninggalkan rumah James.

Sehari tanpa melihat James adalah hal yang paling mengerikan bagiku semenjak mengenal James. Makanya setiap pagi aku berusaha meluangkan waktu mengintip James. Melihat tampang James yang innocence adalah sensasi tersendiri. Efeknya sangat dahsyat. Dadaku berdebar hebat, sama seperti gadis kecil yang baru saja mengenal cinta. Melihat James di pagi hari sudah seperti ritual yang harus dilakukan.

Berminggu-minggu aku hanya berani menjadi penggemar rahasia James. Aku mengagumi James dalam diam. Bahkan aku pikir aku benar-benar telah jatuh cinta. Dan aku merahasiakannya. Hanya aku dan Tuhan saja yang boleh tahu, bahwa aku jatuh cinta lagi.

Suatu kali aku mencoba mendiskusikan perasaanku yang teramat musykil ini pada sahabatku di kantor, Selvi. Sorot matanya tajam menatapku.

“ Kamu memang benar-benar sudah gila! Tidak waras!”

“ Cinta yang membuatku gila, Vi.” Aku membela diri.

“ Cinta?” Selvi menatapku dengan pandangan yang meremehkan.

“ Iyah cinta….perasaan yang sama ketika hati kamu tertambat pada seseorang…”

“ Suamimu tahu?”

Aku hanya menggeleng pelan. “ Tidak…tidak akan kuberitahu. Tadinya aku hanya ingin menyimpan rahasia ini sendirian, hanya aku dan Tuhan saja yang tahu. Sekarang ada kamu, maka ini rahasia segitiga. Hanya aku, kamu dan Tuhan. Berjanjilah padaku, kamu tidak akan mengkhianati kepercayaanku!” Awalnya Selvi ragu, hingga akhirnya dia mengangguk juga.

“ Aku ingin memeluknya….”

Kontan saja Selvi mendelik mendengar perkataanku tadi.

“ Iyah…memeluk, dan kalau boleh menciumnya…” Aku menambahkan.

“ Kau gila!” Selvi membentakku.

“ Ya itu dia, aku sudah gila.”

“ Aku pikir kamu mencintai pangeranmu seorang.”

“ Iya…aku masih mencintai pangeran. Tidak berkurang kadarnya sedikit pun. Tapi itu bukan berarti aku menutup diri pada cinta yang lain.”

Selvi menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menatapku. AKu tersenyum sinis.

“ Aku juga ingin memilikinya.”

Mulut Selvi terbuka lebar, dia begitu shock dengan apa yang didengarnya. “ Memilikinya?”

“ Yah…” Aku tidak ragu.

“ Pangeran?”

“ Iyah….dia tetap pada tempatnya begitu juga James.”

“ Ku pikir kamu sudah diguna-guna. Kamu bukan sahabat yang kukenal. Aku hampir-hampir tidak percaya kalau aku sedang berbicara dengan….”

“ Kupikir James bisa mengisi kesenyapan kala suamiku tidak ada di rumah.” Aku tersenyum sinis lagi. Dan Selvi mengangguk pelan.

“ Ah terserah kau sajalah! Aku tidak mau ikut-ikutan…” Selvi lepas tangan. Maka semenjak saat itu, aku tidak lagi membicarakan perkara hatiku pada Selvi. Aku lebih senang menyimpannya dalam hati. Tentang kisahku dan James. Biar saja rahasia ini hanya aku dan Tuhan saja yang tahu.

Bayangan James benar-benar tidak pernah lekang dari alam pikiranku. Senyum manisnya, mata biru-hijaunya, tangan dan kakinya yang berbulu panjang, harumnya, badannya yang terlihat sedap dipandang, dan segenap kelebihan lainnya.

Bahkan bayangan James hampir tidak mau pergi, walau pun aku sedang berdua dengan suamiku. Mungkin ini yang namanya jatuh cinta. Selalu teringat pada sang pujaan hati.

Suatu kali aku berkesempatan untuk berkenalan secara langsung. Aku menyentuh tangannya. Lembut sekali. Seperti ada aliran listrik maha dahsyat ketika aku menyentuh tangannya. Aku senang berlama-lama menyentuh tangannya. Karena dengan begitu, aku bisa memuaskan mataku dengan memandang wajahnya yang tampan, matanya yang biru-hijau.

Dan sejak saat itu. James selalu menungguku di depan rumahnya. Dia akan mempersembahkan senyum termanisnya untukku. Senyum yang menceriakan pagiku. Senyum yang tidak pernah bisa aku lupakan.

Lama berkenalan dengan James, membuat aku jadi tahu benar kesukaan James. Tentang wewangian kesukaan James, makanan favoritnya, sampai tentang hal-hal yang paling membuatnya jengkel.

James suka sekali ikan. Maka hampir tiap hari aku menyiapkan sushi segar untuknya. Mata James berkerjap-kerjap ketika aku memberikan ikannya. Tak henti-hentinya dia mencium tangan kananku ala pangeran dari kerajaan antah berantah yang sedang memperlakukan seorang putri. Romantis….

Semakin dekatnya hubunganku dengan James, membuat hubunganku dengan suami semakin renggang. Demi James, aku hampir tiap hari memasak ikan. Makanan yang paling dibenci pangeranku. Dan tentu saja pangeranku terlalu baik. Dia tidak akan pernah protes tentang apa yang aku suguhkan. Makanya pangeran adalah pria tersabar seantero jagat. Dia hampir tidak pernah marah.

Sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti suatu saat tercium juga. Dan suamiku akhirnya mencium gelagatku yang aneh. Tentang aku yang tiba-tiba menjadi sering berangkat ke kantor lebih pagi, tentang aku yang tiba-tiba menyukai ikan, tentang aku yang agak acuh tak acuh dengannya.

“ Sayang….can we talk?” Suatu kali suamiku bertanya kepadaku yang sedang asyik memonopoli remote control. Tanpa menoleh dan sambil memencet-mencet tombol remote. Aku menjawab asal.

“ Ngomong aja!”

“ This is serious…” Suamiku masih berusaha lembut.

“ Yah…I’m ready to listen.” Aku masih tetap acuh tak acuh.

“ Honey!” Pangeran sudah mulai membentak, terpaksa aku pun menoleh dan mematikan televisi. Aku memandangnya dengan perasaan enggan.

“ Kamu berubah…” Katanya lagi.

“ Me? Berubah?” Tanyaku heran. Suamiku hanya mengangguk.

Aku malah tambah bingung, aku menatapnya dengan tatapan penuh tanda-tanya.

“ Yah sikapmu berubah…”

“ Aku?”

“ Iyah….”

“ Sebenarnya ada apa ini? Apakah kau mulai bosan tinggal denganku?” Tanya Suamiku tiba-tiba hingga aku terkejut dibuatnya. AKu mendelik…

“ Ngomong apa sih kamu? Jangan ngaco deh…” Aku mengalihkan pandanganku sambil melipat tanganku di atas dada.

“ Come on honey…I know who you are. Kamu tidak bisa berdusta. Aku melihat gelagat anehmu yang selalu terburu-buru meninggalkan rumah. Kamu juga hampir tidak pernah mau kalau aku antar. Kamu juga jadi lebih sering tersenyum sendiri. Tidak jelas…dan…”

“ Tidak ada yang aneh….Aku biasa saja. Mungkin kamu yang aneh.” Aku masih berusaha berkelit.
“ Apakah ada lelaki lain dalam….” Suamiku ragu-ragu.

Kontan saja aku marah, aku menoleh sambil menatap tajam ke arah suamiku. “ Maksud kamu aku selingkuh? “ Sorot mataku menatap jauh ke dalam matanya, menguliti setiap dusta yang barangkali tersembunyi. Atau sejumput keraguan yang membuat pendapatnya tidak lagi diakui validitasnya. Tetapi semakin aku melihat matanya, semakin aku tidak menemukan keraguan atau pun dusta. Aku menunduk, sambil menghitung kancing. Dalam hatiku bergulat hebat memikirkan langkahku. Apakah aku harus menceritakannya atau hanya menyimpannya saja sendirian?

Kami dalam diam agak lama. Suamiku duduk di depanku sambil mengamati, menanti dengan sabar agar bicara. Aku mengangkat wajah dan menatapnya. Aku meminta dukungannya untuk menceritakannya. Suamiku hanya mengangguk, berusaha untuk sabar.

Kutatap lagi wajah suamiku. Sebenarnya berat sekali untuk mengatakannya. Tetapi ini harus aku lakukan, karea suamiku sudah mencium semuanya.

Aku menghirup nafas kuat-kuat, kemudian melepaskannya perlahan. Demi membentuk sebuah kekuatan dalam dirikju untuk berkata jujur.

“ Benarkah ada lelaki lain dalam hatimu?” Suamiku menyadarkan lamunanku sejenak. Aku mengangguk pelan sambil menunduk. Aku lihat suamiku menahan diri.

Pertanyaan berikutnya adalah….

“ Dengan siapa?”

“ Bagaimana kamu kenal dia?”

“ Apakah kamu mencintainya?”

“ Apakah kau tidak mencintaiku lagi?”

“ Mengapa kau lakukan ini dan itu?”

“ Apakah dia lebih daripadaku…?”

Dan segudang pertanyaan lainnya yang bernada investigasi. Lagi-lagi aku menghela nafas kuat-kuat sebelum menjawab serentetan pertanyaan itu.

“ Namanya James. Dia tinggal tidak jauh dari komplek kita. Kupikir aku sudah jatuh cinta dengannya…” Muka pangeran merah padam berusaha menahan diri dan membiarkan aku menggunakan hak bicaraku.

“ Aku salah apa? Dimana kurangnya aku?” Nada suara suamiku mulai terdengar bergetar.

Aku menatapnya, “ Tidak, tidak ada yang salah dengan kamu. Kamu masih sosok yang sempurna di mataku.”

“ Lalu apa lebihnya James?” Tanyanya lagi dengan nafas memburu.

“ Tidak, bagiku kau dan James berbeda…”

“ Dia lebih tampan, putih, tinggi, kaya atau apa?” Suamiku mulai memaksa, kini matanya memerah.
“ Dia tidak lebih tampan darimu, tetapi dia memiliki mata biru yang indah…”

“ Oh jadi itu masalahnya, mataku tidak sebiru dia?”

Aku menggeleng pasti.

“ Tidak…ini bukan tentang mata biru….”

“ Baiklah apa yang dia miliki sedang aku tidak memilikinya? Apa kelebihannya di banding aku?” Suamiku berusaha berbicara walau dengan nafas tercekat.

“ Karena….”

“ Karena apa?” Suamiku tidak sabar.

“ Karena kau dan James berbeda, dan kalau bisa aku juga ingin memiliki James agar aku tidak hanya menjadi penggemar rahasianya yang harus mencuri waktu hanya untuk mengintipnya.”

“ Katakan sejujurnya! Apa lebihnya dia dibandingkan aku!” Suamiku mulai agak marah. Intonasinya meninggi dengan suara yang lebih keras. Aku mulai tidak nyaman. Tadinya aku bersikeras untuk tidak mengatakan siapa sesungguhnya James kepada suamiku. Aku hanya ingin menyimpannya dalam hati sampai waktunya tepat. Tapi kurasa ini adalah waktunya. Aku pun menyerah.

“ James….”

“ Cepat katakan! Jangan buat aku kesal !” Suara suamiku membuat hatiku kecut.

“ Karena James bisa mengeong, bulu abu-abunya yang panjang begitu indah. Mata birunya terlihat cantik….dan kalau bisa aku ingin memiliki dia bersamamu.”

Dan suamiku melongok, menyadari kalau saingannya sama sekali tidak ada apa-apanya dibanding dirinya.

“ Maafkan, aku telah berselingkuh. “

Aku sudah hampir tidak bisa lebih lama lagi menahan tawa. “ Kalau boleh izinkan James kucing Persia di blok sebelah, untuk tinggal bersama kita, menggantikan si Ciprut yang sudah mati.”

Dan suamiku pun pingsan…..


Jakarta, 24 Juni 2010
Risma Budiyani

(Dilarang menjiplak atau mempublikasikan tulisan ini tanpa seizin dan mencantumkan nama penulisnya).

Minggu, 20 Juni 2010

JANGAN AMBIL MALAIKATKU




Suatu kali saya pernah menonton acara Oprah Winfrey di televisi. Kala itu Oprah sedang membahas definisi ‘jodoh’. Selama ini kita mungkin berpikir bahwa kata ‘jodoh’ hanya digunakan untuk melabeli pasangan hidup kita, suami atau istri. Jodoh adalah belahan jiwa yang tidak akan pernah terpisahkan sampai maut sendiri yang memisahkan.Sedang seseorang yang sudah sekian lama bercinta dengan kekasihnya atau pasangan hidup resminya, namun kemudian oleh karena suatu sebab mereka terpisahkan oleh suatu keputusan cerai misalnya. Orang langsung terburu-buru mengatakan, “ Yah namanya belum jodoh…”

Benarkah jodoh seperti itu?

Saya tertarik ketika Oprah dan bintang tamu yang merupakan narasumber berkompenten merumuskan definisi jodoh. Di acara itu jodoh berarti seseorang yang datang dan memberi warna dalam kehidupan kita dalam kurun waktu tertentu. Tidak mesti harus sehidup semati. Bisa saja jodoh itu hanya berbilang hari, bulan, maupun sampai bertahun-tahun. Tidak sedikit juga yang berjodoh sampai mati.

Kemudian dikatakan lagi bahwa jodoh tidak hanya untuk seseorang yang memiliki hubungan cinta kepada kita. Jodoh bisa siapa saja, asal dia pernah datang dan memberi warna dalam hidup kita pada masa tertentu. Dia bisa saja teman sepermainan, tim sekerja, guru, orang asing, bahkan mungkin hewan-hewan peliharaan yang memberi kesan teresendiri dalam kehidupan kita. Dan Manusia biasanya memiliki lebih dari satu jodoh selama hidupnya.

Awalnya saya agak bingung dengan definisi itu. Karena saya mencoba menetralkan pikiran saya akan definisi jodoh yang sebelumnya saya terima. Kalau saya boleh menyimpulkan, jodoh adalah seseorang yang bisa memberikan euphoria ‘click’ di dalam hati kita ketika bertemu dengannya. Dari reaksi ‘click’ itu kemudian berkembang menjadi suatu kedekatan yang sangat monumental. Dan ketika dia pergi, kita merasakan ada sesuatu yang hilang dan menyadari bahwa dia telah memberi warna dalam kehidupan kita.

Ingatan saya pun melayang pada para sosok malaikat yang datang dan pergi dalam kehidupan saya. Saya berpikir mungkin mereka-mereka inilah jodoh-jodoh saya.

Sepanjang usia saya, saya ingat beberapa nama yang mendapat tempat khusus dalam hati saya. Mereka-mereka ini meskipun kehadirannya amatlah singkat, namun mewarnai hidup saya. Bahkan tak jarang di antara mereka yang membentuk karakter positif dalam diri saya.

Saya menamai mereka ‘Guardian Angel’ atau ‘Malaikat Penjaga’. Tentu saja mereka tidak seperti tampak malaikat dalam dongeng-dongeng, yang selalu berjubab putih, memiliki sayap putih dan bermahkota, senyumnya lembut menghangatkan. Tidak tentu saja tidak. Saya juga tidak mau menyamakan dia seperti malaikat sesungguhnya dalam kitab-kitab suci. Demi Tuhan, saya tidak mau dianggap sedang meracau tidak jelas dan dituduh membawa aliran sesat.

Malaikat-malaikat saya adalah orang-orang biasa tanpa sayap yang telah memberi arti dalam kehidupan saya. Mengapa saya menamakannya malaikat?

Karena mereka terlalu baik, hingga saya tak punya ide lagi bagaimana menamakan orang-orang istimewa ini. Saya menganggap dan membayangkan mereka benar-benar sesosok malaikat yang mungkin saja dikirim Tuhan untuk menjaga saya.

Sepanjang hidup, pasti kita pernah dihadapkan pada ujian kesabaran yang terkadang membuat kita harus berlinang air mata, tanpa tahu kemana harus bercerita. Selain mengadu ke Sang Pencipta, manusia terkadang membutuhkan manusia lain untuk berbagi. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian. Manusia membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan keluh-kesahnya, menjadi bahu untuk bersandar ketika menangis, menemani dalam senyap yang tak berujung, mengingatkannya agar tidak salah langkah, sekaligus menyemangatinya.

Dan saya pikir setiap Tuhan memberikan cobaan, Dia tidak serta-merta hanya memberikan cobaan tanpa rencana baik di dalamnya. Begitupun Tuhan tidak memberikannya terpisah dari solusi dan bagaimana mendapatkan solusi tersebut. Tuhan mengirimkan utusan-utusan-Nya untuk membantu Hamba-Nya. Tuhan tidak membiarkan Hamba-Nya sendirian mengatasi perkara.

Dan kita tidak pernah tahu kapan malaikat penolong itu datang atau menebak-nebak jati diri sang malaikat sebelum malaikat itu pergi dalam kehidupan kita. Kita baru menyadari betapa berjasanya dia dalam hidup kita.

Pernah tidak, suatu kali anda sedang terjepit dan amat sangat membutuhkan uang. Anda tidak tahu harus kemana. Hingga tiba-tiba ada salah seorang teman anda datang meminjamkannya. Padahal hubungan pertemanan anda dengan dia mungkin belum terlalu dekat. Tetapi bagaimana mungkin justru dia yang datang membantu.

Pernahkah suatu kali saat anda sedang dirundung masalah yang teramat pelik, dan anda tidak tahu bagaimana menyelesaikannya selain anda mengadu pada Illahi Rabb. Tiba-tiba anda berkenalan dengan seseorang yang serta-merta memecahkan permasalahan anda.

Pernahkah anda tersesat di suatu daerah yang teramat asing untuk anda, dan anda sama sekali tidka mengenal siapapun di sana. Tetapi tiba-tiba ada seseorang yang menunjukkan arah.
Pernahkah anda sedang membutuhkan jawaban dari suatu persoalan, ternyata datang orang yang tidak diduga-duga meenawarkan bantuan.

Pernahkah anda teramat kehausan dan tidak tahu bagaimana mendapatkan air, tiba-tiba ada seseorang yang menawarkan segelas air dingin untuk melepas dahaga.

Pernahkah anda sedang merasa ‘terbuang’, rendah diri, tak berguna, dan lain sebagainya. Tiba-tiba ada kenalan kamu yang datang dan membangkitkan semangat anda hingga anda merasa menjadi orang baru.

Pernahkah anda bertemu dan berkenalan dengan seseorang di kereta, bis ataupun pesawat yang membuat anda merasa ‘click’ dan seiring dengan perjalanan waktu dia ternyata memiliki andil besar dalam merapikan hidup anda.

Mereka bukan siapa-siapa. Mereka hanyalah manusia biasa yang entah bagaimana, mereka datang tepat pada waktunya. Mereka seperti malaikat penolong yang sengaja dikirim Tuhan untuk menyelesaikan masalah kita. Mereka seperti jawaban dari doa kita.

Mereka datang pada saat yang tepat. Kemudian pergi saat kita tidak lagi membutuhkannya. Seperti ada sebuah kontrak kerja terselubung antara Tuhan dan para malaikat penolong ini. Mereka hanyalah pegawai kontrak waktu tetap, yang bisa dipekerjakan dan diberhentikan sesuai kebutuhan. Saat kontrak kerja itu berakhir, malaikat penolong akan pergi dan meninggalkan saya sendiri lagi setelah saya lepas dari suatu masalah.

Di kehidupan saya, ada banyak sekali malaikat yang datang dan pergi. Namun hanya beberapa yang saya ingat. Malaikat itu biasanya amat sangat berpengaruh dalam kehidupan saya selanjutnya. Dan sampai kapan pun saya tak akan pernah lupa pada jasanya.

Tentu saja itu bukan berarti saya mengabaikan malaikat lain yang telah datang dan pergi dalam kehidupan saya. Saya tidak sengaja melupakannya, karena malaikat itu datang di episode hidup saya yang sangat silam. Dan saya tidak ingat. Bukankah setiap manusia memiliki ingatan terbatas? Saya harus merelakan ingatan lama saya lenyap sebagian, demi sedikit ruang untuk ingatan baru saya. Pada kesempatan kali ini saya akan memncoba menceritakan sebagian dari malaikat-malaikat saya semenjak saya di bangku kuliah.

Malaikat tanpa sayap saya yang pertama adalah ketika saya adalah gadis lugu yang tengah jatuh cinta pada kekasih maya bernama Saiful Malook. Ketika Saiful Malook dengan tiba-tiba lenyap tanpa kabar. Saya yang tengah dirundung asmara tak terima begitu saja pada takdir saya. Begitu sedihnya saya, hingga saya jatuh sakit.

Saya benar- benar seperti sebuah karakter dalam roman picisan. Saya tidak bisa makan, karena setiap saat saya selalu memikirkan kemana perginya Saiful Malook. Saya tidak habis pikir, mengapa Tuhan mengambil Saiful Malook dari hidup saya tanpa permisi. Saya meminta pertanggung-jawaban Allah atas perginya dia.

Setelah sekian lama saya tidak mendapat kabar. Saya akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan diplomatik pada pemerintah Pakistan, negara tempat Saiful Malook berasal.

Saya pikir apa yang saya lakukan adalah hal tergila yang pernah dilakukan seorang pecinta. Dengan gagah beraninya saya datang ke Kedubes Pakistan di Jakarta. Saya meminta langsung bertemu dengan Sang Duta Besar.

Awalnya tentu saja, petugas keamanan menghalau saya. Mengingat saya bukan siapa-siapa dan alasan untuk bertemu, sangat tidak masuk di akal. Setelah melalui sedemikian perdebatan, entah bagaimana saya akhirnya bisa masuk ke dalam ruang sang duta besar.

Sang duta besar mempersilahkan saya bercerita. Saya pun mempergunakan waktu berharga saya untuk bercerita dari A-Z tentang Saiful Malook, bagaimana kita bertemu dan betapa saya mengenal Pakistan darinya. Ternyata cerita saya memukau Sang Duta Besar. Karena pengetahuan saya akan Pakistan saat itu cukup banyak. Bahkan saya bisa berbicara lancar dalam Bahasa Urdu.

Sungguh tidak disangka-sangka, beliau menerima saya dengan baik. Bahkan Sang Duta Besar yang kebetulan berpangkat Mayor Jenderal dan pernah menjadi atasan dari Presiden Pervez Musharraf, berjanji untuk mengerahkan bala bantuan dalam pencarian Saiful Malook di Peshawar.

Proses pencarian tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saya tidak segera mendapatkan titik terang hingga bertahun-tahun kemudian. Namun saya tidak peduli. Saya tetap memupuk harapan bahwa suatu kali saya akan menemukan Saiful Malook yang entah ada dimana. Begitu besarnya pengharapan saya, hingga skripsi saya pun mengambil tema yang tidak jauh-jauh dari Pakistan.

Saya menganggap Sang Duta Besar itu adalah seorang malaikat yang dikirim oleh Tuhan ke bumi untuk menolongku. Siapapun beliau, ia pasti orang suci yang tak sampai hati melihat orang lain menderita. Siapapun orangnya. Walau pun saya hanya seorang gadis kecil yang bukan anak pejabat tinggi.

Tak banyak yang saya ketahui dari malaikat saya. Selain bahwa dia adalah seorang pisces sejati. Seperti kebanyakan pisces, dia lebih suka berada dalam dunia mimpi dibandingkan dalam dunia nyata. Tipikal yang lemah dan sensitif untuk masalah hati. Seseorang yang bisa menangis jika sahabat baiknya bersedih dan patah hati. Dan ia akan merasa sangat bahagia jika teman baiknya mendapat kebahagiaan walaupun hal itu sama sekali tidak berhubungan dengannya. Seperti juga aku. Mungkin karena itu beliau empati kepada saya yang juga pisces.

Dan malaikat saya pergi setelah saya bisa bangkit dari kesedihan saya akan kehilangan cinta. Setelah saya menyelesaikan skripsi dan menyelesaikan kuliah saya. Setelah saya menyelesaikan novel pertama saya.

Malaikat saya berikutnya, adalah salah seorang teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) saya yang sering membuat menangis dan kesal. Di minggu-minggu awal pertemanan kami di Desa Bojong Cae. Saya berasa hidup dalam neraka.Karena setiap hari ketua kelompok kami di Desa Bojong Cae yang biasa saya panggil Abang selalu mencari perkara yang membuat saya menangis. Sebetulnya saya tidak serta-merta menyalahkan dia karena telah membuat saya menangis. Pada saat itu saya belum terbiasa tinggal serumah dengan orang yang memiliki watak keras dan tidak bisa berbicara lembut. Saya akan beegitu mudahnya menganggap dia sedang memarahi saya. Maklum, Abang ini adalah orang Batak Tulen yang terbiasa berbicara keras dengan intonasi yang tegas dan tidak suka berbasa-basi.

Di masa KKN itu, kebetulan saya ditaksir oleh pemuda pujaan Desa Bojong Cae yang kebetulan adik kepala desa. Lelaki itu sedemikan agresifnya mendekati saya, hingga saya merasa jengah. Namun sebetulnya kami justru bisa mengambil keuntungan dari lelaki ini. Karena sedemikian naksirnya dia dengan saya, hingga dia tidak sampai hati membiarkan tim kami yang terdiri dari lima orang termasuk saya kelaparan. Setiap hari selalu ada saja bingkisan makanan untuk rumah kontrakan kami di dusun. Bahkan kami seringkali ditolong oleh lelaki yang juga ustad kampung. Namun kami memanggilnya dengan sebutan Ustad keparat.

Waktu itu Saya masih terlalu naif untuk bisa menebak tipu muslihat lelaki. Saya layaknya gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. Selama proses pendekatan lelaki itu yang terkesan membabi-buta dan terkesan direstui oleh seluruh tokoh desa. Saya tidak kurang pengawasan dan bantuan dari sahabat-sahabat saya di Istana Bojong Cae.

Bojong Cae desa yang kecil. Tidak ada yang rahasia di desa ini. Hubungan antara Saya dan Ustad keparat tersebar luas. Padahal Saya sama sekali tidak tahu apa-apa. Dengan skenario yang terorganisir, Saya masih saja didaulat sebagai pembonceng tetap lelaki itu. Sekeras apapun Saya menolak. Saya tidak akan bisa menghindari. Karena jumlah motor terbatas. Dan selalu Saya yang mendapat bagian terakhir, dan pengendara motor itu tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Dadang. Lagipula yang menyuruh Saya ikut dengannya banyak termasuk tetua kampung.

Pernah suatu saat Saya tertinggal jauh dari rombongan. Si ustad keparat sepertinya mengendarai motor dengan sangat pelan. Dan dia terus menerus mengajak saya berbincang. Padahal Saya sudah ketakutan setengah mati. Saya hanya berdua saja dengan dia di gelapnya malam. Seandainya terjadi apa-apa dengan saya dan Saya berteriak. Tak akan ada seorang pun yang mendengarnya. Hanya ada rerimbunan pohon, suara jangkrik dan kodok. Mungkin juga derik ular. Dan parahnya saat itu Saya sama sekali tidak membawa telepon genggam.

Saya komat-kamit berdoa seperti merapal mantra, “Audzubillahiminassyaitan ni rrajim. Saya berlindung dari godaan syetan yang terkutuk yang mungkin saja menyelinap di dalam raga lelaki ini”.

Hembus angin malam yang biasanya terasa menyegarkan. Kali ini terasa menusuk kalbu. Saya benar-benar menggigil ketakutan. Saya memperhatikan jalan. Berusaha mengingat-ingat bagaimana tampak jalannya ini bila siang hari. Jadi seandainya terjadi hal buruk, Saya tahu kemana harus melarikan diri. Saya benar-benar tidak konsentrasi lagi pada omongan si Ustad keparat. Saya menyibukkan diri untuk berpikir keras bagaimana menyelamatkan diri.

Tiba-tiba Saya melihat sesosok pengendara motor sambil berjongkok seperti membenarkan motornya. Ya Allah! Semoga itu penolongku. Ya sosok itu kian jelas. Saya rasa Ustad keparat juga melihatnya. Tunggu dulu! Bukannya itu....itu ... Abang. Yah itu abang.

Kami menghampiri abang. Ustad keparat itu berbasa-basi menanyakan gerangan apa yang membuat Abang berhenti di tengah jalan.

“Oh tahu nih tiba-tiba mogok”. Abang menjawab. Maka ustad keparat menghentikan motornya dan menghampirinya.Agak lama juga kami berhenti. Sampai akhirnya motor yang abang tumpangi kembali berfungsi. Ustad keparat kembali ke motornya. Sebenarnya Saya ingin ikut abang, tetapi motor abang tidak menyediakan tempat boncengan. Maka Saya terpaksa duduk lagi di belakang ustad keparat.

Saat Ustad keparat mempersilahkan abang untuk melajukan motornya dahulu. Abang dengan basa-basi malah mempersilahkan kami untuk lewat dahulu. Abang ingin memastikan motornya baik-baik saja. Maka dengan berat hati Ustad keparat melajukan kendaraannya. Saat kami sudah berjalan. Baru abang mengikuti kami dari belakang.

Belakangan Saya baru tahu, bahwa itu adalah tipu muslihat abang. Abang tiba-tiba menyadari motor yang ditumpangi Saya dan si usatad keparat tertinggal jauh dari rombongan. Abang merasa khawatir dengan keselamatan dan kehormatan saya makanya dia melambatkan motor dan berhenti

Berpura-pura motornya mogok tak lain agar dia bisa mengawasi saya dari belakang. Kejadian itu benar-benar tak pernah lekang dari ingatan saya. Sosok abang yang sering membuat saya menangis ternyata telah menyelamatkan saya. Dia adalah malaikat saya. Walau Abang tidak benar-benar lenyap dari kehidupan saya, tetapi saya tidak bisa banyak berinteraksi lagi dengannya oleh karena kesibukan kami.

Malaikat saya yang lain adalah salah seorang teman kuliah saya bernama Dicky. Dicky adalah salah seorang dari teman lelaki terdekat. Dia hampir selalu ada dalam episode hidupku. Saya memang selalu merasa nyaman berbicara dan berada di dekatnya. Walau dia berasal dari daerah yang sama dengan abang. Namun dia memiliki tabiat yang sama sekali berbeda dengan abang. Walau logat Bataknya terdengar kental. Namun tutur katanya lembut. Tak pernah sekali pun kulihat dia marah atau berbicara keras. Bicaranya lembut dan menyenangkan. Dia bisa menjadi pendengar terbaik. Bila Saya bercerita padanya, maka dengan sabar matanya akan mengamati Saya penuh rasa ingin tahu. Membuat Saya yang bercerita menjadi semakin bersemangat.

Beberapa kali Saya pernah meminta pertolongan kepadanya. Dan beberapa kali itu pula ia mengabulkan permintaan saya tanpa banyak komentar. Dari berpura-pura menjadi tunangan saya untuk mengelabui si ustad keparat dari Bojong Cae yang tergila-gila kepada diri saya, bahkan hingga menemani Saya menemui sang duta besar Pakistan. Dia partner setia saya. Saya menyebut-nyebutnya dengan penuh hormat dan penghargaan namanya dalam novel perdana saya sebagai malaikat penyelamat.

Tidak banyak orang yang mau dan punya cukup nyali untuk menemani seorang teman menemui petinggi negara asing untuk urusan apa pun. Mungkin pula mereka akan mundur teratur sedetik setelah Saya minta dengan banyak alasan. Tidak lancar berbahasa Inggris lah, bingung harus memakai baju apa lah, tidak cukup percaya diri lah, dan lain-lain. Maka si Dicky ini adalah lelaki yang memiliki cukup nyali besar untuk menolong siapa pun tanpa pamrih. Dia adalah teman yang teramat menyenangkan hati.

Begitu hebatnya Saya mengelu-elukan namanya di antara Saiful Malook dan nama-nama lain di novelku, membuat banyak pembaca saya yang mempertanyakan kedekatan saya dengan Dicky. Bahkan ketika akhirnya tersiar kabar Saya telah melepas masa lajang. Maka berbondong-bondong email masuk mempertanyakan apakah Dicky yang telah menggantikan tempat seorang Saiful Malook yang malang. Saya tersenyum simpul. Dan di balon-balon imajinasiku bermunculan nama Dicky. Saya sempat berpikir mungkin Dicky adalah tipikal pria idaman bagi saya. Hanya saja takdir berkata lain.

Malaikat saya yang lain adalah Pak Didik, penerbit pertama saya. Saat itu saya adalah penulis baru yang sama sekali awam di dunia kepenulisan dan penerbitan. Bahkan pada masa itu saya belum mengenal dunia per-blogging-an. Saya benar-benar baru dan tidak terdengar. Saya yakin semua orang menyangsikan kemampuan saya menulis. Bahkan saya pun menyangsikannya.

Sebenarnya saat itu saya mengenal satu orang penerbit yang ingin mengorbitkan saya. Tetapi entah bagaimana saya tidak merasa ‘click’ dengan orang itu. Maka di tengah-tengah kebingungan saya setelah menyelesaikan tulisan saya tentang Saiful Malook, saya berselancar di dunia maya. Saya berusaha mencari tahu perihal bagaimana saya bisa menerbitkan tulisan saya.

Entah mengapa, hati saya tergerak untuk mengintip salah satu website yang saat itu saya tidak tahu kalau itu adalah website penerbit. Namanya Escaeva. Saya melihat artikel tentang bagaimana bisa menerbitkan suatu novel. Saya baca dengan cermat artikel itu. Kemudian saya melakukan setiap langkah yang diberikan.

Saya melihat ulang dan merapihkan setiap detil tulisan dengan cermat. Kemudian saya membuat sinopsis mengenai garis besar tulisan saya. Saya juga membuat daftar poin penting mengapa novel ini bernilai jual, termasuk tentang kata pengantar dari salah satu saksi hidup, Sang Duta Besar Pakistan. Saya juga membuatkan satu contoh bab pertama dari bakal novel saya. Keesokan harinya saya mengirimkan email berisi proposal, contoh novel, biodata saya ke penerbit itu.

Eureka! Tidak perlu menunggu lama. Tepat di Hari Juma’at, hari keberuntungan saya. Kabar baik datang. Pak Didik menelpon saya. Kemudian kami mengatur waktu untuk bisa bertemu membicarakan kontrak. Rasanya saat itu dunia adalah milik saya. Semuanya datang tepat waktunya. Dan Tuhan mengirimkan malaikat untuk menjawab doa saya yang ingin segera menunjukkan pada dunia, bahwa saya bisa menulis.

Ternyata malaikat saya saat itu adalah seorang Pisces. Luar biasa, kala itu Tuhan mengirimkan saya dua orang Pisces untuk menjadi malaikat saya.

Pak Didik benar-benar telah membimbing saya, hingga saya bisa meluncurkan novel yang benar-benar mengguncang dunia. Dia menghantarkan saya pada impian terbesar saya saat itu. Ketika saya butuh terapi untuk melupakan Saiful Malook dengan menuliskan kisah kami. Dia menjadi pendukung utama saya. Saya benar-benar menemukan mitra yang luar biasa. Saya merindukan saat-saat kebersamaan kami.

Namun sayang, Escaeva tidak lagi bergerak di lini buku fiksi. Hingga detik ini saya belum bisa meluncurkan buku non-fiksi. Maka saya belum bisa lagi berjalan dengan Escaeva lagi. Saya berharap suatu hari nanti saya akan mengulang masa-masa indah itu bersamanya lagi. Menjadi penulis di bawah bendera Escaeva.

Malaikat saya berikutnya adalah Pak Karim. Dia adalah GM saya di perusahaan terdahulu. Entah bagaimana saya dan dia sedemikian ‘nyambung’-nya walau kami berbeda zaman. Lelaki berdarah Belanda berusia tiga puluh tahun itu tidak suka budaya senioritas yang biasa tumbuh di sebuah perusahaan. Hubungan kami tanpa jarak layaknya teman. Bahkan, sebutan “bapak” begitu menyiksa telinganya. Saya yang agak rikuh memanggil nama seperti rekan-rekan lain yang seumuran dengan atasan saya, akhirnya memakai kata “babeh”. Lebih akrab namun tetap penuh hormat.

Saya menyukai pekerjaan saya dan juga orang-orang di sana. Saya punya alasan kuat untuk bangun pagi dan berangkat ke kantor dengan riang. Mungkin juga karena euphoria seorang pekerja baru. Sama rasanya ketika baru duduk di bangku sekolah menengah. Sama rasanya ketika baru menginjakkan kaki di kampus biru.

Saya karyawan termuda sekaligus satu-satunya perempuan di divisi ini. Tiga orang lainnya adalah pria beristri yang sudah berusia matang. Saya layaknya penggembira di tengah-tengah mereka. Saya juga yang memberikan sentuhan perempuan di ruangan ini.

Saat hari pertama datang ke kantor, Saya membayangkan bakal menjadi perawan di sarang penyamun. Ruangan ini lebih mirip sebuah sarang atau markas para lelaki. Bau asap rokok memenuhi ruangan ber-AC. Exhaust fan dan pengharum ruangan tak mampu melenyapkan bau asap, terutama dari rokok Pak Thomas. Belum lagi hingar-bingar musik Rock sekelas Megadeth, Metallica, atau Black Sabbath yang memekakkan telinga. Kebisingan itu bahkan tidak mampu teredam hingga sampai ke lantai satu. Di minggu pertama, Saya harus terbatuk-batuk akibat alergi asap. Seiring dengan berjalannya waktu, alergi pun lenyap. Saya mulai terbiasa dengan asap rokok.

Kami berempat, sang GM, Pak Thomas, Pak Hafiz, dan Saya adalah tim yang kompak. GM merumuskan tujuan dan target yang akan dicapai lengkap dengan strateginya, sedang para manajer mengerahkan daya upaya untuk mewujudkannya. Saya bertindak sebagai intelijen yang menyediakan semua data-data yang dibutuhkan mereka. Sesekali, Saya juga dilibatkan dalam rapat-rapat penting yang memerlukan negosiasi kepada pihak terkait. Proyek besar batu bara hampir selalu menjadi topik pembicaraan. Kami memiliki hampir semua data, mulai dari cadangan, jumlah produksi, konsumsi, hingga pengangkutan. Rencananya, perusahaan kami akan merambah di bidang itu. Setelah isu konvensi bahan bakar minyak berkembang, banyak perusahaan beralih pada batu bara. Selain lebih murah, kualitasnya pun baik.

Awalnya, perusahaan kami yang bergerak di bidang transportasi hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan pengangkutan batu bara, mulai dari pengangkutan dari tambang menuju terminal di tepi laut dan sungai besar, pengangkutan dengan kapal, hingga pengangkutan dari pelabuhan di pulau Jawa menuju lokasi konsumen. Jika proyek ini berjalan, kami akan benar-benar memiliki tambang sendiri.
Diferensiasi usaha adalah hal yang lazim.

Bukan hal mengherankan bila tiba-tiba perusahaan shipping yang mengurusi kargo bergerak di bidang lain. Toh, semuanya dilakukan untuk mendukung kelangsungan usaha inti sekaligus menangguk untung besar.

Babeh Karim membantu masa transisi saya dari seorang fresh graduate menjadi seorang pekerja sungguhan yang penuh dedikasi. Saya belajar banyak dari dia dan tempat kerja saya. Suatu kali saya pernah menangis sesenggukan karena dimarahi oleh rekan kerja dari divisi yang berbeda karena dia memang terkenal sebagai orang yang tidak memiliki attitude yang baik. Rupanya Pak Thomas yang juga manajer saya mengadu ke bos besar yakni Babeh Karim. Beliau sampai meminta bos dari teman saya yang tidak punya manner itu untuk memperingati orang kurang ajar itu.

Sebetulnya hubungan saya dengan Babeh Karim dan manajer lainnya sangat baik. Pak Thomas dan Pak Hafiz tidak kalah baiknya dengan saya. Kami memang tim yang sangat kompak. Saya sampai berpikir saat itu Tuhan mengirimkan 3 malaikat sekaligus dalam kehidupan saya. Saya berada dalam satu fase yang paling nyaman saat itu. Bekerja dengan para malaikat.

Begitu lengketnya hubungan kami, sampai kami merasa kami tidak berada dalam lingkungan pekerjaan. Tetapi persahabatan, bahkan lebih mirip seperti saudara. Kami sering kali menghabiskan waktu untuk liburan bersama. Tidak hanya dengan mereka bertiga tetapi juga dengan istri dan anak-anak mereka. Dan biasanya kami juga mengajak Mbak Tini, office girl kesayangan kami.

Ketika akhirnya Babeh Karim pergi ke tempat yang bisa menghargai dia lebih baik dari perusahaan kami. Saya adalah orang yang paling merasa kehilangan. Saya sedih bukan kepalang. Mungkin karena tipikal dari seorang pisces yang bisa dengan mudah menjadi ’mellow’ dan sensitif. Karena dia bukan hanya sebagai bos, tetapi juga mitra, sahabat dan kakak saya. Kami pernah terlibat proyek rahasia dalam bisnis ekspor-impor. Bahkan dia juga yang membantu saya menemukan passion saya akan dunia tulis menulis.

Hingga detik ini kami sudah berpisah. Hubungan saya dengan dia masih terjalin baik. Saya masih bisa meminta pertolongan dia, begitu pun dia. Namun sudah pasti semuanya berbeda. Tidak seperti dulu.

Malaikat berikutnya adalah seorang India yang kebetulan adalah sahabat pena saya. Saya memanggilnya Surya, karena dia seperti surya yang menerangi hari setelah kegelapan. Saat itu memang saya sedang dalam masa krisis kepercayaan diri. Dan dia membangkitkan kembali semangat saya sekaligus menemukan saya pada mimpi-mimpi saya.

Lama menjadi sahabat pena namun kami baru bertemu tanggal 1 April 2006. Suatu hari teman saya yang pernah bekerja sebagai tim ahli Microsoft Amerika ini menyurati saya bahwa dia akan singgah di Jakarta sebelum mengikuti konferensi IT di Singapura. Berbekal surat terakhir, saya pun datang menjemputnya di Bandara pada hari yang disebutkan. Tanggal 1 April 2006 tepat pada jam 10 pagi.

Saya hampir meninggalkan bandara, karena lewat pukul dua belas siang. Dia belum juga datang. Saya hampir berpikir bahwa itu adalah gurauan ala April Mop. Saya tak henti-hentinya menyalahkan kebodohan saya. Namun entah dorongan darimana, ada keyakinan dalam hati saya bahwa Surya tidak berdusta. Saya menunggunya hingga telepon genggam saya berdering tepat jam satu siang.

” Budi where are you?” Surya memang lebih suka memanggil nama tengah saya sebagai panggilan kesayangan.

” Surya....where are you?”

” In US....” Dia diam dan kemudian dia meralat.

” Ofcourse in airport Jakarta as i told you.” Dia terkekeh, saya menghela nafas lega. Berbekal ingatan saya akan fotonya, saya mencari dia. Ternyata dia yang mengenali saya, dan memanggil saya dari kerumunan.

Itu adalah pertemuan paling aneh dalam hidup saya. Kami hanya bertemu muka selama lima jam saja. Di akhir pertemuan sebelum kami berpisah di bandara, dia memberikan saya sebuah buku berjudul ” The Power Of Subsconscious Mind” karangan Joseph Murphy. Buku luar biasa dengan sampul putih yang telah mengubah hidup saya untuk selamanya.

Dia sempat berkata, bahwa buku itu telah menginspirasi dirinya dan sekarang sudah waktunya buku itu berpindah tangan kepada orang yang lebih berhak, yaitu saya. Dia tahu kalau saya sedang berada di titik nol.

Slogan saya, ’You Are What You Think All Day Long. Think good, good follows, think evil, evil follows’ adalah kata-kata yang saya ambil dari salah satu kutipan buku itu. Kata-kata ajaib yang mengubah saya selamanya menjadi pribadi yang positif. Saya selalu berusaha memupuk diri untuk memandang segala sesuatu dari sudut pandang positif. Karena segala sesuatu yang akan terjadi nanti, bergantung dari apa yang kita pikirkan sekarang. Kalau kita berpikir buruk, maka keburukan yang akan kita dapatkan. Sebaliknya bila kita berpikir positif, maka kecemerlangan yang akan kita dapatkan.

The treasure house is within you. Look within for the answer to your heart’s desire.

Never use such expressions as, ’I can’t afford it’ or ’I can’t do it’. Your subsconscious mind takes you at your word. It sees to it that you do not have the money or the ability to do what you want to do do. Affirm, ’I can do all things through the power of my subsconscious mind.’

You are like a captain navigating a ship.

The law of life is the law of belief.

Dan kalimat-kalimat positif lainnya yang menginspirasi saya. Saya percaya bahwa selain ketetapan QADHA, takdir yang tidak bisa diubah lagi seperti kiamat, jenis kelamin, kematian, kelahiran, dll. Sisanya adalah konsekuensi dari pilihan hidup. Tidak ada yang tidak mungkin untuk diwujudkan kalau kita percaya. Kita bisa mengubah hidup kita menjadi apa yang kita mau dengan seizin Tuhan.

” Tuhan tidak akan mengubah mengubah nasib suatu kaum bila kita tidak mengubahnya sendiri.” (Ar Ra’d: 11)

Tuhan berbuat sesuai dengan prasangka hambanya, berdoa, berharap dan berusahalah sekeras mungkin. Dan kamu akan mendapatkannya.

Sedang bila kita tidak juga mendapatkan apa yang kita inginkan padahal kita sudah berusaha sekeras mungkin. Percayalah bahwa Cuma Tuhan yang tidak akan pernah mengecewakan kita, saat semua hal yang ada di dunia ini berkali-kali mengecewakan kita. Anggap itu sebagai sebuah keberhasilan yang tertunda. Kebaikan dari Tuhan, Karena Tuhan Maha Tahu Yang Terbaik untuk kita.

Saya berhutang besar pada Surya. Sayangnya Surya seperti lenyap begitu saja di telan bumi. Saya tidak tahu bagaimana menghubungi dia. Tetapi saat saya jatuh dan sedih, dia hampir selalu menghubungi saya. Saya sempat berpikir jangan-jangann Surya adalah malaikat dalam arti sebenarnya. GHAIB.

Kalau saya bertemu dia, saya ingin katakan bahwa saya sudah menjadi pribadi yang positif. Saya telah mewujudkan hampir semua impian saya, termasuk menulis buku. Saya ingin dia membaca salah satu tulisan saya, agar dia tahu betapa dia telah mengubah saya.

Malaikat berikutnya adalah seseorang Pemred dari sebuah majalah Islam yang saya temui secara tidak sengaja di dunia maya. Ketika saya sedang menyelesaikan novel The Chosen Prince. Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sebuah nama dari sekian banyak artikel yang melukiskan siapa dia. Dan ternyata tanpa disangka-sangka, nama itu mengundang saya untuk menjadi temannya di facebook. Dan pertemanan kamipun dimulai.

Dia seperti pendengar setiap ide-ide gila saya untuk buku-buku saya. Saya banyak berdiskusi dengan dia tentang banyak hal. Saya memaksa dia untuk membaca habis ’The Chosen Prince’ sebelum siapapun juga. Padahal tebalnya beratus-ratus halaman. Dan dia dengan sabar meneliti satu persatu,mengkritik, dan memberi saran.

Setelah selesai, saya masih terus mengganggunya dengan sekian banyak pertanyaan tentang hidup dan juga tentang ide-ide saya. Dari perbincangan kami, saya sempat membuat draft untuk novel berjudul ’Airport’ dan ’Kali-Kali Laki-Laki’ yang entah kapan saya akan menyelesaikannya. Karena saya sedang jatuh cinta dengan tokoh Ramzi dan Ali dalam ,Catatan Harian Laila. Setelah sebelumnya berjibaku dengan ’Istana Bojong Cae’. Dia pula yang membuat ide gila tentang’ Nasi Goreng Untuk Obama’ jadi kenyataan.

Dia menyadarkan saya untuk tidak ikut serta dalam perang komersialisasi idealisme. Biarkan menulis dengan sepenuh hati, maka hasilnya akan memuaskan. Dan mengingatkan saya jangan berhenti menulis, walau dicaci dan dimaki. Karena segala bentuk kritikan akan mendewasakan diri saya dalam menulis.

Dia pula yang membantu saya memilih di antara dua pilihan yang sulit ketika harus memilih penerbit. Saya ingat kata-kata dia, ” Kamu macam Pak Belalang dalam dongeng yang kebingungan hendak bersampan ke dua pulau berbeda untuk menghadiri hajatan. Karena Pak Belalang terlalu lama menimbang, akhirnya dia kehilangan dua kesempatan besar untuk dapat nasi berkat. Jangan membiarkan kesempatan besar terlewat tanpa arti.”

Saya benar-benar mengingatnya. Entah apakah dia mengingatnya atau tidak. Dia pernah bercerita, kalau suatu waktu dia juga akan menulis buku pertamanya. Dan dia mungkin akan memakai sudut pandang karakter yang berbeda dalam satu waktu seperti ketika saya menuliskan The Chosen Prince.
Selebihnya kami banyak bercerita tentang hidup kami. Tentang Ratunya yang cantik dan tentang dua anaknya yang menggemaskan.Begitupun saya yang tidak pernah bosan menceritakan tentang pangeran saya.

Namun entah mengapa, sedikit demi sedikit dia juga mulai menarik diri dalam kehidupan saya. Perlahan tapi pasti dia meninggalkan saya, seperti malaikat lain dalam hidup saya saat kontrak kerjanya dengan Tuhan yang mengirim dia telah selesai.

Beberapa waktu lalu saya kembali dalam posisi yang tidak menguntungkan. Saya dirundung kesedihan setelah mengalami beberapa ujian, dan ketika saya mencoba memahaminya. Tuhan mengirimkan malaikat lagi untuk menemani saya.

Dia tidak datang sebagai malaikat sempurna seperti sebelumnya. Dia justru datang dengan segenap permasalahannya. Namun justru dari permasalahannya aku bisa belajar banyak, bahwa hidup tidak selamanya mulus sesuai rencana. Saya belajar untuk mensyukuri hidup saya yang jauh lebih beruntung darinya. Dan saya belajar untuk memahami bahwa segala sesuatu pasti ada alasannya. Sekalipun itu adalah tindakan yang kejam.

Sebelumnya dia datang, saya adalah perempuan yang terluka. Dia datang menyembuhkan dengan caranya sendiri. Karena dia ternyata adalah gambaran dari seseorang yang menyakiti saya.
Dia menemani saya memahami hidup dalam kesenyapan. Dia membuka mata hati saya bahwa hidup ini adalah kejam, tidak seputih yang saya bayangkan. Dia juga yang mematahkan teori-teori saya tentang bagaimana membalas kejahatan dengan kebaikan dan doa.

Suatu kali saya berkata pada dirinya yang diliputi rasa sakit hati dan dendam pada seseorang, ” Kalau kita disakiti, maka kita tidak perlu membalasnya dengan kejahatan yang sama. Justru kita mendoakannya. Setiap perkataan dan doa akan di-amin-kan oleh malaikat dan berbalik ke kita. Kalau kita mendoakan kebaikan, maka kebaikan yang akan kita dapatkan. Doa orang teraniaya itu dikabulkan, maka jangan buang kesempatan emas itu dengan mengucapkan sumpah serapah.”

Serta merta dia mendebatnya, ” Apa kamu bilang? Apa kita juga harus diam ketika Israel menganiaya Palestina. Ketika Israel menyerang kapal pembawa bala bantuan dan lain sebagainya.”

Dia memang pintar berdebat, maka saya dibuat tidak berkutik ketika dia malah memberi contoh yang tidak diduga-duga. Perkataan dia membuat saya berpikir lebih keras mengenai jawaban saya.

” Iya...” Saya menjawab sedikit ragu. Saya yakin dengan teori saya, tetapi untuk masalah Israel dan kekejamannya saya tidak setuju. Palestina yang tersakiti, tetapi saya juga merasa teraniaya. Tetapi saya tidak pernah mau mendoakan segenap kebaikan untuk Israel. Akhirnya saya malah diam daripada harus berdebat.

Dia dengan cepat menguasai hidup saya. Membenahi hal-hal yang perlu dibenahi dalam hidup saya. Setiap satu hal terselesaikan, saya mulai cemas kalau malaikat saya ini juga akan pergi meninggalkan saya.

Demi Tuhan saya tidak rela bila saya harus kehilangan malaikat saya kali ini. Malaikat yang telah menceriakan hari-hari saya. Malaikat yang telah memberi warna dalam hidup saya, dan bahkan menginspirasi saya pada novel saya berikutnya.

Suatu kali saya berbincang pada Tuhan, ” Tuhan...Terima kasih kau telah mengirimkan dia dalam kehidupanku. Tapi tolong Tuhan, kali ini aku ingin kontraknya adalah seumur hidup, tidak hanya sampai semua permasalahan saya selesai. Tetapi selamanya. Tuhan tolong jangan ambil malaikatku! Karena aku menyayanginya.”

Untuk malaikat-malaikatku, terima kasih telah hadir dan memberi warna dalam kehidupan saya. Saya tidak akan pernah melupakan kalian.

” Tuhan, tolong jangan ambil malaikatku!”

Jakarta, 21 Juni 2010 (00:24)
Risma Budiyani
(Dilarang menjiplak atau menyalin tulisan ini tanpa seizin dan mencantumkan nama penulisnya!)