Rabu, 21 Juli 2010

CATATAN PERJALANAN CALDERA

Day 1 (16 Juli 2010)

Jum’at tanggal 16 Juli 2010, menjadi momen yang paling menegangkan buat saya. Hati saya berkerjap-kerjap membayangkan kelak akan seperti apa petualangan yang akan saya dapatkan dua hari mendatang. Karena pada hari sabtu dan Minggu, kami akan melaksanakan serangkaian kegiatan outbound ‘Tim Building’ yang dirancang oleh Personalia untuk departemen kami.

Ini kali pertama, saya mengikuti outbound di markas besar elang. Karena memang sepanjang hampir tiga tahun saya berjibaku di sini, tim kami belum pernah mengadakan kegiatan serupa. Saya sudah memikirkannya sepanjang waktu, kiranya petualangan seperti apa yang akan kami hadapi.

“ Kita akan tinggal di pondok kayu yang terbuka di hampir setiap sisinya…” Suatu kali Yani sang sekretaris bercerita. Saya hanya mengangguk-angguk dengan penuh antusias.

“ Rafting, flying fox, kamu pasti tidak akan pernah membayangkan segenap keseruan yang ditawarkan…” Mata Yani berbinar-binar menjelaskannya pada saya. Dan alam pikiran saya dipenuhi oleh khayalan-khayalan akan petualangan-petualangan seru yang akan terjadi nanti.

“ Kamu ikut kan?” Sorot mata Yani tajam melekat pada mata saya. Dalam hitungan detik, saya mengangguk pasti tanpa keraguan sedikitpun.

“ Terus kita naik apa?” Tanya saya kala itu.

“ Bis…”

“ Bis?” Saya memastikan, dan Yani mengangguk.

“ Wew…. Bis!” Saya berseru dalam hati.

Saya sudah lupa bagaimana rasanya tamasya dengan rombongan dalam sebuah bis yang besar. Terakhir kali saya ingat, tamasya terakhir saya bersama rombongan adalah bertahun-tahun silam ketika saya masih duduk di bangku kuliah.

Itupun sejatinya bukan sebuah perjalanan tamasya. Kami hanya serombongan mahasiswa bau kencur yang sedang siap-siap bertugas KKN di wilayah Rangkas Bitung.Itu pun rasanya sudah seperti rombongan sirkus yang sedang bertamasya. Seisi bis hampir tidak pernah sepi oleh tawa, canda, nyanyi dan teriakan-teriakan histeris para gadis yang digoda bujang. Acara saling ledek dan cerca menjadi hiburan tersendiri yang menyenangkan untuk mengusir bosan selama perjalanan.

Dan saya berpikir akan jauh berbeda bila yang berada dalam rombongan bis tersebut adalah sekumpulan orang berusia dewasa yang bekerja di sebuah kantor pemberitaan. Saya sempat memikirkan bahwa mereka akan menjadi sangat serius. Hanya pembicaraan formal seputar politik, ekonomi, atau target kantor.

Ternyata perkiraan saya salah besar. Saya hampir tidak menyangka bahwa saya sedang duduk di dalam bis yang membawa rombongan para professional. Suasana bis sama riuhnya dengan bisa yang saya tumpangi bersama teman-teman saya saat usia saya masih menginjak usia hampir dua puluh tahun. Bahkan lebih heboh. Semua tertawa dan saling berkelakar, melempar lelucon dewasa yang terkadang menggelikan, terkadang juga membuat wajah bersemu merah.

Semuanya seperti tanpa beban. Walau sebelumnya, seharian penuh mereka berjibaku di kantor hingga jam tujuh malam. Sepertinya energi mereka tidak ada habisnya.
Beberapa di antara kami yang semula mengutuk keadaan bis kami yang tidak sempurna mulai berhenti mengeluh. Bahkan sepertinya mereka lupa dan mulai mafhum pada keadaan.
Ketika malam semakin larut, suara tawa mulai berhenti. Bertukar dengan suara musik-musik yang mengalun dari beberapa blackberry. Sedang yang lain mulai hanyut terbawa mimpi, termasuk saya. Yang lain masih bertahan dengan berbincang-bincang. Ada juga yang memuaskan diri dengan mengedarkan pandangan jauh ke luar jendela bis, menembus kegelapan malam. Melihat dengan asyik pemandangan pegunungan di malam hari.
Saat bis yang kami tumpangi memasuki jalanan mendaki yang berkelok-kelok. Beberapa di antara kami termasuk saya mulai terbangun dari tidur. Sang supir memacu bis dengan lihai di jalan berkelok. Tidak hanya dengan kecepatan standar, tetapi dengan kecepatan yang ‘luar biasa’. Kami serasa naik roller coaster.

Awalnya kami memang merasa tertantang. Suasana bis menjadi riuh oleh sorak-sorai menyemangati sang supir yang bak pembalap handal. Namun lama-kelamaan suara mulai melemah seiring dengan semakin mengerikannya laju bis kami. Saya yakin beberapa di antara kami termasuk saya, mulai merapal doa dengan bibir yang berkomat-kamit.
Puncaknya adalah ketika tiba-tiba sang supir mengerem bis dengan mendadak. Hingga kami terloncat dari posisi duduk kami. Saya terkesiap, dengan harap-harap cemas berdiri dari tempat saya duduk agar saya dapat melihat dengan jelas gerangan apa di depan.

Ya Tuhan!

Sebuah lubang cukup besar yang memakan hampir setengah dari bahu jalan. Dan bila sang supir tidak sigap mengerem bis. Maka kami semua akan celaka. Saya pikir setelah kejadian ini, sang supir akan mengurungkan niatnya untuk menunjukkan kelihaiannya dalam memacu kendaraan dengan kecepatan di atas rata-rata, sekalipun di jalanan terjal dan berkelok-kelok. Ternyata, sang supir tidak juga gentar. Setelah itu dia masih terus memacu bisnya.

Tetapi syukurlah, setelah lebih dari 5 jam, tepat jam setengah satu malam. Akhirnya kami tiba dengan selamat di pondokan Caldera tempat kami akan menghabiskan dua hari ke depan.

Suasana bis kembali riuh oleh seisi bis yang sedang bersiap-siap hendak turun dari bis. Sesekali suara teriakan ikut mewarnai di antara derai tawa. Suasana bis menjadi hiruk-pikuk oleh kesibukan penumpang bis yang saling berebut untuk turun. Semua terlihat begitu antusias untuk melihat kejutan apa yang menanti kami.

Karena ini adalah kali pertama saya. Saya sempat tertegun menatap deretan rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratapkan daun kelapa kering. Luar biasa, ingatan saya langsung melayang beberpa tahun silam ketika saya menghabiskan waktu di rumah-rumah tradisional milik suku primitif Baduy di pedalaman Rangkas Bitung. Tetapi tentunya ini lebih tertata rapih.



Setelah memuaskan mata saya dengan memandang sekeliling. Saya tersadar, beberapa teman sudah beranjak pergi meninggalkan halaman parkir. Saya pun segera meninggalkan halaman parkir sambil menenteng tas saya menuju penginapan yang disediakan.

Setelah meletakkan barang bawaan kami di pondokan. Kami semua digiring ke sebuah tenda di antara pondokan perempuan dan lelaki. Rupanya Caldera sudah menyiapkan penyambutan untuk kami. Aneka penganan kecil dan minuman hangat telah menanti kami. Tentu saja kami girang bukan kepalang, perjalanan panjang Jakarta-Caldera cukup membuat kami lapar, walau sebetulnya di dalam bis kami juga disuguhi nasi kotak.
Kami diperkenalkan dengan fasilitator kami, Mas Ucup dan Mas Thamrin. Mas Ucup dan Mas Thamrin juga memperkenalkan kami sapaan khas ala Caldera. Jika fasilitator menyapa ‘Halo’ maka kami harus membalasnya dengan ‘Hai’. Begitupun sebaliknya. Di Caldera tidak ada sapaan hari selain ‘Selamat Pagi’. Dan ketika fasilitator menyapa, ‘Apa Kabar Metro TV?’ kami harus menjawab dengan kompak ‘Siap, Luar biasa!’.



Setelah itu kami para perempuan segera bergegas pergi ke pondokan untuk mandi malam dan pergi tidur. Sedang para lelaki masih melanjutkan perbincangan hingga larut malam. Bahkan ketika saya terbangun jam 3 pagi. Saya masih mendengar suara-suara dari pondokan lelaki. Saya tidak tahu, jam berapa mereka tertidur.

Day 2 (17 Juli 2010)

Sesuai dengan jadwal, tepat jam 6 pagi kami sudah berkumpul di lapangan untuk berolahraga pagi. Mas Ucup dan Mas Thamrin sudah menanti kami di lapangan. Kami semua berdiri membuat lingkaran, dengan pemandu di tengah.



Ada yang tidak biasa di dalam lingkaran tim kami. Tiga orang penumpang gelap ikut serta dalam tim kami. Mereka adalah tiga lelaki Arab yang katanya turis dari Yaman. Dengan penuh percaya diri, mereka masuk di barisan kami dan mengikuti instruksi yang diberikan oleh pemandu kami tanpa menghiraukan pandangan aneh kami kepada mereka.
Setelah pemanasan untuk melemaskan otot-otot yang kaku. Sang pemandu memulai permainan-permainan yang membutuhkan konsentrasi sekaligus olah tubuh agar kami tidak mengantuk. Maklum, saat itu keadaan kami seperti orang yang sedang mabuk. Terhuyung-huyung dan sedikit sulit membedakan antara kenyataan dan alam khayal. Separuh nyawa kami serasa berada di alam yang berbeda. Inilah akibat kurang tidur. Sebagian besar dari kami terutama para lelaki hanya tidur kurang dari 3 jam. Dan sekarang kami sama sekali tidak bisa mencerna instruksi dengan baik.

Alhasil banyak di antara kami yang terkena hukuman. Saya pikir ini adalah hukuman paling menyenangkan sejagat. Hukumannya adalah bergaya ala foto model. Bahkan di kehidupan nyata sekali pun tanpa di suruh kami adalah banci-banci kamera.



Tak terasa satu jam telah berlalu. Setelah berolahraga pagi. Pemandu menggiring kami ke tenda yang telah disediakan untuk jamuan sarapan pagi yang lezat. Hanya menu sederhana berupa nasi goreng, suwiran ayam goreng, telor ceplok berbentuk bintang dan bunga, tempe & tahu goreng, garnish beruba tomat dan timun, emping. Tak lupa teh dan kopi hangat, air putih, dan jus jeruk sebagai pelengkap hidangan. Kami makan dengan lahap. Karena kami tidak ingin kelaparan selama beraktivitas nanti.

Setelah sarapan pagi, kami diberi waktu kurang dari satu jam untuk istirahat sebelum masuk ke sesi selanjutnya. Sang fasilitator pun mewanti-wanti kami agar tidak datang terlambat pada sesi selanjutnya. Bila terlambat, akan ada sangsi hukuman menanti. Beberapa perempuan memilih untuk mandi. Sedang yang lainnya lebih senang duduk-duduk dan bercerita di beranda pondokan.

Tepat jam delapan pagi, Mas Ucup dan Mas Thamrin menggiring kami ke tanah lapang tak jauh dari pondokan kami. Namun untuk mencapai tanah lapang tersebut kami harus berjalan kaki kurang lebih sepuluh menit melewati pematang sawah.

Sambil menunggu yang lainnya berkumpul. Mata saya sempat tertumbuk pada aktivitas sekelompok lelaki di dekat deretan toilet. Para lelaki sedang sibuk mengisi plastik-plastik bening berukuran satu kilo dengan air kemudian diikat dan dikumpulkan ke satu sisi.

Setelah sebagian besar peserta berkumpul, seperti biasa kami membuat lingkaran. Instruksi pertama yang kami lakukan adalah kami saling menghadap punggung teman. Ketika fasilitator memberikan aba-aba ‘Hujan!’ maka kami menggunakan telunjuk kami untuk memijat punggung teman dengan jari telujuk. Jika fasilitator menyebut ‘Petir!’ maka kami menggunakan sisi telapak kanan untuk memijat. Jika ‘Batu!’ maka kami harus memijat dengan kepalan tangan. ‘Long beach’ maka kami harus memijat dengan gerakan memijat yang sesungguhnya. Sedangkan ‘Badai’ berarti kita harus mengguncang-guncangkan bahu teman kita. Selanjutnya kami ditantang untuk duduk dengan nyaman di pangkuan teman kami dalam lingkaran.

Saya berasumsi, permainan ini selain untuk melatih konsentrasi, ini juga merupakan tahapan awal dalam sebuah Team Building yaitu perkenalan. Kami saling berkenalan agar menjadi saling percaya dan nyaman satu sama lain.

Setelah kami berkenalan barulah menginjak pada permainan selanjutnya yang lebih seru. Masih di dalam lingkaran. Fasilitator memberi instruksi gerakan ‘Patung Pancoran’, ‘Lampu Merah’, ‘Dansa’, ‘Bunga Matahari’. Masing-masing instruksi memiliki gerakan yang berbeda dan aturan main yang berbeda pula.



Jika fasilitator memberi aba-aba ‘Patung Pancoran’ maka kami harus bergaya ala ‘Patung Pancoran’. Sedangkan bila fasilitator memberi aba-aba ‘Dansa’ maka kami harus mencari pasangan untuk menari ala orang gila sambil menyuarakan gending gebo giro ‘ning nang ning gung…ning nang ning gung’.

Bila fasilitator menyebut ‘Lampu Merah’, kami harus berkelompok 3 orang dalam posisi tangga sambil kedua tangannya menyerupai kelap-kelip lampu. ‘Bunga Matahari’ berarti kami harus berkelompok yang terdiri dari 5 orang untuk bergandengan tangan dalam lingkaran membuat gerakan buka matahari mekar dan menguncup.

Kejadian yang paling menggelikan dalam sesi ini adalah ketika salah seorang dari kami yang bernama Mr. G. Begitu hebohnya dia menari hingga celana pendeknya robek. Namun di antara kami hanya tertawa cekikikan saja melihat hal itu. Dan anehnya Mr. G sama sekali tidak menyadari kalau celananya sudah robek parah.



Tantangan berikutnya adalah kami di ajak berhitung. Tetapi bukan dengan hitungan yang biasa. Peraturannya, untuk angka ganjil kami harus menyebut ‘bing’ dan untuk angka genap harus disebut lengkap. Namun entah kurang konsentrasi atau memang ‘lemot’, selama hampir dua puluh kali percobaan, kami belum juga menemui titik temu. Kami masih saja salah sebut. Sampai akhirnya salah satu pimpinan dalam kehidupan kantor kami yang sebenarnya memberi solusi agar kami bisa menyelesaikan permainan ini dengan cepat. Dan ajaib! Kami pun bisa menyelesaikan permainan itu dengan cepat dan tanpa cacat.



Permainan berikutnya, kami diajak oleh fasilitator untuk membayangkan diri kami sebagai seorang samurai yang siap berperang dengan ‘katana’ kami. Kami diajari membuat kuda-kuda, selebihnya adalah instruksi biasa yang sebenarnya sepele. Anehnya saat kami disuruh untuk menutup mata selagi kami melakukan gerakan yang dinstruksikan, posisi akhir kami berbeda jauh. Sebagian besar dari kami salah mengartikan instruksi depan, belakang. Jika belakang berarti balik arah, maka ketika instruksi berikutnya adalah depan, kebanyakan dari kami berbalik arah ke posisi semula. Padahal seharusnya depan adalah maju pada posisi kita sebelumnya. Kami sempat mengalami perdebatan yang sangat alot sebelumnya akhirnya menemukan titik temu. Permainan ini menggambarkan betapa perbedaan persepsi dapat mengaburkan makna instruksi. Peranan pemimpin penting untuk menyampaikan perintah sekaligus menyamakan persepsi anak buahnya agar tujuan organisasi berjalan sesuai rencana.

Saat-saat yang dinanti-nanti tiba. Waktunya Coffee break. Hidangan risol goreng dan pisang molen yang ditaburi gula halus menjadi pengganjal perut yang sudah mulai lapar akibat beraktivitas.

Dan mata saya masih mengamati sekelompok lelaki yang sedang asyik mengumpulkan plastik-plastik bening berisi air. Saya masih bertanya-tanya untuk apakah gerangan plastik air tersebut.

Setelah coffe break, fasilitator menggiring kami ke suatu area di bawah pohon. Sang Fasilitator menaruh beraneka-ragam gambar di atas rumput. Dan kami disuruh mengamati dan mengambil salah satu gambar sekehendak hati kami. Gambar yang kita ambil harus mewakili ke arah mana Metro TV akan dibawa. Di akhir permainan harus ada satu kesepakatan, setelah melewati perundingan yang cukup alot.

Saya sempat berandai-andai seandainya di situ ada gambar elang, maka tanpa berpikir lagi saya akan memilih elang yang merupakan maskot Metro TV. Saya tahu benar betapa filosofi elang menjiwai setiap gerak dan langkah Metro TV. Namun sayang di sana tidak ada gambar elang. Saya sempat berpikir untuk mengambil gambar pesawat agar Metro TV bisa terbang tinggi. Namun pesawat itu sudah diambil kelompok lain. Saya malah tergoda mengambil taburan warna-warni. Bagi saya itu menggambarkan universalitas Metro TV, agar Metro TV tetap menjadi ‘Knowledge to Elevate’ yang menaungi berbagai bangsa, ras, kelompok, dll.

Di akhir permainan, gambar tangan berjabatan menjadi kesepakatan kami. Karena untuk mencapai semuanya, perlu kebersamaan antara personel di dalam sebuah organisasi. Bila tidak ada kebersamaan, maka suatu organisasi akan tampak sebagai sebuah kapal tanpa arah tujuan yang jelas, masing-masing bercerai berai memilih tujuan yang berbeda.

Setelah permainan tadi, kami dibagi menjadi tiga kelompok. Kami digiring ke suatu tempat yang berbeda. Di sana sudah tersedia tiga batang bambu panjang yang di letakkan di atas penyangga berupa paku kecil. Tugas kami hanyalah memindahkan bambu secara berbarengan dengan jari telunjuk ke tempat yang hanya berjarak kurang dari 10 centimeter dari tempat semula. Saya sempat berpikir itu adalah tantangan paling mudah.



Namun, ternyata itu adalah tantangan tersulit. Entah bagaimana, bambu kami tidak mau diajak berdamai. Dia seperti punya kekuatan sendiri untuk bergerak sesuka hati, tidak mau diatur untuk dipindahkan ke tempat baru. Kami sempat ditakut-takuti oleh sang fasilitator, bahwa bambu itu memiliki kekuatan magis.

Akhirnya setelah hampir satu jam kami berjibaku dengan bambu ajaib, kami bisa memindahkannya. Rahasianya adalah, kami harus menjadi satu tim yang utuh. Tidak ada yang saling mendahului, atau tidak ikut aturan. Harus ada satu pemimpin yang mengatur bawahan agar bergerak sesuai aturan. Setelah Mr. G memimpin…dan bravo! Bambu-bambu kami pun berhasil dipindahkan. Dan kami bisa segera beristirahat makan siang.



Tanpa basa-basi, kami segera menyerbu tenda tempat panitia menyuguhkan hidangan makan siang. Menu kali ini adalah sayur asam, ayam goreng, tempe-tahu goreng, lalapan, nasi panas, karedok, kerupuk dan sambal terasi. Yummy…! Hidangan sederhana itu tampak sangat istimewa, kamipun melahapnya dengan semangat empat-lima.
Tepat jam satu siang, kamipun berkumpul di lapangan tempat kami berkegiatan sebelumnya. Fasilitator tahu benar kalau kami dalam keadaan sangat ngantuk. Kami diajak bernyanyi-nyanyi yang katanya itu adalah nyanyian khas suku Aborigin saat akan pergi berperang. Saya lupa liriknya, tetapi seingat saya nyanyian itu cukup menyegarkan kami yang semula mengantuk.

Setelah selesai bernyanyi-nyanyi. Barulah fasilitator membagi kami dalam dua kelompok besar. Kelompok saya di pandu oleh Mas Ucup. Mas Ucup segera menginstruksikan kami agar berdiri melingkar. Setelah memberi penjelasan secukupnya. Maka permainan bola tangkap pun dimulai.

Mula-mula fasilitator melempar satu bola tenis. Kami pun saling melempar dan menangkap bola dam pola yang teratur dan terstruktur. Setelah kami lihai menguasai satu bola. Tiba-tiba masuk bola kedua yang lebih kecil berwarna biru dan dapat mengeluarkan bunyi bila kami meremasnya terlalu kencang. Setelah itu boneka karet berbentuk kura-kura, bola berwarna merah yang sangat ringan. Kami masih bisa menguasai keadaan walau kami agak sedikit bingung. Konsentrasi salah seorang dari kami pecah saat sebutir telur pecah di tangannya. Ternyata di antara lima bola ada satu telur mentah.

Kami pun belajar dari kesalahan dan bertekad untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Tim kami mulai kompak. Kami berhasil melewati tantangan bermain bola tangkap di lingkaran hingga lima bola sekaligus. Setelah dirasa fasilitator, tim kami sudah cukup mumpuni. Fasilitator mengajak kami menuju pojok yang berbeda di bawah pohon rindang, sambil membawa alat tulis tulis. Fasilitator mengajak kami berpikir apa maksud dari permainan itu sambil beristirahat.

Dalam kehidupan dunia kerja, kita seringkali dihadapkan pada beraneka ragam tugas dari yang ringan hingga yang berat. Terkadang tugas itu datang bertubi-tubi pada saat yang bersamaan. Siap atau tidak siap, kita harus siap karena itu adalah tugas. Dan dalam mendelegasikan perkerjaan ada aturan yang jelas. Kita tidak bisa ‘asal’ menyerahkan tugas kepada rekan lainnya yang tidak kompeten. Begitulah kira-kira maksud permainan itu.



Setelah kami berdiskusi. Mas Ucup memberikan tantangan lain. Kali ini hanya satu bola, dan kami harus melakukan bola tangkap dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Kami menghabiskan waktu 17 detik untuk satu putaran. Kemudian 15 detik dan 9 detik. Mas Ucup mengatakan bahwa rekor yang sudah diraih adalah 2 detik untuk sejumlah orang yang sama dengan tim kami. Kami sempat tidak percaya. Namun fasilitator membangkitkan rasa kepercayaan diri kita. Hingga muncul ide-ide brilian dari berbagai orang untuk mendekatkan posisi kami, dan kali ini kami hanya perlu menggelindingkan bola dalam posisi jari telunjuk kami berdekatan. Dan kami mencatat rekor baru di bawah satu detik atau sekitar 40 frame.

Setelah menyelesaikan permainan bola tangkap, kami digiring ke sudut lain. Di sana sudah ada holahoop yang digantung sedemikian rupa. Tantangannya adalah kami harus bisa melewati holahoop tanpa menyenggolnya dan tidak boleh terputus dengan anggota lainnya.



Mungkin itu bukanlah hal yang sulit bagi orang semungil saya. Tetapi bagaimana dengan teman saya yang berukuran jumbo. Dan kami masih harus ditantang untuk saling terkait, tidak bercerai-berai sekalipun kami kerepotan berusaha melewati holahoop.
Tetapi kami punya solusi. Barisan paling depan adalah orang yang berukuran sedang, yang bisa melewati holahoop dengan mudah. Setelah itu anggota tim lainnya dan terakhir saya. Saat satu anggota melewati holahoop, kami yang dibelakang harus membantunya mengangkat kakinya. Begitupun setelah berhasil melewatinya, mereka masih harus berpegangan. Dan kebetulan kelompok saya yang berhasil memenangkan pertandingan melewati holahoop tanpa menyenggolnya.

Tantangan berikutnya, kami dua tim besar diberi sekitar 8 karet hitam berbentuk kotak berukuran 40 cm X 40 cm. Dan kami ditantang untuk menyeberangi jalan sepanjang 300 meter dengan alas tadi. Sedangkan satu tim terdiri dari dari 16 orang. Kami memutar otak bagaimana caranya kami bisa menyeberang bersama-sama tanpa menyentuh rumput. Namun hingga hampir 45 menit, kami belum juga bisa memecahkan tantangan tersebut. Hingga akhirnya kami memutuskan untuk menyatukan seluruh kekuatan. Kami bekerja-sama untuk menyeberangi jalan, dengan 16 alas hitam dan 32 orang. Dan kami berhasil. Inti dari permainan ini adalah, dalam satu organisasi kita harus bekerja-sama untuk mencapai satu tujuan.

Saya baru menyadari bila kantong-kantong plastik berisi air sudah disebar di hampir setiap titik. Beberapa jalur ditandai dengan tali. Dan di sisi kolam lumpur ada bendera Metro TV yang belum berkibar. Saya bertanya-tanya kira-kira tantangan apa yang sedang dipersiapkan oleh fasilitator.

Ternyata di ujung garis start ada obor untuk menyalakan lilin. Dan kami harus bekerja bahu membahu untuk menyelamatkan nyala lilin tersebut dari serangan air hingga garis finish. Tepat di garis finish ada jaring berbentuk lingkaran kecil seukuran bokong orang dewasa, dengan empat tali di keempat sisinya. Sang pembawa lilin harus duduk di atasnya dan diangkat oleh seluruh anggota kelompok. Sang pembawa lilin harus menyalakan obor yang berada di tengah kubangan lumpur. Obor itulah yang akan membakar tali pengait bendera. Saat tali itu putiyus karena terbakar api obor, maka saat itulah bendera Metro TV akan berkibar.

Para penyerang yang melemparkan kantong plastik berisi air adalah perumpamaan para kompetitor yang siap menyerbu kapan saja. Nyala lilin adalah nyawa Metro TV yang harus dipertahankan dengan penuh pengorbanan oleh segenap karyawan Metro TV. Dan semuanya harus bersatu-padu untuk mengibarkan kejayaan Metro TV.

Itu adalah pengalaman paling menegangkan. Kami sudah menggunakan berbagai taktik agar nyala lilin tersebut luput dari serangan begundal-begundal yang melempar air. Namun kami selalu gagal, hingga akhirnya kami membuat scenario pembawa lilin bayangan. Agar para penyerang terkecoh dan tidak tahu manakah pembawa lilin yang sebenarnya. Dan taktik ini berhasil sampai di finish walau semua pakaian kami basah kuyup.



Kini giliran saya menyalakan obor kemenangan. Saya sampai harap-harap cemas. Saya takut nyala lilin itu malah padam di tangan saya. Itu berarti saya sudah melukai banyak orang yang telah mengorbankan ‘jiwa dan raga’ demi nyala sang lilin. Dan akhirnya, saya berhasil juga. Bendera Metro TV berkibar dengan gagah diiringi dengan sorak-sorai seluruh tim. Ada haru, rasa suka dan kegembiraan yang teramat sangat.
Sambil menikmati kue dadar gulung dan risol, setelah permainan petang itu berakhir. Alam pikiran saya melayang jauh. Mungkinkah di kehidupan sebenarnya para elang juga akan bahu-membahu menyelamatkan markas besar elang (Metro TV) dari gempuran luar. Mungkinkah mereka akan mengorbankan ‘pikiran-jiwa-raga’ seperti dalam permainan ini. Wallahualam bisshawab.



Setelah permainan itu berakhir kami punya waktu kurang lebih dua jam untuk istirahat dan berbenah diri. Tepat jam 7 kami baru berkumpul kembali untuk makan malam di aula. Di sana sudah tersedia nasi panas, tumis kangkung, Tom Yam, ikan kakap, calamari, sambal, krupuk sebagai menu makan malam kami.

Baru saja kami menyelesaikan makan malam kami, Mas Thamrin sudah berseru, “Halo!”

Dan dengan spontan kami menjawab, “ Hai!”

Sebagai pemanasan, kami diajak bernyanyi bersama dengan gerakan yang khas.

Marina…Marina… Menari di Menara
Marince…Marince Menari di Menara.
Mas Epoy…Mas Epoy menari di menara


Setelah pemanasan di rasa cukup. Fasilitator memberikan kami gambar dan kami dipersilahkan untuk membaca gambar tersebut dengan seksama selama beberapa menit. Kami tidak boleh memperlihatkan gambar kami kepada orang lain.

Setelah itu masing-masing dari kami menceritakan gambar yang dimiliki. Mas Zul membuka ceritanya tentang seorang anak kecil yang mengintip keluar jendela, terlihat beberapa ekor ayam, babi/kuda kecil, dan lain-lainnya layaknya sebuah peternakan. Kemudian seperti biasa pemimpin kami Pak Arif memberikan ide agar kami berkelompok sesuai dengan gambar yang kami miliki untuk mempermudah terkuaknya misteri gambar.
Setelah berdiskusi, kami pun menaruh gambar-gambar kami berderetan dalam posisi tertutup. Dan ternyata setelah dibuka, gambar tersebut memiliki cerita yang berurutan. Luar biasa! Saya sampai tak habis pikir betapa ajaibnya jika kita saling menyatukan pikiran dan bekerjasama, maka tidak ada yang tidak mungkin dalam mencapai tujuan. Bahkan dengan mata tertutup sekalipun.



Dengan berakhirnya permainan ‘picture sequences’ maka berakhirlah serangkaian permainan Team Building pada outbound kali itu. Luar biasa! Dari permainan remeh, dapat terlihat dengan jelas karakter asli dari seseorang, mana yang manja, berjiwa pemimpin, lemot, egois, pemberontak, cerdas, sok tahu, setia kawan, dan lain-lainnya.
Selesai dengan permainan ‘picture sequences’, kami digiring ke aula yang berada tepat di bawah posisi aula tempat kami makan malam. Acara selanjutnya adalah bernyanyi dan berjoget dangdut. Sayang sekali saya melewatkan acara ini, karena kebetulan pada saat itu saya sedang mengobrol dengan pangeran saya yang merasa kesepian di rumah. Ternyata tidak hanya saya yang tidak hadir dalam acara itu. Mbak Linda dan Mbak Nurul sudah terlebih dulu menyingkir untuk memanjakan otot-otot yang kaku karena kelelahan yang teramat sangat dengan tukang pijat

Namun saya masih mengingat beberapa momen penting. Seperti ketika primadona tim kami, Mbak Livy menyanyikan lagu ‘Jablay’ dengan goyangan mautnya. Seluruh peserta bersorak-sorai, sambil berjoget ikut irama. Saya juga sempat mendengar suara sumbang Mas Miko menyanyikan lagu ‘Kemesraan’.



Dan malam itu pun berakhir, seiring dengan berakhirnya acara ‘gila-gila-an’ dengan bernyanyi dan berjoget dangdut. Jika malam sebelumnya kami hampir tidak tidur. Maka malam itu kami tidak ada alasan lagi untuk tidak tidur. Kelelahan teramat sangat sudah menyerang bersama kantuk yang tak tertahankan.

Sambil berbaring di atas selembar kasur tipis yang terhampar di atas lantai kayu, saya berusaha memejamkan mata. Dalam gelap, saya sempat mengedarkan pandang ke sekeliling. Yani yang tidur di sebelah kiri saya tampak sudah pulas, begitu juga Mbak Yanti. Dan sebagaian besar perempuan di pondokan kami. Hanya mbak Linda dan Mbak Nurul yang masih belum menyelesaikan sesi pemijatannya di bagian bawah pondokan.

Sunyi mulai terasa seiring dengan malam yang merambat naik. Saya pun tidak mendengar suara apa pun dari pondokan lelaki. Tampaknya mereka juga sudah terlelap karena kelelahan. Dan perlahan tapi pasti, saya pun terlelap. Saya tidak sabar menyambut pagi. Hoahem….zzzzzz

Day 3 (18 Juli 2010)



Setelah menikmati sarapan pagi berupa nasi uduk lengkap, kami pun digiring oleh pemandu menuju tempat perlengkapan rafting. Kemudian kami dipersilakan untuk mulai mengenakan perlengkapan rafting. Perlengkapan terdiri dari Life Jacket, Helmet dan dayung. Life Jacket disesuaikan dengan ukuran badan, mulai dari S-XL. Setelah tiap orang telah mengenakan perlengkapan dengan lengkap, kami pun dikelompokkan menjadi beberapa kelompok. Masing-masing terdiri 4 orang dan dipandu oleh 1 orang guide. Beberapa kelompok dipandu oleh dua guide. Ada juga tim yang dipandu oleh lebih dari satu guide. Biasanya mereka adalah guide baru yang jam terbangnya belum sebanyak guide senior.



Kebetulan saya sekelompok dengan Mas Miko, Agung, Mas Epoy, dengan guide bernama Lalan. Setelah semua siap, kami diberangkatkan ke tempat start dengan mobil pickup. Masing-masing mobil pick up terdiri dari 2 kelompok, lengkap dengan para pemandunya.
Dan pengalaman waktu di bus saat menuju caldera pun terulang kembali. Berkelok-kelok, naik-turun, terguncang-guncang. Benar-benar memacu adrenalin. Hal yang paling mengerikan adalah ketika pick up kami harus mendaki dengan ketinggian yang nyaris mencapai 90 derajat.

Tak lama kemudian mobil pick up yang kami tumpangi berhenti di suatu tempat. Saya pikir perjalanan kami telah berakhir. Ternyata tidak! Kami masih harus menuruni jalanan becek berbatu-batu yang curam, berjalan di pematang sawah nan becek, semak belukar, dan lain-lain. Kami benar-benar merasakan suasana desa yang sesungguhnya.
Dalam hati saya berdoa, semoga desa-desa itu tetaplah begitu. Tidak tergerus arus modernisasi yang terbawa oleh para turis peserta wisata rafting. Semoga, sawah-sawah itu juga tidak diambil-alihkan menjadi pondokan-pondokan baru.

Sampai di tempat start, kami pun mengantri untuk naik ke perahu karet. Sambil menunggu antrian, kami diberi pengarahan oleh leader mengenai kode-kode yang akan dia ucapkan saat nanti kami rafting. Karena ini pengalaman pertama saya berarung jeram. Maka saya mendengarkan dengan cermat setiap penjelasan dari arung jeram.
‘Maju’ berarti mendayung ke arah belakang. ‘Mundur’ berarti mendayung ke arah depan.
Terkadang pada beberapa kasus, perahu karet kami harus menghindari batu di sebelah kiri atau pun kanan. Maka ketika guide memberi aba-aba ‘Pindah kiri’, maka orang di sebelah kanan pindah ke kiri. Begitu pun ketika guide memberi aba-aba ‘Pindah Kanan’ maka orang di sebelah kiri pindah ke kanan. Sedangkan aba-aba ‘bump’ berarti penumpang perahu karet harus segera menunduk / duduk di lantai perahu untuk menghindari ranting-ranting pohon di sungai.

Sang leader juga tidak henti-hentinya mengingatkan agar dalam kondisi apapun, tangan kiri kita harus menutupi ujung dayung agar tidak mencederai penumpang lainnya. Karena dari sekian banyak kasus kecelakaan di dalam perahu karet terjadi karena akibat terbentur gagang dayung.

Selain itu kami juga diajarkan tentang apa yang harus kita lakukan kalau-kalau anggota tim tercebur. Bagian yang harus diangkat adalah pelampungnya, bukan tangan atau malah kepala. Hingga akhirnya tiba giliran kami untuk masuk ke boat dan rafting pun dimulai!

Mas Miko salah satu anggota tim kami yang katanya sudah berkali-kali berarung jeram tampak sangat antusias dan terkesan tidak sabaran. Saat sang guide belum memberi aba-aba, Mas Miko sudah mendayung. Bahkan Mas Miko mengabaikan cara peletakan kaki yang benar untuk keselamatan. Kami cemas dengan kelakuan Mas Miko yang bisa berdampak buruk bagi keselamatan seluruh awak. Akhirnya kami mulai mendayung.

Kami akan mengarungi sungai citarik sepanjang 9 km dan akan menghadapi 21 jeram selama kurang lebih 2 jam. Jeram pertama yang kami lewati adalah jeram Ayu, sesuai dengan namanya jeramnya terlalu kemayu alias tidak terasa. Saya tidak terlalu ingat nama-nama setiap jeram, saya hanya ingat beberapa seperti jeram which way (karena di bawahnya ada 2 jalur), jeram kincir (karena dulu ada kincir angin kecil buatan belanda di pinggir sungai), jeram sirkuit (karena di jeram tersebut para instruktur berenang semasa pelatihan), dan jeram yang paling dahsyat adalah jeram Jumping Jackless, dll.

Selama berarung jeram, seperti yang kami duga sebelumnya. Mas Miko lah yang paling sering bermasalah. Saat guide memberi aba-aba maju, Mas Miko malah diam. Saat tidak ada aba-aba, Mas Miko malah mendayung. Mas Miko mengabaikan kemana harus meletakkan kaki selama berarung jeram. Akibatnya, Mas Miko lah yang paling sering terjatuh saat perahu karet kami mengalami goncangan hebat akibat arus liar. Puncaknya adalah ketika Mas Miko terjatuh keluar. Untung saja ada perahu tim lain yang berada di antara perahu kami dan tebing batu, kalau tidak mungkin Mas Miko bisa celaka. Saya bisa lihat jelas betapa saat itu Mas Miko panik. Kami pun bahu-membahu saling membantu untuk mengangkat Mas Miko naik ke atas perahu karet.

Tiba-tiba saya ditarik oleh tangan kekar yang tidak lain adalah Mas Miko hingga terjatuh ke dalam air sedalam lebih dari dua meter. Saya yang kaget dan panik hampir tidak dapat menguasai diri selain pasrah meminum air sungai butek, dan membiarkan air masuk ke lubang hidung dan telinga saya. Saya tenggelam dan ini tidak bercanda. Kontan, Mas Miko dan anggota tim yang lain menyelamatkan saya.

Saya pun mulai menikmati berenang-renang di air. Saya hanya mencemaskan kalau-kalau sepatu crocs kesayangan saya ikut hanyut. Suasana mencekam berubah menjadi derai tawa. Akhirnya seluruh anggota tim, ikut berenang-renang di dalam air sungai yang cukup tenang. Hingga sang guide mengisyaratkan untuk naik kembali ke dalam perahu karet dan melanjutkan perjalanan.

Namanya Pak Lalan. Dia adalah guide tim kami. Pak Lalan termasuk salah satu guide senior yang sudah hampir 10 tahun menjadi guide arung jeram. Sebelum bekerja di Caldera, dia pernah beberapa kali bekerja di tempat-tempat serupa, termasuk di Bali. Keahlian Pak Lalan dalam mengendalikan perahu karet di arus liar tidak perlu diragukan lagi. Pak Lalan pun sangat jenaka, dia tahu benar bagaimana memanfaatkan kecemasan kami untuk bercanda.



Sesekali Pak Lalan memberi aba-aba ‘bump’. Dan kami dengan cekatan menunduk menghindari sesuatu yang kami sendiri tidak tahu. Pak Lalan tertawa terbahak-bahak. Rupanya Pak Lalan menipu kami. Kali lain Pak Lalan melempar tali menyerupai biawak sambil berseru ‘Biawak!’ ke arah saya. Dan seketika itu pula saya berteriak sekencang-kencangnya memecah kesunyian. Dan para lelaki hanya tertawa terbahak-bahak.

Pak Lalan juga mengajak kami merasakan “komedi putar” yang berarti adalah mengarungi jeram dengan perahu karet yang sambil berputar-putar. Caranya adalah orang disebelah kanan mendayung mundur sedangkan orang di kiri mendayung maju. Jadilah kami terombang-ambing sambil terputar-putar. Tidak terasa hampir dua jam telah berlalu. Perahu karet kami telah tiba di garis finish. Sesampainya kami di sana, kami langsung disuguhi kelapa muda, bakwan dan Tom Yam hangat. Sungguh hidangan yang pas untuk kami yang sedang kelelahan dan kehausan sekaligus lapar. Kami saling bersendera-gurau melepas lelah sambil menikmati hidangan istimewa. Namun sayang dua orang dari kami, terluka. Bang Parlin, anggota senior kamilah yang terparah. Luka akibat terpelanting dari perahu karet dan tergores batu tajam membuatnya harus dibantu dua orang untuk berjalan.

Setelah cukup beristirahat, kami pun diantarkan kembali ke pondokan dengan mobil pick up. Jalur yang kami lewati masih sama terjalnya dengan keberangkatan kami. Yang berbeda hanyalah, kali ini pakaian kami basah kuyup dan didera kelelahan yang teramat sangat. Saya tidak sabar untuk mengikuti permainan selanjutnya. Flying Fox.
Sesampainya di Caldera, kami melompat dari pick up dengan sisa tenaga yang tersisa. Setelah kami mengembalikan semua peralatan rafting ke tempat semula, kami berlari-lari kecil menuju tempat persiapan flying fox. Beberapa orang sudah memisahkan diri dari rombongan untuk membersihkan diri. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang memiliki phobia dengan ketinggian.

Saya dan beberapa orang lainnya dalam keadaan basah kuyup yang telah siap dengan peralatan keselamatan untuk flying fox segera menyeberangi jembatan kayu setapak yang diberi pengaman jaring-jaring di sisi kanan dan kirinya. Jembatan akan bergoyang-goyang seirama dengan langkah kaki kita. Untuk keamanan, kami hanya diperbolehkan menyeberang lima orang dalam sekali jalan.

Setelah sukses menyeberangi jembatan, kami berbaris antri untuk menunggu giliran flying fox. Walaupun itu pengalaman pertama saya melakukan flying fox, sedikitpun hati saya tidak merasa kecut. Saya malah merasa sangat antusias untuk terjun bebas dengan bantuan tali pengaman.

Turun dari flying fox, kue Putri Ayu berwarna hijau dengan taburan parutan kelapa di atasnya dan risoles goreng sudah menanti di meja. Yummy! Tanpa basa-basi, saya dan beberapa teman yang lain langsung menyerbu untuk menyantapnya. Setelah puas dengan sajian camilan alakadarnya itu, saya pun memilih segera kembali ke pondokan untuk membersihkan diri dan berbenah, karena tepat jam 12 siang kami akan meninggalkan tempat ini.

Akhirnya sajian menu makan siang berupa nasi panas, ayam goreng, empal goreng, urap, soto babat, emping, sambel merupakan makan terakhir kami sebelum meninggalkan Caldera. Bis ‘White Horse’ dan mobil lainnya yang membawa rombongan kami sudah menanti di halaman parkir.

Setelah menyelesaikan makan siang, mengambil foto petualangan rafting kami, dan berpamitan dengan fasilitator dan segenap kru yang telah membantu kami. Akhirnya kami naik ke dalam bis dan kembali ke Jakarta.

Selamat tinggal Caldera! Saya pasti akan kembali, entah kapan.

Jakarta, 21 Juli 2010

Jumat, 16 Juli 2010

TENTANG MALAIKAT

(Lanjutan dari JANGAN AMBIL MALAIKATKU!)
Sepanjang kehidupan saya, para malaikat datang dan pergi silih berganti. Satu-persatu dari mereka datang saat saya sedang kepayahan melangkah, kemudian kembali pergi setelah saya mampu berdiri dengan tegak dan tersenyum. Para malaikat tanpa sayap dalam bentuk manusia ini seperti dikirim Tuhan untuk menemani masa-masa sulit saya. Mereka dikontrak dengan periode kontrak yang telah ditentukan. Setelah waktunya berakhir, maka dia juga akan segera pergi dan pindah ke kontrak barunya dengan menjadi ‘guardian angel’ untuk orang yang berbeda.

Saya tak pernah bisa menerka kapan Tuhan akan mengirimkan malaikatnya untuk saya. Bahkan terkadang saya baru bisa mengenali malaikat saya di penghujung waktu atau malah setelah takdir memisahkan kami dan membawa saya pada malaikat lain yang berbeda.

Beberapa waktu lalu saya kembali dalam posisi yang tidak menguntungkan. Saya dirundung kesedihan setelah mengalami beberapa ujian, dan ketika saya mencoba memahaminya. Tuhan mengirimkan malaikat lagi untuk menemani saya.

Dia tidak datang sebagai malaikat sempurna seperti sebelumnya. Dia justru datang dengan segenap permasalahannya. Namun justru dari permasalahannyalah saya bisa belajar banyak, bahwa hidup tidak selamanya mulus sesuai rencana. Saya belajar untuk mensyukuri hidup saya yang jauh lebih beruntung darinya. Dan saya belajar untuk memahami bahwa segala sesuatu pasti ada alasannya. Sekalipun itu adalah tindakan yang kejam.

Sebelumnya dia datang, saya adalah perempuan yang terluka. Dia datang menyembuhkan dengan caranya sendiri. Karena dia ternyata adalah gambaran dari seseorang yang menyakiti saya.

Dia menemani saya memahami hidup dalam kesenyapan. Dia membuka mata hati saya bahwa hidup ini adalah kejam, tidak seputih yang saya bayangkan. Dia juga yang mematahkan teori-teori saya tentang bagaimana membalas kejahatan dengan kebaikan dan doa.

Dia mengajari saya dengan kebencian dan kemarahannya yang teramat sangat pada hidupnya, juga pada orang-orang yang pernah menyakitinya. Dia tidak hanya mengurai hidupnya yang getir, tetapi juga menularkan kebenciannya pada saya. Hingga saya ikut menangis dan meradang pada mereka yang telah menyakiti malaikat saya. Bahkan saya ikut merasakan kehancuran yang sama seperti yang dia rasakan.

Bersamanya saya seperti ikut serta dalam hidupnya yang seperti roller coster, melambat kemudian menghentak dan bergerak sedemikan cepat bersama deru emosi, kemudian melambat lagi dan kemudian jungkir-balik dalam roda ceritanya. Saya yang semula takut dan mengambil jarak tiba-tiba ingin ikut menyelesaikan akhir perjalanan dari roller coster tersebut. Saya tidak mau berhenti di tengah, atau saat saya berada dalam posisi jungkir-balik, kepala di bawah bergantung pada pengaman pinggang, yang siap menjatuhkan saya kapan saja dengan gaya gravitasi bumi.

Dia mengajarkan saya sebuah pembalasan dendam yang sempurna. Bersamanya saya seperti menjadi seorang agen rahasia yang sedang melancarkan aksi rahasia dengan sembunyi-sembunyi. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu.

Saya hanya terkagum-kagum ketika dia mengurai sederet taktik yang sudah dipersiapkannya dengan sempurna. Dia tahu benar kapan harus maju menyerang dan kapan harus mundur untuk menghilangkan jejak. Dia mengajari saya menjadi spionase ulung yang semula hanya saya lihat di film-film Barat.

Dia menceritakan hampir setiap detil rencananya kepada saya. Dan saya hanya ternganga mendengar setiap kejutan yang dia lontarkan. Dia menawari saya untuk menjadi bagian dari aksinya.

” Aku harap kamu mau membantu...”

Saya sampai terkesiap ketika tanpa terduga dia mengatakan hal itu. Saya sempat menimang-nimang, hingga akhirnya dengan gegap gempita saya menerima tantangan itu. ” Baik... siapa takut.” Mata saya berbinar-binar dan dia mengangguk. Setelah itu saya resmi menjadi Ms. Spy dari seorang James Bond.

Malaikat saya mengajari saya untuk bermimpi. Dia menularkan mimpinya kepada saya. Mimpinya untuk mengejar suksesnya yang juga merupakan bagian dari pembalasan dendamnya.

” Kamu tahu, suatu hari nanti mereka yang pernah mencampakkan aku, akan menyesal...” Dia mengatakan hal itu berkali-kali di hadapanku, sambil sorot matanya memancarkan emosi yang meletup-letup.

” Dalam waktu dekat, aku akan mendapatkannya....”

” Kamu tahu, sebentar lagi Ferrari itu akan jadi milikku...”

” Suatu hari nanti, kamu pasti akan sulit bertemu denganku. Karena aku akan menjadi orang sukses yang teramat sibuk....”

Dan hampir setiap hari saya dicokoli dengan kalimat afirmatif positif tentang mimpinya. Saya tidak menghindar, malah saya terus mendekat.

Begitupun saya adalah seorang pemuja mimpi. Saya percaya benar bahwa apa yang terjadi nanti tergantung dari apa yang kita pikirkan sekarang, You are what you think all day long. Saya berkali-kali membuktikannya. Dan saya terus-menerus membesarkan hatinya dan menyemangatinya agar tidak menyerah merebut mimpinya.

” You are what you think all day long!” Saya dengan berapi-apinya menyemangatinya ketika dia kembali menceritakannya.

” Well, I’m thinking I’m Brad Pitt but neever been Brad Pitt. Bahkan mungkin tidak akan pernah menjadi Brad Pitt.” Katanya saat itu. Saya dibuat melongo, hampir bingung mau membalas apa.

” Yah....bermimpi juga mesti realistik, bung!”

” Well, itu berarti teorimu tidak valid...”

Dan saya memilih untuk diam daripada harus mendebat sang jago berkelit. Saya tahu, mungkin dia hanya sedang menguji hati saya yang mudah kecut.

” Dan aku bingung, kenapa kamu mau bertahan dalam keadaan seperti ini. Aku benci melihat orang dengan talenta seperti kamu berada dalam posisi tidak berguna seperti ini.”

Leher saya hampir tercekat ketika dia mengatakan hal tersebut kepada saya.
” Kamu seharusnya bisa menjadi lebih baik lagi dengan memanfaatkan semua potensi kamu? Dan kamu malah memilih terpenjara tanpa penghargaan yang pantas.” Sorot matanya yang tajam lekat menghujam hati saya yang paling dalam. Saya hampir menangis kehabisan kata. Saya tidak sanggup membela diri.

Huh....Saya kesal setengah mati saat itu. Walau dalam hati saya membenarkan kata-katanya. Bahwa saya, hampir saja menjauh dan mengambil arah yang berbeda dari mimpi saya. Saya bahkan hampir tidak sanggup memunguti kepingan-kepingan mimpi yang sempat tercerai-berai. Saya menunduk.

Pandangan matanya mulai melembut, mungkin dia mulai melihat kerapuhan saya. ” Well, itu semua pilihanmu....” Dia mengangkat bahunya sambil mulutnya komat-kamit.
Saya mengangkat wajah menatapnya, dan dia membalasnya dengan senyum sinis membuat hati saya semakin kecut.

” Pilihanmu untuk memasrahkan diri pada sesuatu yang kamu sebut takdir. Sambil terus berkisah tentang betapa nyamannya dirimu pada orang-orang sekelilingmu. Kamu pikir mereka benar-benar peduli dengan kamu?” Matanya mendelik. Saya melongo.

” Tidak...tidak ada yang lebih peduli kepada diri kamu selain diri kamu sendiri. Camkan itu...berlarilah mengejar mimpimu! Tinggalkan omong kosong itu!”

Kali lain dia menceritakan tentang kegilaannya pada seorang wanita. Kegilaan karena cinta yang menyakitkan. Dia lagi-lagi menceritakan tentang betapa getir adalah teman akrabnya, begitu juga dalam hal percintaan. Satu-persatu cintanya memilih mundur teratur demi sebuah cinta yang dirasionalisasi.

” Semua perempuan itu sama saja...”

” Maksudmu?” Saya mengernyitkan dahi menatap wajahnya yang penuh kegeraman teramat sangat.

” Perempuan mengejar kenyamanan, financial security alias materialistis. Cinta bagi mereka adalah memanjakan dirinya dengan berlian, mobil mewah, rumah mewah, dan ...”
” Maksudmu?” Saya memutusnya sambil mendelik.

” Ya perempuan itu pada dasarnya materialistis...” Kegeramannya masih belum berkurang.

” Aku tidak...” Saya membela diri, dia melihat saya sejenak, sebelum akhirnya dia berkata,

” Well, mungkin kamu adalah pengecualian. Tapi kurasa tidak juga. Aku tidak yakin kamu siap hidup susah...” Saya terkesiap.

Terserahlah saya malas berdebat dengannya. Saya pasti kalah. Saya benci kalah. Dia memang malaikat yang aneh, dia membuat saya nyaman dengan caranya sendiri.
Malaikat saya mengajarkan bagaimana mengejar cinta. Dan saya terang-terangan menolak teorinya. Saya setuju pendapat John Powell, konselor dan penasihat spiritual. Bahwa dalam mencinta, yang terjadi adalah: cinta bersyarat atau cinta tak bersyarat.

”Tidak ada kemungkinan ketiga!”

Bila untuk mencintai kita memerlukan syarat, berarti cinta itu bukan cinta sejati. Cinta sejati adalah harus dan merupakan hadiah yang diberikan secara cuma-cuma. Kita benar-benar cinta bila orang yang kita cintai mendapatkan cinta kita, bukan karena ia pantas menerima cinta kita. Disebut pantas karena cantik, anggun, ganteng, baik hati, dsb. Kita sadar bahwa orang yang kita cintai bukanlah orang yang terbaik, bukan orang yang paling hebat, bukan yang paling cocok.

Namun, itu semua tidak menjadi persoalan. Yang penting adalah bahwa kita telah memilih untuk memberikan kepada orang yang kita cintai berupa cinta kita, dan juga telah memilih untuk mencintai kita. Dalam kondisi inilah cinta dapat tumbuh dengan baik.

Sebaliknya, orang yang dicintai karena alasan pantas atau dianggap berhak menerima cinta, selalu menimbulkan keraguan: mungkin saya tak dapat membahagiakan orang yang saya inginkan mencintai saya. Atau mungkin selalu ada rasa cemas, jangan-jangan suatu waktu cinta akan lenyap.

Selain itu, cinta yang didapat karena alasan pantas menerimanya selalu meninggalkan rasa getir dalam kesan: bahwa orang dicintai bukan karena dirinya, tetapi kemampuannya membuat orang lain senang. Ini bukan cinta, tetapi manipulasi! Cinta sejati tanpa syarat, dan bersifat membebaskan.

“ Kamu tidak tahu apa-apa tentang sakit hati…” Dan dia pun geram.

“ Aku pernah kehilangan cinta... Saiful Malook?”

“ Saiful Malook itu berbeda…dia maya. Dan aku nyata.” Dia membuat saya kecut untuk kesekian kalinya.

Singkat cerita, Dia dengan cepat menguasai hidup saya. Membenahi hal-hal yang perlu dibenahi dalam hidup saya. Setiap satu hal terselesaikan, saya mulai cemas kalau malaikat saya ini juga akan pergi meninggalkan saya.

Demi Tuhan saya tidak rela bila saya harus kehilangan malaikat saya kali ini. Malaikat yang telah menceriakan hari-hari saya. Malaikat yang telah memberi warna dalam hidup saya, dan bahkan menginspirasi saya pada novel saya berikutnya.
Hingga saya memohon kepada Tuhan agar Dia tak mengambil malaikat saya kali ini.
” Tuhan, tolong jangan ambil malaikatku!”

Saya menjadi serakah dan egois. Saya tidak ingin siapa pun memiliki dia. Saya mencoba merampasnya dari Tuhan. Agar Tuhan tidak bisa memindah-tugaskan malaikat saya pada orang lain.

Suatu kali saya bertanya padanya, ” Apakah kamu juga akan terbang meninggalkanku sendiri seperti malaikat-malaikat lain?”

Dia membalikkannya dengan, ” You are what you think all day long. Tergantung dari apa yang kamu pikirkan.” Dia tersenyum sinis.

” Aku tidak mau...”

” Maka aku akan menjadi malaikatmu selamanya...” Dia membesarkan saya.

Seiring dengan waktu, perlahan tapi pasti. Dia mulai menjauh dan bersiap terbang. Mula-mula, kedua kakinya berdiri tegak sambil memandang saya. Kemudian dia menghiraukan saya sambil merentangkan sayapnya yang membuat saya terpukau, karena sebelumnya saya pikir dia tidak bersayap. Hingga dia mulai mengangkat kakinya satu, sambil menoleh ke arah saya yang memelas agar dia tidak terbang.

Hingga saya hampir kehabisan alasan untuk menahannya agar tidak terbang. Begitu pun saya mulai kehabisan alasan untuk menangis.

Dan saya masih memandang sudut-sudut dimana dia menemui saya. Saya masih memandang setiap jengkal jalan tempat dia pernah membawaku terbang. Sambil terus mengingat setiap kisah yang meluncur dari mulutnya.

Sudut-sudut itu masih sama, jalan raya, rambu, bangunan, dan lainnya masih sama. Yang berbeda hanyalah tidak ada lagi dirinya. Dan pasti tidak akan sama.
Pertemuan dan perpisahan adalah dua sisi mata uang yang tak akan terpisahkan. Tidak akan pernah ada pertemuan bila tidak ada perpisahan. Begitu juga tidak pernah ada perpisahan tanpa pertemuan.

Mungkin di belahan bumi lain, ada seseorang yang sedang membutuhkan hangatnya sayap sang malaikat. Mungkin Tuhan tahu, saya sudah cukup kuat berjalan. Dan mungkin, Tuhantelah mempersiapkan malaikat lain untuk menemani saya. Mungkin juga anda adalah malaikat saya berikutnya....

Jakarta, 16 Juli 2010
Risma Budiyani