Selasa, 12 Juli 2011

NEVER SAY GOODBYE, VIZA!




Hari ini lagi-lagi aku akan kehilangan satu orang penting dalam hidupku. Orang yang sedikit banyak telah membantu aku memaknai hidup yang tak selalu manis. Bahwa terkadang hidup juga harus kecut bahkan pahit.

Namanya Teja Ofteviza. Namun aku biasa memanggilnya dengan sebutan Mbak Viza. Kupanggil mbak, karena dia lebih senior beberapa tahun di atas aku.

Perkenalanku dengannya layaknya perkenalan dengan teman-teman kantor lainnya. Saat itu aku masih perawan kencur di kantor pemberitaan itu. Dengan malu-malu kusodorkan tangan kepada perempuan manis yang kurus di hadapanku.

"Viza..." Dia tersenyum padaku sambil meraih tanganku.

"Risma..." Aku jawab dengan senyum yang tak kalah manis.

" Dari IPB?"

" Iyah..."

Mbak Viza mengangguk dan dia segera melanjutkan pekerjaannya. Aku melirik sekejap deretan angka dan tabel-tabel yang bertebaran di layar monitornya yang sungguh tidak aku mengerti. Aku pun segera beringsut menghampiri penghuni ruang marketing lainnya.

Belakangan aku tahu, Mbak Viza adalah senior riset marketing di kantor pemberitaan itu. Dialah orang di belakang layar yang meramu data AC Nielsen menjadi laporan yang digunakan para decision maker untuk berdiskusi dan bertindak. Dia juga yang membuatkan data 'maha penting' untuk para account executive kami berjualan iklan.

Latar belakang statistika dari sebuah universitas ternama bernama IPB membuatnya memiliki nalar logis yang melebihi orang-orang kebanyakan. Semua didasarkan atas sebuah fakta yang dapat dipertanggung jawabkan. Dia selalu menggelitik pikirku yang sangat imajinatif dengan hal-hal riil. Dia selalu membuat hipotesa berdasarkan asumsi yang kelihatannya sudah dipikirkan masak-masak dengan memakai teori statistika. Kelihatan sekali pasangan hidupnya yang juga ahli riset, mencekoki alam pikirannya dengan hal-hal logis dan 'berat'.

Selanjutnya, dia menjadi 'partner in crime' yang tidak terpisahkan. Terutama dalam hal belanja dan diskon. Dimana ada aku hampir selalu ada dia. Puri Mall, Taman Anggrek, Tanah Abang, Sarinah menjadi saksi bisu betapa aku dan dia telah menghabiskan masa-masa ceria kami bersama.

Dia mirip ibuku, Sagitarius. Kalau menginginkan sesuatu harus terjadi saat itu juga. Walau akhirnya dia akan menyesalinya nanti.

Masih ingat bagaimana hebohnya dia ketika menginginkan sepasang sepatu crocs warna putih seharga 500 ribu. Dia nekat menjemput sepatu impiannya di sebuah pusat perbelanjaan Sudirman saat lunch break. Dan dia tidak melupakan aku, dia pun membelikannya untukku.

Mbak Viza adalah online shopper yang tidak pernah kapok walau sudah ditipu berkali-kali. Kepribadiannya yang sangat independen hampir tidak membutuhkan nasihat orang lain.
Satu hal yang membuat aku terkagum-kagum dengannya adalah dia satu-satunya perempuan tangguh di tim kami dengan jarak rumah ke kantor terjauh. Setiap hari Bogor-Jakarta-Bogor bukanlah hal yang mudah bagi ibu beranak dua.

Pagi-pagi buta saat kebanyakan warga Jakarta termasuk aku, masih di alam mimpi. Dia sudah bangun dan berjibaku dengan aktivitasnya. Memacu motornya dari rumah ke stasiun Bogor. Naik KRL Express tujuan Gondangdia. Dari Gondangdia, dia kembali memacu motor yang dititipkannya ke Kedoya.

Bisa dipastikan, dirinya hampir selalu tidak bisa datang tepat 8.30 pagi. Namun sebelum jam 9 dia sudah tiba di ruangan dengan penuh peluh, namun tetap dengan wajah penuh senyum. Semangat yang menyala-nyala. Tepat jam 17.30 dia sudah melesat memacu motornya, mengejar kereta. Bayangan dua anaknya sudah menari-nari di matanya.

Sekalipun jarak yang teramat jauh untuk ditempuh, Mbak Viza tetap berusaha untuk profesional. Satu-satunya alasan dia tidak masuk selain cuti tahunan adalah sakit anaknya. Atau dia benar-benar sudah tak berdaya untuk mengejar kereta. Dia selalu berkata, betapa malunya bila dia harus membolos karena alasan yang dibuat-buat. Tentu saja kata-kata itu menjadi tamparan tersendiri buat aku. Kala aku sedang tak bersemangat 'ngantor' maka bayangan Mbak Viza yang mengejar kereta dengan penuh peluh adalah semangatku.

Suatu kali di salah satu pusat perbelanjaan tempat aku dan dia menghabiskan waktu untuk shopping dia berkata.

"Aku mau resign."

Tentu saja aku mendelik dan membuatku hampir tersedak oleh minuman dingin yang sedang kuseruput. Hal itu membuatku terkejut, karena kutahu dia adalah superwoman yang paling loyal di tim-ku. Masa 9 tahun pengabdian adalah buktinya.

Dan dia mengangguk, sambil buru-buru mengalihkan pandangannya. Dia menyeruput lemon ice tea-nya.

Lagi-lagi mbak Viza menatapku yang penasaran. Dia terlihat menghela nafas demi membentuk kekuatan.

"Aku berusaha keras menjadi ibu yang baik buat Darell dan Abel.Tidak mungkin karir profesional selaras dengan karir sebagai ibu dan istri. Harus ada yang dikorbankan."

Suara mbak Viza semakin parau.

"Aku hampir tidak bisa melihat tumbuh kembang anak-anakku.Aku pergi saat mereka masih tertidur dan tiba di rumah saat mereka sudah beranjak tidur. Aku terlalu lelah. Perjalanan Jakarta-Bogor yang sudah 9 tahun kutekuni kini terasa cukup melelahkan.Rasanya sudah saatnya aku memutuskan memilih salah satu. Dan aku tidak mau lagi mengorbankan keluargaku demi materi."

Sejak pembicaraan itu berbulan-bulan lalu. Mbak Viza berusaha keras membulatkan tekadnya yang berulang kali nyaris batal. Dia memikirkan bagaimana jadinya jadi Full Time Mommy yang bergantung 100% pada gaji suami.

Pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana dia mengatur uang yang hanya bersumber dari gaji suami? Bagaimana dia bisa memenuhi gaya hidup sebelumnya? Bagaimana dia mencari penghasilan tambahan tanpa mengorbankan keluarga agar dapur tetap mengebul? Dan pertanyaan-pertanyaan lain berseliweran di pikirannya.

Dan akhirnya dia telah memutuskan setelah melewati pergulatan batin. Berkali-kali dia berdialog dengan Tuhan melalui istikharah. Dan dia belajar ikhlas akan keputusannya. Dia yakin Allah Maha Kaya, Allah lah yang kelak akan menolongnya kala sempit seperti biasanya.

Hari ini adalah hari terakhir Mbak Viza di kantor. Aku masih bisa melihat betapa berat hatinya meninggalkan 'surga'-nya. Di akhir masa jabatannya, dia masih saja mengkhawatirkan hal remeh temeh tentang apakah Agung partner risetnya akan baik-baik saja sepeninggalnya. Apakah Imam si anak baru sudah siap mental melebur diri di riset?

Hari-hari awal pasti akan berat. Dia akan kehilangan aku yang berceloteh tentang kucing-kucing dan hal-hal lain dengan gaya lebay dan suara keras. Salam super Mas Fatah si Mario Teguh gadungan. Gaya sok bijak Mas Syaiful. Mas Miko sang BOD yang datang dan pergi sesuka hati. Fred Mr. Serok Khan preman Labuhan Bajo yang takut dengan boneka atau kucing. Emiria sang juragan pulsa.

Bedu si anak musholla , Imam sang misterius. Celoteh Agung tentang perempuan yang ditaksirnya namun tak pernah berani didekatinya. Si Nanet, putri Cina Bangsawan. Rima dengan kehamilannya.

Kang Azzust dengan kulet-kuletnya. Gaya nyentrik Nova. Pak Dosen AM yang memaparkan teori komunikasi. Bu Kepala Sekolah CK yang sangat baik dan cantik. Bang Parlin sang pendeta yang selalu berbicara berdasar Injil. Avi si Cina Pasar yang selalu dibandingkan dengan Nanet.

Yani sang sekretaris dengan agenda meetingnya. Meitha Bieber, si alay Wiwit, si Cablak Fina. Atau celoteh Mas Sofyan yang selalu mengaku-ngaku sebagai mantan pacar Mbak Viza. Kisah Mbak Besty dengan petinggi Japfa dan Camat Sukabumi. Fahmi si kreatif yang biasa dipanggil Cun oleh si Tomboy Nova. Dan sudah pasti si Mr. Telat Kiki.

Kamu tahu apa yang paling aku syukuri dalam hidup?

Aku punya sahabat-sahabat seperti kamu dan yang lainnya. Orang-orang yang selalu membuatku tersenyum sekalipun aku sedang terluka.

Di sini aku bahagia. Aku tidak merasa bekerja sekalipun seringkali dikejar deadline. Betapa banyak kenangan manis yang tertoreh di sini. Menjadi elang, berkumpul dengan sekawanan elang.

Hari ini Mbak Viza akan pergi meraih asa. Kudoakan semoga asa itu membawa kebahagiaan, keceriaan yang tidak ditemukannya di sini. Cerita telah usai sampai disini. Namun kenangan akan mbak Viza selalu ada di hati kami.

Never say Goodbye!

Karena sejatinya perpisahan itu tidak pernah ada untuk sahabat sejati.