Selasa, 29 November 2016

Cinta adalah ------

Bertahun-tahun menjadi penulis roman, ternyata tidak membuat saya pandai mendefinisikan apa arti cinta. Sebagai perempuan dewasa, saya tidak lagi menafsirkan cinta hanya sebatas ketertarikan secara emosi dan fisik kepada lawan jenis. 

Bagi saya di dalam cinta, ada tanggung jawab, empati, kasih sayang, toleransi, pengorbanan, kepatuhan, dan saling menghormati. Kali ini saya tidak ingin membahas definisi cinta untuk philia (cinta keluarga dan teman), agape (cinta keluarga dan Tuhan), ataupun storge (cinta tanah air). Saya hanya ingin membahas eros, cinta kepada lawan jenis. Seperti layaknya manusia normal lainnya. Saya pun berkali-kali jatuh cinta, tertarik pada lawan jenis. Namun, hubungan serius pertama dan Insya Allah terakhir ya dengan lelaki yang kini menjadi suami saya. 

 Kalau perasaan tertarik pada lawan jenis adalah salah satu tanda alamiah seseorang yang sedang atau sudah memasuki masa akil baligh. Kalau masa akil baligh pada perempuan dimulai sejak menstruasi dan masa akil baligh pada lelaki dimulai sejak mimpi basah. Rasanya saya sudah mulai tertarik pada lawan jenis, jauh sebelum menstruasi. Layaknya gadis kecil kebanyakan, saya mulai menyukai teman lelaki saya sejak di bangku SD. Saya lupa kelas berapa. Yang jelas, saya suka sekali dengan salah seorang teman lelaki saya yang bertampang bagus dan termasuk deretan anak terpandai di kelas. Saya suka melihat kehadirannya di sekitar saya, membuat saya semangat datang ke sekolah. 

 Memasuki masa baligh di SMP, ketertarikan saya kepada lawan jenis semakin menggebu-gebu. Beberapa kali saya pernah ‘jatuh cinta’ dengan teman lelaki di SMP, SMA, bangku kuliah dan masa kerja sebelum menikah. Tak terhitung jumlahnya. Namun, tipikal lelaki yang saya sukai bisa dipastikan mirip. Tinggi besar, berwajah bagus menurut saya, deretan anak pandai, warna kulit tidak selalu sama. Sebanyak itu saya ‘jatuh cinta’, pernahkah saya pacaran? Tidak pernah sekalipun, kecuali lelaki yang menikahi saya sekarang. Itupun kategorinya bukan pacaran, lebih ke taaruf. Tahu-tahu dilamar, tanpa pernah merasakan ‘ditembak’ (pernyataan cinta untuk komitmen hubungan pacaran). 

 Loh kok bisa tidak pernah pacaran? Kebetulan orang tua saya terutama ibu, adalah orang tua yang sangat ‘over protective’ dengan anak gadisnya. Mungkin karena saya anak pertama, kebetulan anak gadis satu-satunya yang jadi perhiasan rumah. Ibu bersikap lebih ‘galak’ kepada saya ketimbang kepada adik-adik saya yang lelaki. Berkali-kali jatuh cinta kepada lelaki, dan berkali-kali digilai lelaki tidak membuat saya bisa berkomitmen dalam hubungan pacaran. Bagaimana mau pacaran, kalau setiap ada teman lelaki telepon mencari saya, ibu akan selalu menjawab ketus, “Rismanya gak ada! Jangan telepon lagi ya”. Telepon ditutup dengan kasar. Bagaimana mau pacaran kalau ada teman lelaki yang sekiranya dicurigai ada niat terselubung, datang ke rumah akan langsung dicemberuti. Tidak ada ampun buat lelaki yang mendekati anak gadisnya. Peraturannya kala itu, tidak ada pacaran sebelum kelar sekolah. TITIK! 

 Peraturan ini tentu saja membuat saya ‘mati kutu’. Sebetulnya bisa saja saya ‘backstreet’, pacaran sembunyi-sembunyi seperti kebanyakan teman saya yang bernasib sama memiliki orang tua yang super otoriter. Tetapi kok saya kapok ya. Sekalinya kabur dari rumah buat nginep di rumah teman perempuan di SMP, pulangnya saya dimaki habis-habisan. Istilah pacaran saat SMP, SMA bahkan masa kuliah, bagi saya hanya sebuah dongeng indah yang tidak pernah saya rasakan. 

Dahulu tentu saja saya kesal dengan orang tua saya, cemburu dengan teman-teman saya. Saya sudah terbiasa mendengar cerita teman-teman perempuan saya yang berbinar-binar menceritakan pengalaman ciuman pertamanya, pegangan tangan, pelukan, nonton bioskop, dan lain-lainnya sejak SD. Sejak saya bahkan masih belum mendapatkan menstruasi. Sejak bacaan saya masih Bobo, dan bacaan teman saya itu sudah majalah Gadis. Saya ingat persis ketika saya merajuk ke ibu untuk membelikan saya majalah Gadis, lip gloss dan mini set (bra) saat SD kelas 5. Kala itu adalah lambang gadis keren di SD.

 Beberapa teman perempuan yang saya bilang ‘cool’ saat itu sudah memakai mini set , lip gloss, membaca majalah Gadis dan punya cowok. Dan saya iri. Ibu saya memang membelikan semua permintaan saya. Namun tetap saja, pacaran masih merupakan hal terlarang yang bisa saya lakukan. Saat menginjak bangku SMP, malah saya berteman dekat dengan gadis yang katanya primadona kampung. Si gadis Betawi bahkan mengaku beberapa kali sudah ‘diminta’ orang alias dilamar. Yah ampun, pacaran saja saya tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya, apalagi dilamar. SMP, belum pernah pacaran tapi tahu persis rasanya ‘broken heart’. Saat itu sedang naksir berat dengan salah seorang lelaki ‘keturunan’, namun sayangnya si lelaki lebih suka dengan gadis lain yang lebih gaul.

 Yah, apalah saya yang kala itu hanya Betty Lafea yang selalu ranking 1 dibanding si gadis gaul yang pandai bersolek. SMA, beruntung punya beberapa sahabat lelaki yang masuk jajaran cowok paling keren seangkatan. Tahu kan artinya cowok paling keren? Artinya digilai gadis-gadis dan pacarnya tentu saja gadis gaul yang super modis dan cantik. Dari sahabat saya itu justru saya dinasehati untuk tidak pacaran, karena jadi pacar harus mau dipegang-pegang, dicium. Intinya yang rugi perempuan. Tidak hanya dia, satu-satunya lelaki yang menasehati. Setelah itu saya justru banyak bergaul dengan lelaki playboy. 

Mereka juga menasehati hal yang sama kepada saya, plus pesan harapan terselubung dari para pria begajulan yang suatu hari ingin juga menikah dengan gadis yang benar-benar belum tersentuh. Maka saya tumbuh menjadi gadis yang sama sekali tidak gaul karena tidak punya cowok yang bisa digandeng ke acara nongkrong bareng, nonton, bahkan prom nite (pesta perpisahan ala Barat). Saya merasa dikutuk menjadi jomblo sepanjang masa remaja. Apalagi memang kala itu saya bukan termasuk gadis pesolek, walau saya cukup bergaul. 

 Tahun 2000-an saat internet mulai meraja lela. Saya kepincut dengan aktivitas chatting di dunia maya. Apalagi kesibukan saya sebagai mahasiswa baru, mengharuskan saya berakrab-akrab dengan internet untuk keperluan browsing data. Browsing data sekaligus chatting menjadi rutinitas saya saat nongkrong di warung internet alias warnet. Berkenalan dengan banyak orang di dunia maya, salah satu yang membuat saya terjebak cyber love adalah Saiful Malook. Pemuda asal Peshawar Pakistan yang membuat saya jatuh cinta setengah mati. 

Walau hubungan kami hanya sebatas chatting di MIRC, Yahoo Messenger, dan saling berkirim surat dan souvenir. Sebuah hubungan percintaan yang sungguh naïf. Tidak ada saling rayu, kalimat-kalimat menjurus, dan hal-hal negatif lainnya. Namun, rasanya sedemikian mendalam. Hingga suatu hari pada puncak perang Afghanistan di tahun 2001, Saiful Malook lenyap ditelan bumi. Saya tidak lagi mendapatkan sepucuk surat pun dari Saiful Malook. Tidak ada email, bahkan dia tidak pernah lagi datang di jadwal chatting kita. Saiful Malook lenyap, dan saya menggila. 

 Rasa cinta saya yang besar membuat saya nekat untuk menghadap sang duta besar Pakistan untuk Indonesia. Saya datang untuk meminta bantuan beliau mencari Saiful Malook. Kebetulan H.E. Syed Mustafa Anwer Hussein adalah mantan komandan militer AL, atasannya Jenderal Pervez Musharraf (Mantan Presiden Pakistan). Melalui bantuan anak buahnya yang disebar di seluruh Peshawar, sang duta besar mencari kekasih maya saya Saiful Malook. Namun keadaan daerah konflik Peshawar yang kala itu sedang kacau. Peshawar adalah tempat persembunyian militan Afghanistan, karena Peshawar hanya berjarak 10 km dari Jalalabad Afghanistan. Maka semua orang tutup mulut bila militer menanyakan nama seseorang. Mereka takut kalau-kalau orang itu adalah buronan teroris. Dan Saiful Malook pun lenyap. 

 Hingga akhirnya suatu hari bertahun-tahun kemudian Saiful Malook ditemukan dalam keadaan tragis. Berkeliaran bak orang gila di jalanan ibukota Peshawar sambil menciumi amplop berisi surat cinta dan sehelai rambut saya. Tentang mengapa dia menjadi gila, bisa baca di novel perdana saya Surat Cinta Saiful Malook yang membuat nama saya tiba-tiba melejit. PTV (Pushto TV Channel) di Peshawar yang juga direlay di seluruh dunia lewat jaringan TV kabel. Dan bahkan Metro TV dulu pernah mengundang saya sebagai pelaku Cyber Love. 

Tidak hanya novel, skripsi saya pun saya dedikasikan untuk cinta maya saya, Saiful Malook. Kehilangan Saiful Malook yang bahkan belum pernah saya lihat secara nyata membuat saya kapok membuka hubungan. Rada lebay memang, apalagi Saiful Malook ini tampak hanya seperti karakter hayalan di dunia maya. Bahkan kami hanya sekali chatting menggunakan webcam, itupun tidak sampai 10 menit karena kendala koneksi internet. Saling bertukar foto lewat surat darat, dan sekarang fotonya entah sudah kemana :p. 

 Beberapa kali didekati pria yang niat serius, termasuk beberapa pria asing tidak membuat saya menyerah. Saya menarik diri, walau saya sebenarnya teramat sangat ingin menikah di usia muda. Hingga akhirnya saya malah dilamar oleh lelaki yang sekarang jadi suami saya. Padahal selama itu dia tidak pernah masuk dalam ‘hitungan’ saya. Hanya teman, teman yang bahkan tidak masuk hitungan teman tempat curhat. Teman yang menurut saya cukup usil untuk menanyakan, “apa landasan yang kelak akan kamu pakai untuk mendidik anak? Apa landasan kamu untuk menikah?” dan pertanyaan lainnya. Saya yang dahulu bukan siapa-siapa, hanya menjawab ‘nothing to loose’. 

 “Landasan saya untuk mendidik anak adalah Al quran dan hadits, agar suatu hari kalau saya meninggal ada anak saleh dan salehah yang selalu mendoakan. MAkanya saya butuh imam yang siap membimbing saya”. Uhh, jawaban spontan yang dalam. Tiba-tiba mualaf Amerika yang dahulu tak sengaja bertemu di masjid ini melamar saya, tanpa pernah menyatakan cinta terlebih dahulu. Sebuah tawaran yang membuat saya galau setengah mati. 

Saya yang sebetulnya siap mental untuk menikah, namun jadi galau saat satu-satunya lamaran serius yang datang adalah pria asing dengan segudang masa lalu yang kelam. Setelah lewat pergulatan mental yang cukup panjang, shalat istikharah saya akhirnya menerima sang mualaf yang hafalan Al Quran dan haditsnya lebih banyak ketimbang saya yang bahkan Juz Amma masih suka lupa. Si lelaki Amerika yang memelihara jenggot sunnah-nya. Dengan persiapan yang hanya sebulan akhirnya pernikahan pun digelar. Terkesan tergesa-gesa hingga menjadi bahan gunjingan para tetangga. 

Para tetangga tidak pernah melihat saya berjalan berduaan dengan lelaki layaknya pasangan yang siap menikah, tahu-tahu menggelar pesta. Jangan-jangan sudah hamil duluan seperti tren masa kini. Untungnya saya tidak langsung hamil, karena kami memang berniat untuk pacaran dahulu selepas nikah. Seperti kebanyakan orang pacaran, saya pun mewujudkan impian nikmatnya dicium sang pacar, digandeng, dipeluk mesra, candle light dinner, nonton bareng, sampai tidur bareng. Namun, Alhamdulillah semuanya setelah nikah. 

Tidak ada lagi dosa, yang ada pahala. Apakah saya menyesal pernah diperlakukan sedemikian galak oleh sang ibu yang melarang saya pacaran saat masih belia? Tidak! Saya bersyukur punya ibu yang galak. Walau beliau tidak menjelaskan secara detil mengapa saya tidak boleh pacaran. Saya beruntung. Mungkin kalau ibu saya bersikap lunak, membolehkan saya pacaran sejak gairah remaja saya masih bergejolak dengan liarnya ditambah dengan keluguan saya. Mungkin saya sudah hamil di luar nikah. Walau saya tidak men-judge semua yang pacaran pasti tidur bareng. Tetapi saya sepertinya tidak kuat mental kalau tiap hari mesti berdekatan, dipandangi dengan tatapan mesra, disentuh lembut plus saya yang ‘kegatelan’ karena sedang tergila-gila. 

Namanya juga sedang jatuh cinta, kewarasan bisa saja lenyap. Suami saya berkali-kali bilang betapa beruntungnya dia mendapatkan kesempatan pertama mencium, menggandeng, memeluk, mengajak nonton, candle light dinner, dan tentunya mengajak tidur saya. Dan semuanya Alhamdulillah dilakukan setelah menikah. Beruntung sekali saya pertama kali punya ‘boy friend’ dalam bentuk nyata adalah dengan suami saya, pada saat yang tepat. Namanya juga hubungan percintaan tidak selalu akur-akur saja. Rasanya rugi juga kalau sudah komitmen setia, berkorban kehormatan, perasaan dan uang kalau hanya jadi pacar. Just saying… 

 Saya dan suami sudah memutuskan akan bertindak sebagai orang tua yang tidak akan membolehkan anak-anak kami pacaran sebelum nikah. Tidak akan! Apalagi dengan tantangan zaman yang sudah sedemikian gila ini. Sang suami yang besar di Amerika sebagai non-muslim, tahu persis bagaimana rasanya hidup serba bebas. Pertemuannya dengan Islam, membuatnya yang dahulu tidak pernah percaya dengan komitmen pernikahan akhirnya tunduk pada sunatullah. Alhamdulillah dia seorang imam yang sangat baik, selain sebagai ‘pacar’ yang romantis dan bapak yang mengayomi. Balik ke definisi cinta.

 Di dalam cinta sejati ada tanggung jawab, bukan hanya sebatas ketertarikan fisik dan emosional. Namun sayang, tayangan sinetron/film, media cetak, media elektronik telah mengaburkan definisi cinta yang sesungguhnya. Para remaja merasa punya hak azasi untuk jatuh cinta dan pacaran. Padahal sudah pasti para remaja belum punya niatan untuk segera menikah. 

Apa yang dicari dari seorang remaja bau kencur dari sebuah hubungan pacaran? Selain hasrat untuk mengekspresikan rasa cinta secara seksual. Seksual memang tidak harus hubungan ranjang. Namun bertatapan mesra, mengobrol mesra, bergandengan, pelukan, ciuman, sentuhan, lama-lama bisa berujung pada hubungan ranjang juga. Apalagi remaja bau kencur masih teramat lugu, tidak berpikir panjang tentang sebab dan akibat. Orang tua yang bijak tidak akan membiarkan anaknya bebas berpacaran. 

 Tetapi anehnya masih banyak orang tua yang dengan bangganya pamer kalau anak gadisnya digilai banyak lelaki, punya banyak pacar. Saat melepas sang anak gadis pergi nge-date, sang orang tua bilang ke pacar si anak gadis, “titip anak saya ya mas/bang/nak/dek”. Hasyeeek! Si orang tua memasrahkan anak gadisnya pada lelaki yang bukan muhrim. Ada juga yang membebaskan sang anak berpacaran asal tidak hamil dan menghamili. 

Astaghfirullahalazim. Jadi cinta itu adalah … Yang pasti cinta bukan hanya sebatas perkataan “aku cinta kamu, mau kah kamu jadi pacar aku”. Pret!!! Seandainya sudah serius mau nikah pun rasanya terlalu aneh kalau sengaja memperpanjang masa pacaran dengan alasan untuk mengenal lebih jauh. Selama apapun Anda berpacaran tidak akan bisa mengenal persis watak si pacar. Karena namanya juga pacaran cuma menunjukan hal-hal terbaik. 

Gak mungkin kan pergi pacaran belum mandi dengan pakaian yang acak-acakan. Salah satu cara untuk mengenal lebih jauh calon ya dengan cara menggali informasi dari orang-orang terdekat si calon. Pakai cara intel! Yah kalau tanya langsung sama yang bersangkutan rada diragukan kevalidannya. Mana ada maling teriak maling??? 

 Jadi cinta adalah ----

Namaku Jones


Namaku Jonathan, namun orang-orang lebih suka memanggilku "Joe". Terkadang "Jones",singkatan dari Jomblo Ngenes. Yah aku memang Jomblo, pasalnya di usia hampir 40 aku masih sendiri. Ketika teman-teman sebayaku sudah beranak-pinak. Aku masih belum tahu akan duduk di pelaminan dengan siapa, sambil terus berjuang agar lekas 'move on' dari nestapa akibat putus cinta. 

 Begitu traumanya aku akan percintaan, hingga aku tak punya cukup nyali untuk kembali merajut kasih dengan makhluk bernama perempuan. Makanya tak heran kalau bukan satu dua kali aku dikejar-kejar gay yang mengira aku bagian dari kumpulannya. "Sorry guys! Gue masih normal, gue cuma gagal move on!" Kalau ada orang yang harus dipersalahkan atas pedihnya nasibku ini. Maka dia adalah Tania! Tania yang mengenalkanku akan cinta hingga membuatku bertekuk lutut di hadapannya atas nama cinta. Tania juga yang menyadarkanku bahwa manisnya cinta tak ubahnya akan rasa taik kucing. Menjijikkan! 
 
Hampir dua puluh tahun lalu, saat aku masih di bangku kuliah. Tania adalah salah satu gadis idola di kampus kami. Siapa yang tak tertarik dengan Tania? Gadis berparas manis, berkulit sawo matang, bermata jeli dengan alis seperti semut berbaris, berambut hitam legam yang selalu tergerai, langsing dan tinggi. Pembawaan Tania yang supel membuat dia memiliki banyak teman. 

 Tapi yah, apalah aku saat itu. Laki-laki bertampang pas-pasan, otak juga kadang megap-megap, duit ngepas. Sama sekali bukan sosok kebanyakan laki-laki idola perempuan. Meski mengagumi Tania, aku tak berani bermimpi memilikinya. Apalagi, Tania sudah punya pacar yang juga anak gaul. Sedangkan aku cuma butiran debu. Saat tersiar kabar kalau Tania putus dengan si pacar. Aku pun bersorak kegirangan. Tiba-tiba harapan bahwa aku akan merebut hati Tania yang nyaris mati kembali bersemi.

Perlahan tapi pasti aku mendekati Tania dengan segala cara. Yah kalau adu ganteng, adu tajir mungkin kalah KO dengan pesaing. Tapi aku yakin bisa memikat Tania dengan kemampuanku membuat orang tertawa. Dan Tania pun terpikat. Katanya,"kamu orang paling lucu yang pernah ada Joe...bersamamu, hidup sesulit apapun tiba-tiba menjadi baik-baik saja". Tentu saja aku melayang ke atas langit. Makin hari hubungan pertemanan aku dan Tania pun makin akrab. Dimana ada Tania di situ ada aku.

 Sebenarnya aku sudah gemas ingin mengungkapkan perasaanku padanya. Namun, Tania seringkali curhat tentang si mantan atau gebetannya. Aih...mungkin aku cuma dianggap Tania sebagai abang-abangan atau HTS-an. Hingga suatu hari aku pun memberanikan diri untuk 'menembak' Tania, "gue suka lo Tania... Boleh gak gue jadi pacar lo". 

Mata Tania mendelik menatapku mencari sedikit keraguan di mataku. Namun Tania gagal, dia pun tertawa. "Gue juga suka lo kok Joe..." 

 "Jadi kita?" Aku hampir tak percaya. Tania mengangguk. Dan aku yang kegirangan segera melonjak-lonjak kegirangan. Mimpi apa aku semalam bisa membuat Tania mengiyakan ajakanku untuk merajut tali kasih. Sejak saat itu aku dan Tania jadian. 

Bagiku itu adalah saat-saat terindah. Tahun-tahun terakhir di kampus menjadi saat-saat yang paling indah karena ada Tania yang secara de facto dan de jure jadi pacarku. Aku pun bisa berjalan membusungkan dada di hadapan orang-orang sambil menggandeng Tania, gadis pujaanku. Kuliah bareng-bareng. Wisuda bareng-bareng. Hingga kami memulai karir di perusahaan berbeda kami masih bersama-sama. Hubungan kami kian dekat. 

Bahkan orang tua kami pun sudah sama-sama tahu. Aku tahu aku mencintainya sepenuh jiwa namun aku masih punya misi yang harus aku selesaikan. Aku ingin berkarir dahulu hingga bisa membanggakan orang tua. Lagi pula aku laki-laki. Tak masalah menikah sedikit lebih uzur. Tetapi tidak demikian dengan Tania. Tania bercita-cita ingin menikah muda, agar dia bisa menjadi teman seru anak-anaknya kelak saat tumbuh dewasa. Belakangan Tania jadi sering merajuk minta dinikahi. 

 "Lo kan tau kalo gue baru aja kerja. Perjalanan gue masih panjang. Gue masih ingin berkarir, mengumpulkan modal buat kita sekaligus menyenangkan orang tua gue dulu", kataku saat itu kepada Tania yang merajuk. 

 "Lo cinta gak sih sama gue?" Tanya Tania ketus. 

 "Cinta mati! Tapi nikah gak bisa cuma modal cinta sayang. Beri gue waktu paling gak lima tahun lagi".

 "Ya udah kalau gitu kita putus!" Tidak hanya sekali dua kali Tania minta putus. Namun ya setiap putus kami nyambung lagi dalam hitungan hari dan hubungan kembali harmonis. Saat itu aku yakin, she is the one. Makanya sesering apapun Tania minta putus, aku yakin dia akan kembali ke pelukanku. Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa dirinya. 

 Suatu hari di bulan Januari, aku ditugaskan kantor untuk melihat prospek pasar di kota Dili. Kota di timur Indonesia yang pernah jadi bagian dari NKRI. Ini pertanda baik, berarti karirku mulai menanjak. Namun ini jadi cobaan cinta pertama aku dan Tania. Meski hanya sebulan aku tugas di Dili, namun namanya tetap LDR. Meski sedang jauh dari Tangerang Selatan, tapi aku selalu menyempatkan diri menelpon, sms, dan mengirim email. Ah, ya saat itu belum ada whatsApp. Teknologi video call juga belum secanggih sekarang. Setiap hari sedikitnya tiga kali sehari kami saling bertelponan melepas rindu. 

Hingga hari kepulanganku dari Dili akhirnya tiba. Baru saja aku mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Tania sudah merengek ingin bertemu karena kangen berat. Aku sempat menego untuk menunda hingga esok hari karena sudah terlampau lelah. Namun, Tania merajuk lengkap dengan tangisan maut. "Kita sudah LDR-an sebulan sayang. Masak cuma ketemu sebentar aja kamu gak mau?" Nada suara Tania di telpon terdengar emosi. 

"Oke... Aku akan ke rumahmu, tapi sebentar ya. Itu pun setelah aku pulang ke rumah menengok ayahku yang sedang sakit". Dari Bandara ke Bogor butuh hampir 3 jam. Setelah istirahat sebentar sambil berkemas dan menemani ayah yang sedang sakit. Aku pun caw mengunjungi rumah Tania di Ciputat. Raga yang lelah akibat jetlag masih harus diforsir mengendarai motor butut Bogor-Ciputat demi Tania. Sampai di Ciputat, Tania menyambut dengan wajah sumringah. Dia memelukku erat. Dan kami pun mengobrol hampir satu jam sebelum aku pamit. 

 Baru saja saya hendak memacu motor butut. Tania membuntuti dari belakang minta ikut ke Bogor untuk menengok ayahku. Dan tahu sendiri Tania, tidak ada yang bisa menolak keinginan Tania. Aku pun luluh. Kamipun berboncengan menuju rumahku di Bogor. Tak lama di Bogor, hanya sejam. Kemudian aku kembali mengantar Tania ke Ciputat. Sesampainya di Ciputat setelah perjalanan hampir satu setengah jam. Aku pun mohon diri pulang sebelum larut, karena aku juga sudah capek maksimal.

 Lagi-lagi Tania merajuk, "tapi aku kan masih kangen... Tunggulah di sini bersamaku sejenak..." Aku akhirnya luluh. Baru sekitar jam 10 malam aku pulang meninggalkan rumah Tania di Ciputat menuju Bogor. Dan terjadilah petaka itu. Mungkin karena ngantuk dan capek berat, baru mendarat dari Dili kemudian harus mondar-mandir Ciputat-Bogor 4 kali. Dan arghhh.... Motor bututku dihajar bis saat sedang melaju di daerah Parung. 

 Aku tidak sadarkan diri berhari-hari. Tersadar setelah berhari-hari di ruang ICU rumah sakit. Dan aku harus menerima kenyataan pahit mengalami dagu yang harus mendapat 13 jahitan, tulang dagu remuk, tulang bibir atas terbelah dua, rahang remuk dan patah 2 plus bonggol rahang hancur dan gigi rontok. Keluar dari rumah sakit masih harus menghadapi episode hidup paling mengerikan. 

Aku lumpuh dan butuh terapi intensif selama kurang lebih 6 bulan. Otomatis aku kehilangan pekerjaan. Semua biaya pengobatan dan terapi ditanggung orang tua. Hubungan aku dan Tania masih baik. Tania jadi alasan aku bertahan hidup. Aku mencintai Tania sepenuh hati. Aku yakin Tania juga demikian. 

 Tania kembali merengek minta dinikahi. Aku pun mengiyakan, "Ok kita nikah, gue siap! Tapi lo siap gak terima gue yang lumpuh dan jobless ini". Dahi Tania berkerut, namun dia menyembunyikannya dengan menebar senyum manis. 

Dan dia memelukku... "Thank you ya Joe... I love you!" Sejak saat itu Tania tak lagi mampir menengokku. 

Saat kutelpon tentang rencana pernikahan kita. Dia berkelit, "kamu benar Joe, kurasa kita masih terlalu muda untuk menikah. Kurasa kita bisa menundanya lagi, setidaknya sampai kamu sembuh. Cepat sembuh ya Joe!". 

 Sejak saat itu Tania seperti hilang terbawa angin. Lenyap tak ada kabar berita. Hingga aku mendapat telepon seorang sahabat lama, "selamat ya Joe akhirnya lo nikah juga sama Tania". 

 "Loh siapa yang menikah?" 

Aku bingung. "Lo sama Tania kan?", suara di ujung telepon juga bingung. 

 "Loh Tania kan mau nikah minggu besok. Gue pikir sama lo". Buru-buru kututup telepon dengan gusar.

Aku segera menelpon teman-teman dekat Tania untuk mencari tahu dan hasilnya Tania memang akan menikah dalam bilangan hari. Namun, anehnya saat kutelpon Tania masih berkelit. Dan Tania pun menikah dengan lelaki lain. 

Lelaki itulah yang menjadi alasan mengapa Tania tak lagi menjenguk dan menelponku. Tania menikah dengan lelaki tampan, sehat yang punya karir bagus. Apalah aku saat itu, lelaki lumpuh dengan wajah mirip Frankenstein dan pengangguran. Aku marah-semarahnya pada Tuhan si pemilik takdir yang membuat aku berantakan dan Tania kabur ke pelukan laki-laki lain. Aku nyaris bunuh diri dengan minum racun serangga, namun aku masih hidup. 

 Aku yang lelaki rumahan sampai menjajal kehidupan malam. Berpetualang dari satu klab ke klab lainnya. Hingga ayah yang kuhormati menangis. "Joe, ayah tahu kamu marah dan sakit hati karena kehilangan Tania. Tapi ingat Joe, kamu kesayangan ayah satu-satunya. Suatu hari ayah akan mati, lalu siapa yang akan mendoakan ayah di sana kalau anak ayah satu-satunya keblangsak? Ayah mohon Joe, lupakan gadis itu! Kembalilah jadi anak kesayangan ayah". 

 Aku menangis sejadi-jadinya. Kupeluk ayah mohon ampun. Dan aku pun berhenti jadi orang gila. Aku kembali waras. Sedikit demi sedikit aku mengumpulkan kepingan hati yang berserakan. Seiring dengan semakin sehatnya aku, aku pun mulai kembali meniti karir. Sudah lima belas tahun berlalu, namun rasa sakit akan kehilangan yang tragis belum juga pulih. Dan masih belum tahu kapan aku akan menikah. Namaku Joe, orang biasa memanggilku Jones, si jomblo ngenes. Karena nasib percintaanku memang ngenes. foto: shutterstock