Setelah kami memuaskan diri kami dengan makanan dan minuman alakadarnya. Kami kaum muslim bersegera shalat berjamaah. Walau kami tidak tahu pasti kisaran waktu yang sedang berjalan. Di antara kami tidak ada yang memiliki penunjuk waktu yang valid. Beberapa dari kami yang memakai jam, tiba-tiba jarum jam berhenti. Begitu pun jam digital. Telepon selular pun mati. Semua benda bermuatan elektromagnetik mati tak berfungsi. Maka kami shalat menurut keyakinan kami saja. Menggabungkan dua waktu shalat Maghrib dan Isya bersamaan. Mas Fatah yang memimpin shalat kami. Memang di antara kami, hanya dia yang paling faham benar tentang Islam. Maka kami menyebut Mas Fatah adalah da'i sedangkan Bang Parlin pendeta. Dua orang ini yang paling kami hormati keshalihannya.
Sebenarnya Mas Syaiful pun pandai agama. Terkadang pemikiran amat jauh kedepan. Pemahaman agamanya amat baik. Hanya saja lelaki itu tidak terlalu mendapat tempat sebagai yang terhormat. Karena dia masih bujang, belum banyak makan asam garam kehidupan layaknya dua lelaki matang beruban Mas Fatah dan Bang Parlin.
Setelah menunaikan shalat. Maka kami mulai mencari tempat strategis untuk merebahkan diri. Beristirahat barang sekejap sebelum pagi menjelang. Para lelaki bergeletakan di muka rumah, sedangkan perempuan di dalam. Aku pun terlelap. Tidak sepenuhnya hanyut di alam mimpi. Aku masih sedikit sadar ketika Iya, si Mahasiswi itu kebingungan mencari teman yang akan menemaninya untuk buang air kecil.
"Mbak Hanum.......temenin Iya!" Iya menggoyang-goyangkan badan Hanum yang sudah sedari tadi terlelap. Hanum hanya melenguh.
Tak habis akal. Iya coba membangunkan Mbak Viza yang tidur di sebelah kirinya. Lagi-lagi Mbak Viza menolak. Aku bisa maklum, mereka terlalu capek. Kemudian Yani, apalagi Yani dia bahkan sudah tertidur sedari kita pesta singkong bakar. Sedang aku, malas....
Maka Iya memberanikan diri untuk berjalan sendiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh bergeletakan dengan sangat hati-hati. Terlihat betapa takutnya dia. Tetapi sepertinya kebutuhan biologis itu harus segera terselesaikan kalau tidak ingin mengompol. Maka Ia membenahi kerudungnya, sebelum keluar. Dia membuka dan menutup perlahan pintu kayu itu perlahan. Tak ingin terdengar berderit, karena dia tahu temannya sudah kelelahan. Dia tak mau mengganggu temannya.
Iya akhirnya berhasil melangkahi para lelaki yang sedang tertidur, setelah melalui perjuangan. Karena Iya harus melakukannya teramat hati-hati. Iya pun menuruni 5 anak tangga dari kayu itu perlahan. Sejenak agak ragu melangkah, matanya celingukan melihat ke kanan dan ke kiri. Matanya terpejam sambil komat-kamit seperti merapal mantera. Kemudian menghela nafas panjang untuk menguatkan hati.
Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Iya dikejutkan dengan suara lelaki.
"Mau kemana lo?" Suara Yusuf membuat Iya terkesiap. Iya menoleh. Benar sekali, itu adalah Yusuf pemuda tampan sebayanya. Dia membawa obor dari kayu. Cahayanya sesekali menyinari rahangnya yang bagus. Pantas sekali bila orang akan menyamakan dia dengan wajah Barack Obama.
"Oh eh.Kak Yusuf"
"Mau kemana?" Yusuf menyelidik.
"Mau.....pipis Kak", menatap dengan pandangan memelas.
"Sendiri?" Yusuf penasaran dan kagum dengan keberanian Iya menembus gulita malam sendiri. Padahal dia belum pernah kesitu. Iya mengangguk kemudian menunduk ke bawah. Sedih...
"Ya sudah.biar gue anter", dengan gentle-nya dia menawarkan diri.
"Beneran?" Mata Iya berbinar-binar bahagia.
"Iya......ayo buruan! Gue ngantuk nih" Yusuf. Maka mereka pun jalan berdua menembus malam.
Keduanya membisu dan terkesan kikuk. Iya berusaha mencairkan suasana.
"Beneran nih Kak?"
"Perlu yah diulang?" agak kesal karena terus dipertanyakan keseriusannya.
"Kenapa?" Iya
"Karena kamu perempuan, tak baik perempuan jalan sendiri"
"Emang kakak lihat Iya?"
"Gue belum tidur. Gue kasihan aja lihat lo jalan sendirian. Gue juga punya kakak perempuan. Makanya gue empati. Gue.....Gue....." Yusuf panjang lebar dengan serius.
"Gue apa? kok gak diterusin?" Iya serius.
"Gue ..... Gue peduli sama lo", cepat berharap Iya tak mendengarnya.
"Maksudnya.........?" Iya menatap mata Yusuf dengan sorot mata tajam, penasaran. Yusuf menunduk resah.
"Sudahlah...tidak penting" Yusuf memutus topik pembicaraan.
"Tuh kalinya....!" Yusuf menunjuk ke suatu arah. Iya memperhatikan.
"Cepat! aku tunggu disini. Bawa obor ini bersamamu", Yusuf menyerahkan obornya. Tanpa banyak pikir dan bicara Iya meraihnya dan bergegas menuruni tumpukan batu kali yang tersusun menyerupai tangga.
Agak lama juga Yusuf menunggu. Mungkin sepuluh menit, hingga Iya kembali dengan membawa obor. Mereka berdua berjalan bersebelahan menuju pondokan. Keduanya membisu, hingga akhirnya mereka sampai di gubukan.
Mereka berdua menghentikan langkah. Saling berpandangan.
(TO BE CONTINUED)
Sebenarnya Mas Syaiful pun pandai agama. Terkadang pemikiran amat jauh kedepan. Pemahaman agamanya amat baik. Hanya saja lelaki itu tidak terlalu mendapat tempat sebagai yang terhormat. Karena dia masih bujang, belum banyak makan asam garam kehidupan layaknya dua lelaki matang beruban Mas Fatah dan Bang Parlin.
Setelah menunaikan shalat. Maka kami mulai mencari tempat strategis untuk merebahkan diri. Beristirahat barang sekejap sebelum pagi menjelang. Para lelaki bergeletakan di muka rumah, sedangkan perempuan di dalam. Aku pun terlelap. Tidak sepenuhnya hanyut di alam mimpi. Aku masih sedikit sadar ketika Iya, si Mahasiswi itu kebingungan mencari teman yang akan menemaninya untuk buang air kecil.
"Mbak Hanum.......temenin Iya!" Iya menggoyang-goyangkan badan Hanum yang sudah sedari tadi terlelap. Hanum hanya melenguh.
Tak habis akal. Iya coba membangunkan Mbak Viza yang tidur di sebelah kirinya. Lagi-lagi Mbak Viza menolak. Aku bisa maklum, mereka terlalu capek. Kemudian Yani, apalagi Yani dia bahkan sudah tertidur sedari kita pesta singkong bakar. Sedang aku, malas....
Maka Iya memberanikan diri untuk berjalan sendiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh bergeletakan dengan sangat hati-hati. Terlihat betapa takutnya dia. Tetapi sepertinya kebutuhan biologis itu harus segera terselesaikan kalau tidak ingin mengompol. Maka Ia membenahi kerudungnya, sebelum keluar. Dia membuka dan menutup perlahan pintu kayu itu perlahan. Tak ingin terdengar berderit, karena dia tahu temannya sudah kelelahan. Dia tak mau mengganggu temannya.
Iya akhirnya berhasil melangkahi para lelaki yang sedang tertidur, setelah melalui perjuangan. Karena Iya harus melakukannya teramat hati-hati. Iya pun menuruni 5 anak tangga dari kayu itu perlahan. Sejenak agak ragu melangkah, matanya celingukan melihat ke kanan dan ke kiri. Matanya terpejam sambil komat-kamit seperti merapal mantera. Kemudian menghela nafas panjang untuk menguatkan hati.
Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Iya dikejutkan dengan suara lelaki.
"Mau kemana lo?" Suara Yusuf membuat Iya terkesiap. Iya menoleh. Benar sekali, itu adalah Yusuf pemuda tampan sebayanya. Dia membawa obor dari kayu. Cahayanya sesekali menyinari rahangnya yang bagus. Pantas sekali bila orang akan menyamakan dia dengan wajah Barack Obama.
"Oh eh.Kak Yusuf"
"Mau kemana?" Yusuf menyelidik.
"Mau.....pipis Kak", menatap dengan pandangan memelas.
"Sendiri?" Yusuf penasaran dan kagum dengan keberanian Iya menembus gulita malam sendiri. Padahal dia belum pernah kesitu. Iya mengangguk kemudian menunduk ke bawah. Sedih...
"Ya sudah.biar gue anter", dengan gentle-nya dia menawarkan diri.
"Beneran?" Mata Iya berbinar-binar bahagia.
"Iya......ayo buruan! Gue ngantuk nih" Yusuf. Maka mereka pun jalan berdua menembus malam.
Keduanya membisu dan terkesan kikuk. Iya berusaha mencairkan suasana.
"Beneran nih Kak?"
"Perlu yah diulang?" agak kesal karena terus dipertanyakan keseriusannya.
"Kenapa?" Iya
"Karena kamu perempuan, tak baik perempuan jalan sendiri"
"Emang kakak lihat Iya?"
"Gue belum tidur. Gue kasihan aja lihat lo jalan sendirian. Gue juga punya kakak perempuan. Makanya gue empati. Gue.....Gue....." Yusuf panjang lebar dengan serius.
"Gue apa? kok gak diterusin?" Iya serius.
"Gue ..... Gue peduli sama lo", cepat berharap Iya tak mendengarnya.
"Maksudnya.........?" Iya menatap mata Yusuf dengan sorot mata tajam, penasaran. Yusuf menunduk resah.
"Sudahlah...tidak penting" Yusuf memutus topik pembicaraan.
"Tuh kalinya....!" Yusuf menunjuk ke suatu arah. Iya memperhatikan.
"Cepat! aku tunggu disini. Bawa obor ini bersamamu", Yusuf menyerahkan obornya. Tanpa banyak pikir dan bicara Iya meraihnya dan bergegas menuruni tumpukan batu kali yang tersusun menyerupai tangga.
Agak lama juga Yusuf menunggu. Mungkin sepuluh menit, hingga Iya kembali dengan membawa obor. Mereka berdua berjalan bersebelahan menuju pondokan. Keduanya membisu, hingga akhirnya mereka sampai di gubukan.
Mereka berdua menghentikan langkah. Saling berpandangan.
(TO BE CONTINUED)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar