Kamis, 30 Oktober 2008

Panggil Namaku Ulfah



(Sebuah cerpen)

Ulfah, begitu teman-teman memanggilku. Sebuah nama indah pemberian orang tua, yang sampai di usia dua belas tahun ini pun aku masih belum tahu pasti apa sebenarnya arti namaku. Kata orang, orangtuaku terbilang pandai untuk ukuran orang kampung. Namaku yang orang kampung, termasuk nama paling cantik. Jika teman-temanku bernama Parni, Sumarni, Tukiyem, Paijo, atau malah Jendol. Aku bangga memiliki nama Ulfah.

Aku gadis kecil yang baru saja lulus SD. Kata ibu aku kembang yang sedang merekah. Buah yang mulai ranum, siap dipetik orang. Orang tuaku yang bukan orang berada selalu berandai-andai kelak suatu hari aku dipetik orang.

"Cah ayu, wah kamu sudah besar ya! Padahal seingat ibu baru kemarin kamu ibu gendong-gendong. Sekarang sudah sebesar ini. Sebentar lagi ibu momong cucu", Ujar ibuku mengejutkanku saat beliau sedang menyisiri rambut panjangku. Aku menoleh ke arah ibuku.

"Ah ibu, Ulfah kan masih cilik becik. Ulfah masih ingin sekolah. Ulfah ingin seperti mbak Yul, anak pak lurah yang jadi guru itu. Kuliah di kota, terus jadi guru", aku berapi-api. Ibuku hanya tersenyum melihat tingkahku. Ia membelai rambutku lembut.

"Iya, ibu tahu kamu anak pintar. Tapi kok malah ibu yang tidak yakin akan bisa memenuhi cita-citamu untuk sekolah tinggi. Kuliah itu membutuhkan biaya yang tidak besar. Bapak dan ibu bukan orang kaya. Lagi pula kamu hanya anak perempuan. Tak wajib hukumnya anak perempuan sekolah tingi-tinggi. Untuk apa? bila ujung-ujungnya kamu akan terjun ke dapur juga", panjang lebar sembari kembali menyisiri rambut panjangku.

Aku kembali menoleh, "Tapi Ibu........"

"Ssssttt.......sudah rapi rambutnya. Ibu mau ke dapur dulu memasak. Ikat rambutmu segera, lalu bantu ibu di dapur. Kita akan makan besar hari ini. Ibu akan memasak sayur 'oblok-oblok' !"

Ibu memutus pembicaraan, entah memang disengaja atau memang ibu sedang sibuk. Aku pun bergegas menuruti titah ibu. Sayur oblok-oblok adalah kesukaanku. Sudah barang tentu aku akan sangat senang hati membantu ibu menyiapkan sayur oblok-oblok kesukaanku. Tidak banyak orang yang menyukai sayuran parutan kelapa dengan petai cina dicampur dengan bumbu-bumbu dan sayuran hijau dengan irisan rawit merah yang pedasnya aduhai. Tetapi bagiku, ini adalah makanan surgawi. Lezat. Lebih lezat dari daging. Daging yang cuma sekali setahun saat Idul Kurban aku memakannya.

******

Sepertinya baru kemarin kami berbincang tentang cita-citaku. Tentang Ibu yang seperti menginginkan sekali aku segera menikah. Aku bisa mengerti mungkin dengan menikahnya aku, akan mengurangi beban orang tuaku. Orang tuaku tak perlu lagi dipusingkan dengan biaya sekolahku. Sehingga adik-adik lelaki bisa lebih layak bersekolah. Tak perlu harus menunggak bayaran.

Aku berdoa kepada Gusti Allah, agar kejadian mengerikan itu tidak akan pernah terjadi. Pernikahan diniku dengan lelaki manapun. Demi Tuhan, aku masih butuh bersekolah dan tumbuh kembang sebagai seorang gadis sempurna. Aku baru saja beberapa bulan dapat haid, selepas lulus SD kemarin. Masak, aku harus menikah.

Tidak terbayangkan bila aku harus menikah, lantas hamil dan punya anak. Bagaimana rasa sedihnya ketika aku melihat Parni, Tukiyem dan Paijo bersepeda riang menuju sekolah. Sedang aku harus momong jabang bayi. Tidak......Demi Allah!

Malam kian kelam, aku masih asyik menekuni buku bacaan wajib ilmu aljabar. Aku paling suka aljabar. Itu membuat otakku terasah. Aku memang jagonya matematika. Guru matematikaku sering memuji keahlianku mengurai rumus yang bagi sebagian besar orang sungguh 'njelimet'. Bagiku itu menyenangkan.

Akhirnya sepuluh soal aljabar dengan tingkat kesulitan tinggi telah terselesaikan. Ah.......otakku lelah juga. Aku tidak menyadari kalau sedari tadi rumahku kedatangan tamu agung. Tidak jelas juga siapa tamunya. Sedari maghrib tadi aku di kamar saja. Aku disibukkan dengan pekerjaan rumah dari guru matematikaku.

Lama-lama aku tergelitik juga mencuri dengar pembicaraan mereka. Kebetulan kamarku bersebelahan dengan ruang tamu. Rumahku yang setengah bilik membuatku tidak membutuhkan usaha ekstra untuk mencuri dengar pembicaraan mereka demi mencari tahu siapa dan apakah gerangan kepentingan mereka bertamu ke rumahku.

"Hahahhaha......" Aku mendengar tawa para lelaki termasuk bapakku di ruang tamu. Keadaan cukup riuh rendah.

Ada lebih dari dua orang lelaki selain bapakku. Jelas! Tetapi siapakah dia.

"Ah itu bisa diatur bapak. Kan bapak ini akan jadi besan saya. Sudah barang tentu anak menantu harus membahagiakan bapak besan", suara berat.

Hah...? Anak menantu? Bapak besan? Siapa yang mau menikah? Bapak mau nikah lagi? Masak ibu? Tidak mungkin. Lantas siapa? Disini yang paling besar yang aku. Aku jadi semakin penasaran. Kali ini aku memberikan usaha lebih untuk menguping. Aku mendekatkan telingaku ke dinding setengah bilik itu.

"Rumah? Ah tentu saja. Saya akan buat rumah ini jadi seperti istana kedua. Bukan masalah. Bapak juga tidak perlu lagi naik sepeda onthel. Saya akan sediakan mobil APV plus supir untuk bapak", orang asing itu lagi. Suaranya berat. Dan sepertinya aku kenal suara itu.

Oh iya. Itu Syekh Puji. Orang terkaya di kampung ini. Tidak hanya kampung ini, mungkin terkaya di Semarang. Dia juga pemilik pondok pesantren megah di kampung sebelah. Pemilik showroom mobil. Mobilnya banyak, rumahnya? Seperti Istana. Megah. Seperti di negeri dongeng. Lantas siapa yang akan menikah. Syekh Puji? Loh dia kan sudah punys istri.

"Kapan rencananya pernikahan itu akan diselenggarakan?" Suara bapakku.

"Kalau bisa Agustus ini, sebelum Ramadhan", Suara yang kutebak adalah Syekh Puji.

Begitulah kira-kira sedikit perbincangan yang sempat aku curi dengar. Aku tidak peduli apa lagi yang mereka bicarakan. Toh aku mungkin tidak tersangkut apa-apa dalam pembicaraan mereka. Tidak baik mencuri dengar pembicaraan yang bukan hak kita. Aku malah tertidur di dipan reyot.

Sejak malam itu, ada nuansa berbeda dalam rumah dan kehidupanku. Beberapa hari ini tukang batu, bangunan dan lain-lain bekerja siang malam di rumahku. Kata bapak mereka akan merenovasi rumahku. Apa? Bapak dapat lotere barang kali. Kulihat para tukang juga memasang pondasi beton, katanya rumahku akan menjulang ke atas dengan tambahan satu tingkat. Wuah.......aku benar-benar tidak mempercayai ini. Bagaiman amungkin bapakku yang hanya pegawai rendahan mampu membiayai ini. Kalau bukan dapat lotere.

Bapakku juga belakangan ini terlihat perlente. Dengan celana jins, baju baru dan kacamata hitam. Beberapa kali kulihat beliau mondar-mandir dengan motor baru. Welah dalah! Terkadang aku juga melihat bapak di antar jemput dengan mobil APV gres.

Aku pun mendapat baju-baju baru yang mahal. Baru kemarin ibu memakaikan kalung yang indah di leherku. Dengan bandul huruf U dengan kerlap-kerlip permata. Aku juga dapat gelang, cincin dan anting emas. Sungguh tidak dapat dipercaya. Ibu pun kini memakai perhiasan. Keadaan kami benar-benar mentereng. Dan sayur 'oblok-oblok' mulai langka dari meja makan kami, yang ada hanyalah ayam goreng atau daging bumbu rendang. Wuah nikmat! Ini bukan mimpi kan? Adik-adikku juga sekarang memakai baju-baju yang bagus dan indah. Tuhan bila ini mimpi. Kumohon jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini.
*********

Suatu malam bapak memanggilku, katanya beliau ingin bicara penting. Aku juga lihat ibu ada di situ. Keadaan terlihat serius. Aku bergelayut manja di sebelah ibu.

"Ulfa...", Bapak memulai percakapan.

"Dalem pak!" Aku dengan kesopanan ala Jawa.

"Ulfa Jumat besok, kita akan menyelenggarakan perhelatan akbar"

"Dimana?"

"Di rumah kita"

"Siapa yang akan menikah"

"Kamu", Bapak singkat.

"Apa? Ulfa?!?" Aku tercekat.

"Iya". Bapak

"Kenapa harus Ulfa? Ulfa masih kecil pak. Ulfa masih mau sekolah. Ulfa ingin jadi guru", aku setengah menangis.

Aku menatap ibu. Aku berharap Ibu membelaku. Percuma. Ibu hanya menunduk seperti mengiyakan. Aku benci Bapak...Aku juga benci Ibu.

"Untuk apa jadi sekolah dan jadi guru? bila kebutuhan kamu dan keluarga kita sudah terpenuhi. Calon suami kamu adalah orang terpandang dan terkaya di kampung ini. Dia akan memenuhi semua impian kamu. Juga impian keluarga kita. Kamu tak perlu bersusah payah dengan bersekolah. Baju indah, rumah megah, mobil mewah, perhiasan, makanan lezat akan menjadi keseharianmu tanpa harus menunggu waktu".

Aku menangis tergugu. Aku berdoa pada Tuhan semoga ini hanya mimpi buruk dan aku segera dibangunkan dari mimpi buruk ini.

Aku tak bisa bicara. Air mataku mengalir deras. Impian dan cita-citaku telah hancur seketika. Aku masih paksakan untuk bicara, "Dengan siapa Ulfa menikah pak?"

"Syekh Puji", pendek Bapak.

Benar dugaanku. Perbincangan malam itu. Ah..........dan kemewahan ini. Duh Gusti, orang tuaku telah menjualku. Menukar kebahagiaanku dengan kebahagiaan semu duniawi. Aku yang kecil ini akan dinikahkah dengan Syekh Puji. Pria gaek yang lebih cocok dipanggil Bapak. Bahkan usianya masih lebih tua dari usia bapakku. Aku akan menjadi madu untuk istrinya. Gusti Allah......Tolong aku.

Semuanya sudah terlambat. Tanggal pernikahan sudah diputuskan. Akhir minggu ini aku harus menikah. Besok pagi aku berencana bersekolah. Perpisahan sebelum aku meninggalkan semua impianku.

Ketika ibu guru menanyaiku perihal alasanku berhenti di sekolah itu. Aku hanya berkata rilih menahan tangis bahwa orang tuaku akan memasukkan aku ke pesantren. Aku tidak perlu menjelaskan yang sebenarnya. Karena aku tidak ingin orang lain tahu. Bahkan Parni, Tukiyem dan sahabatku yang lain tidak kuberi tahu. Selamat tinggal impianku. Aku telah luluh lantak tak berdaya kini.
*******

Semalaman aku tidak bisa tidur. Pagi buta jam tiga, Syekh Puji akan menikahiku. Tenda-tenda telah terpasang. Aneka makanan telah tersaji. Sejak jam 1 pagi, mereka telah meriasku. Agak sulit meriasku, karena aku terus-menerus menangis. Air matanya melunturkan riasanku. Aku benci ini. Tetapi semua sudah terlambat. Pernikahan itu akan tetap terjadi. Dan aku cuma gadis kecil tanpa daya. Aku tak bisa lari. Kecuali saat ini juga Gusti Allah memanggilku. Kematian menjemput. Karena aku tidak mau menambah dosa dengan bunuh diri seperti yang kulihat di televisi.

Akhirnya akad nikah benar-benar terjadi. Sepanjang siang aku dan Syekh Puji di pajang bak raja dan ratu. Semua orang tersenyum bahagia. Sedang aku tersenyum getir yang dipaksakan. Bapak mengancamku. Aku harus tersenyum sepanjang pesta, kalau tidak mau mencoreng nama baik keluarga. Aku sempat melihat ibu menangis di pojok ruang. Tapi ibu sama sepertiku, perempuan tidak berdaya yang harus tunduk pada adat patriarkat. Perempuan adalah hamba bagi laki-laki. Aku sudah hancur.
*******

Aku benar-benar kelelahan setelah seharian penuh dipajang. Setelah menghapus riasan. Aku merebahkan diri di kamar yang disediakan untukku. Kamarnya cantik, dihias-hias sedemikian rupa seperti dalam dongeng. Bertabur bunga-bunga, belum lagi harum mewangi dari bunga-bunga segar yang jadi pajangan. Kamarnya besar sekali. Di pojok ruang ada setumpuk kado-kado. Ah....aku tak peduli. Rasa lelah dan ngantuk membuat aku tak berselera melanjutkan ketakjubanku. Aku pun tertidur.

Aku merasakan ada tangan berbulu yang menyentuh wajahku. Aku masih mengantuk. Aku tak ingin bangun. Namun, aku harus tahu siapa orang kurang ajar yang telah mengganggu tidurku. Aku melihat sekelebat. Badan tinggi besar, brewokan, dan beruban. Itu.....itu seperti Syekh Puji. Aku segera bangun. Aku duduk meringkuk ketakutan di tempat tidur.

"Cah ayu", tangannya ingin menyentuhku. Aku menepisnya kasar.

"Ayolah cah ayu, kau istriku yang paling ranum dan cantik. Kemarilah, aku akan mengajarkan kamu bagaimana menjadi perempuan seutuhnya malam ini!" Tangannya menyentuhku dengan paksa. Aku tak kuasa menepisnya. Tenaganya puluhan kali lebih besar dari aku.

TUhan tolong aku!

Tangannya dengan buas menjamahku. Dia memelukku erat hingga aku sesak nafas. Dia menciumiku. Mulutnya bau....bau busuk sebusuk hatinya. Dia semakin blingsatan. Dengan nafas memburu. Dia semakin leluasa dan kesetanan menjamahku, melucuti pakaianku dan.............ahhhhh.

Aku menggigil ketakutan. Aku berteriak kesakitan. Aku meraung-raung. Menangis, memohon agar lelaki itu melepaskanku. Aku....aku.......kepalaku pusing, dan semuanya menjadi gelap.........

Paginya aku terbangun. Aku tidak melihat lelaki keparat itu. Aku hanya tahu bahwa aku sudah tanpa busana. Darah kering berceceran di sprei. Dan nyeri tak berperi di lubang sempitku. Badanku sakit semua. Remuk redam seperti tak berdaya. Memang aku tak berdaya. Lelaki tua itu...........aku tidak tahu apa yang membuatnya kesetanan menyakitiku. AKu juga tidak tahu apa yang dia lakukan semalam. Mengapa aku terbangun tanpa busana, darah berceceran, sakit luar biasa di lubang sempitku, badanku terasa remuk, dan....... ah.....
*************

Ini sudah dua bulan pernikahanku. Teman-teman, guru akhirnya mengetahui juga perihal kepergianku dari sekolah. Menikah.

Menikah seharusnya membahagiakan. Tetapi tidak bagi aku. Menikah meninggalkan luka di hatiku. Tetapi meninggalkan kebahagiaan bagi Syekh Puji, dan orang tuaku yang kini hidup bergelimang harta.

Akhir-akhir ini namaku dan Syekh Puji santer diberitakan di televisi dan hampir semua surat kabar. Katanya pernikahanku tidak sah dan harus dibatalkan. Kak Seto, sempat-sempatnya menemui suamiku. Aku tidak mengerti apa-apa. Yang jelas aku dan orang tuaku harus terus menerus menghindar dari incaran wartawan.

Katanya Syekh Puji, suamiku telah merampas hakku sebagai seorang anak. AKu kehilangan cita-cita. Adalah pelanggaran hukum bila menikahi anak bau kencur. Secara fisik dan psikologis, anak seusiaku belum siap. Suamiku terancam hukuman atas pelecehan seksual anak dibawah umur.

Suamiku ketakutan. Jelas pamornya turun sebagai seorang kyai. Suamiku akhirnya menyerah. Dia akan membatalkan pernikahannya denganku dan akan mengembalikan aku kepada orang tuaku untuk kepentingan bersama.

Apa?!? Mengembalikan aku kepada orang tuaku? Setelah apa yang dia lakukan kepadaku? Apakah dengan mengembalikan aku kepada orang tuaku, aku akan mendapatkan kehidupanku yang dahulu. Apakah dia bisa mengembalikan keperawananku? Apakah orang-orang akan menerima aku? Gadis kecil dua belas tahun yang telah menjadi janda. Bagaimana jadinya kalau ternyata aku hamil? Apa yang harus kulakukan tanpa suami disisiku?

Demi Tuhan! Tolong jangan ganggu hidupku. Tahu apa media dan orang-orang sok suci itu tentang hidupku. Kemana mereka saat keluargaku kesulitan makan? Hingga kami haru sbergantung pada Syekh Puji? Tahu apa mereka rasanya menunggak uang sekolah berbulan-bulan? Hidup di rumah bilik, makan oblok-oblok, tidak punya pakaian layak, dan....... dan....ah.....

Lantas kemana mereka saat aku akan dinikahkan dengan Syekh Puji? Kenapa tidak saat itu aku diselamatkan? Sebelum aku kehilangan mahkotaku. Sebelum aku kehilangan impianku. Apa mereka akan peduli dengan kehidupanku dan keluargaku bila aku bercerai dengan suamiku? Apa mereka bisa melindungi dari cemoohan orang-orang kampung? Apa aku masih bisa bersekolah demi merajut mimpi menjadi seorang guru?

Entah mengapa kali ini aku ketakutan bila harus bercerai dengan Syekh Puji. Sama takutnya ketika aku dipaksa menikah. Aku memikirkan masa depanku berikutnya. Aku tidak tahu aku harus jadi apa nanti. Apa yang harus aku lakukan di masa mendatang. Menunguti serpihan kehidupan yang luluh lantak adalah hal mustahil.

Menikah terlalu dini bukan hal baik sekaligus buruk. Aku masih lebih terhormat dari gadis-gadis belia usia belasan tahun yang hamil tanpa suami! Syekh Puji adalah suami bertanggung jawab. Dia bukan seperti laki-laki ingusan yang memacari gadis-gadis belia hingga hamil.


THE END
Tanpa menyalahkan siapapun. Ulfah adalah korban yang jauh lebih terhormat dari pada anak-anak bau kencur yang hamil di luar nikah.






KETIDURAN



Aku memulai hari ini dengan sebuah kebodohan. Hari ini memang aku memulai hari terlalu pagi. Bukan karena aku berburu waktu karena sesuatu sebab. Tetapi lebih pada aku benar-benar tidak bisa tidur semalam. Aku baru terlelap selepas tengah malam. Itu pun setelah suamiku merayuku untuk segera pergi tidur. Setelah aku meratap betapa aku merindukannya.

"Lalu apa yang harus kulakukan, Cinta?" "Aku ingin kamu pulang besok pagi".

"Cinta, bagaimana mungkin? Aku baru saja ditransfer di divisi baru. Dan aku salah satu dari sedikit orang yang beruntung, tidak dirumahkan akibat krisis finansial global yang meluluh-lantakkan sebagian besar klien kami. Konsekuensinya, aku harus bekerja lebih keras. Demi kita, demi impian kita. Lagipula baru dua minggu aku pergi".

"Aku hanya ingin kamu pulang. Walau aku tahu alasannya. Mengapa kau tak gunakan sayapmu agar kau bisa menemuiku malam ini".

"Sayap...sayapku kupinjamkan kepada burung pelatuk. Katanya dia akan mengembalikannya pagi ini. Tetapi hingga sore menjelang. Ia belum kembali. Lantas aku harus pakai sayap siapa?" Suamiku terdengar serius menanggapi hayalanku. Makanya dia sejoli aku, karena dia yang paling mengerti aku. Aku tertawa di tengah-tengah tangisanku.

Aku tidak pernah sepayah itu sebelumnya. Beberapa hari ini aku memang agak tertekan. Beberapa hal menimpaku. Termasuk tukang sofa bodoh yang bisa salah dan tidak menemukan PO pesanan sofaku yang sudah kubayar. Aku merasa sendirian.

"Sayang, aku tidak mungkin menemuimu besok. Kalau kau mau, kau yang berangkat besok pagi ke Manhattan".

"Tidak mungkin. Tahun ini aku sudah berhutang 6 hari jatah cuti. Aku hanya memiliki 6 hari cuti untuk tahun depan", aku memelas.

"Lantas?" "Aku tahu aku harus menunggumu".

"Cinta, begitu pun aku harus menunggu. Paling tidak hingga US Election selesai. Semoga krisis tidak bergejolak. Kalau aku nekat menjumpaimu. Aku bisa dirumahkan juga. Dan tidak mungkin kita hidup dengan uang gajimu".
Aku tertawa, "Jelas tidak mungkin".

Kami berbicara hingga larut malam. Hingga suamiku menina-bobokan aku dengan 'lullaby' indah. Aku pun tertidur. Aku lelap, hingga suamiku membangunkan untuk shalat subuh.

Sebenarnya aku tidak benar-benar bangun. Aku masih mengantuk. Walau aku masih sempat membuat pancake bekal sarapanku di kantor, mandi, berdandan, mengunci rumah sebelum meninggalkannya. Aku masih berada di antara ada dan tiada. Mengantuk.

Sepanjang perjalanan angkot menuju CIleduk. Aku masih bisa menhan diri untuk tidak terlelap. Hanya tidur-tidur ayam yang tetap terjaga. Namun prahara menimpa ketika aku benar-benar tidak bisa menahan kantuk dalam perjalanan bis P16 jurusan Cileduk-Tanah Abang.

Aku benar-benar terlelap. Saat aku terjaga, aku baru menyadari bahwa bis sudah membawaku ke Slipi.

"Whuat...?!? Astaghfirullahal adzim!"

Aku panik. Aku segera turun setelah sebelumnya membuat kehebohan agar supir menghentikan bisnya. Aku pun turun diikuti dengan tatapan aneh para penumpang. Aku terpaku sebentar di pinggir jalan. Aku butuh waktu untuk mengumpulkan nyawa yang sempat tercerai-berai saat aku terlelap di bis tadi. Karena aku butuh berpikir jernih untuk rencana selanjutnya.

Ojek...yah Ojek. Aku pun menyerpu pengemudi ojek di seberang jalan. Tanpa menawar,

"Metro TV, bang!"

Tanpa menunggu lama, si supir segera tancap gas. Aku segera mengetik sms singkat untuk suamiku.

"Do you know what has happened, cinta? I was overslept in the bus. When I woke up, I realized that I had passed my office. It was so far from office. Now, I'm taking ojek to office".

Suamiku balas meneleponku. Dia tertawa terbahak-bahak. Dia sempat berkata

"It happened to me many times on subway. Its embarassing huh? Insha Allah that will be the most stressful part of your day".

Aku tidak akan pernah lagi ketiduran di bis.

Selasa, 28 Oktober 2008

ANTARA CINTA & OBSESI



Sebelumnya suamiku selalu bersikeras. Agar sementara waktu kita hijrah di negerinya. Sampai waktu tak tentu, hingga finansial kami cukup kuat untuk membuka usaha sendiri di Jakarta. Dua restoran uji coba di Manhattan yang didirikan bersama beberapa orang sahabat belum cukup kuat untuk melebarkan sayap di Indonesia. Terlalu dini. Terlalu ceroboh bila kami nekat tanpa perhitungan.

Suamiku pikir masih butuh banyak sekali uang. Caranya dengan melacurkan otak dan pikiran pada beberapa perusahaan finansial besar yang membutuhkannya. Demi sejumlah uang. Demi segenggam berlian. Ketika aku berandai-andai bila suatu hari nanti suamiku hijrah saja ke perusahaan di Jakarta. Agar dia tak perlu mondar-mandir menjumpaiku.

Suamiku serta merta menolak, "Aku tidak yakin!"

"Kenapa? sama saja toh, bekerja disini atau di sana. Masalah uang?" Aku bertanya dengan nada yang sedikit memaksa.
"Tidak yakin saja. Aku ingin kita bersama-sama merajut mimpi di Manhattan. Baru hijrah dengan segudang uang untuk usaha impian kita".

"Bagaimana dengan impianku?"
Aku balik bertanya.

"Mimpimu? mimpimu yang mana? Kita masih bisa bermimpi bersama bukan, merajut mimpi baru yang lebih spektakuler".

Aku hanya menunduk lemah. Aku tahu aku dan mimpiku, dan aku tahu saat perempuan sudah memasrahkan diri pada seorang kekasih maka hidupnya adalah milik sang kekasih. Sejak saat itu mimpi mungkin akan lenyap. Luluh lantak tak lagi berbentuk, yang ada hanya tinggal kepasrahan memainkan elegi cinta. Damai, indah selalu. Bersama merajut mimpi. Mungkin impian itu agak jauh melenceng, namun demi kebahagiaan bersama maka semua dikorbankan demi mimpi bersama. Bukan lagi mimpiku atau mimpimu.

Aku memang terlalu terobsesi untuk menjadi seseorang berarti. Aku adalah pemimpi yang hampir selalu tak pernah berhenti sebelum tercapai. Hampir dari semua rentetan peristiwa yang mengiringi hidupku adalah bentuk nyata dari impian masa lalu. Tentang aku yang menulis memoar cinta Saiful Malook. Wawancara di berbagai media baik cetak, TV ataupun radio. Mimpi menjadi penulis skenario. Mimpi menjadikan tulisan sebagai mata pencaharian. Mimpi akan seorang pangeran berkuda yang datang menjemputku. Dan....dan....

Suamiku? Dia adalah manusia pemimpi lainnya. Makanya aku memilih dia untuk jadi pasangan hidup. Karena aku benar-benar membutuhkan partner bermimpi untuk bersama-sama meraih mimpi. Bukan hanya sekedar pasangan hidup.

"Jadi menurutmu aku harus mengalah pada mimpi?" Aku menatap matanya tajam.

"Aku tidak pernah melarangmu untuk bermimpi. Karena aku menemukanmu sudah berkerlip bintang-bintang impian. Itu yang membuatmu sangat istimewa. Kamu menginspirasiku dengan cara yang tidak biasa. Tapi tolong jangan halangi obsesiku yang ingin memberikan terbaik untukmu, cintaku!" Sorot matanya menembus relung hatiku, penuh keyakinan.

"Please trust me! Kamu masih bisa meraih mimpi di Manhattan. Atau Washington, jika kamu masih ingin mengejar impian di media. Kemudian menjadi penulis terkenal dan....dan....Kecuali.......", tercekat menatapku tak sampai hati.

"Kecuali apa?" "kecuali kau masih ingin terus dekat dengan keluargamu. Maksudku keluarga Indonesiaku", pelan seperti tak enak hati. Ia menundukkan matanya padaku.

Sepertinya percakapan itu baru sebulan yang lalu. Ketika tiba-tiba mimpi buruk benar-benar menimpa Amerika. Suamiku tiba-tiba menyisipkan wacana baru dalam obrolan menjelang tidur.

"Menurutmu apakah ada perusahaan Indonesia yang akan menerimaku?", tanyanya tiba-tiba. Aku menatapnya, mengulitinya dengan sorot mata menyelidikku demi melihat sebentuk keraguan di dalam sana.

"Maksudmu?" "Maksudku aku ingin bekerja disini saja. Jadi guru mungkin?"

"Ha?" aku terbelalak.

"Iya.....menurutmu mungkinkah?" Aku bisa melihat keyakinannya

Aku tersenyum, "Mungkin saja......tetapi aku tidak yakin apa mereka mampu membayarmu sejumlah yang diberikan perusahaan Eropamu itu".

"I don't really care about money. Sepanjang aku bisa membayar kebutuhan-kebutuhan pokok, sudah cukup bagiku. Aku beruntung memiliki istri yang tidak pernah menuntut apapun. Lantas apalagi yang harus kucari selain terus menerus berdekatan dengan kau kekasihku. Lagipula.....kita harus bersama-sama menyaksikan ketika premier filmmu diresmikan". Dia tersenyum bungah.

Aku memeluknya khidmat.

"Terimakasih cinta, Kau tidak perlu berkorban sedemikian padaku. Beri aku waktu satu tahun lagi. Dan aku akan buktikan bahwa aku akan meraih obsesiku bersama cinta kita. Setelah itu aku akan mengubur obsesiku untuk cintaku", Aku di dalam pelukannya.

"Sayang, aku bisa memberikan kau waktu seumur hidupku. Aku mencintaimu karena Allah. Cintaku membuatku tak perlu lagi mengejar obsesi. Obsesiku hanya untuk membahagiakanmu seumur hidupku", Ia mempererat pelukannya.

Aku menangis di pelukannya, karena cintaku tak sebesar cintanya padaku. Aku takut kisah Saiful Malook merebut anganku akan ketulusan cinta seorang pangeran yang dengan tulus mencintaiku.

Suamiku memang bukan pangeran berkuda putih yang datang menjengukku seperti di negeri dongeng. Tetapi pangeran manapun tidak akan bisa menggantikan dia.

Senin, 27 Oktober 2008

Kucing Penjaga

Kucing Penjaga

Beberapa hari ini aku disadarkan oleh kehadiran kucing-kucing penjaga yang datang secara ajaib, entah darimana asalnya untuk menjagaku. Ada kucing berwarna Gold, belang tiga (hitam-kuning-putih), dan hitam-putih, abu-abu.

Aku memang baru menempati rumah baru dan sudah lebih dari seminggu aku ditinggal suamiku ke negeri seberang. Mungkin untuk jangka waktu yang cukup lama. Karena suamiku yang hanya buruh dari sebuah perusahaan finansial Internasional tak bisa lagi berleha-leha seperti biasa. Setelah krisis finansial global menghantam dunia. Perusahaan-perusahaan yang menjadi clients perusahaan tempat suamiku bernaung satu persatu berguguran seperti dedaunan di musim gugur. Tidak ada yang bersisa selain kenangan, kerugian dan ratapan tangis pegawai dan keluarga.

Suamiku termasuk yang beruntung, walau divisinya ditiadakan sehari setelah sang bos dipecat. Suamiku tetap dipertahankan. Suamiku bahkan sempat dikirim untuk mengikuti konferensi Internasional di Paris. Suamiku nyaris limbung mengetahui pimpinannya dipecat. Itu nyaris seperti kartu mati. Keluarga kami masih membutuhkan banyak uang. Bisnis impian kami masih membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pemecatan sepihak adalah kiamat bagi kami. Bagaimana kami membayar tiket pesawat, telpon, dan tetek-bengek rumah tangga.

Allah Maha Adil. Allah mendengar doa kami. Tetapi konsekuensinya kami harus terpisah lebih lama dari sebelumnya. Sampai aku punya cukup nyali untuk hijrah ke negeri Paman Sam, dengan meninggalkan segenap impian tentang karir.

"Kalau tahun depan kamu masih bertahan. Lebih baik aku yang mengalah demi mimpimu. Aku akan berhenti bekerja", begitu kata suamiku.

"Tidak!"

Aku membayangkan betapa nanti aku hanya ibu rumah tangga biasa dengan anak-anak. Aku lebih banyak bergantung pada suamiku. Bahkan untuk beberapa rupiah seharga pembalut wanita. Tetapi mau tidak mau itu adalah pilihan yang telah kupilih sebelum aku menikah dengannya.

"Kamu masih bisa memiliki uang atas dasar harga diri dari skenario dan buku-bukumu", Suamiku berusaha membesarkan hatiku yang galau.

Kembali tentang kisah kucing-kucing penjaga. Kucing-kucing itu selalu tidur di teras depan dekat pintu sepanjang malam hingga pagi menjelang. Terkadang si kucing jantan yang paling besar merebahkan diri di atap loteng atau atap kamarku. Saat aku menangis ketika rindu, kucing-kucing itu pun ikut mengeong seperti ingin merayuku agar tak usah bersedih.

Anehnya, aku tak pernah dapat menyentuhnya. Setiap kali aku ingin menyentuhnya maka mereka akan lekas menghilang dari hadapanku. Sesekali aku melihat mereka mengintip dari balik jendela mengawasiku. Dengan kaki depan menyentuh kaca seperti dalam posisi berdiri. Sesekali aku memergokinya. Mengerikan sekali membayangkan matanya menyelidik ke dalam, memastikan aku baik-baik saja.

Kucing-kucing itu seperti temanku dalam bisu. Mereka tidak dapat disentuh tetapi selalu ada ketika aku membutuhkan penjagaan. Aku pikir, jangan-jangan mereka adalah Guardian Angel dalam raga kucing. Siapa tahu Wallahu Alam.

Jumat, 24 Oktober 2008

Sejoli Dunia Akhirat

SEJOLI DUNIA AKHIRAT


Dulu sebelum aku menikah, aku sempat memimpikan sosok seorang lelaki shalih yang kelak akan menjadi imam untukku dan anak-anakku. Sekaligus jadi tauladan untuk adik-adikku. Karena aku anak pertama, otomatis aku adalah panutan untuk saudara-saudaraku. Selain itu aku juga memimpikan seorang lelaki yang punya mimpi. Aku butuh teman bermimpi untuk bersama-sama mewujudkan mimpi.

Atas dasar alasan tersebutlah, aku agak lama juga hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Mungkin aku agak pemilih. Bukankah menikah memang harus memilih? Satu pilihan sulit yang akan menentukan hidup kita selanjutnya. Apakah kita akan masuk surga atau masuk neraka. Karena seorang suami dalam Islam bukan hanya sejoli atau soulmate tetapi Imam. Dia yang berkewajiban untuk menuntun keluarganya.

Hal ini bisa dibilang sebuah kriteria yang agak sedikit sulit. Kata orang kalau kita ingin mendapatkan pria baik-baik, maka kita harus menjadi wanita baik-baik. Pasangan hidup kita adalah cerminan kita. Ups...walau aku ini muslimah berjilbab. Tetapi sepertinya sepanjang perjalanan waktuku memahami makna berjilbab, tidak banyak berubah dari 8 tahun lalu. Aku masih seorang fashionista yang berusaha terus menerus memperbaiki diri. Walau aku terus membentengi diri dengan puasa sunnah atau shalat sunnah selain ibadah wajib, tetapi aku bukan tipikal 'akhwat' shalihah dengan jilbab lebarnya yang rajin mengikuti kajian Islam. Tetapi aku tetap bermimpi mengejar 'ikhwan' berjenggot yang benar-benar memahami Islam dan berminat mengajak pasangan hidupnya untuk bersama meniti jalan surga.

Nyaris mustahil. Setahuku pria macam itu akan mencari muslimah yang cukup shalih untuk berjalan bersama. Pasti ya mereka juga bertemunya di kajian Islam. Lantas dijodohkan oleh guru mengaji. Tetapi aku tidak putus harapan, begitu pun aku masih tidak punya waktu untuk rutin kajian. Selain meminta temanku yang muslimah tulen menyampaikan hasil kajian mingguannya kepadaku.

"Ha?!? Risma dapat bule Amrik? Apa tidak 'keblinger'? Memangnya dia muslim? Jangan-jangan......"

Mungkin itu segelintir pertanyaan investigatif yang dilontarkan orang-orang ketika akhirnya aku menyebarkan woro-woro perihal pernikahanku. Belum pernah terlihat menggandeng lelaki, tiba-tiba tersiar kabar bahwa aku akan menikah. Lagi-lagi pertanyaan yang sama adalah

"Jangan-jangan hamil........."

Akhirnya aku menikah. Sebelum akad nikah aku sempat ragu sejenak. Mungkin semacam pre-married syndrom. Namun saat aku dengar penghulu mensyahkan ijab kabul antara suamiku dan ayah. Aku lega sekali. Aku diboyong keluar menemui sang arjuna yang telah syah menjadi suamiku. Alhamdulillah. Ada tangis haru dan bahagia. Semua ikut menangis. Aku cium tangannya. Suamiku malu-malu mencium keningku di hadapan puluhan pasang mata.

Setelah beramah-tamah sejenak. Kami mohon diri untuk berwudhu dan menuju kamar. Pernikahan adalah hal yang sakral. Maka pernikahan harus dimulai dengan ritual sakral. BERDOA. Aku dan suami melaksanakan shalat sunnah dua rakaat. Setelah selesai aku mencium tangannya hikmat dan kami berpelukan. Haru.

Suamiku memegang keningku, sembari komat-kamit merapalkan doa yang disunnahkan untuk pengantin baru. Alhamdulillah. Barulah kami berciuman untuk pertama kalinya. Subhanallah! Tidak kusangka berciuman senikmat itu.

Apakah aku benar-benar menemukan sejoli idamanku? YA. Suamiku adalah lelaki dalam impianku. Jawaban dari doa-doa panjangku tentang sosok lelaki yang kelak akan menuntunku ke surga. Aku memilih bukan karena dia 'bule' tetapi karena dia shalih. Kalau misalkan dahulu aku bertemu dengan pribumi shalih dan dia meminangku mungkin aku juga akan memilihnya. Tetapi sayangnya tidak. Arjunaku meminangku dahulu.

Siapa nyana suamiku itu lebih shalih dari lelaki pribumi yang kukenal sudah menjadi Islam sejak lahir. Suamiku yang mualaf selama 10 tahun, benar-benar lebih baik. Dia hafal Alquran juz 30.
"Whuat?!!" Begitu reaksi orang-orang yang kuberi tahu.

Yah memang. Suamiku malah lebih banyak tahu tentang Islam daripada aku. Dia yang selalu menasihati aku.

Sewaktu aku memakan steak dengan pisau di tangan kananku dan garpu di tangan kiriku, kemudian aku memakan irisan daging dengan garpu ku. Dia berkata,

"Cinta, mengapa kau gunakan tangan kirimu untuk makan?"

Ups..... lantas dia akan melanjutkan ceramahnya dengan deretan dalil-dalil panjang. Ketika aku lupa shalat rawatib, dia akan mengingatkanku dengan contoh. Setiap ada permasalahan, maka kata-katanya adalah embun yang menyejukkan.

Aku masih ingat ketika dia begitu kesal melihat orang-orang yang seenaknya membuang sampah. Maka dia akan berkata, "Islam itu bukan hanya masalah Ibadah. tetapi seorang muslim harus bisa mengimplementasikan ibadahnya ke kehidupan sehari-hari. Kebersihan adalah sebagian dari Iman. Menjaga bumi adalah bagian dari mensyukuri nikmat......."

Ditambah lagi dengan pesan panjangnya, "Cinta, aku mohon kamu jangan ikuti orang lain. Kalau perlu kamu jadi contoh".

Halaaaaaaaahhhhh. Makanya di rumah kami ada banyak sekali tempat sampah. Padahal kami belum punya banyak barang untuk rumah baru kami. Hahahha.......

Aku benar-benar mencintainya karena Allah. Aku belum pernah melihatnya marah dengan membentak apalagi memukul. Tetapi aku tahu bila dia marah. Kata-kata lembutnya tetap terasa menyesakkan bila dia sedang marah. Aku akan menangis merasa bersalah. Atau mungkin karena perbendaharaan kata-kata Bahasa Inggrisku belum cukup bila harus berdebat panjang lebar. Hahahha....

Ritual paling indah adalah ketika kami usai shalat berjamaah. Aku akan mencium tangannya khidmat sebelum kami berciuman mesra. Aku suka tidur di pangkuannya ketika dia menceritakan kisah khidmat tentang para sahabat atau hadis atau dalil.

Apakah dia juga partner bermimpi yang tepat? yah dia adalah rekan meraih mimpi seperti dalam impianku. Rasanya sangat indah. Ketika kamu bisa berjalan seia-sekata dengan pasangan hidup.

Kami tidak berpacaran seperti pasangan lain sebelum menikah. Bahkan pengalaman pertama kali aku menonton dengan teman lelaki adalah selepas kami menikah. Makanya kami berniat untuk pacaran dulu sebelum kami punya momongan. Aku juga ingin tahu bagaimana rasanya 'dating' dengan kekasih. Berciuman dengan kekasih. Kata suamiku, "Aku ingin bersenang-senang dengan pengantinku sebelum anak-anak memonopolinya".

Oh so sweet.......Satu impian kami selepas masa pacaran ini. Kami ingin punya anak-anak shalih yang kelak akan mendoakan kami saat kami meninggal nanti. Subhanallah! Sebuah cita-cita mulia suamiku yang menyadarkanku betapa suamiku memang layak untuk jadi imamku.

Kalau ada yang bertanya, kenapa tidak menikah dengan pribumi? Tidak levelkah?

Aku akan menjawab dengan lantang. Karena pria pribumi yang mendekatiku tidak hafal Alquran dan hadis, aku tidak yakin apa dia mampu memimpinku dan anak-anakku nanti.

Ketika suamiku pergi meninggalkan rumah dan membuatku berlinang airmata, memohon-mohon agar tidak pergi. Dia akan menenangkanku dengan perkataan.

"Aku pergi tak akan lama, berjihad untuk kemashlahatan umat dan keluarga kita. Aku pergi mencari nafkah. Suatu hari pada saat yang tepat kita akan bersatu Insha Allah"

Maka saat itu keberanianku akan keluar. Demi Tuhan aku bukan perempuan tegar. Tetapi suamiku mengajarkanku akan arti sebuah ketegaran. Aku dan dia mengejar mimpi. Terkadang mimpi memang menyakitkan di awal tetapi terasa indah di akhirnya. Insha Allah waktu itu akan datang.

Duhai temanku yang mengasihani aku yang sering terpisah jauh dengan suamiku. Demi Tuhan aku tidak butuh dikasihani. Aku menikmati masa-masa ini. Suatu hari aku akan merindukan masa-masa ini.

"Allah tidak akan menguji di luar kemampuan hamba-Nya" (Albaqarah: 286)

Aku diuji seperti ini, karena Allah pikir aku mampu melaluinya. Allah tidak menguji kalian, karena Allah pikir kalian tidak mampu. Seperti Allah tidak menguji aku dengan kesulitan yang ditimpakan kepada kalian, karena Allah tahu aku tidak mampu.

Apa yang diberikan Allah adalah yang terbaik. Allah lebih tahu dari hamba-nya. Allah selaras dengan prasangka hamba-Nya. Terima kasih Ya Allah, telah berikan aku sejoli dunia akhirat. Doakan kami agar tetap langgeng. Ameen.

I love you for the sake of Allah:)


Minggu, 19 Oktober 2008

Bule Masuk Kampung IV: Western Toilet Where Are You?



Suatu ketika suamiku mendekati adikku yang terkecil.

"Aldi, would you please to teach me how to use that toilet?" Suamiku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.

Aldi kecil dengan lincahnya menunjukan toilet yang lebih pantas disebut kakus. Tempatnya sempit dan sedikit 'horor' karena sempitnya dan gelap walaupun sudah dibantu lampu bohlam. Suamiku mengikuti dari belakang. Setelah sampai di tempat yang dituju, adikku menoleh ke arah suamiku dengan bertanya-tanya.

"Show me how to use that", suamiku melambatkan bicaranya sambil menggunakan bahasa tubuh. Maklum adikku masih SD dan dia tidak bersekolah di sekolah internasional. Jadi agak kesulitan memahami bahasa Inggris.

Tampak adikku masih bingung. Atau malah malu-malu karena adikku harus memperagakan bagaiman acaranya berpose di toilet kampung itu. Adikku menatap suamiku, hanya untuk memastikan apakah ini benar-benar permintannya. Maklum permintaannya tergolong aneh. Akhirnya adikku mencontohkan step by step bagaimana menggunakan toilet. Lepas celana, jongkok, berusaha rileks, tunggu sejenak, setelah selesai gunakan gayung untuk membersihkan semuanya. Suamiku mengangguk-angguk. Setelah adikku mencontohkan selama 3 menit. Giliran suamiku......Yah....hanya dalam bilangan 10 menit, dia keluar lagi.

"Subhanallah......I really can't use that", dia menatap lemas ke arahku.

Aku hanya membesarkan, "Next time Insha Allah better" sambil menyunggingkan senyum paling manis.

Sepertinya reaksi biologis suamiku langsung hilang sesaat setelah jongkok. Hilang selera dan mengurungkan niat untuk buang hajat. Hihihi.........sama saja ketika saudara kampungku harus berkunjung ke apartemen dan rumah kami. Kebingungan saat akan buang hajat, karena tidak terbiasa dengan WC duduk ala bule.

Aku pikir suamiku tidak dua kali itu berusaha menggunakannya. Suamiku tidak menyerah untuk menggunakannya. Bahkan tengah malam. Aku tahu, karena aku tidak benar-benar terlelap. Suamiku selalu terdengar ribut, saat terjaga. Walau dia sudah berusaha sehalus mungkin melangkah dan membuka pintu. Tetapi aku tetap terjaga.

Well, usahanya benar-benar tidak berhasil.

Keesokan harinya seorang sepupu menawarkan rumahnya yang berjarak 30 menit dari penginapan kami. Rumahnya memiliki WC duduk sederhana. Kenapa sederhana? karena flushnya masih menggunakan engkol tidak sophisticated seperti biasanya. Tetapi lumayan lah.

Karena seisi rumah sudah geger perihal suami ku yang tidak bisa pub selama 3 hari karena masalah toilet. Akhirnya aku merayunya untuk mau pergi ke rumah sepupuku. Awalnya ia sempat menolak, karena menurutnya amat sangat tidak sopan bila kita singgah hanya untuk toilet. Padahal dia belum mengenalnya.

Aku meyakinkan bahwa terkadang kearifan budaya Indonesia membuat itu tak jadi soal. Alangkah tidak sopannya bila si empunya rumah sudah dengan ikhlasnya menawarkan kita menolak. Itu sama saja menyakiti perasaannya. Akhirnya suamiku pun menurutiku. Aku menciumnya mesra. Karena terus terang ini adalah rayuan terdahsyat dalam sejarah percintaan kami.

Kami pun berangkat dengan mobil kami. Tidak hanya kami, tetapi 3 orang anak kecil. Sepupuku dengan suaminya, adikku dan seorang supir. Seperti akan piknik. Hahahah.........Dasar orang kampung!

Perjalanan selama 30 menit mungkin sama saja dengan 1.5 jam jalan di kota dengan macet. Bisa dibayangkan sejauh apa lokasinya. Benar saja. Rumah sepupu ku itu jauh di 'ujung berung'. Rumahnya mungil namun cantik di tengah-tengah pematang sawah, tak jauh dari bibir pantai. Anginnya masih angin pantai, berhembus kencang dan membuat masuk angin.

Dan yang terpenting ada WC duduknya. Kamar mandinya cukup baik, bersih dan amat sangat modern untuk ukuran kampung. Lantainya keramik dan bersih. Pertanyaannya apakah suamiku berhasil melepaskan hajatnya???


Bule Masuk Kampung III: Mbah here I come


"Where will we go?" suamiku bertanya.

"We are going to see mbah in village", aku menjawab.

"Is it far from here?"

"No......."

Kali aku akan membuat suamiku semakin bingung dan heran. Kami akan mengunjungi mbah dari ayahku di gunung. Sudah pasti lebih 'ndeso' dari kampung tempat Bude dan Pakdeku. Aku sempat mewanti-wanti, bila ditawari untuk makan harus mau. Kalau menolak itu akan menyakiti orang yang menawari. Alhasil, dia benar-benar tidak menampik semua tawaran. Walau sedikit, pasti suamiku mencicipi.

Rumah mbah yang sudah sepuh lebih ndeso dari Budeku. Rumah itu lebih parah. Kamar mandi terpisah jauh dari rumah. Airnya benar-benar harus menimba kalau tidak sabar menunggu tetesan aliran air gunung memenuhi bak. Tempatnya lebih terbuka walau masih beratap dan berdinding. WCnya jangan ditanya, pasti WC jongkok.

Tiba-tiba suamiku.

"Sayang, I really need to go to bathroom", mukanya pucat.

"Ok, let's go I'll show you!" Aku pun menggandengnya menuju WC.

"Ini dia!", aku menunjukkan.

"Sayang, where is reguler bathroom?"

"Ini"

"Its not"

"Well we are in village, Indonesia. Its our modern bathroom. Our reguler bathroom is in river, just squat and let water flowing the shit. So just try our modern bathroom!" aku tersenyum menggoda.

Suamiku pucat, dia masuk juga. Aku pikir dia akan berhasil beradaptasi dengan WC ala kampung. Tunggu punya tunggu, akhirnya dia keluar setelah hampir setengah jam di dalam.

"How?"

Suamiku hanya menggeleng lemah. "Suddenly I lost my desire".

Aku tertawa terbahak-bahak. Ups..........tak enak hati tertawa di atas penderitaan orang tersayang.

"Then.......?"

"No worries, I'll try later in the house", dia menenangkan.

"Bude's house"

Suamiku hanya menggeleng lemah.

Suamiku masih bisa bersifat biasa. Dia masih bisa menikmati dua potong tempe 'glepung'. Tempe goreng yang diberi tepung singkong. Rasanya gurih. Tempenya pun dibuat sendiri, jadi rasanya agak beda dengan tempe produksi masal yang dijual di Jakarta. Aku selalu rindu dengan tempe ini.

Kalau biasanya aku satu-satunya translator suamiku. Kini kami butuh translator bahasa Jawa-Indonesia. Jadi agak lucu juga ketika kami berkomunikasi. Butuh lebih lama waktu untuk menyampaikan sesuatu. Ada kalanya aku lelah menterjemahkan. Aku hanya memberikan terjemahan bebas secara singkat. Suamiku curiga, "Are you sure, you have translated it all?"

"Yes"

"No way, why its shorter?"

H
ahahaha.......

Sudah pasti suamiku menjadi sorotan orang di kampung yang teramat pelosok itu. Suamiku sudah pasti dianggap orang asing dan teramat mencolok di kampung seperti itu. Semua orang kampung yang sempat berpapasan pasti akan menengok dan melihat seakan matanya ingin menguliti dari ujung kaki sampai ujung rambut.

Terkadang suamiku jengah, "How do I look?"

"They thought you are coming from other planet", aku sekenanya.

"Take it easy. You are a celebrity now!" aku meralat.

Suamiku hanya tersenyum.

Jalananannya agak terjal, karena itu sebenarnya adalah pegunungan. Yang paling menyiksa adalah aku tidak bisa pakai sendal jepit. Atas nama gengsi, aku harus mengimbangi suamiku yang bertinggi hampir 180cm. Makanya aku tetap memakai wedges berhak lebih dari 5cm. Itu pun masih belum cukup seimbang. Aku tertatih-tatih menaiki perbukitan dengan wedges biru ku. Huh..! Kalau ini wedges murahan pasti sudah rontok sedari tadi.

Walau melelahkan, suamiku sepertinya menikmati. Semangkuk mie bakso panas pun ludes olehnya. PAdahal dia sama sekali bukan penggemar bakso. Mungkin karena lidahnya baru dua kali itu mencicipi bakso.

Setelah seharian berada di gunung, kami pun kembali ke penginapan kami di kampung lain yang lebih beradab untuk suamiku yang terlalu kota. Masalah bathroom benar-benar belum terselesaikan. Mungkin besok kami benar-benar harus mencari, entah dimana. Apa harus ke pusat kota Yogya?


Bule Masuk Kampung II: Tiba



"Are you sure we'll stay here?"
, suamiku bertanya saat kami tiba.

"Yes", sumringah. Suamiku hanya tersenyum, namun masih dengan gurat kelelahan.

Setelah beramah-tamah sejenak. Sang tuan rumah pun menggiring kami ke kamar masing-masing. Aku dan suamiku dapat kamar dengan balkon, pemandangan menghadap sawah. Jangan dibayangkan ini adalah istana atau hotel atau apa. Ini hanya rumah biasa hanya saja bertingkat.

Rumahnya sederhana walau bertembok dan berkapur putih. Ada halaman dengan kolam ikan patin. Di paviliun depan adalah ruang praktek dokter sepupuku, Mas Bambang anak kedua Budeku. Ada teras dengan kursi-kursi rotan. Di sebelahnya ada semi garasi berisi 1 motor jadul tahun 1978, 2 sepeda kumbang dari zaman gigit besi, 2 motor normal era millenium, mobil minivan merah besutan Suzuki tahun 90-an.

Masuk ke ruang tamu sekaligus ruang tengah, ada 3 meja yang disusun memanjang dengan aneka toples dan kaleng kue di atasnya. Maklum ini kan suasana lebaran. Tradisi desa, orang-orang yang bersalaman tidak hanya mampir di depan rumah tetapi 'wajib' masuk dan mencicipi makanan kalau tidak mau disebut tidak sopan. Makanya tidak heran walau rumah kecil dan tidak sejahtera, mereka berusaha keras untuk menyediakan kue-kue sebanyak mungkin. Jangan heran, satu meja kecil bisa cukup untuk 5 toples berisi kue kering atau kacang goreng.

Pemilik rumah itu adalah Pakde Sindi dan Bude Sum. Walaupun saudaraku banyak, itu dalah salah satu tempat persinggahan favorit keluargaku. Kami disini merasa seperti di rumah sendiri. Semua menerima kami dengan suka cita dan penuh keikhlasan. Kami selalu rindu rumah itu.

Walau rumah ini sebenarnya amat sangat ramai oleh 3 orang cucu Bude dan Pakde. Penghuni rumah itu selain Pakde dan Bude ada Mas Bambang dan istrinya yang cantik dengan ketiga anaknya. Ada pasangan baru si bungsu Fifi dengan suaminya yang cuma sekali-sekali saja menginap. Sedang Mbak Heri, suami dan 2 anaknya tinggal terpisah.

Suamiku sempat tidur lebih dari 2 jam, sebelum terbangun dalam keadaan lapar. Pagi ini dia belum makan apa pun. Hanya minum secangkir kopi. Ibuku dengan saudara lain berkeliling mencari roti layak makan. Maklum Purworejo adalah kota kecil, saking kecilnya Ibuku harus ke kota untuk mendapatkan roti. Suamiku sepertinya agak dimanja oleh ibuku. Mungkin karena dia mendapatkan anak kesayangannya yang istimewa.

Aku terlalu asyik dengan sepupuku yang lain. Hingga aku tidak menyadari suamiku sudah bangun. Dia membawa handuk, siap untuk mandi.

Kamar mandi ala kampung memang agak unik. Walau Budeku sudah merupakan rumah yang tergolong bagus. Kamar mandi masih terpisah dari bangunan utama. Letaknya di belakang dekat sumur. Agak terpisah memang. Kamar mandi dibagi menjadi dua. Kamar untuk mandi dan kamar sempit untuk kakus. Kamar mandi juga tidak bisa dibilang luas. Karena memang hanya ada bak berlumut terbuat dari batu-bata yang sudah disemen. Aliran air langsung dari pipa air tanah. Lantai? lantainya hanya peluran yang juga sudah sedikit berlumut.

Saat itu hanya ada adikku yang berada didekatnya.

"Novan, could you please show me where is the clean water?" Suamiku dengan sopan.

"Come on!" Adikku berjalan dimuka diikuti suamiku.

"Here is the clean water", adikku menunjuk pada air di dalam bak berlumut.

"Ok" agak kaget tetapi suamiku pandai menyembunyikan kekagetannya.

"Then show me how to take shower?" Pertanyaan standar ala bule. Suamiku yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan gayung saat mandi. Apalagi ini kamar mandinya agak unik.

Adikku memperagakan ala orang mandi. Suamiku mengangguk.

"Got it?"adikku.

"Yeah......." Sumringah.

Aku melihat suamiku keluar dari kamar mandi. Aku tersenyum.

"How was the clean water?" aku menggoda.

"Not bad" singkatnya sambil tersenyum.

"Sayang, I peeped from holes in bathroom Bude was cooking. She used traditional stoves with firewood. Wow it was cool" suamiku menceritakan dengan berapi-api memperlihatkan keheranannya. AKu hanya tersenyum simpul.

"Ok, let's have eat. I cooked pizza with scrambled egg and melon juice for your late breakfast". Hahaha..sempet-sempetnya di kampung masak makanan bule. Kontan saja suamiku bungah ditawari makanannya.

(bersambung)






Senin, 13 Oktober 2008

Episode Bule Masuk Kampung 1


Lebaran tahun ini menjadi special dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ini kali pertama aku dan suamiku bersama-sama merayakan lebaran. Ini pengalaman pertama suamiku merasakan kemeriahan lebaran ala Indonesia. Negara mayoritas muslim yang penuh dengan warna. Istimewa, karena ini pertama kalinya suamiku berlebaran tanpa harus takut telat masuk kantor. Lebaran sudah pasti libur nasional. Tidak hanya satu hari, tetapi minimal dua hari. Bahkan masih ditambah cuti nasional bagi pegawai pemerintahan.

Memang kami sudah merencanakan untuk mudik semenjak beberapa bulan lalu. Bahkan sempat memesan kamar hotel, namun akhirnya dibatalkan atas dasar rasa kekeluargaan. Para orang tua di kampung agak merasa tersinggung, bila tiba-tiba kami memutuskan untuk bermalam di tempat lain. Bayar pula! Kesannya sudah tidak 'level' lagi hidup ala orang ndeso. Yo wis.....kami pun memutuskan untuk ikut tradisi mudik seperti tahun-tahun sebelumnya. Kami menginap di rumah pak de dan bu de.

Desa kami ada di pelosok sebuah kota kecil di pinggiran Yogya. Walau parabola sudah banyak menghiasi atap-atap rumah orang desa. Sebenarnya kami masih sangat 'ndeso'.

Aku merayu suamiku dengan iming-iming keindahan surgawi 'the real Indonesia'.
"Trust me, you'll feel homey being in paradise. You'll forget all stressful mind. Start every single morning with fresh air, bird singing, water flowing in the river, bla....bla....". Aku dengan berapi-api.

"Ok...but 12 hours?!?", suamiku memelas.

"Semua orang juga begitu. Ini kan tradisi tahunan. Semua orang yang merasa punya kampung halaman ya mudik setiap lebaran tiba. Sama saja seperti thanksgiving. Semua orang berbondong-bondong mengunjungi kampung halaman. Ini kan tahun pertama pernikahan kita. Ayolah! Apa kamu tidak ingin bertemu dengan mbah, pak de, bu de, mas dan mbak?" Aku merajuk sambil menggelendot mesra.

"It will be your unforgettable moments", aku menambahi.

"Okay, I'll follow you. But next Thanksgiving, you'll with me".

Aku memekik riang, "Cihui!!!". Aku menghujani wajah suamiku dengan ciuman bertubi-tubi. Mmmuah....mmmmuahhhhh "Terima kasih ya!"

Malam itu juga kami mengemasi barang-barang kami. Rencananya besok pagi-pagi buta, supir ayahku akan menjemput kami di apartemen. Kami memilih menunaikan shalat Eid di Kampung Utan. Jadi selepas bersilaturahmi sejenak dengan para tetangga. Kami bisa segera pergi.

Tahun ini keluarga kami memang benar-benar ingin membuktikan sendiri asumsi bahwa mudik selepas shalat Eid akan lebih cepat. Arus jalan raya akan lengang karena telah melewati puncak arus mudik. Tahun sebelumnya aku membutuhkan lebih dari dua malam perjalanan menuju Purworejo. Berangkat H-2, baru sampai 5 jam sebelum shalat Eid. Aku rasa aku terlalu kapok untuk mengulangi kesalahan yang kedua kalinya.

Berbekal dengan prediksi buta. Kami pun berangkat. Ternyata perjalanan tidak semulus bayangan. Bahkan kemacetan sudah menghadang semenjak kami masih di daerah Lebak Bulus. Kemacetan semakin parah di Tol Cikampek. Sepertinya sebagian besar pemudik yang sempat gusar dengan kemacetan H-2 setahun yang lalu, mengadu peruntungan yang sama untuk berangkat sehabis shalat Eid, dengan harapan merekalah satu-satunya pemudik pintar dan tidak ada saingan sebagai pengguna jalan.

"See.....What I said", suamiku dengan masam.

"We've been 4hours here", katanya lagi.

Aku hanya tersenyum yang tidak kalah kecutnya, "Well, its beyond prediction. I mean it". Aku meyakinkan.

"Just enjoy the time sayang, look at other 'mudikers' (=orang-orang mudik). We are not alone!" Aku sembari menunjuk-nunjuk.

"Masha Allah, If we are the only 'mudiker' we'll not being trapped on traffic here, SAYANG!" Suamiku semakin uring-uringan. Sedang aku tertawa cekikikan.

Lama-kelamaan aku kasihan juga dengan si bule ini. Aku raih tangannya, aku ciumi dengan khidmat hingga ia menoleh ke arahku.
"Sayang, sorry I shouldn't forced you to do this. You must be so tired. I promised next time we'll go to Yogya by our helicopter. We don't need to use this car anymore, we'll flying. Or may be next time, we should ask the regional police officer to sweep all the roads that we'll pass. So we'll be the only car", aku merajuk manja.

Suamiku tertawa, sepertinya aku berhasil merayu. Dia memelukku dan menciumi keningku. Dan kami pun tertidur ketika mobil kami akhirnya melintasi Indramayu.

Benar saja itu adalah perjalanan mudik dengan rekor terlama. Perjalanan Jakarta-Purworejo yang seharusnya hanya ditempuh paling lama 12 jam. Kali ini butuh 24 jam. Kami beristirahat hampir di setiap waktu shalat atau makan. Suamiku beruntung, kami menemui makanan ala bule di jalur pantura. CFC (=California Fried Chicken) buka stand di salah satu tempat peristirahatan. Senangnya melihat suamiku menemukan 'makanannya'. Hahahah.......




JAUH DI MATA DEKAT DI HATI


Terkadang perpisahan malah lebih bermakna dari sebuah pertemuan. Dengan perpisahan, kita jadi lebih mampu memaknai sebuah peretemuan. Sesingkat apapun pertemuan akan menjadi lebih bermakna. Suatu ketika pertemuan itu datang kembali, kita akan mensyukuri setiap detik yang terlewatkan. Pahit atau pun manis, terasa indah.

Aku tidak akan berkata seperti ini. Kalau aku tidak pernah tahu bagaiamana rasanya. Dulu aku penentang hubungan jarak jauh. Aku pernah serta-merta menjadi sinis mengomentari tentang seseorang di masa lampau yang harus berhubungan jarak jauh dengan sang suami. Sang suami harus bertugas di kilang minyak negeri Arab, sedang sang Istri dan anak-anaknya tinggal jauh di Bogor. Berbulan-bulan tidak bertemu, namun tetap merajut kasih dan mimpi bersama. Dengan berbekal kesetiaan dan iman.

Waktu itu, aku sempat bersumpah-sumpah. "Lebih baik tidak menikah kalau aku harus terpisah dengan pasangan jiwa. Gila! Bagaimana jika aku rindu? Lantas bagaimana aku tahu keadaan dia?".

Ternyata aku kini adalah pelaku 'Pernikahan Jarak Jauh'. Percaya atau tidak, aku sempat menarik diri dari pergaulan. Aku capek kalau mereka bertanya tentang keberadaan suamiku. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk datang ke acara buka bersama teman seangkatanku di AGB 37 IPB.

Subhanallah!!!

Aku bertemu dengan pelaku lain. Ada pernikahan lintas propinsi. Jakarta-Jepara, sang suami berdinas di Jepara sedangkan sang Istri harus berkarir di perusahaan asuransi terkemuka di Jakarta. Mereka hanya bertemu semalam dalam seminggu. Sang suami bertolak ke Jakarta sepulang kerja di Hari Jumat. Sampai di stasiun Gambir, Sabtu pagi. Bertolak ke Jepara minggu sore. Fiuh!!!

Ada juga pasangan suami Istri lintas pulau, Jakarta-Samarinda. Sang suami bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta. Sedangkan sang Istri bekerja di bank pemerintah di Samarinda. Keduanya sama-sama sedang meniti karir dan lumayan mapan. Alhasil mereka harus mengalah, berkorban sampai waktunya tepat. Sedihnya sang Istri keburu hamil. Sang suami hanya datang menjenguk sekali dalam sebulan. Terbang Jumat malam sepulang kerja, kembali Minggu sore. Itu pun sekalian mengantar istri ke dokter.

Adalagi pasangan suami istri lintas negara, Jakarta-Singapura. Paling tidak mereka harus berkorban hingga tahun depan. Sampai sang istri hijrah ke Negeri Singa.

Terus pasangan yang cukup fenomenal adalah aku, Jakarta-Amerika. Bisa dibayangkan betapa jauhnya itu. Kalau seandainya dikalkulasi secara matematis. Perjalanan dengan pesawat terbang Jakarta-Amerika tanpa transit rata-rata 20 jam. Jakarta-Jogya membutuhkan waktu 45 menit dengan pesawat, 12 jam dengan mobil. Jadi kalau ke Amerika menggunakan mobil. Maka akan membutuhkan waktu lebih dari 10 hari. Sama-sama melelahkan.

Aku sering membesarkan diriku, bahwa ini tidak akan lama. Tahun depan, semua akan berakhir dengan senyuman. Pengorbanan akan berbuah manis. Aku akan menyusul.........Insha Allah.