Tolong jangan tanya kami, apakah kami tetap menonton televisi di awal-awal kedatangan kami di Bojong Cae. Karena tentu saja kami tak bisa melakukannya. Bukan karena tidak ada listrik di Istana Bojong Cae. Tetapi memang karena istana kami tidak memiliki televisi. Maka kami melewatkan hari demi hari tanpa televisi. Hiburan kami satu-satunya adalah berbincang antara sesama anggota keluarga. Entah sudah berapa kisah yang terangkum sepanjang petualangan kami di Bojong Cae.
Tentu tidak tiap hari hubungan kami baik-baik saja. Sekali waktu kami juga pernah saling diam. Karena suasana hati kami yang tidak baik, atau kami baru saja berselisih paham. Apalagi bila salah seorang dari kami kaum perempuan sedang di masa haidh. Maka keadaan sedikit memanas. Suasana hati perempuan menjadi lebih sensitif dan penuh emosi.
Tapi bila suasana sedang baik. Kami sekeluarga sedang stabil, maka Istana Bojong Cae layaknya sebuah pasar yang selalu riuh oleh celotehan. Ramai. Bahkan keramaian kami hampir-hampir tak mengenal waktu. Pagi, siang, sore, malam kami lewatkan dengan bercanda, berceloteh atau saling berbagi mimpi. Bahkan kami tak segan-segan memamerkan suara-suara sumbang kami dengan bernyanyi dengan nada-nada yang tak beraturan. Bodoh memang! Tetapi itu hiburan bagi kami.
Tanpa adanya televisi sebenarnya kehidupan kami lebih sehat. Alam pikiran kami sama sekali tidak terkotori racun-racun yang disebarkan media televisi. Tahu sendiri lah bagaimana cermin televisi di Indonesia. Tayangan televisi digempur oleh acara-acara tidak bermutu yang sama sekali tidak cerdas. Sinetron-sinetron kacangan saling beradu rating dan share. Belum lagi reality show penuh kebohongan yang menyesatkan pemirsa televisi. Semua demi penilaian sang dewa televisi bernama AC Nielsen. Rating dan Share yang tinggi hasil penilaian AC Nielsen yang didasarkan pada survey random sampling pemirsa televisi dari berbagai kalangan adalah dambaan semua insan pertelevisian yang menggantungkan hidupnya pada laba semata. Karena sebagian besar produk massa hanya tertarik mengucurkan dana iklan kepada acara dengan rating dan share tertinggi. Tidak ada lagi idealisme. Sekalipun acara itu penuh kekerasan, penyebaran seks bebas, kebohongan dan segala keburukan lainnya, asalkan itu menguntungkan. Why not?
Tetapi begitulah tipikal sebagian besar masyarakat Indonesia. Mereka menyukai bahkan menggilai acara-acara televisi semacam itu. Mereka agak sulit menerima kebenaran yang mencerdaskan. Makanya Metro TV sebagai televisi berita terkesan tidak punya tempat di hati sebagian besar masyarakat Indonesia. Menggelikan sekali memang. Justru televisi yang memiliki idealisme untuk mencerdaskan bangsa, menyelamatkan bangsa dari kebodohan malah harus tertatih-tatih untuk tetap tegar di medan perjuangan merebut pasar. Aku tidak akan berbicara panjang lebar tentang persaingan dunia televisi dan intrik-intriknya. Lebih baik kita kembali pada keadaan kami tanpa televisi di Istana Bojong Cae.
Sebenarnya kami mulai terbiasa dengan kehidupan tanpa televisi di Istana Bojong Cae. Lagipula hidup kami juga lebih teratur. Selepas shalat isya berjamaah, bila kami tidak ada jadwal penyuluhan, rapat karang taruna, kenduri ataupun pengajian di surau. Maka kami memilih untuk segera tidur. Maklum istana kami dikelilingi pohon-pohon besar. Maka keadaan jadi semakin mencekam bila malam menjelang. Selain suara jangkrik, sahut-sahutan binatang malam atau malah derik ular. Kami tidak mendengar apa-apa lagi. Sunyi senyap. Itu menambah kengerian di hati kami. Mengingat istana kami memiliki track record yang mengerikan. Sebuah rumah yang pernah memiliki sejarah pembunuhan sungguh bukan merupakan rumah yang cukup nyaman.
Walau kami tidak benar-benar merasa terganggu dengan kehadiran para makhluk halus penghuni istana kami. Tetapi bukan berarti kami benar-benar aman tanpa gangguan. Sesekali bulu kuduk kami berdiri, tiba-tiba terasa dingin mencekam. Maka kami tahu, si penghuni rumah sedang berkeliaran. Maka kami mengaji yasin untuk mengusir ketakutan kami. Masalah pintu yang tiba-tiba tertutup sendiri adalah hal yang teramat biasa bagi kami.
Sepanjang di sana, baru sekali aku merasakan keanehan yang teramat muskil. Masih ingat dengan kondisi istana kami? Bangunan yang terpisah dengan dapur berlantaikan tanah dan berdinding bilik, pompa air tua, dan kamar mandi kami. Jadi kami harus membuka pintu di bangunan utama untuk menuju kamar mandi. Itu berarti kami harus melewati area dapur yang open area. Maksudnya kami bisa leluasa melihat pohon-pohon yang rimbun dan menjulang dari ventilasi udara di dinding yang hanya tertutup jaring-jaring kawat. Padahal hampir setengah keatas dari dinding kami seperti itu. Berselang-seling antara bilik bambu dan jaring kawat. Kami juga bisa merasakan hembus angin malam yang dinginnya menusuk hingga ke kalbu.
Keanehan itu terjadi ketika suatu kali aku bangun malam untuk menunaikan shalat tahajud menjelang jam tiga pagi dinihari. Awalnya aku tidak merasa ada yang aneh. Atau mungkin karena aku masih terserang kantuk yang menghebat. Makanya aku tidak takut sama sekali ketika kau membuka pintu penghubung antara bangunan utama menuju pompa air. Aku sengaja berjalan lurus tidak mengedarkan pandangan ke kanan tempat dapur kotor berlantaikan tanah. Karena aku tidak mau melihat ke arah pepohonan di gelapnya malam. Itu terlalu mengerikan walau aku bukan seorang penakut.
Pompa air kami sebenarnya terhubung listrik. Tetapi tidak sepenuhnya canggih. Sebenarnya itu pompa air besi merek dragon yang di era delapan puluhan merupakan masa keemasannya sebelum pompa merek Sanyo yang lebih canggih datang menggantikan keberadaannya. Pompa air besi jenis ini memiliki fungsi ganda. Sekalipun aliran listrik terputus kita masih bisa menggunakannya. Cukup menyingsingkan lengan baju, menarik nafas dalam-dalam dan mulailah memompa dengan sekuat tenaga. Maka air akan mengucur dari sisi yang berlawanan dari posisi kita. Mudah menggunakannya.
Hanya pompa jenis ini masih membutuhkan teknik pemancingan. Kami harus memancingnya dengan memasukkan segayung air ke dalam katup di permukaan atas pompa air dengan sedikit ayunan tangan memompa tuas pompa saat listrik menyala membangkitkan mesin pompa untuk menaikkan air di dasar tanah. Setelah menunggu beberapa menit, paling cepat sepuluh menit. Barulah air akan mengucur deras.
Sewaktu aku bersiap akan berwudhu. Baru aku akan mencari air pancingan di ember. Tiba-tiba air mengucur deras dari keran, tanpa aku harus membuka keran dn melakukan ritual ribet pemancingan mesin pompa air jadul.
”Subhanallah!”’ Aku memekik keras. Bulu kudukku berdiri dan tiba-tiba angin dingin berdesir di sekelilingku. Aku benar-benar mematung dan nyaris tak sadarkan diri, karena tak mampu menguasai diri dari keadaan itu. Aku segera beristighfar tanpa henti.
Segera aku berwudhu. Mulutku tak henti-hentinya berkomat-kamit merapal doa. Selepas berwudhu memang aku agak sedikit tenang. Makanya aku bisa dengan sedikit bergurau pada hantu bledug penghuni istana kami.
”Maaf yah. Pak dan Ibu hantu. Aku tahu kalian ada disini. Terima kasih yah atas air wudhunya. Tapi mohon jangan ganggu. Aku mau sholat tahajud. Nanti kalau nakal aku laporkan Allah!” sehabis berkata demikian, aku segera berlari. Menutup pintu dengan tergesa hingga bersuara. Segera memakai mukena dan shalat.
Rupanya tidak hanya aku yang pernah merasakan hal serupa. Abang dan Fian juga pernah mengalaminya. Bila Abang menganggapnya itu hanya angin lalu, tidak penting untuk dibicarakan. Beda dengan Fian yang benar-benar ketakutan setengah mati. Apalagi bila abang tidak bermalam di istana. Maklum Fian dan abang tidur di ruang tamu. Sedang kami para gadis tidur di ranjang empuk.
Suatu kali aku pernah menemukan Fian tidur dengan memeluk kitab suci Al Quran. Saat itu memang abang sedang tidak ada di istana. Makanya Fian tidur sendirian di ruang tamu. Itu adalah pengalaman paling horor baginya. Kami para perempuan, tertawa terkekeh-kekeh mengetahui itu. Kami suka meledeknya. Kami juga dengan semangat menceritakan hal itu kepada semua orang. Entah apa Fian mengingat kejadian ini?
Kali lain di suatu malam, kopi Dije yang sudah terseduh lenyap tak jelas rimbanya diseruput hantu bledug. Karena saat itu tidak ada satu pun di antara kami yang berada di dalam rumah. Kami semua di beranda berbincang dengan beberapa tamu kami.
Kejadiannya agak membingungkan juga karena memang tidak ada saksi. Kami semua berada di beranda. Dije menyeduh kopi untuknya dan beberapa gelas. Dia menaruhnya di meja tengah. Kemudian Dije menyusul kami di beranda untuk berbincang. Beberapa menit kemudian, kopi itu sudah lenyap terseruput habis. Padahal tidak ada salah seorang dari kami yang meminum. Mulanya kami agak bingung dan bertanya-tanya, ”Masa hantu suka minum kopi?”
Belakangan kami banyak menonton film, reportase tentang dunia klenik dan juga beberapa cerita dari tetua, bahwa salah satu dari persembahan pada acara adat atau ritual gaib perdukunan selain kemenyan dan bunga setaman adalah kopi. Entahlah apakah di dunia gaib, kopi adalah minuman yang juga bergengsi dan menyegarkan bila diminum di malam hari. Menambah stamina para hantu bledug untuk melancarkan operasinya di malam hari. Agar tidak mengantuk. Bah! Logika apa pula itu. Yah memang hantu bledug tidak pernah masuk di logika siapa pun yang merasa modern. Kecuali orang-orang yang pernah merasakan fenomena tersebut.
”Hey..........aku punya ide. Bagaimana kalau aku pulang sebentar ke kosan ku di Bogor untuk mengambil TV kecil? Lumayan kan ada sedikit hiburan untuk kita.” Suatu kali Fian beride.
”Ide bagus tuh Fian. Jadi kita punya hiburan. Bosan juga lama-lama hidup tanpa TV,” Dije berkomentar dengan penuh semangat.
”Iya Fian, lumayan kan ada yang bisa ditonton di malam hari. Ketimbang kita harus terus-terusan mengunjingkan hantu bledug itu bila kita terserang Insomnia.” Deci ikut bicara.
”Kapan kau balik ke Bogor?” Abang.
”Mungkin besok.”
”Baguslah makin cepat makin baik.Bisa gila aku disini tanpa TV.” Abang menimpali.
Keesokan harinya Fian memang benar-benar pergi meninggalkan istana demi mengambil televisi impian kami. Maka tiga hari kedepan, Istana Bojong Cae semakin meriah dengan kehadiran televisi. Walau televisi itu hanya selebar 7 inchi, gambarnya lebih sering bersemut dibanding jelasnya. Tetapi itu sudah sangat bagus. Hebatnya televisi ini juga memiliki fungsi radio. Jadi bila kami sedang bosan menonton gambar buram televisi, kami memanjakan telinga dengan mendengarkan siaran radio. Hari-hari Istana Bojong Cae berikutnya adalah lebih indah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar