Dua bulan bukan waktu yang sebentar untuk memulai sebuah persahabatan. Juga bukanlah waktu yang lama untuk bisa mengenal pribadi seseorang. Sepanjang dua bulan masa KKN. Kami mendapatkan banyak sekali hikmah tentang arti persahabatan yang sejati. Setidaknya kami telah belajar banyak untuk bertoleransi pada segala bentuk perbedaan.
Salah seorang rekan kami di Kadu Agung Barat bernama Lala. Dia satu desa dengan Irma, Dicky, Wulan dan Yopi. Walau kami berbeda desa. Tetapi kami sering bertemu, dalam pertemuan rutin tim KKN di Kecamatan Cibadak Kabupaten Lebak. Maka beberapa kali kami terlibat perbincangan. Sekadar berbasa-basi ala teman.
Lala adalah teman kami yang misterius. Entah di sengaja atau tidak. Dia seperti menarik diri dari pergaulan sesama kami. Kalau kami perempuan seringkali bercanda dengan ceria. Maka Lala memilih untuk duduk menyendiri di pojok. Padahal kami sudah berusaha keras mengajaknya tertawa dan berbincang bersama. Tetapi sepertinya dia masih merasa tidak nyaman dengan kami.
Perkenalanku dengannya bermula ketika bus yang mengantar kami tiba di Kecamatan Cibadak. Kami terdampar agak lama di sebuah surau kecil. Ketika kami semua menunaikan shalat, maka Lala hanya terdiam di pojok ruang. Kupikir itu mungkin persoalan bulanan perempuan yang tidak perlu lagi dipertanyakan. Toh Lala adalah seorang muslimah berjilbab.
Ketika kami sesama anggota KKN saling bercengkerama dan berkenalan satu sama lain. Maka Lala memilih untuk duduk di tepian. Aku mendekatinya demi mencari tahu apakah gerangan yang terjadi. Lala terlalu asyik menekuni buku catatan kecilnya, menulis-nulis sesuatu hingga ia tak menyadari aku mendekatinya. Aku mencuri lihat. Aku bisa melihat jelas bahwa Lala sedang merinci rupiah demi rupiah yang sudah dikeluarkannya hari itu. Rapih sekali seakan tidak ada yang tertinggal. Karena pembelian permen pun di catat dengan sangat teliti.
”Lala, sedang apa?” Tanyaku basa-basi.
”Oh...eh........... bukan apa-apa,” Lala terlihat gugup, segera menutup buku catatannya dan menyembunyikannya di tas tangannya. Kemudian dia memberikan senyumannya padaku. Dia memainkan pulpen di tangannya demi untuk menutupi rasa groginya yang berloncatan di dadanya. Aku pun memberi senyuman yang tak kalah indah untuk menentramkan hatinya. Sekedar memberi bukti bahwa aku tidak sedang menginterogasi. Aku hanya ingin membuka wacana sebuah persahabatan.
Saat itu aku masih memegang mukena. Maka dengan nada basa-basi juga aku menyodorkan mukena itu kepadanya sambil tersenyum.
”Mau pinjam?”
Lala hanya menggeleng pelan dan melemparkan senyum ke arahku. Maka aku membalas senyumnya dengan mafhum. Mungkin benar dugaanku bahwa itu adalah persoalan bulanan perempuan. Aku pun segera memasukkan mukenaku ke dalam tas. Bukannya berlalu aku malah duduk di sampingnya. Aku tergelitik untuk menanyakan sebuah pertanyan bodoh.
”Lagi halangan yah?” Aku malu-malu. Lala yang ditanya hany atersenyum. Beberapa detik kemudian baru dia menjawab.
”Tidak kok.......” Setelah itu dia berusaha untuk mengalihkan pandangan ke arah lain. Suasana jadi semakin tidak enak. Aku pun segera mungkin mengalihkan pembicaraan ke arah yang lebih netral. Seperti mengomentari teman-teman kami yang sedang bertingkah lucu. Mengomentari orang-orang desa yang melihat ke arah kami, dan hal-hal lain yang remeh tetapi cukup bisa mencairkan suasana. Itu pengalaman pertamaku berinteraksi dengan Lala.
Aku berusaha mencari tahu keanehan yang terjadi pada Lala pada teman sedesanya. Terutama Irma dan Wulan, mereka pasti tinggal satu kamar. Sudah barang tentu mereka saling bercakap-cakap tentang apa saja. Tetapi percuma, Irma dan Wulan juga tidak pernah terlibat percakapan yang pribadi layaknya para gadis bergosip. Lala pendiam sekali. Namun di balik diamnya dia menyimpan sebuah misteri, rahasia hidupnya yang ingin ditutupinya. Ternyata Lala juga tidak terbuka dengan Irma dan Wulan. Namun dari percakapanku dengan Irma dan Wulan aku sedikit banyak bisa menilai Lala.
Menurut penuturan Irma, di awal kedatangan mereka di Desa Kadu Agung Barat. Lala baru menyadari bahwa Ia tidak membawa jilbab instan yang praktis. Sudah barang tentu Irma dan Wulan dengan senang hati menawarkan jilbabnya. Namun Lala menolaknya dengan serta-merta. Dia lebih memilih mengenakan mukena panjangnya sebagai jilbab daripada meminjam.
Tidak hanya itu, keesokan harinya Lala meminta izin untuk tidak menginap di case camp. Sepanjang dua bulan, Lala akan menginap di rumah saudaranya yang tinggal di pinggiran Kota Rangkas. Padahal jaraknya hampir dua jam perjalanan. Namun itu akan dilakoninya selama KKN. Anehnya selama itu, kami tidak pernah melihat Lala shalat. Ketika hal itu kami tanyakan kepada Lala. Dia hanya menjawab singkat,
”Aku menggabungnya dalam satu waktu di malam hari saat aku tiba di rumah saudaraku.”
Beberapa kali kami terlibat perbincangan dengan sedikit bumbu perdebatan perihal keanehannya. Kami juga sedikit menginterogasi Lala. Maka terungkaplah bahwa menurut keyakinan Lala, dalam menunaikan shalat juga ada aturan. Adalah najis bila melaksanakan sholat di tempat orang yang tidak segolongan. Di dalam keyakinan Lala, jarak antara tempat wudhu dan sajadah shalat harus sedekat mungkin. Dan harus berada di lingkungan suci kaumnya.
Lala dan kaumnya memiliki masjid khusus di setiap daerah untuk memudahkan jamaatnya menunaikan shalat. Tidak ada pinjam meminjam alat-alat shalat atau apapun juga yang berhubungan dengan peribadatan antara golongan Lala dan orang di luar golongan. Bahkan bila ada yang tak sengaja meminjam, menyentuh, apalagi menggunakan barang-barang pribadi golongan Lala, padahal mereka tidak seideologi. Lala dan golongannya akan segera mungkin mencuci dan membersihkannya agar tidak bernajis.
”Oh jadi kita ini najis, begitu?” Ujar Deci bernada sewot suatu kali saat kami membincangkannya.
”Yah dia kan juga korban dari sebuah sistem. Bila satu keluarga penganut kepercayaan tersebut, maka Lala hanya akan jadi pengikut. Tak bisa sepenuhnya disalahkan. Lala menjadi seperti itu karena dia terbelenggu dalam suatu paham yang tidak sepenuhnya dimengerti.” Aku memberikan pledoi pembelaan.
”Iya, suatu kali kami telah berdebat berdasarkan Al Quran dan Hadits, dan dia sama sekali tidak mengerti landasan dalilnya.” Irma ikut memberikan pendapat.
”Kasihan juga dia ya”, Ari teman kami dari Bojong Leules ikut berbicara.
”Tidak punya teman”, Lilis dari Desa Cibadak berempati.
”Yah sudah sepantasnyalah dia demikian tidak ditemani, lah wong kita ini dianggap barang najis sejenis anjing.” Deci masih saja berapi-api.
”Dia sendiri yang membuat jarak”, Dije.
”Iya benar. Aku ingat suatu kali kelompok kami diundang makan bersama di saung selepas penyuluhan. Kami makan bersama dengan sesepuh desa dan beberapa penyuluh pertanian. Saat makanan tersaji, Lala malah memilih memakan biskuit yang dibawa dari rumah. Dengan alasan tidak lapar.” Wulan membenarkan.
Di desa-desa terpencil di Kabupaten Lebak, Kami memang memiliki kegiatan makan bersama untuk menghormati tamu. Tradisi makan ini cukup unik. Karena makanan tidak terhidang di atas piring, tetapi di hamparkan di atas daun pisang yang lebar. Nasi dan lauk pauk menjadi satu plus sambal terasi. Kemudian setelah dipersilahkan dan berdoa kami makan bersama dengan tangan. Tidak ada rasa jijik dan malu-malu semua bercampur tidak kenal kasta dan status, makan dalam satu daun pisang dengan nikmat. Adalah merupakan suatu penghinaan, bila tamu menolak makanan yang dihidangkan oleh tuan rumah. Dan tindakan Lala yang menolak untuk makan bersama adalah sungguh menyakitkan.
Namun Yopi sang koordinator kecamatan, bisa dengan bijak memberikan alibi untuk menutupi kesalahan Lala. Sekaligus untuk menghindari prasangka buruk yang berlebihan kepada tim mereka.
”Oh................si Lala ini ada gangguan dengan pencernaan. Jadi sejam sebelum makan harus diisi dengan biskuit. Mohon maaf bila menyinggung.” Yopi berdiplomasi.
Lala terkucilkan. Namun Lala tidak pernah merasa terganggu. Lala sudah terbiasa dengan keadaan seperti itu. Di setiap kelas yang diikutinya Lala memang selalu terkucil. Dia selalu mengambil tempat di pojok ruangan yang jauh dari kerumunan mahasiswa. Agar dia tak perlu berinteraksi dengan mahasiswa lainnya. Tatapan aneh dari orang di sekelilingnya adalah santapan sehari-harinya.
Sepanjang KKN aku dan beberapa perempuan masih dengan sabar berusaha mendekati hatinya. Berusaha menjadi tukang cerita yang baik saat dia membisu. Begitu pun berusaha menjadi pendengar setia ketika dia berbicara. Dan berusaha untuk mafhum atas semua hal aneh yang dilakukannya. Berusaha untuk tidak bertanya dan menganggapnya sebuah kebiasaan. Meniadakan keanehan yang ada pada dirinya, menganggap dia tak berbeda dengan diriku dan teman-teman lainnya untuk memberikan rasa nyaman pada dirinya. Agar tidak merasa terasing.
Sepertinya kami berhasil. Di akhir perpisahan kami kaum perempuan makan cilok dalam tempat yang sama. Aku, dia dan beberapa gadis. Dia tidak merasa jengah, begitu pun aku. Walau sejenak dia sempat ragu kan apa yang dilakukannya. Namun dia mengabaikannya. Kami menikmati santapan lezat cilok atau sejenis somay dalam satu wadah dengan suka cita. Yah........kami benar-benar berhasil menerjang dan meniadakan perbedaan yang mengungkung. Sampai detik ini aku masih mengingat sosok Lala. Bila ada yang tahu keberadaan Lala, gadis yang terasing di Fakultas Ekonomi Manajemen. Katakan padanya aku merindukannya.
Aku sudah mengenal Yopi sejak lama. Kami terlibat banyak sekali kerjasama dalam kelompok-kelompok tugas yang secara tidak sengaja terbentuk. Maka aku sudah mengenalnya sebagai pribadi yang penuh welas asih dan bijak, namun tetap menyimpan ketegasan seorang pemimpin. Sepanjang ingatanku, dia memang hampir selalu menjadi pimpinan proyek dan tim kami di setiap kesempatan.
Kenangan saat kami melaksanakan tugas membuat laporan tentang pertanian di daerah Sukabumi untuk mata kuliah Dasgron. Yopi menjadi mengepalai aku, Widi, Irma, Ari, Afif, Anita dan siapa lagi aku lupa. Mungkin lain kali akan aku ceritakan juga episode ini. Yopi mampu memnggiring kami dengan baik. Aku juga ingat, setelah draft kotor selesai dibuat. Aku yang merangkainya menjadi kata-kata yang indah dalam laporan sebanyak lebih dari tigapuluh halaman. Dan itu adalah rekor laporan terpanjang seluruh kelas Dasgron. Aku meramunya dengan kata-kata bunga-berbunga bak pujangga. Hal yang paling menggelikan adalah Aku menuliskan kata-kata ’dua batang kara’ untuk mendeskripsikan sepasang suami istri petani yang hanya tinggal berdua di gubuknya. Bodoh! Rupanya sedari dulu, aku sudah pandai merangkai kata.
Yopi lelaki baik hati. Sekali pun aku tidak pernah melihat dia marah. Walau pun kami telah membut kesalahan yang teramat fatal. Dia hanya tersenyum dan segera mencari solusi untuk memperbaikinya. Dia juga lihai dalam berdiplomasi kepada bapak-bapak. Makanya dia selalu ditunjuk menjadi ketua. Tanpa harus menunggu konfrensi yang menjemukan. Bila dia jadi ketuanya, dijamin semuanya beres dan teratasi dengan baik.
Dicky adalah salah seorang dari teman lelaki terdekat. Dia hampir selalu ada dalam episode hidupku. Aku memang selalu merasa nyaman berbicara dan berada di dekatnya. Walau dia berasal dari daerah yang sama dengan abang. Namun dia memiliki tabiat yang sama sekali berbeda dengan abang. Walau logat Bataknya terdengar kental. Namun tutur katanya lembut. Tak pernah sekali pun kulihat dia marah atau berbicara keras. Bicaranya lembut dan menyenangkan. Dia bisa menjadi pendengar terbaik. Bila aku bercerita padanya, maka dengan sabar matanya akan mengamati aku penuh rasa ingin tahu. Membuat aku yang bercerita menjadi semakin bersemangat.
Beberapa kali aku meminta pertolongan kepadanya. Dan beberapa kali itu pula ia mengabulkannya permintaanku tanpa banyak komentar. Dari berpura-pura menjadi tunanganku untuk mengelabui si ustad keparat dari Bojong Cae yang tergila-gila kepada diriku, bahkan hingga menemani aku menemui sang duta besar Pakistan. Dia partner setiaku. Aku menyebut-nyebutnya dengan penuh hormat dan penghargaan namanya dalam novel perdanaku sebagai penyelamat.
Tidak banyak orang yang mau dan punya cukup nyali untuk menemani seorang teman menemui petinggi negara asing untuk urusan apa pun. Mungkin pula mereka akan mundur teratur sedetik setelah aku minta dengan banyak alasan. Tidak lancar berbahasa Inggris lah, bingung harus memakai baju apa lah, tidak cukup percaya diri lah, dan lain-lain. Maka si Dicky ini adalah lelaki yang memiliki cukup nyali besar untuk menolong siapa pun tanpa pamrih. Dia adalah teman yang teramat menyenangkan hati.
Begitu hebatnya aku mengelu-elukan namanya di antara Saiful Malook dan nama-nama lain di novelku, membuat banyak pembacaku yang mempertanyakan kedekatanku dengan Dicky. Bahkan ketika akhirnya tersiar kabar aku telah melepas masa lajang. Maka berbondong-bondong email masuk mempertanyakan apakah Dicky yang telah menggantikan tempat seorang Saiful Malook yang malang. Aku tersenyum simpul. Dan di balon-balon imajinasiku bermunculan nama Dicky. Kupikir Dicky adalah tipikal pria idaman bagiku. Hanya saja takdir berkata lain.
Sedang Wulan, dia adalah sosok gadis yang baik dan sederhana. Satu yang kuingat dari dia adalah sorot matanya yang tajam setajam mata Najwa Shihab presenter Metro TV. Dia cantik dan agak kearaban. Sekali aku pernah menanyakan tentang asal muasalnya, apakah dia memiliki darah Arab. Maka dia menjawab tegas bahwa dia sama sekali bukan Arab dan tak memiliki darah Arab selain dari garis Nabi Adam. Dia Indonesia tulen dan berdarah Jawa.
Namun dia sempat memberikan asal muasal yang terdengar cukup aneh perihal tempat lahirnya yang di Saudi Arabia. Maka mungkin udara Saudi Arabia yang pertama kali menerpa wajahnya membuatnya memiliki kemiripan dengan gadis keturunan Arab.
Semenjak kami berpisah hampir enam tahun lalu, kami tidak pernah bertemu kembali. Kami berpisah tepat saat KKN berakhir. Sekali waktu aku pernah melepas rindu dengan mengiriminya SMS beberapa bulan lalu, hanya untuk menanyakan kabar berita. Wulan masih seperti yang dulu. Hanya saja dia kini ibu muda beranak satu dari seorang suami yang berpangkat tinggi di angkatan laut. Dia memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya, meninggalkan karir untuk selamanya.
Irma adalah salah satu dari sahabatku yang masih akrab hingga detik ini. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Irma adalah melankolik sejati yang terkadang merepotkan orang-orang sanguinis yang ingin bebas dan tak ingin terkungkung seperti aku. Ritual merayu dan mengajaknya pergi ke suatu tempat adalah ritual menggelikan yang memerlukan tahap wawancara menjemukan. Kapan? Dimana? Untuk apa? Dengan Siapa? Dan lain-lain.
Di antara sahabat-sahabatku, dia adalah yang terpintar dengan nilai IPK tertinggi di antara kami. Dia juga yang dulu serta merta menghujat kelakuan bank-bnk konvensional sekaligus bersumpah-sumpah untuk bekerja di bank tersebut. Maka kini dia mengingkarinya. Irma menghabiskan lebih dari tiga tahun menjadi kuli di Citibank. Bank konvensional yang nyata-nyata pioner dari segala bank konvensional. Praktek-praktek kredit yang melibatkan riba dalam jumlah besar adalah jenis usahanya. Irma benar-benar termakan sumpah serapahnya sendiri.
Sumiyati sejatinya adalah salah seorang teman dekatku semenjak di bangku kuliah. Hanya saja kemudian kesibukannya menjalani sebuah lembaga pernikahan mengaburkan persahabatan kami. Selama bertugas di Bojong Leules pun dia hampir sering sekali mangkir dari tempat tugas. Namun kemudian anggota tim yang lain beramai-ramai memakluminya. Entah apa karena Sumi sudah berumah tangga atau karena Sumi menyogok teman-teman dengan makanan-makanan enak yang tergolong langka di desa sepulangnya dari Rumah.
Ketika aku melarikan diri dari Bojong Cae, kepada Sumilah aku berlindung dan berpelesiran tak tentu arah di Serang. Sumi memang hampir selalu ada untuk tempatku berkeluh kesah. Namun aku hampir tidak pernah ada untuknya ketika dia kesulitan. Ketika saat ini dia mencalonkan diri menjadi Caleg. Maka aku sungguh tak punya waktu bahkan sekedar untuk mendukung ide gilanya. Padahal dia selalu menjadi pendukung nomor satu ide gilaku di masa lampau.
Ariyanah juga merupakan salah satu dari sahabatku. Dia adalah pribadi yang menyenangkan. Beberapa tahun yang lalu dia adalah sosok yang sedikit maskulin. Dan tidak begitu menyukai hal-hal yang berbau wanita. Namun kini dia telah berubah seratus delapan puluh derajat lebih dewasa dan matang sebagai wanita dewasa. Ari tidak lagi berpenampilan ala akhwat yang maskulin.
Aku agak lupa beberapa teman di Bojong Leules. Bukan karena mereka tertendang dari hatiku. Demi Allah aku hanya lupa sedikit. Aku hanya ingat Sumiyati dan Ariyanah.
Sedang tim di desa Cibadak aku mengenal hampir semuanya. Mereka adalah Lilis, Ane, Jusmarwan dan Ofan. Dulu aku sempat berfikir Lilis agak menyukai Ofan yang bertampang lumayan bagus. Kakak kelas yang tertinggal jauh dari teman-teman seangkatannya. Karena Lilis selalu bertindak kemayu dan manis di hadapannya. Oh tidak, Lilis memang selalu tampak manis di hadapan semua orang. Hanya saja Lilis suka malu-malu kucing bila kami meledek perihal kedekatannya.
Aku juga sempat berasumsi, Jusmarwan itu menyukai Lilis. Gelagatnya memang terlihat mencurigakan sebagai layaknya orang yang sedang kasmaran. Dia selalu bertindak layaknya lelaki sejati di hadapan perempuan. Tetapi Jusmarwan memang terkesan terlalu over acting di hadapan kami. Lagaknya seperti orang yang sangat serius dan bertanggung jawab akan proyek-proyek KKN-nya. Dia selalu membuat kami iri hati dengan keluwesannya membuat rencana proyek yang sedikit bombastis Ketika Jusmarwan sudah memulai membuat papan nama jalan, kami masih kebingungan menentukan arah proyek besar kami.
Ofan hampir tidak pernah berada di lokasi. Dia selalu menghilang tanpa jejak. Kegiatan proyek lebih sering diatasi oleh Jusmawran, Lilis dan Aneh. Mungkin mereka juga tidak enak hati untuk menegur kakak kelas yang usianya jauh di atas mereka. Namun justru kegiatan mereka berjalan dengan baik tak kurang suatu apapun walau tanpa Ofan.
Ane itu adalah pribadi yang sedikit biasa dan tak menonjol kala itu. Dia hanya menampakkan keluwesannya dalam bergaul. Aku dan dia seringkali terlibat pembicaraan yang penuh tawa. Karena pada dasarnya dia anak yang baik. Dia bisa menjadi pendengar yang baik. Makanya Lilis dan Ane adalah sejoli. Lilis seorang yang agak ekspresionis dan selalu butuh teman bicara, sedangkan Ane selalu siap sedia mendengarkan.
Sepanjang ingatanku. Ane memiliki orang tua yang teramat memperhatikannya. Suatu ketika Ane terserang penyakit parah. Kalau tidak salah magnya kambuh atau malah dia sedang PMS. Maka keesokan harinya orang tua Ane langsung meluncur ke lokasi. Apa Ane itu anak tunggal yah? Atau setidaknya anak perempuan satu-satunya yang menjadi kesayangan.
Kami paling senang berkunjung ke Desa Kadu Agung Barat. Bila kami berkunjung disana, dijamin kami akan mendapatkan jamuan makan yang teramat enak. Maklum tuan rumah mereka adalah kepala desa Kadu Agung Barat. Dan kebetulan mereka termasuk keluarga kaya yang terpandang. Mereka memperlakukan anak-anak KKN layaknya anak mereka sendiri. Maklum anak mereka sesungguhnya telah terpencar-pencar diberbagai daerah. Daging dan ayam adalah makanan yang teramat biasa di Kadu Agung Barat. Hebatnya tuan rumah tidak membebankan biaya apa pun kepada mereka.
Lain lagi bila di Desa Cibadak. Tuan rumah memberlakukan tarif kos all in termasuk makan untuk anak-anak KKN. Nyaman memang. Mereka tak perlu lagi memikirkan makan. Bahkan tuan rumah juga menyediakan cemilan di pagi hari seperti arem-arem. Gorengan dan aneka kueh jajan pasar lainnya. Dan itu benar-benar buatan tangan. Aku paling suka arem-aremnya. Maka bila kami berkunjung ke desa itu, aku kan menyerbu arem-arem terlebih dahulu. Kami selalu menyempatkan diri untuk mampir sepulang dari Kota Rangkas.
Sedang Bojong Leules benar-benar bukan merupakan tempat tujuan mampir. Tuan rumah menyewakan kontrakannya kepada mereka. Untuk makan mereka harus memasak. Karena tuan rumah memiliki masalah intern keluarga. Tuan rumah yang juga sekaligus kepala desa itu memiliki lebih dari satu istri seperti di Bojong Cae. Terus apa hubungannya? Tidak ada hubungannya memang. Aku hanya menegaskan saja.
Kami menikmati warna-warni persahabatan yang menyertai perjalanan kami di Kecamatan Cibadak selama dua bulan. Seperti kubilang di awal. Dua bulan bukan waktu yang pendek untuk memulai suatu persahabatan, namun juga bukan waktu yang panjang untuk mengenali karakter secara mendalam. Tetapi aku sudah belajar banyak dari sekelumit episode itu. Aku belajar tentang bagaimana bertenggang rasa pada perbedaan. Justru itu adalah warna-warni persahabatan yang membuat hidup menjadi lebih hidup dan menyenangkan.
Dengan ini kutegaskan bahwa aku merindukan kalian. Aku masih ada disini, menunggu. Kita akan bercerita tentang indahnya warna-warni persahabatan sambil menunggu senja tiba. Ketahuilah, aku akan dengan bangga menceritakan kisah ini pada anak-anakku bahwa aku pernah mengenal kalian.
Moral: Terkadang persahabatan baru terasa indah bila kita telah berpisah jauh.
1 komentar:
Hah, menyegarkan ceritanya...
Asyik juga buat refreshing...
Posting Komentar