Namanya Dadang. Dia adalah adik satu-satunya dari kepala desa Bojong Cae yang beristri dua. Badannya tinggi dan tegap, walau dia tidak bisa menutupi perutnya yang sedikit membuncit. Kulitnya coklat matang seperti kebanyakan orang Indonesia. Matanya sendu tetapi jalang. Hidungnya tidak mancung dan tidak terlihat pesek. Usianya saat itu menjelang dua puluh tujuh tahun. Logat Sundanya terdengar kental bila berbicara.
Dadang selalu berusaha berpenampilan perlente ala orang kota. Untuk menunjukkan statusnya yang pernah mengenyam pendidikan tinggi di sebuah universitas Islam negeri di kotanya. Di setiap kesempatan dia tidak pernah lepas dengan topi warna merah berlabel merek NIKE, yang aku berani bertaruh bahwa itu PALSU. Bila dia tidak sedang bertopi maka dia memilih peci sebagai penutup kepalanya. Aku tidak pernah tahu ada apa dengan kepalanya sehingga dia tidak bisa lepas dengan penutup kepala.
Tetapi tentu saja hanya dia dan orang desa yang menganggap dia perlente. Bagi kami orang kota, dia tidak ubahnya seperti pria kampung yang berlagak kota. Dia senang memadukan kaus tangan panjangnya dengan celana bahan resmi dan ikat pinggang. Lengkap dengan topi NIKE satu-satunya.
Saat mengendarai sepeda motor tuanya dia akan dengan gayanya menambah aksesoris jaket kulit imitasi lengkap dengan kacamata hitam ala tukang pijatnya. Lantas dia berlagak layaknya pengendara motor gagah yang digilai para gadis. Maklum, tidak banyak orang yang memiliki kendaraan bermotor seperti dia.
Memang benar, banyak gadis yang tergila-gila pada kumbang kampung ini. Itu pun menurut penuturan Minul dan kawan-kawan sejawatnya. Bila Dadang lewat, para gadis kampung yang sedang asyik bercengkrama serta-merta segera mengatur sikap agar terlihat anggun dan ayu sebelum menyapa lelaki itu.
“Kang, bade kemana?” Hanya segelintir gadis yang berani melontarkan pertanyaan seperti itu.
“Oh, bade ke surau”, dengan senyum simpul sang Dadang yang sengaja ditebarkan untuk menyenangkan para gadis.
Maka setelah sang Dadang berlalu dari hadapan, para gadis akan berjingkrakan senang. Tertawa senang. Dan si penanya tak henti-hentinya menceritakan peristiwa itu kepada gadis lainnya. Sambil berapi-api mendeskripsikan bagaimana rupa Dadang saat itu. Senyumnya, pakaiannya, matanya, dan lain-lain. Layaknya obrolan para gadis yang sedang menggilai seorang pemuda tampan.
Dadang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah menengah Islam di Rangkas. Tetapi aku tidak pernah tahu dan mau tahu apa mata pelajaran yang diajarkan. Dadang yang dianggap paling mumpuni di bidang agama Islam, didaulat untuk menjadi guru mengaji di Bojong Cae. Sesekali dia juga berceramah agama. Makanya orang-orang kampung menghormati dirinya. Dia adalah ustad muda kebanggaan Bojong Cae.
Awal perkenalan kami adalah pada sebuah rapat desa. Dia yang memimpin doa dan memberikan ceramah agama. Maklum sebagai adik seorang raja desa, dia memiliki aktivitas segudang. Selain mengetuai Ikatan Remaja Surau Bojong Cae. Dia juga menjadi pelindung di organisasi Karang Taruna Desa Bojong Cae. Maka tidak mengherankan bila hampir di setiap acara desa, dia selalu hadir.
Mulanya sebelum kami tahu dia adalah seorang Ustad. Kami hanya memanggilnya dengan sebutan Aa Dadang. Namun ketika kami tahu dia juga seorang Ustad, maka kami agak rikuh juga memanggil seakrab itu. Kami memutuskan untuk memanggilnya dengan sebutan Pak Dadang. Lagipula kemudaan usianya tidak terlihat oleh wajahnya yang kebapakan alias bertampang tua itu. Pantaslah dia dipanggil bapak oleh kami yang muda belia lagi ‘bau kencur’.
Tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menyesuaikan diri dan mulai bergaul dengan Pak Dadang. Dia senang melontarkan lelucon garing yang membuat kami merasa bersalah bila tidak tertawa. Kami pun tertawa setelah sekian detik berpikir keras mencari tahu dimana letak kelucuannya. Setelah itu baru kami tertawa dengan ekspresi yang penuh kepalsuan.
Pak Dadang ini pria baik. Teramat baik malah. Kami sering sekali terbantu oleh kehadirannya. Kami pun seringkali mendapatkan kiriman makanan gratis darinya. Hal itu tentu saja menguntungkan kami. Maklum, saat itu kami masih merupakan mahasiswa kere yang sedang masa pertumbuhan. Sering merasa lapar tetapi tidak ditunjang dengan keuangan kami yang pas pasan. Maka kami dengan senang hati dan tangan terbuka menerimanya. Sebagai imbalannya, kami menjadikan dia sebagai teman bicara kami. Kami harus sukarela menemani dia mengobrol hingga larut malam. Tetapi lebih sering Abang yang menemaninya untuk berbicara.
Pak Dadang adalah penyokong utama dari setiap kegiatan kami. Bahkan ketika kami harus menembus gelapnya malam melewati hutan untuk menuju dusun terpencil di Bojong Cae. Dia dengan sukarela menyiapkan transportasi dengan mengerahkan beberapa teman yang memiliki motor untuk mengantar kami.
Tetapi entah mengapa setiap kali kami bertugas dan membutuhkan motor sebagai transportasi. Dari sekian banyak motor. Aku selalu didaulat untuk menjadi pembonceng tetap Pak Dadang. Temanku yang lain bisa berganti-ganti. Hanya aku yang selalu membonceng Pak Dadang. Namun aku yang saat itu teramat polos, menganggap itu hanya sebagai suratan takdir yang tidak disengaja. Yah sudahlah daripada aku sama sekali tidak mendapatkan tumpangan.
Pak Dadang juga memperlihatkan keanehan yang teramat sangat bila berdekatan denganku. Dia lebih senang beraku-kamu bila berbicara denganku. Dan dia berkali-kali mengingatkanku untuk memanggilnya Aa. Namun aku selalu lupa dengan memanggilnya bapak. Karena aku menaruh hormat padanya yang seorang ustad.
Sudah menjadi kebiasaanku untuk tidak memegang atau memeluk pengendara motor laki-laki yang bukan muhrim ketika dibonceng. Maka kebiasaan itu juga kuterapkan pada Pak Dadang yang menjadi tumpangan tetapku. Dia selalu mengingatkanku.
“Pegang yang erat Ris! Aku khawatir kamu terjatuh. Perjalanan kita melewati medan yang cukup sulit” Dia mengingatkanku.
Maka aku mengeratkan peganganku pada badan motor. “Oh sudah, saya sudah pegang kok”.
“Maksudku kamu bisa pegang aku bila kamu khawatir jatuh”. Dia menjelaskan lagi.
“Insya Allah tidak”. Aku menyahut.
“Yah hanya jaga-jaga saja”.
Seketika itu Pak Dadang memacu motornya dengan cepat. Dia seperti menyari-nyari jalan yang sulit untuk dilewati. Sehingga posis motor agak oleng. Aku di belakang ketakutan setengah mati, pucat pasi membayangkan bila aku harus terjatuh di bebatuan. Aku mengeratkan penganganku pada ekor motor di belakang. Tetapi percuma, tubuhku malah hampir limbung ke belakang dibuatnya. Sedangkan lelaki itu sama sekali tidak memelankan motornya.
Akhirnya aku menyerah juga. Aku mulai memegang jaketnya, seperti memegang pinggangnya. Dan sialnya lelaki itu malah semakin mencari jalan yang terjal, agar aku mempererat peganganku. Dan itu berhasil. Aku memegangnya. Sial!
Pak Dadang sering sekali mengunjungi istana kami di Bojong Cae. Sesekali waktu membawa teman seorang tokoh desa. Sering juga hanya sendiri. Dan itu dilakukan hampir setiap malam selepas Isya. Dia akan memakai pakaian yang sama yaitu baju koko berwarna biru lengkap dengan peci.
Suatu kali aku memang pernah tanpa sengaja mengungkapkan kecintaanku pada warna biru. Maka sejak saat itu, dia selalu berusaha memakai baju berwarna biru di hadapanku di setiap kesempatan. Dia juga menebarkan aroma harum minyak nyong-nyong yang menusuk hidung. Aku, Fian, Abang, Deci dan Dije sering sekali bergurau bahwa Pak Dadang bermandikan parfum.
Lelaki itu selalu berusaha mencari tahu semua kesukaanku. Dan dia akan berusaha memenuhi itu. Ketika aku berkata,
“Dingin-dingin begini enaknya makan nasi goreng panas yang super pedas”.
Maka dia akan dengan senang hati membelikannya di kota Rangkas. Tidak hanya satu, tetapi juga untuk Abang, Fian, Deci dan Dije. Semua kebagian. Ketika aku berkata,
“Panas terik sungguh nikmat bila ada air kelapa muda yang manis untuk melepas dahaga.”
Maka tanpa menunggu lama Lima butir kelapa muda akan dikirimkan ke istana kami oleh sang kurir. Atau bila dia menemani kami melakukan penyuluhan di siang hari. Dia akan menggiring kami ke kebun warisan dari orang tuannya untuk mengambilkan kelapa kopyor muda terbaik untuk kami. Dia bahkan mengupasnya untukku.
Atau bila aku gelisah menahan lapar saat kami rapat membicarakan rencana program di malam hari. Maka dia serta-merta menyuruh kurir untuk membelikan martabak telur kesukaanku. Sepanjang aku makan martabak itu dengan lahap. Matanya jalang mengamati aku.
Saat aku memergokinya, “Kenapa?”
Dia hanya berdalih, “Ah tidak apa-apa”.
Dia hampir setiap hari berkunjung ke istana kami. Terkadang aku sangat jengah untuk sekedar menyapanya. Maka hanya Abang yang menemaninya berbicara. Saat itulah lelaki itu mencari-cari alasan untuk bisa melihatku barang sekejap di dalam istana.
“Nuhun, bade ke kamar mandi?” Dia beralasan.
“Sok atuh. Silahkan masuk aja”. Abang mempersilahkan.
Pak Dadang melenggang masuk ke dalam rumah. Dia memergoki kami para gadis yang sedang menonton televisi kecil di ruang tamu. Kami beradu pandang, dan dia tersnyum salah tingkah. Aku hanya bingung dibuatnya. Dia akan memperlambat langkahnya demi untuk melihat aku. Atau aku yang kege-eran yah?
Waktu itu aku masih terlalu naif untuk bisa menebak tipu muslihat lelaki. Aku layaknya gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. Selama proses pendekatan lelaki itu yang terkesan membabi-buta dan terkesan direstui oleh seluruh tokoh desa. Aku tidak kurang pengawasan dan bantuan dari sahabat-sahabatku di Istana Bojong Cae.
Bojong Cae desa yang kecil. Tidak ada yang rahasia di desa ini. Hubungan antara aku dan Ustad keparat tersebar luas. Padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Dengan skenario yang terorganisir, aku masih saja didaulat sebagai pembonceng tetap lelaki itu. Sekeras apapun aku menolak. Aku tidak akan bisa menghindari. Karena jumlah motor terbatas. Dan selalu aku yang mendapat bagian terakhir, dan pengendara motor itu tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Dadang. Lagipula yang menyuruh aku ikut dengannya banyak termasuk tetua kampung.
Pernah suatu saat aku tertinggal jauh dari rombongan. Si ustad keparat sepertinya mengendarai motor dengan sangat pelan. Dan dia terus menerus mengajakku berbincang. Padahal aku sudah ketakutan setengah mati. Aku hanya berdua saja dengan dia di gelapnya malam. Seandainya terjadi apa-apa denganku dan aku berteriak. Tak akan ada seorang pun yang mendengarnya. Hanya ada rerimbunan pohon, suara jangkrik dan kodok. Mungkin juga derik ular. Dan parahnya saat itu aku sama sekali tidak membawa telepon genggam.
Aku komat-kamit berdoa seperti merapal mantra, “Audzubillahiminassyaitan ni rrajim. Aku berlindung dari godaan syetan yang terkutuk yang mungkin saja menyelinap di dalam raga lelaki ini”.
Hembus angin malam yang biasanya terasa menyegarkan. Kali ini terasa menusuk kalbu. Aku benar-benar menggigil ketakutan. Aku memperhatikan jalan. Berusaha mengingat-ingat bagaimana tampak jalannya ini bila siang hari. Jadi seandainya terjadi hal buruk, aku tahu kemana harus melarikan diri. Aku benar-benar tidak konsentrasi lagi pada omongan si Ustad keparat. Aku menyibukkan diri untuk berpikir keras bagaimana menyelamatkan diri.
Tiba-tiba aku melihat sesosok pengendara motor sambil berjongkok seperti membenarkan motornya. Ya Allah! Semoga itu penolongku. Ya sosok itu kian jelas. Aku rasa Ustad keparat juga melihatnya. Tunggu dulu! Bukannya itu....itu ... Abang. Yah itu abang.
Kami menghampiri abang. Ustad keparat itu berbasa-basi menanyakan gerangan apa yang membuat Abang berhenti di tengah jalan.
“Oh tahu nih tiba-tiba mogok”. Abang menjawab. Maka ustad keparat menghentikan motornya dan menghampirinya.Agak lama juga kami berhenti. Sampai akhirnya motor yang abang tumpangi kembali berfungsi. Ustad keparat kembali ke motornya. Sebenarnya aku ingin ikut abang, tetapi motor abang tidak bisa dibonceng. Maka aku terpaksa duduk lagi di belakang ustad keparat.
Saat Ustad keparat mempersilahkan abang untuk melajukan motornya dahulu. Abang dengan basa-basi malah mempersilahkan kami untuk lewat dahulu. Abang ingin memastikan motornya baik-baik saja. Maka dengan berat hati Ustad keparat melajukan kendaraannya. Saat kami sudah berjalan. Baru abang mengikuti kami dari belakang.
Belakangan aku baru tahu, bahwa itu adalah tipu muslihat abang. Abang tiba-tiba menyadari motor yang ditumpangi aku dan si usatad keparat tertinggal jauh dari rombongan. Abang merasa khawatir dengan keselamatan dan kehormatanku makanya dia melambatkan motor dan berhenti. Berpura-pura motornya mogok tak lain agar dia bisa mengawasiku dari belakang. Kejadian itu benar-benar tak pernah lekang dari ingatanku. Sosok abang yang sering membuatku menangis ternyata telah menyelamatkanku.
Suatu kali ada nomer telepon masuk ke telepon genggamku. Nomer yang sama sekali tidak aku kenal. Aku pun mengangkatnya.
“Assalamualaikum”, suara lelaki di ujung sana.
“waalaikumsalam”,Jawabku ragu-ragu.
“Risma?”
“Iya saya sendiri. Ini siapa ya?”
“Aduh masak lupa yah. Ini teh Dadang”.
Otakku bekerja berusa keras mengingat siapakah Dadang. Dan sekian detik kemudian sosok Pak Dadang melintas di mataku. Ustad keparat? Hah! Bagaimana mungkin dia mengetahui nomer teleponku. Padahal aku sama sekali tidak pernah mengumbar nomer teleponku kepada siapapun di desa ini. Kecuali........Oh ya kecuali pada awal pencatatan daftar tamu lapor waktu pertama kali kami tiba di desa ini. Yah...Itu dia. Sial! Kalau tahu begitu, aku tidak akan menulis nomer yang benar.
“Oh iya...........Pak Dadang. Ada apa yah?” Aku dengan hormat.
“Oh nggak, Cuma tanya kabar saja. Apa kabar Risma?”
“Baik. Alhamdulillah”. Singkatku tanpa berminat untuk menanya balik.
“Oh ya katanya mau naik sampan di Kali Ciujung. Jadi nggak?”
Kali Ciujung? Apalagi ini? Oh ya aku ingat. Tempo hari saat kami melakukan kunjungan desa di Kali Ciujung untuk melihat proses penambangan pasir dan batu Kali Ciujung. Kami sempat berfoto-foto di Kali Ciujung. Kami melihat sampan-sampan dan perahu yang agak besar berseliweran di sekitar kali Ciujung. Aku sempat berujar dengan noraknya,
“Ih pasti seru kalau kita naik perahu itu. Terus kita berfoto ria”. Namun saat itu aku juga tahu bahwa itu mustahil dilakukan karena tidak ada perahu yang bersandar.
“Naik perahu. Wuah seru tuh. Serius?” Aku menimpali Pak Dadang.
“Tentu saja serius. Kapan sih aku main-main dengan kamu”.
“Oh ya, kapan?” Aku antusias.
“Hari ini”.
“Loh ini kan sudah sore?”
“Iya, kan memang perahunya bersandar setelah jam 5 sore”.
“Sama yang lain kan. Maksudku sama Abang, Fian, Deci dan Dije?”
“Oh nggak, sama kamu saja. Sampannya kecil soalnya. Takut nggak muat”. Jawab lelaki itu dnegan diplomatis. Aku malah semakin curiga. Saat itu aku dan penghuni Istana Bojong Cae sedang berkumpul di ruang tamu. Aku memberi isyarat kepada mereka bahwa yang menelpon adalah Pak Dadang. Maka aku serta-merta menyalakan fungsi loadspeaker di telepon genggamku. Agar mereka juga ikut mendengarkan.
“Terus berangkatnya kapan?”
“Nanti jam 6”.
“Loh kok maghrib-maghrib kesananya. Terus sholatnya bagaimana?”
“Iya itu nanti gampang”.
Saat itu musnahlah rasa hormat dalam hatiku untuk lelaki itu. Seorang Ustad dari Bojong Cae. Ustad macam apa yang mengajak seorang perempuan bukan muhrim untuk berjalan bersama menikmati pemandangan Kali Ciujung saat maghrib hanya berdua saja?
Aku membayangkan bagaimana otak lelaki itu bekerja. Bagaimana pikiran kotor lelaki itu yang sudah merencanakan sebuah kencan romantis menaiki sampan melintasi Kali Ciujung sambil menikmati indahnya malam. Serasa naik gondola di tengah kota Venezia. Atau malah dia sedang membayangkan adegan romantis Leonardo Decaprio dan Kate Winslet di kapal Titanic. Aku akan merentangkan tangan sambil berdiri di ujung kapal dan menghirup udara segar malam hari, melepas segenap ketegangan yang membuncah. Kemudian dia menghampiri aku bak Leonardo Decaprio, dan memegang tanganku. Kemudian kami berdua ikut menikmati deru ombak Kali Ciujung dengan debar jantung dua orang pencinta yang membara. Huek!!! Please deh.
“Maaf saya tidak tertarik dengan tawaran anda. Lagipula, saya tidak terbiasa keluar maghrib. Apalagi dengan lelaki yang bukan muhrim. Saya harus sholat dan mengaji”. Aku pun menutup telepon dengan marah.
Lelaki itu masih berusaha meneleponku. Namun aku segera menonaktifkan telepon genggamku. Aku benci lelaki itu. Dia menganggapku layaknya perempuan murahan yang mudah terpikat dengan segenap kebaikannya. Mungkin dipikirnya keramah-tamahanku selama ini adalah tanda aku suka padanya. Padahal sekali pun tidak terbersit pikiran suka, simpati apalagi Naudzubillahiminzalik untuk suka pada lelaki itu.
Kami hanya berbasa-basi untuk sekedar beramah –tamah.Toh kami hanya tamu. Kami memang sudah diwanti-wanti untuk bisa bergaul dengan baik dengan orang kampung, terutama dengan tokoh kalau kita tidak mau diusir sebelum masa KKN berakhir. Namun setelah suatu kali si Ustad keparat benar-benar menyatakan cintanya di suatu malam selepas pertemuan. Aku benar-benar menarik diri sejauh mungkin.
Kami di Istana Bojong Cae seringkali membincangkan masalah. Sebelumnya abang sempat mempertanyaan perasaanku pada si Ustad keparat. Hanya untuk memastikan bahwa cinta si Ustad keparat tidak bersambut olehku.
“Demi Allah. Tidak terbersit sedikitpun perasaan tertarik dengan si Ustad keparat itu!” Aku dengan penuh ketegasan.
“Aku hanya perlu kepastian saja. Habis kulihat kau terlalu lemah. Kupikir kau juga terpikat.” Abang naik pitam.
Setelah dia tahu apa perasaanku. Maka kami semalaman membahas skenario apa yang harus dilakukan untuk menghindarkan aku dari perangkap Ustad Keparat. Maka kami mengambil keputusan untuk membuat skenario bahwa aku tengah bertunangan dengan Dicky Pasaribu, seorang teman kami yang bertugas di Desa Kadu Agung Barat. Mengapa Dicky? Yah karena Dicky pandai bersandiwara, lagipula Dicky dan aku sama-sama tidak terikat dengan hubungan percintaan dengan siapapun. Jadi kami bisa lebih menjiwai sandiwara.
Maka kami pun segera mengkomunikasikan dengan Dicky dan rekan-rekan lain di desa lain. Kami pun sepakat mensukseskan sandiwara itu. Dicky selalu datang di acara penyuluhan kami. Dan kami bersandiwara layaknya sepasang kekasih. Dan aku memproklamirkan dengan terang-terangan bahwa Dicky tunanganku, juga kepada Ustad keparat itu. Hahahha................si Ustad mulai menjauh dan lari tunggang langgang.
Salah satu program KKN kami adalah menyediakan taman bacaan di surau. Nah aku salah satu penyumbang buku terbanyak. Sebagian besar bukuku di waktu SD memiliki label nama dan alamatku. Walau aku sudah tidak tinggal di alamat rumah itu lagi, namun orang-orang masih mengenalku.
Suatu kali surat dari Ustad keparat itu benar-benar sampai ketanganku. Ketua RT dari lingkungan rumah masa kecilku mengantarkan ke rumah baruku. Aku ketakutan setengah mati bila, ustad keparat benar-benar menghampiriku. Telepon-telponnya masih sering mampir. Walau aku sering tidak mengangkatnya. Dia memakai nomer yang berganti-ganti. Hingga aku memutuskan untuk mengganti nomer telepon genggamku. Agar cerita itu musnah sampai disitu.
Moral: Dont judge book from its cover!
1 komentar:
......"cinta mati" sang ustad
Posting Komentar