Minggu, 19 Oktober 2008

Bule Masuk Kampung III: Mbah here I come


"Where will we go?" suamiku bertanya.

"We are going to see mbah in village", aku menjawab.

"Is it far from here?"

"No......."

Kali aku akan membuat suamiku semakin bingung dan heran. Kami akan mengunjungi mbah dari ayahku di gunung. Sudah pasti lebih 'ndeso' dari kampung tempat Bude dan Pakdeku. Aku sempat mewanti-wanti, bila ditawari untuk makan harus mau. Kalau menolak itu akan menyakiti orang yang menawari. Alhasil, dia benar-benar tidak menampik semua tawaran. Walau sedikit, pasti suamiku mencicipi.

Rumah mbah yang sudah sepuh lebih ndeso dari Budeku. Rumah itu lebih parah. Kamar mandi terpisah jauh dari rumah. Airnya benar-benar harus menimba kalau tidak sabar menunggu tetesan aliran air gunung memenuhi bak. Tempatnya lebih terbuka walau masih beratap dan berdinding. WCnya jangan ditanya, pasti WC jongkok.

Tiba-tiba suamiku.

"Sayang, I really need to go to bathroom", mukanya pucat.

"Ok, let's go I'll show you!" Aku pun menggandengnya menuju WC.

"Ini dia!", aku menunjukkan.

"Sayang, where is reguler bathroom?"

"Ini"

"Its not"

"Well we are in village, Indonesia. Its our modern bathroom. Our reguler bathroom is in river, just squat and let water flowing the shit. So just try our modern bathroom!" aku tersenyum menggoda.

Suamiku pucat, dia masuk juga. Aku pikir dia akan berhasil beradaptasi dengan WC ala kampung. Tunggu punya tunggu, akhirnya dia keluar setelah hampir setengah jam di dalam.

"How?"

Suamiku hanya menggeleng lemah. "Suddenly I lost my desire".

Aku tertawa terbahak-bahak. Ups..........tak enak hati tertawa di atas penderitaan orang tersayang.

"Then.......?"

"No worries, I'll try later in the house", dia menenangkan.

"Bude's house"

Suamiku hanya menggeleng lemah.

Suamiku masih bisa bersifat biasa. Dia masih bisa menikmati dua potong tempe 'glepung'. Tempe goreng yang diberi tepung singkong. Rasanya gurih. Tempenya pun dibuat sendiri, jadi rasanya agak beda dengan tempe produksi masal yang dijual di Jakarta. Aku selalu rindu dengan tempe ini.

Kalau biasanya aku satu-satunya translator suamiku. Kini kami butuh translator bahasa Jawa-Indonesia. Jadi agak lucu juga ketika kami berkomunikasi. Butuh lebih lama waktu untuk menyampaikan sesuatu. Ada kalanya aku lelah menterjemahkan. Aku hanya memberikan terjemahan bebas secara singkat. Suamiku curiga, "Are you sure, you have translated it all?"

"Yes"

"No way, why its shorter?"

H
ahahaha.......

Sudah pasti suamiku menjadi sorotan orang di kampung yang teramat pelosok itu. Suamiku sudah pasti dianggap orang asing dan teramat mencolok di kampung seperti itu. Semua orang kampung yang sempat berpapasan pasti akan menengok dan melihat seakan matanya ingin menguliti dari ujung kaki sampai ujung rambut.

Terkadang suamiku jengah, "How do I look?"

"They thought you are coming from other planet", aku sekenanya.

"Take it easy. You are a celebrity now!" aku meralat.

Suamiku hanya tersenyum.

Jalananannya agak terjal, karena itu sebenarnya adalah pegunungan. Yang paling menyiksa adalah aku tidak bisa pakai sendal jepit. Atas nama gengsi, aku harus mengimbangi suamiku yang bertinggi hampir 180cm. Makanya aku tetap memakai wedges berhak lebih dari 5cm. Itu pun masih belum cukup seimbang. Aku tertatih-tatih menaiki perbukitan dengan wedges biru ku. Huh..! Kalau ini wedges murahan pasti sudah rontok sedari tadi.

Walau melelahkan, suamiku sepertinya menikmati. Semangkuk mie bakso panas pun ludes olehnya. PAdahal dia sama sekali bukan penggemar bakso. Mungkin karena lidahnya baru dua kali itu mencicipi bakso.

Setelah seharian berada di gunung, kami pun kembali ke penginapan kami di kampung lain yang lebih beradab untuk suamiku yang terlalu kota. Masalah bathroom benar-benar belum terselesaikan. Mungkin besok kami benar-benar harus mencari, entah dimana. Apa harus ke pusat kota Yogya?


Tidak ada komentar: