Kamis, 30 Oktober 2008

Panggil Namaku Ulfah



(Sebuah cerpen)

Ulfah, begitu teman-teman memanggilku. Sebuah nama indah pemberian orang tua, yang sampai di usia dua belas tahun ini pun aku masih belum tahu pasti apa sebenarnya arti namaku. Kata orang, orangtuaku terbilang pandai untuk ukuran orang kampung. Namaku yang orang kampung, termasuk nama paling cantik. Jika teman-temanku bernama Parni, Sumarni, Tukiyem, Paijo, atau malah Jendol. Aku bangga memiliki nama Ulfah.

Aku gadis kecil yang baru saja lulus SD. Kata ibu aku kembang yang sedang merekah. Buah yang mulai ranum, siap dipetik orang. Orang tuaku yang bukan orang berada selalu berandai-andai kelak suatu hari aku dipetik orang.

"Cah ayu, wah kamu sudah besar ya! Padahal seingat ibu baru kemarin kamu ibu gendong-gendong. Sekarang sudah sebesar ini. Sebentar lagi ibu momong cucu", Ujar ibuku mengejutkanku saat beliau sedang menyisiri rambut panjangku. Aku menoleh ke arah ibuku.

"Ah ibu, Ulfah kan masih cilik becik. Ulfah masih ingin sekolah. Ulfah ingin seperti mbak Yul, anak pak lurah yang jadi guru itu. Kuliah di kota, terus jadi guru", aku berapi-api. Ibuku hanya tersenyum melihat tingkahku. Ia membelai rambutku lembut.

"Iya, ibu tahu kamu anak pintar. Tapi kok malah ibu yang tidak yakin akan bisa memenuhi cita-citamu untuk sekolah tinggi. Kuliah itu membutuhkan biaya yang tidak besar. Bapak dan ibu bukan orang kaya. Lagi pula kamu hanya anak perempuan. Tak wajib hukumnya anak perempuan sekolah tingi-tinggi. Untuk apa? bila ujung-ujungnya kamu akan terjun ke dapur juga", panjang lebar sembari kembali menyisiri rambut panjangku.

Aku kembali menoleh, "Tapi Ibu........"

"Ssssttt.......sudah rapi rambutnya. Ibu mau ke dapur dulu memasak. Ikat rambutmu segera, lalu bantu ibu di dapur. Kita akan makan besar hari ini. Ibu akan memasak sayur 'oblok-oblok' !"

Ibu memutus pembicaraan, entah memang disengaja atau memang ibu sedang sibuk. Aku pun bergegas menuruti titah ibu. Sayur oblok-oblok adalah kesukaanku. Sudah barang tentu aku akan sangat senang hati membantu ibu menyiapkan sayur oblok-oblok kesukaanku. Tidak banyak orang yang menyukai sayuran parutan kelapa dengan petai cina dicampur dengan bumbu-bumbu dan sayuran hijau dengan irisan rawit merah yang pedasnya aduhai. Tetapi bagiku, ini adalah makanan surgawi. Lezat. Lebih lezat dari daging. Daging yang cuma sekali setahun saat Idul Kurban aku memakannya.

******

Sepertinya baru kemarin kami berbincang tentang cita-citaku. Tentang Ibu yang seperti menginginkan sekali aku segera menikah. Aku bisa mengerti mungkin dengan menikahnya aku, akan mengurangi beban orang tuaku. Orang tuaku tak perlu lagi dipusingkan dengan biaya sekolahku. Sehingga adik-adik lelaki bisa lebih layak bersekolah. Tak perlu harus menunggak bayaran.

Aku berdoa kepada Gusti Allah, agar kejadian mengerikan itu tidak akan pernah terjadi. Pernikahan diniku dengan lelaki manapun. Demi Tuhan, aku masih butuh bersekolah dan tumbuh kembang sebagai seorang gadis sempurna. Aku baru saja beberapa bulan dapat haid, selepas lulus SD kemarin. Masak, aku harus menikah.

Tidak terbayangkan bila aku harus menikah, lantas hamil dan punya anak. Bagaimana rasa sedihnya ketika aku melihat Parni, Tukiyem dan Paijo bersepeda riang menuju sekolah. Sedang aku harus momong jabang bayi. Tidak......Demi Allah!

Malam kian kelam, aku masih asyik menekuni buku bacaan wajib ilmu aljabar. Aku paling suka aljabar. Itu membuat otakku terasah. Aku memang jagonya matematika. Guru matematikaku sering memuji keahlianku mengurai rumus yang bagi sebagian besar orang sungguh 'njelimet'. Bagiku itu menyenangkan.

Akhirnya sepuluh soal aljabar dengan tingkat kesulitan tinggi telah terselesaikan. Ah.......otakku lelah juga. Aku tidak menyadari kalau sedari tadi rumahku kedatangan tamu agung. Tidak jelas juga siapa tamunya. Sedari maghrib tadi aku di kamar saja. Aku disibukkan dengan pekerjaan rumah dari guru matematikaku.

Lama-lama aku tergelitik juga mencuri dengar pembicaraan mereka. Kebetulan kamarku bersebelahan dengan ruang tamu. Rumahku yang setengah bilik membuatku tidak membutuhkan usaha ekstra untuk mencuri dengar pembicaraan mereka demi mencari tahu siapa dan apakah gerangan kepentingan mereka bertamu ke rumahku.

"Hahahhaha......" Aku mendengar tawa para lelaki termasuk bapakku di ruang tamu. Keadaan cukup riuh rendah.

Ada lebih dari dua orang lelaki selain bapakku. Jelas! Tetapi siapakah dia.

"Ah itu bisa diatur bapak. Kan bapak ini akan jadi besan saya. Sudah barang tentu anak menantu harus membahagiakan bapak besan", suara berat.

Hah...? Anak menantu? Bapak besan? Siapa yang mau menikah? Bapak mau nikah lagi? Masak ibu? Tidak mungkin. Lantas siapa? Disini yang paling besar yang aku. Aku jadi semakin penasaran. Kali ini aku memberikan usaha lebih untuk menguping. Aku mendekatkan telingaku ke dinding setengah bilik itu.

"Rumah? Ah tentu saja. Saya akan buat rumah ini jadi seperti istana kedua. Bukan masalah. Bapak juga tidak perlu lagi naik sepeda onthel. Saya akan sediakan mobil APV plus supir untuk bapak", orang asing itu lagi. Suaranya berat. Dan sepertinya aku kenal suara itu.

Oh iya. Itu Syekh Puji. Orang terkaya di kampung ini. Tidak hanya kampung ini, mungkin terkaya di Semarang. Dia juga pemilik pondok pesantren megah di kampung sebelah. Pemilik showroom mobil. Mobilnya banyak, rumahnya? Seperti Istana. Megah. Seperti di negeri dongeng. Lantas siapa yang akan menikah. Syekh Puji? Loh dia kan sudah punys istri.

"Kapan rencananya pernikahan itu akan diselenggarakan?" Suara bapakku.

"Kalau bisa Agustus ini, sebelum Ramadhan", Suara yang kutebak adalah Syekh Puji.

Begitulah kira-kira sedikit perbincangan yang sempat aku curi dengar. Aku tidak peduli apa lagi yang mereka bicarakan. Toh aku mungkin tidak tersangkut apa-apa dalam pembicaraan mereka. Tidak baik mencuri dengar pembicaraan yang bukan hak kita. Aku malah tertidur di dipan reyot.

Sejak malam itu, ada nuansa berbeda dalam rumah dan kehidupanku. Beberapa hari ini tukang batu, bangunan dan lain-lain bekerja siang malam di rumahku. Kata bapak mereka akan merenovasi rumahku. Apa? Bapak dapat lotere barang kali. Kulihat para tukang juga memasang pondasi beton, katanya rumahku akan menjulang ke atas dengan tambahan satu tingkat. Wuah.......aku benar-benar tidak mempercayai ini. Bagaiman amungkin bapakku yang hanya pegawai rendahan mampu membiayai ini. Kalau bukan dapat lotere.

Bapakku juga belakangan ini terlihat perlente. Dengan celana jins, baju baru dan kacamata hitam. Beberapa kali kulihat beliau mondar-mandir dengan motor baru. Welah dalah! Terkadang aku juga melihat bapak di antar jemput dengan mobil APV gres.

Aku pun mendapat baju-baju baru yang mahal. Baru kemarin ibu memakaikan kalung yang indah di leherku. Dengan bandul huruf U dengan kerlap-kerlip permata. Aku juga dapat gelang, cincin dan anting emas. Sungguh tidak dapat dipercaya. Ibu pun kini memakai perhiasan. Keadaan kami benar-benar mentereng. Dan sayur 'oblok-oblok' mulai langka dari meja makan kami, yang ada hanyalah ayam goreng atau daging bumbu rendang. Wuah nikmat! Ini bukan mimpi kan? Adik-adikku juga sekarang memakai baju-baju yang bagus dan indah. Tuhan bila ini mimpi. Kumohon jangan bangunkan aku dari mimpi indah ini.
*********

Suatu malam bapak memanggilku, katanya beliau ingin bicara penting. Aku juga lihat ibu ada di situ. Keadaan terlihat serius. Aku bergelayut manja di sebelah ibu.

"Ulfa...", Bapak memulai percakapan.

"Dalem pak!" Aku dengan kesopanan ala Jawa.

"Ulfa Jumat besok, kita akan menyelenggarakan perhelatan akbar"

"Dimana?"

"Di rumah kita"

"Siapa yang akan menikah"

"Kamu", Bapak singkat.

"Apa? Ulfa?!?" Aku tercekat.

"Iya". Bapak

"Kenapa harus Ulfa? Ulfa masih kecil pak. Ulfa masih mau sekolah. Ulfa ingin jadi guru", aku setengah menangis.

Aku menatap ibu. Aku berharap Ibu membelaku. Percuma. Ibu hanya menunduk seperti mengiyakan. Aku benci Bapak...Aku juga benci Ibu.

"Untuk apa jadi sekolah dan jadi guru? bila kebutuhan kamu dan keluarga kita sudah terpenuhi. Calon suami kamu adalah orang terpandang dan terkaya di kampung ini. Dia akan memenuhi semua impian kamu. Juga impian keluarga kita. Kamu tak perlu bersusah payah dengan bersekolah. Baju indah, rumah megah, mobil mewah, perhiasan, makanan lezat akan menjadi keseharianmu tanpa harus menunggu waktu".

Aku menangis tergugu. Aku berdoa pada Tuhan semoga ini hanya mimpi buruk dan aku segera dibangunkan dari mimpi buruk ini.

Aku tak bisa bicara. Air mataku mengalir deras. Impian dan cita-citaku telah hancur seketika. Aku masih paksakan untuk bicara, "Dengan siapa Ulfa menikah pak?"

"Syekh Puji", pendek Bapak.

Benar dugaanku. Perbincangan malam itu. Ah..........dan kemewahan ini. Duh Gusti, orang tuaku telah menjualku. Menukar kebahagiaanku dengan kebahagiaan semu duniawi. Aku yang kecil ini akan dinikahkah dengan Syekh Puji. Pria gaek yang lebih cocok dipanggil Bapak. Bahkan usianya masih lebih tua dari usia bapakku. Aku akan menjadi madu untuk istrinya. Gusti Allah......Tolong aku.

Semuanya sudah terlambat. Tanggal pernikahan sudah diputuskan. Akhir minggu ini aku harus menikah. Besok pagi aku berencana bersekolah. Perpisahan sebelum aku meninggalkan semua impianku.

Ketika ibu guru menanyaiku perihal alasanku berhenti di sekolah itu. Aku hanya berkata rilih menahan tangis bahwa orang tuaku akan memasukkan aku ke pesantren. Aku tidak perlu menjelaskan yang sebenarnya. Karena aku tidak ingin orang lain tahu. Bahkan Parni, Tukiyem dan sahabatku yang lain tidak kuberi tahu. Selamat tinggal impianku. Aku telah luluh lantak tak berdaya kini.
*******

Semalaman aku tidak bisa tidur. Pagi buta jam tiga, Syekh Puji akan menikahiku. Tenda-tenda telah terpasang. Aneka makanan telah tersaji. Sejak jam 1 pagi, mereka telah meriasku. Agak sulit meriasku, karena aku terus-menerus menangis. Air matanya melunturkan riasanku. Aku benci ini. Tetapi semua sudah terlambat. Pernikahan itu akan tetap terjadi. Dan aku cuma gadis kecil tanpa daya. Aku tak bisa lari. Kecuali saat ini juga Gusti Allah memanggilku. Kematian menjemput. Karena aku tidak mau menambah dosa dengan bunuh diri seperti yang kulihat di televisi.

Akhirnya akad nikah benar-benar terjadi. Sepanjang siang aku dan Syekh Puji di pajang bak raja dan ratu. Semua orang tersenyum bahagia. Sedang aku tersenyum getir yang dipaksakan. Bapak mengancamku. Aku harus tersenyum sepanjang pesta, kalau tidak mau mencoreng nama baik keluarga. Aku sempat melihat ibu menangis di pojok ruang. Tapi ibu sama sepertiku, perempuan tidak berdaya yang harus tunduk pada adat patriarkat. Perempuan adalah hamba bagi laki-laki. Aku sudah hancur.
*******

Aku benar-benar kelelahan setelah seharian penuh dipajang. Setelah menghapus riasan. Aku merebahkan diri di kamar yang disediakan untukku. Kamarnya cantik, dihias-hias sedemikian rupa seperti dalam dongeng. Bertabur bunga-bunga, belum lagi harum mewangi dari bunga-bunga segar yang jadi pajangan. Kamarnya besar sekali. Di pojok ruang ada setumpuk kado-kado. Ah....aku tak peduli. Rasa lelah dan ngantuk membuat aku tak berselera melanjutkan ketakjubanku. Aku pun tertidur.

Aku merasakan ada tangan berbulu yang menyentuh wajahku. Aku masih mengantuk. Aku tak ingin bangun. Namun, aku harus tahu siapa orang kurang ajar yang telah mengganggu tidurku. Aku melihat sekelebat. Badan tinggi besar, brewokan, dan beruban. Itu.....itu seperti Syekh Puji. Aku segera bangun. Aku duduk meringkuk ketakutan di tempat tidur.

"Cah ayu", tangannya ingin menyentuhku. Aku menepisnya kasar.

"Ayolah cah ayu, kau istriku yang paling ranum dan cantik. Kemarilah, aku akan mengajarkan kamu bagaimana menjadi perempuan seutuhnya malam ini!" Tangannya menyentuhku dengan paksa. Aku tak kuasa menepisnya. Tenaganya puluhan kali lebih besar dari aku.

TUhan tolong aku!

Tangannya dengan buas menjamahku. Dia memelukku erat hingga aku sesak nafas. Dia menciumiku. Mulutnya bau....bau busuk sebusuk hatinya. Dia semakin blingsatan. Dengan nafas memburu. Dia semakin leluasa dan kesetanan menjamahku, melucuti pakaianku dan.............ahhhhh.

Aku menggigil ketakutan. Aku berteriak kesakitan. Aku meraung-raung. Menangis, memohon agar lelaki itu melepaskanku. Aku....aku.......kepalaku pusing, dan semuanya menjadi gelap.........

Paginya aku terbangun. Aku tidak melihat lelaki keparat itu. Aku hanya tahu bahwa aku sudah tanpa busana. Darah kering berceceran di sprei. Dan nyeri tak berperi di lubang sempitku. Badanku sakit semua. Remuk redam seperti tak berdaya. Memang aku tak berdaya. Lelaki tua itu...........aku tidak tahu apa yang membuatnya kesetanan menyakitiku. AKu juga tidak tahu apa yang dia lakukan semalam. Mengapa aku terbangun tanpa busana, darah berceceran, sakit luar biasa di lubang sempitku, badanku terasa remuk, dan....... ah.....
*************

Ini sudah dua bulan pernikahanku. Teman-teman, guru akhirnya mengetahui juga perihal kepergianku dari sekolah. Menikah.

Menikah seharusnya membahagiakan. Tetapi tidak bagi aku. Menikah meninggalkan luka di hatiku. Tetapi meninggalkan kebahagiaan bagi Syekh Puji, dan orang tuaku yang kini hidup bergelimang harta.

Akhir-akhir ini namaku dan Syekh Puji santer diberitakan di televisi dan hampir semua surat kabar. Katanya pernikahanku tidak sah dan harus dibatalkan. Kak Seto, sempat-sempatnya menemui suamiku. Aku tidak mengerti apa-apa. Yang jelas aku dan orang tuaku harus terus menerus menghindar dari incaran wartawan.

Katanya Syekh Puji, suamiku telah merampas hakku sebagai seorang anak. AKu kehilangan cita-cita. Adalah pelanggaran hukum bila menikahi anak bau kencur. Secara fisik dan psikologis, anak seusiaku belum siap. Suamiku terancam hukuman atas pelecehan seksual anak dibawah umur.

Suamiku ketakutan. Jelas pamornya turun sebagai seorang kyai. Suamiku akhirnya menyerah. Dia akan membatalkan pernikahannya denganku dan akan mengembalikan aku kepada orang tuaku untuk kepentingan bersama.

Apa?!? Mengembalikan aku kepada orang tuaku? Setelah apa yang dia lakukan kepadaku? Apakah dengan mengembalikan aku kepada orang tuaku, aku akan mendapatkan kehidupanku yang dahulu. Apakah dia bisa mengembalikan keperawananku? Apakah orang-orang akan menerima aku? Gadis kecil dua belas tahun yang telah menjadi janda. Bagaimana jadinya kalau ternyata aku hamil? Apa yang harus kulakukan tanpa suami disisiku?

Demi Tuhan! Tolong jangan ganggu hidupku. Tahu apa media dan orang-orang sok suci itu tentang hidupku. Kemana mereka saat keluargaku kesulitan makan? Hingga kami haru sbergantung pada Syekh Puji? Tahu apa mereka rasanya menunggak uang sekolah berbulan-bulan? Hidup di rumah bilik, makan oblok-oblok, tidak punya pakaian layak, dan....... dan....ah.....

Lantas kemana mereka saat aku akan dinikahkan dengan Syekh Puji? Kenapa tidak saat itu aku diselamatkan? Sebelum aku kehilangan mahkotaku. Sebelum aku kehilangan impianku. Apa mereka akan peduli dengan kehidupanku dan keluargaku bila aku bercerai dengan suamiku? Apa mereka bisa melindungi dari cemoohan orang-orang kampung? Apa aku masih bisa bersekolah demi merajut mimpi menjadi seorang guru?

Entah mengapa kali ini aku ketakutan bila harus bercerai dengan Syekh Puji. Sama takutnya ketika aku dipaksa menikah. Aku memikirkan masa depanku berikutnya. Aku tidak tahu aku harus jadi apa nanti. Apa yang harus aku lakukan di masa mendatang. Menunguti serpihan kehidupan yang luluh lantak adalah hal mustahil.

Menikah terlalu dini bukan hal baik sekaligus buruk. Aku masih lebih terhormat dari gadis-gadis belia usia belasan tahun yang hamil tanpa suami! Syekh Puji adalah suami bertanggung jawab. Dia bukan seperti laki-laki ingusan yang memacari gadis-gadis belia hingga hamil.


THE END
Tanpa menyalahkan siapapun. Ulfah adalah korban yang jauh lebih terhormat dari pada anak-anak bau kencur yang hamil di luar nikah.






Tidak ada komentar: