Selasa, 28 Oktober 2008

ANTARA CINTA & OBSESI



Sebelumnya suamiku selalu bersikeras. Agar sementara waktu kita hijrah di negerinya. Sampai waktu tak tentu, hingga finansial kami cukup kuat untuk membuka usaha sendiri di Jakarta. Dua restoran uji coba di Manhattan yang didirikan bersama beberapa orang sahabat belum cukup kuat untuk melebarkan sayap di Indonesia. Terlalu dini. Terlalu ceroboh bila kami nekat tanpa perhitungan.

Suamiku pikir masih butuh banyak sekali uang. Caranya dengan melacurkan otak dan pikiran pada beberapa perusahaan finansial besar yang membutuhkannya. Demi sejumlah uang. Demi segenggam berlian. Ketika aku berandai-andai bila suatu hari nanti suamiku hijrah saja ke perusahaan di Jakarta. Agar dia tak perlu mondar-mandir menjumpaiku.

Suamiku serta merta menolak, "Aku tidak yakin!"

"Kenapa? sama saja toh, bekerja disini atau di sana. Masalah uang?" Aku bertanya dengan nada yang sedikit memaksa.
"Tidak yakin saja. Aku ingin kita bersama-sama merajut mimpi di Manhattan. Baru hijrah dengan segudang uang untuk usaha impian kita".

"Bagaimana dengan impianku?"
Aku balik bertanya.

"Mimpimu? mimpimu yang mana? Kita masih bisa bermimpi bersama bukan, merajut mimpi baru yang lebih spektakuler".

Aku hanya menunduk lemah. Aku tahu aku dan mimpiku, dan aku tahu saat perempuan sudah memasrahkan diri pada seorang kekasih maka hidupnya adalah milik sang kekasih. Sejak saat itu mimpi mungkin akan lenyap. Luluh lantak tak lagi berbentuk, yang ada hanya tinggal kepasrahan memainkan elegi cinta. Damai, indah selalu. Bersama merajut mimpi. Mungkin impian itu agak jauh melenceng, namun demi kebahagiaan bersama maka semua dikorbankan demi mimpi bersama. Bukan lagi mimpiku atau mimpimu.

Aku memang terlalu terobsesi untuk menjadi seseorang berarti. Aku adalah pemimpi yang hampir selalu tak pernah berhenti sebelum tercapai. Hampir dari semua rentetan peristiwa yang mengiringi hidupku adalah bentuk nyata dari impian masa lalu. Tentang aku yang menulis memoar cinta Saiful Malook. Wawancara di berbagai media baik cetak, TV ataupun radio. Mimpi menjadi penulis skenario. Mimpi menjadikan tulisan sebagai mata pencaharian. Mimpi akan seorang pangeran berkuda yang datang menjemputku. Dan....dan....

Suamiku? Dia adalah manusia pemimpi lainnya. Makanya aku memilih dia untuk jadi pasangan hidup. Karena aku benar-benar membutuhkan partner bermimpi untuk bersama-sama meraih mimpi. Bukan hanya sekedar pasangan hidup.

"Jadi menurutmu aku harus mengalah pada mimpi?" Aku menatap matanya tajam.

"Aku tidak pernah melarangmu untuk bermimpi. Karena aku menemukanmu sudah berkerlip bintang-bintang impian. Itu yang membuatmu sangat istimewa. Kamu menginspirasiku dengan cara yang tidak biasa. Tapi tolong jangan halangi obsesiku yang ingin memberikan terbaik untukmu, cintaku!" Sorot matanya menembus relung hatiku, penuh keyakinan.

"Please trust me! Kamu masih bisa meraih mimpi di Manhattan. Atau Washington, jika kamu masih ingin mengejar impian di media. Kemudian menjadi penulis terkenal dan....dan....Kecuali.......", tercekat menatapku tak sampai hati.

"Kecuali apa?" "kecuali kau masih ingin terus dekat dengan keluargamu. Maksudku keluarga Indonesiaku", pelan seperti tak enak hati. Ia menundukkan matanya padaku.

Sepertinya percakapan itu baru sebulan yang lalu. Ketika tiba-tiba mimpi buruk benar-benar menimpa Amerika. Suamiku tiba-tiba menyisipkan wacana baru dalam obrolan menjelang tidur.

"Menurutmu apakah ada perusahaan Indonesia yang akan menerimaku?", tanyanya tiba-tiba. Aku menatapnya, mengulitinya dengan sorot mata menyelidikku demi melihat sebentuk keraguan di dalam sana.

"Maksudmu?" "Maksudku aku ingin bekerja disini saja. Jadi guru mungkin?"

"Ha?" aku terbelalak.

"Iya.....menurutmu mungkinkah?" Aku bisa melihat keyakinannya

Aku tersenyum, "Mungkin saja......tetapi aku tidak yakin apa mereka mampu membayarmu sejumlah yang diberikan perusahaan Eropamu itu".

"I don't really care about money. Sepanjang aku bisa membayar kebutuhan-kebutuhan pokok, sudah cukup bagiku. Aku beruntung memiliki istri yang tidak pernah menuntut apapun. Lantas apalagi yang harus kucari selain terus menerus berdekatan dengan kau kekasihku. Lagipula.....kita harus bersama-sama menyaksikan ketika premier filmmu diresmikan". Dia tersenyum bungah.

Aku memeluknya khidmat.

"Terimakasih cinta, Kau tidak perlu berkorban sedemikian padaku. Beri aku waktu satu tahun lagi. Dan aku akan buktikan bahwa aku akan meraih obsesiku bersama cinta kita. Setelah itu aku akan mengubur obsesiku untuk cintaku", Aku di dalam pelukannya.

"Sayang, aku bisa memberikan kau waktu seumur hidupku. Aku mencintaimu karena Allah. Cintaku membuatku tak perlu lagi mengejar obsesi. Obsesiku hanya untuk membahagiakanmu seumur hidupku", Ia mempererat pelukannya.

Aku menangis di pelukannya, karena cintaku tak sebesar cintanya padaku. Aku takut kisah Saiful Malook merebut anganku akan ketulusan cinta seorang pangeran yang dengan tulus mencintaiku.

Suamiku memang bukan pangeran berkuda putih yang datang menjengukku seperti di negeri dongeng. Tetapi pangeran manapun tidak akan bisa menggantikan dia.

Tidak ada komentar: