Minggu, 04 Januari 2009

IBU RUMAH TANGGA

Istana Bojong Cae adalah pengalaman berumah tanggaku yang pertama. Di situ aku belajar banyak tentang hidup berkeluarga. Saling berbagi dan bertanggung jawab agar kelangsungan hidup antara sekelompok orang dengan isi kepala yang berbeda dapat terjalin dengan harmonis. Belajar memahami karakter orang lain dan menekan ego sendiri agar tidak terjadi konflik. Belajar untuk menerima pendapat, kelebihan dan kekurangan orang lain.

Walau kami hanya berkeluarga selama dua bulan. Tetapi kami memiliki pembagian tugas rumah tangga yang jelas. Siapa pun itu tidak ada yang boleh menghindarinya. Karena itu kesepakatan dari kami yang telah didiskusikan bersama. Siapa yang bertugas mengepel, menyapu, memasak, berbelanja, memotong rumput, membersihkan kamar mandi dan lain sebagainya. Bahkan kami pun harus membagi tugas, giliran mencuci. Karena kami tidak memiliki cukup banyak ruang kosong untuk menjemur pakaian. Maksudku ruang yang cukup mendapatkan sinar matahari langsung untuk tali jemuran kami. Sebenarnya ruang kosong di dapur kotor cukup luas. Namun akan membutuhkan waktu berhari-hari untuk mengeringkan pakaian. Makanya itu tidak menjadi tempat favorit untuk menjemur. Tempat itu hanya digunakan bila jatah menjemur kami sudah habis sedangkan pakaian masih belum kering benar.

Terkadang kami perempuan tidak sabar juga menunggu dua lelaki itu bangun dari tidurnya. Kami seringkali mengambil alih tugas harian para lelaki untuk membersihkan rumah di pagi hari. Tentu saja tidak dengan hati ikhlas. Tetapi dengan mulut yang terus berkomat-komat merutuk kelakuan abang dan Fian. Ketika akhirnya mereka terbangun, dan kami mengeluh dengan nada sedikit mengomel. Maka mereka hanya berkomentar pendek yang menyebalkan.

”Loh salah sendiri, seharusnya kalian tunggu kami bangun dari tidur. Itu kan tanggung jawab kami”.

”Tapi kan?” Ah lelah sekali berdebat dengan kaum lelaki. Makanya kami seringkali harus memaksa diri untuk mafhum demi ketentraman. Toh di siang hari, merka cukup banyak membantu kami. Bahkan mereka dengan senang hati berbelanja kebutuhan pokok di warung apabila kami menyuruhnya.

Ternyata abang dan Fian juga mahir memasang sumbu kompor minyak tanah. Kami perempuan hanya tinggal memakainya. Dije memiliki tugas tetap memasak nasi. Karena hanya dia yang mahir memasak nasi dengan menggunakan ketel.

Ketel itu sejenis panci yang terbuat dari besi tebal semacam baja. Cara memasak nasinya hampir serupa dengan memasak nasi di dalam rice cooker. Cukup memasukkan beras dan air kedalam ketel, masak dengan api sedang. Setelah airnya agak tiris baru, apinya dikecilkan hingga nasi matang. Hasil nasinya memang agak lembek. Tetapi kelebihannya, memasak di ketel ini anda akan mendapatkan bonus berupa kerak nasi. Setelah nasi matang dan dipindahkan ke tempat nasi hidang. Kami biasanya berebutan menyantap kerak nasi panas yang gurih dan renyah itu. Rasanya nikmat sekali. Beberapa kali aku membuatnya, dan sebanyak itu pula gagal. Nasi berubah menjadi gosong yang sesungguhnya. Bahkan rasa nasi berubah seperti bau gosong.

Kalau aku yang terpaksa harus disuruh memasak nasi. Aku akan memilih memasak nasi dua langkah. Setelah air dalam ketel mulai habis, segera mungkin dipindahkan dalam panci kukus yang airnya sudah mendidih. Baru ditanak hingga matang. Aman walau pun repot.

Di antara kami berlima hanya aku yang tidak pernah meninggalkan rumah untuk kos. Jadi aku adalah anak rumahan tulen. Tentu saja tipikal anak rumahan agak lebih rajin dibandingkan anak kos. Paling tidak aku juara bangun pagi. Karena di rumahku semenjak, aku dan adik-adikku cukup besar kami sudah tidak memiliki pembantu. Aku terbiasa bangun pagi sebelum jam lima pagi untuk shalat subuh dan membantu ibuku menyiapkan sarapan sekaligus makan siang. Maklumlah, ibuku juga seorang wanita karir. Maka kehidupan kami sudah dimulai sejak pagi buta. Tepat jam enam pagi, masing-masing dari kami sudah berpencar. Ada yang ke kantor, sekolah dan kampus.

Siang hari, ibuku tak perlu cemas lagi bagaimana makan siang anak-anaknya. Karena beliau sudah menyiapakannya sejak pagi buta. Baru malam hari, kami biasanya bergantung pada penjaja makanan untuk makan malam kami.

Jadi aku sudah terbiasa untuk sarapan pagi. Berbeda dengan keempat orang temanku di Istana Bojong Cae yang merupakan anak kosan. Mereka hampir tidak pernah sarapan. Kalau tidak ada jadwal kuliah pagi, mereka akan bangun sesuka hati. Bangun setelah jam sembilan pagi. Setelah membersihkan diri dan bersiap ke kampus, mereka merapel sarapan mereka dengan makan siang. Hemat dan praktis. Atau kalau memang terpaksa, sebelum pergi menjerang air hingga mendidih untuk memasak mi instan dengan telur. Tetap praktis dan hemat, namun makan tetap teratur. Walau pun lama-lama tanpa mereka sadari itu akan merusak tubuh mereka.

Kebiasaan itu terbawa di Istana Bojong Cae. Selepas shalat subuh biasanya mereka melanjutkan mimpi hingga jam delapan pagi untuk perempuan sedang lelaki bisa lebih dari itu. Hanya kelaparan yang akan membangunkan mereka. Saat bangun, mereka berebutan menyerbu dapur untuk memasak mi instan. Sedang aku?

Saat itu aku sedang melaksanakan sumpah untuk tidak makan mi dan sejenisnya hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Mungkin bagi anda yang telah membaca dan menyimak dengan baik novel perdana Surat Cinta Saiful Malook mengetahui hal itu. Bahwa aku yang semula pencinta mi dan menganggap mi adalah kesenangan memutuskan untuk tidak lagi menyentuh mi setelah aku kehilangan Saiful Malook. Sepertinya aku terilhami oleh sumpah Patih Gajah Mada yang tidak akan makan buah palapa sebelum dapat mempersatukan nusantara. Sedang aku memilih untuk tidak makan mi dan sejenisnya sebelum aku akhirnya menemukan tambatan hati.

Akhirnya aku memang berhasil untuk tidak makan mi selama hampir lima tahun. Tidak hanya mi, tetapi juga kwetiau, bihun, spaghetti, soun, dan lain sebagainya. Baru kurang lebih sepuluh bulan aku menikah, aku mulai lagi menyentuh mi. Itu pun aku sudah mulai kehilangan selera akan kelezatan mi, setelah sekian lama meninggalkannya. Mungkin karena metabolisme tubuhku sudah mulai menyesuaikan diri dengan keadaan itu, terbebas dari racun-racun pengawet dan zat penguat rasa yang tersimpan di dalam mi instan.

Maka aku memutuskan untuk bangun pagi dan menyiapkan sendiri sarapanku. Aku juga tidak egois, manalah mungkin aku menyiapkan makananku sendiri. Layaknya ibu rumah tangga, aku juga memikirkan anggota keluarga yang lain. Sepertinya tubuh mereka juga berhak mendapatkan asupan gizi yang baik.

Setiap hari aku menjadi juru masak tetap. Setiap pagi saat abang, Dian, Dije dan Deci bangun. Pasti di meja makan sudah terhidang makanan untuk sarapan, bahkan untuk makan siang. Menunya berganti-ganti setiap hari, bisa nasi goreng special, atau nasi biasa dengan aneka sayur dan lauk pauk yang bis dinikmati hingga siang bahkan malam hari. Sayur bayam, sayur asam, bakwan, balado ikan pindang, bandeng presto goreng, cah kangkung, pepes ikan mas, ikan teri dan kacang, sop, sambal adalah sebagian menu sehat yang biasa terhidang di meja makan hasil buatanku.

Makananku berciri khas pedas. Atau setidaknya bila itu masakan yang tidak lazim dibuat pedas seperti sup. Maka aku akan membuatkan sambal tomat super pedas sebagai pendampingnya. Atau lauknya yang dibuat pedas. Mulanya Fian agak terganggu dengan tingkat kepedasan masakanku. Beberapa hari pertama aku memasak dia terserang mules dan diare. Namun selanjutnya dia mulai terbiasa dengan masakanku. Begitu juga dengan abang, Deci dan Dije yang memang sama sekali tidak bermasalah dengan masakanku. Malahan sepanjang dua bulan kami di Bojong Cae. Bobot kami bertambah lima kilo. Pipi kami semakin tembem, badan kami menggemuk. Itu tanda kami makmur dan kerasan tinggal di Istana Bojong Cae. Padahal makanan yang kami buat terbilang sederhana. Kami tidak pernah minum susu atau makan daging-dagingan.

Dije juga cukup ahli dalam memasak makanan khas Medan. Beberapa kali dia membuat gulai nangka, gulai berisi daun singkong tumbuk, rendang kentang dan sayur yang menggugah selera. Ciri masakannya adalah bersantan kental dan berbumbu layaknya masakan Sumatera. Dan tentu saja tanpa gula putih sebagai penyedap seperti kami orang dari suku Jawa.

Deci juga pandai membuat masakan rumahan. Namun dia memiliki satu kelemahan. Dia seringkali kehilangan selera untuk memasak. Dia membutuhkan suasana hati yang mendukung untuk memasak. Memasak bukan sebuah kebutuhan baginya. Masakan andalannya adalah kering tempe pedas. Dia tidak pernah lupa membubuhi masakannya dengan micin sebagai penyedap. Itu yang membuat kami seringkali terlibat perdebatan panjang tentang bahaya micin bagi kesehatan.

Padahal Deci adalah ahli gizi. Seharusnya dia lebih tahu tentang bahayanya dibanding aku yang calon sarjana pertanian. Namun dia terus-menerus menyodorkan argumentasi bahwa belum ada penelitian yang membuktikan tentang bahaya micin. Aku menawarkan solusi untuk menggantinya dengan gula putih atau jika terpaksa Royco. Tetapi dia tetap memilih micin sebagai bagian dari racikan bumbu.

Sekali waktu Deci bereksperimen membuatkan tumis oncom. Alih-alih membuat hidangan istimewa, kami semua malah mual dibuatnya. Oncomnya masih mentah, karena Deci memasaknya sekejap dengan harapan agar masih ada vitamin yang tersisa di dalamnya. Kontan aku segera memasak ulang tumis oncom itu dan menambahkan beberapa biji cabe rawit untuk memperbaiki rasanya. Terus terang aku baru tahu kalau oncom memiliki kandungan gizi yang akan hilang bila terlalu lama dimasak.

Fian juga bisa memasak. Tetapi itu hanya untuk memenuhi hasrat nafsu makannya yang tak kunjung hilang walau sudah makan banyak. Merebus mi instan, menggoreng telur mata sapi atau membuat eksperimen tempe goreng yang renyah dengan banyak garam. Alhasil tidak ada yang menyentuh tempe gorengnya kecuali dia karena keasinan. Tempe itu perlu dicemplungkan ke dalam bak mandi untuk menghilangkan rasa asinnya yang luar biasa.

Abang terbilang cukup cekatan sebagai seorang lelaki. Dia memiliki lebih banyak pengetahuan untuk memasak yang baik dan benar. Selain telur mata sapi, mi instan, telur berbumbu, tempe goreng, dia juga pandai menggoreng nasi. Satu hal yang tidak dipisahkan olehnya dalam ritual makannya adalah kecap asin. Kebutuhan abang akan kecap asin dalam sebulan melebihi jumlah kebutuhan kecap manis untuk kami sekeluarga. Entah hal apa yang membuatnya begitu menggilai kecap asin.

Beberapa kali kami juga kedatangan tamu yang melebihi jumlah piring yang kami miliki. Maka kami mengakalinya dengan mengambil daun pisang dan memotongnya untuk piring alami. Bila kedatangan tamu, aku yang paling sibuk menyiapkan hidangan layaknya ibu rumah tangga. Makanya tidak mengherankan bila aku dijuluki upik abu. Wajahku sering terlihat kusam tertutup oleh coreng-moreng hitam angus. Badanku bau asap. Dan aku memiliki lebih banyak tato dibanding siapapun di Istana Bojong Cae. Tato akibat pergulatanku dengan kompor dan minyak panas.

Pernah sekali waktu tangan kananku terkena minyak panas. Aku menjerit sejadi-jadinya. Saat itu hanya ada Fian. Fian yang sedang asyik menonton televisi di ruang tamu, tergopoh-gopoh menghampiriku di dapur yang sedang meringis kesakitan sembari memegangi tangan yang melepuh. Sejenak Fian terlihat panik melihatku begitu. Dia berlari ke kamar mandi mencari odol. Kemudian meraih tangan kananku, dan mengolesinya dengan odol. Dia juga yang mengipasi tanganku dengan kipas sate. Sambil berkali-kali meyakinkan dirinya bahwa aku tidak apa-apa.

”Kamu tidak apa-apa kan?” Menatap mataku yang sendu. Aku hanya menggeleng pelan sambil meringis kesakitan. Itu kecelakaan rumah tangga terparah yang pernah terjadi dalam hidupku.

”Ya sudah biar aku gantikan saja masaknya. Sudah sana kamu istirahat!” Kami saling bertatapan. Aku sekedar meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja bila aku menyerahkan tugasku kepadanya. Setelah aku yakin, tanpa menunggu aba-aba berikutnya aku segera berlalu dari hadapannya menuju kamar. Aku tidur sepanjang hari. Aku benar-benar ingin melupakan kecelakaan itu.

Luka bakar itu cukup parah. Keesokan harinya tanganku benar-benar melepuh. Keseluruhan permukaan tangan tertutup dengan gelembung air yang mengerikan. Bentuknya benar-benar mengerikan dan menjijikkan. Butuh waktu hampir seminggu untuk memulihkannya. Itu pun tangan kananku masih meninggalkan tato hingga enam bulan kedepan.

Tidak ada komentar: