Rabu, 21 Desember 2011

Surat Resign



Berikut adalah surat resign saya untuk teman-teman tercinta di sarang elang. Sepertinya lucu kalau dishare di sini. Baca yah....

Beberapa hari ini tiba-tiba saya mengalami sakit kepala yang teramat. Hari yang menakutkan dalam sepanjang hidup saya akhirnya akan segera terjadi. Saya akan mengundurkan diri secara resmi dari kantor pemberitaan tempat saya menghabiskan masa-masa indah selama 4 tahun ini.

Saya sudah memikirkan masak-masak keputusan saya ini selama hampir setahun lebih. Namun tetap saja menjelang detik-detik kepergian saya dari sebuah tempat yang saya anggap ‘surga’ ini saya sedih sesedih-sedihnya. Kalau saya boleh melukiskan perasaan saya selebay-lebaynya. Maka ini adalah kesedihan paling mengerikan sepanjang sejarah saya. Rasanya baru kemarin saya melamar, tes dan akhirnya menjadi bagian dari hidup saya selama 4 tahun belakangan. Dan kini saya sudah harus pergi membawa luka. Luka akan perpisahan yang menyedihkan.

Ingatan saya tiba-tiba mundur ke belakang, tepat pada tanggal 3 September 2007.
Saya berjalan menyusuri lorong dengan interior desain mewah ala hotel. Masih dengan kekaguman, mataku menerawang pada setiap detil lorong. Sesekali mengintip sepintas lalu dari kaca pintu-pintu yang tertutup rapat. Rasa ingin tahu saya yang besar di antara segenap kekaguman yang membuncah mendorong saya untuk mencari tahu ada apakah gerangan di dalam pintu-pintu yang mirip kamar hotel itu. Bila gelagat saya tertangkap mata orang yang lalu-lalang, saya buru-buru mengalihkan pandangan ke permadani cantik yang menutupi seluruh lantai di lorong. Lagi-lagi otak saya sibuk menghayalkan apakah di balik karpet itu ada ubin keramik, marmer atau malah tanah. Ah tak penting….

Saya masih berjalan di lorong yang sebetulnya tidak terlalu panjang. Namun saya menikmati sekali setiap langkahku. Ini kali pertamaku menginjakkan kaki di sebuah kantor pemberitaan. Hari ini ada serangkaian tes yang harus saya lalui. Bila saya mampu melewatinya, maka dalam bilangan minggu saya akan menjadi bagian dari tempat ini. Perasaan senang tiba-tiba menyeruak tanpa permisi dari dalam hati. Namun segera saya tepis dengan kegalauan alami yang mengalir begitu saja. Galau, khawatir, berdebar, semua bercampur menjadi satu. Saya menghentikan langkah sejenak demi membenarkan posisi tas tangan, menarik nafas dalam dan menghembuskannya kembali secara perlahan demi sebentuk perasaan lega. Kemudian saya melangkahkan kaki dengan gagah layaknya seorang prajurit yang siap bertempur di medan laga.

Akhirnya saya menemukan meja bundar besar di dekat dua mesin fotokopi. Saya sedikit celingak-celinguk memastikan bahwa saya tidak salah menafsirkan petunjuk ibu-ibu personalia yang baru beberapa menit lalu kutemui. Damn! Tidak ada tulisan atau papan nama yang memberikan sedikit informasi tentang ruangan apa itu.

Saya sempat menghentikan langkah lagi. Kali ini saya mengedarkan pandang pada lebih dari 5 orang berpakaian hitam putih sama seperti yang saya pakai. Terlihat dari ekspresinya, mereka pasti sedang menantikan sesuatu. Kesemuanya perempuan, kecuali satu-satunya laki-laki berbadan tinggi tegap, dengan rahang yang kuat, berkulit agak gelap, hidung sedikit mancung dan bermata polos. Dia satu-satunya makhluk ganteng di antara sejumlah perempuan yang mengelilingi meja bundar.

Saya pun menghampiri mereka, sambil sedikit berbasa-basi. Dari situ saya tahu bahwa mereka semua sedang menantikan hal yang sama dengan diriku.

“Silahkan!” Lelaki tegap itu berdiri dan menyorongkan kursinya kepadaku sebagai isyarat dia mempersilahkan saya duduk.
” What a gentleman…” dalam hati saya berseru.
Serius?!?”
“ Tentu saja serius….”
Tanpa banyak cingcong saya pun menghempaskan pantat ke kursi kulit imitasi berwarna hitam itu.

“Terimakasih…”

“ Sama-sama…” Pria itu kelihatannya masih bersikap sok gentleman.

“ Ohya saya Risma….” Saya mengulurkan tangan kepadanya. Mata kami saling bersirobok. Tangannya meraih tangan saya dan kami pun berjabatan.

“ Yusuf…”

Yusuf adalah salah satu dari sepuluh orang pertama yang saya kenal di kantor itu. Yusuf yang fresh graduate dari universitas yang sama dengan saya. Sehari kemudian akhirnya saya tahu, dia adalah bagian riset dari divisi tempat saya ditempatkan.
Yusuf yang polos adalah sasaran empuk untuk digoda. Kelucuan demi kelucuan terjadi begitu saja tanpa permisi oleh tingkah polahnya yang lucu. Yusuf yang memiliki wajah mirip Presiden Amerika Serikat, Barack Obama hanya mengenal hitam dan putih, tidak ada abu-abu. Namun Yusuf terlebih dahulu lulus dari kantor pemberitaan itu.

Yusuf adalah salah satu dari sekian banyak teman yang menoreh kisah manis di dalam hidup saya sepanjang berada di divisi marketing. Masih ada Resti, Christi, Ugi, Wahyu, Kristin, Dewi, Tari, Hanum, Mas Ari, Mbak Viza Ci Catherine, bos kami yang cantik dan baik, Wiwit dan Fahmi.

Walau saya tahu, Desember 2011 adalah bulan terakhir saya di tempat ini. Namun hingga hari ke-15 di bulan Desember 2011, saya masih belum bergeming. Saya belum juga menyerahkan surat resign yang sudah saya buat sejak dari jauh-jauh hari. Beberapa malah menyangsikan kesungguhan saya untuk pergi, mengingat saya sudah berkali-kali mengurungkan niat untuk mundur.

Sudah beberapa bulan ini saya memang berhenti melihat kalender kalau tidak terpaksa. Saya tidak tahu tanggal secara persis. Saya hanya tahu hari bekerja dan tidak bekerja. Saya hanya merasa takut kalender akan mengingatkan saya bahwa saya kian dekat dengan hari kepergian saya. Lagipula saya benar-benar sedang disibukan oleh sejumlah urusan yang menguras pikiran saya.

Beberapa kali Mas Agus, Mas Fatah, juga Mas Sofyan menanyakan kesungguhan saya untuk mengundurkan diri dan meminta saya untuk memikirkan berulang kali. Berulang kali saya berusaha meneguhkan diri saya. Bermalam-malam saya tidak bisa tidur sebelum larut malam. Ada semacam ketakutan tak terkira bila saya harus berpisah dengan kehidupan yang indah selama 4 tahun ini.

Tiba-tiba saya teringat dengan impian masa kecil saya selain menjadi penulis besar. Dulu saya penggemar serial Ninja Turtle Teenage Mutant, salah satu idola saya adalah April O’Neal tokoh reporter perempuan yang bekerja untuk Channel 6. Maka saya ingin sekali bekerja di sebuah kantor pemberitaan. Ketika beranjak dewasa, saya hanya menemukan satu-satunya kantor pemberitaan di Indonesia hanya Metro TV. Maka disanalah saya bercita-cita.

Saya hampir kehilangan cita-cita ketika saya malah menjadi lulusan Sarjana Pertanian IPB. Saya tahu bahwa mungkin takdir saya akan berakhir di sebuah perkebunan kelapa sawit. Ternyata takdir malah berkata lain. Lulus IPB, bekerja di sebuah shipping company, menelurkan satu novel perdana yang memperkenalkan saya pada Metro TV. Saya dipanggil untuk live interview sebagai narasumber di sebuah morning program. Dan setahun kemudian malah saya resmi bergabung di sarang elang.

Saya bahagia, walau mungkin saya tidak pernah menjadi bagian dari garda depan kantor pemberitaan seperti yang saya impikan. Tetapi setidaknya bakat menulis saya tersalurkan. Tipikal Pisces, saya bukan pengejar materi ataupun karir. Saya bekerja sungguh-sungguh untuk kepuasan batin saya. Ketika kebanyakan orang di luar sana merutuki gaji atau karir yang tidak naik-naik, saya hanya tersenyum. Saya bersenang-senang dengan pekerjaan saya. Saya bahagia dikelilingi orang-orang baik yang membuat saya merasa nyaman. Siapa nyana dua novel saya malah terbit di sini, satu novel yang menunggu terbit juga terilhami oleh kisah-kisah indah di sarang elang.

Saya bangga menjadi bagian dari sekumpulan elang. Secara perlahan filosofi elang merasuk dan membuat saya ikutan militan. Saya bersyukur saya tidak merasa ikut berdosa menjadi bagian yang merusak moral bangsa melalui tayangannya. Saya bangga bisa berdekatan dengan orang-orang cerdas yang terpilih dari berbagai latar belakang.
Tempat ini seperti rumah kedua bagi saya. Bahkan mungkin lebih dari separuh hidup saya selama 4 tahun ini dihabiskan di kantor. Rumah hanyalah tempat numpang tidur. Selebihnya saya menghabiskan masa-masa indah yang penuh tawa di kantor.

Ketika hati saya terluka oleh badai yang menghempas hidup saya. Maka kantor adalah pelarian yang manis. Seketika luka saya lenyap mendengar celoteh teman-teman tercinta di kantor. Tertawa terbahak-bahak sampai saya lupa kesedihan saya. Sesampainya di rumah, selalu ada cerita yang bisa disampaikan untuk orang-orang terkasih. Di akhir cerita mereka yang mendengar kisah saya selalu berkata, “ what a wonderful office life...”

Saya tidak peduli dengan office politic. Saya bersenang-senang dengan pekerjaan saya di kantor. Mungkin karena saya memang tidak perlu memikirkan uang atau karir. Alhamdulillah, Tuhan memberikan saya talenta untuk mendapatkan pendapatan lain selain gaji.

Pada dasarnya saya adalah pribadi yang ceria. Saya hampir tidak pernah mengkhawatirkan hal-hal remeh. Saya extrovert yang sangat ekspresif. Semua orang bisa tahu kapan saya sedang bahagia, kapan saya sedang gundah gulana. Saya suka bercerita tentang hayalan-hayalan, kucing-kucing ataupun hal lain yang mengundang tawa. Begitupun saya suka mendengarkan.

Suara saya yang memekakan telinga, gaya saya yang extra-ordinary menjadi icon tersendiri. Dan teman-teman akan cemas bila saya kehilangan itu semua. Sesuatu pasti sedang terjadi.

Suatu kali memang saya membisu selama hampir sebulan. Saya sedang dirundung sedih teramat hingga tak sanggup berkata-kata. Itu pun sudah membuat seisi ruangan resah. Suara saya kembali bersamaan dengan kemunculan novel saya. Pernah juga saya membuat kehebohan dengan menangis karena hal yang bahkan saya tidak mengerti ujung pangkalnya. Saya sedang dalam keadaan tertekan maka hal kecil bisa saja membuat saya menangis. Selebihnya saya hanya tertawa dan tertawa. Saat-saat ke kantor adalah hal yang paling menggembirakan.

Tahun lalu, 26 Oktober saya mengalami kecelakaan terparah dalam hidup saya yang hampir membuat saya kehilangan tangan kanan saya. Saat saya sedang terbaring tak berdaya sendirian di ruang ICU dengan wajah sembab menahan sakit yang teramat. Senyum Mas Sofyan dan Mas Fatah lah yang pertama kali saya lihat. Mereka yang menguatkan hati saya.

Menjelang detik-detik operasi, mbak Besti datang bersama sang suami membawakan setumpuk majalah sebagai hiburan selama menjalani masa perawatan pasca operasi. Dan Bang Parlin, salah seorang karyawan senior yang juga pendeta datang hanya untuk mendoakan agar Tuhan melindungi saya. Dan saya menangis haru seharu-harunya.
Setelah itu kunjungan tak ada habis-habisnya dari teman-teman kantor. Belum lagi gerombolan marketing yang menghebohkan satu lantai rumah sakit karena kami tertawa-tawa heboh. Saya tidak peduli lagi dengan anjuran dokter untuk beristirahat total. Saya bahagia didatangi teman-teman saya.

Ah, betapa saya menemukan surga di tempat ini. Hidup saya penuh warna dengan kehadiran teman-teman saya. Saya jatuh cinta. Dan saya terpasung dalam cinta. Saya hampir tak memikirkan nasib saya yang masih menggantung hingga seorang malaikat tanpa sayap meyadarkan saya, bahwa mungkin tempat ini bukanlah tempat yang tepat untuk meraih mimpi.

Berkali-kali saya hampir mengikat janji dengan kantor lain. Dan ketika saya mempergunakan waktu saya untuk menimang-nimang keputusan saya. Saya kembali bercengkrama dengan teman-teman saya. Tiba-tiba saya merasa seperti berkhianat. Entah berkhianat pada apa dan siapa. Saya malah serta merta memutuskan untuk mundur sebelum mengikat janji.

” Kamu tidak perlu pergi...” Suara Fred menyadarkan lamunan saya. Mata saya berkaca-kaca. Saya tersenyum kepada teman saya yang paling sering meledek saya.

” Harus, bukannya kamu senang. Kamu kan yang sering meledek aku?”

” Sejak kapan kamu mengambil hati ledekanku?”

Dalam hati saya gamang segamang-gamangnya. Saya hampir tidak yakin dengan jalan yang akan segera saya tempuh. Belum lagi kalau harus mengingat semuanya tiba-tiba berjalan tidak sesuai rencana.

Ketika saya berkata dengan lantang untuk menegaskan bahwa perkataan saya kali ini adalah benar. Saya benar-benar akan menyerahkan surat resign itu. Maka Fred mengancam saya untuk merobek-robek surat itu.

Kali lain Mas Fatah menanyakan apakah saya sudah menyerahkan surat pengunduran diri karena pihak HRD tidak bisa memproses orang baru, kalau saya belum menyerahkannya. Saya menelan ludah. Benar juga, saat itu sudah tanggal 15 Desember. Saya segera menyeret langkah saya menuju bangku. Tangan saya gemetar membuka file surat resign yang sudah lama tersimpan dalam flash disc saya. Tiba-tiba saja air mata saya menetes tanpa ampun lagi. Saya menunduk, berusaha keras menahan diri agar tidak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah puas menangis, saya segera menghapus air mata saya. Saya tatap sekali lagi surat resign di layar. Saya harus menarik nafas dalam-dalam untuk meneguhkan hati.

Tiba-tiba terdengar suara yang entah bagaimana terdengar begitu jelas di telinga saya, ” Ayolah Risma, bukankah ini yang sudah kamu rencanakan sejak jauh hari? Sekarang atau tidak sama sekali!”

Baru saya akhirnya memberanikan diri untuk menge-print surat itu. Tekad saya memang sudah bulat untuk memulai hidup baru di tahun baru. Saya harus, atau selamanya saya akan terpasung dalam cinta.

Setelah saya mengeprint surat pengunduran diri. Saya tersenyum getir. Sejenak saya berdiri terpaku memandang satu persatu teman-teman saya yang sedang asyik berceloteh sambil bercanda ria. Dalam bilangan hari saya akan kehilangan semua tawa, canda dan keceriaan ini. Tidak ada lagi yang mengolok-olok dan membuat saya kesal sekaligus tertawa terbahak-bahak hingga sakit perut.

Saya masih tersenyum, namun dengan luka hati yang menganga akan sebuah perpisahan. Tidak akan ada lagi suara cempreng Mas Sofyan yang menceriakan. Tidak ada lagi senyum manis dan candaan garing Mas Agus, yang juga seorang dosen. Tidak ada lagi Bang Parlin yang berceramah tentang jalan kristus. Tidak ada lagi cerita tentang Mas Miko, sang seniman nyentrik yang selalu berpikiran ‘out of the box’. Tidak bisa lagi melihat wajah Mas Fatah yang mirip dengan Mario Teguh. Tidak bisa lagi melihat ulah genit Endang menggoda para pria atau saat dirinya galau menanti Pangeran Fiji-nya. Atau ulah si Putri Nanet saat sedang berada di depan cermin.

Tidak akan ada lagi ejekan dari Fred, preman Labuhan Bajo yang takut akan kucing atau bulu-bulu. Celoteh si jenius Agung tentang para gadis yang ditaksirnya namun tak pernah dapat diraihnya.

Kemana saya harus beli pulsa kalau tidak kepada Emiria atau sekedar mendengarkan kisah-kisah hidupnya sambil naik motor berdua saja. Siapa lagi yang harus dibangkitkan rasa percaya dirinya kalau bukan Bedu si petualang.

Saya pasti akan ketinggalan cerita Lian dan bayi yang akan lahir. Saya mungkin tidak akan bertemu Rima saat dia masuk nanti. Saya pasti tak bisa lupa ketegasan sikap Mas Syaiful menantang AE yang ’bandel’. Saya pasti rindu ketegangan saat Imam Alawi menyetir mobil di jalan tol dengan kecepatan sangat tinggi hingga saya pikir saya akan mati, atau video lucunya yang menunjukan ’sisi lainnya’.

Saya pasti tak akan lupa aksi gila Meitha di tempat karaoke atau keberuntungan demi keberuntungan yang dia dapat dari setiap kuis yang diikutinya. Si cerewet Fina saat mengingatkan report.

Kang Azzust dan kulet-kuletnya (kulet adalah kue pelet dari para perempuan yang menggilainya). Saya pasti merindukan saat-saat kabur dari kantor hanya untuk window shopping dengan Nova. Atau senyuman Mbak Besty saat melihat ulah saya melancarkan serangan balasan kepada Kiki si motion grafis yang berulangkali mencandai saya. Saya pasti rindu bekal makan siang buatan ibu Yani sang sekretaris.

Saya pasti rindu saat-saat berwisata kuliner dengan mobil besar Mas Murti bersama teman-teman dah Rahmat. Saya pasti tak akan lupa dengan Brigitta yang saya jadikan tokoh dalam salah satu novel dan calon FTV saya. Saya juga pasti akan rindu mendengar kisah Marina dan LDR-nya. Sandy dan gayanya yang mengingatkan saya pada salah satu personil band. Saya pasti akan kehilangan Martinus sebagai partner belajar bahasa Spanyol. Juga suasana menegangkan saat Bu Yasmin datang.

Saya pasti akan selalu ingat bagaimana Pak Arief dengan sedemikian mempesonanya mengeluarkan ide-ide cerdas pada setiap meeting. Atau tingkah polah para AE yang terkadang menggelikan. Sani, Heru, Mbak Tatu, Sinta, dan lain-lainnya. Saya pasti rindu si elang ganteng yang berdiri angkuh di depan lobby 2. Begitu pun saya akan rindu masakan ala cafe yang entah bagaimana jarang sekali sesuai selera saya.

Saya akan rindu para satpam dan resepsionis yang menyapa saya ramah sambil bercanda-canda ria. Saya akan rindu senyum manis Pak Tua penjaga masjid saat saya datang atau ketika dia baru saja menemukan kejutan untuknya yang saya sembunyikan di dalam lemari mukena. Saya rindu wajah-wajah senyum yang menatap saya di sepanjang koridor. Dan mungkin saya akan rindu kucing-kucing kantor.

Sepertinya lay out ruang baru merupakan pertanda bahwa kemesraan marketing memang harus berakhir sampai disini. Saya benci mengatakan kata berpisah. Saya bangga pernah menjadi bagian dari hidup kalian. Saya ingin bilang, I love you all. Maafkan bila selama ini saya banyak salah.

Tidak ada farewell party, saya tidak akan merayakan hari perpisahan saya yang sulit. Saya bahkan tidak tahu apakah saya sanggup mengucapkan selamat tinggal di hari akhir saya. Mungkin saya akan lebih banyak diam di hari-hari terakhir ini. Saya sedang mudah menangis....mellow terbawa suasana.

Semuanya akan berhenti sampai di sini. Mungkin jikalau pertemanan kita masih berlanjut, semuanya pasti akan berbeda. Tidak akan sama. Semuanya berubah. Pertemuan dan perpisahan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, karena perpisahan akan membawa kita akan pertemuan yang lain. Setiap manusia harus menyiapkan mental untuk keduanya.

Akhirnya dalam bilangan hari saya akan segera pergi meraih asa. Semoga asa itu membawa kebahagiaan, keceriaan yang lebih dan tidak bisa saya temukan ketika kita bersama. Saya akan merajut masa depan yang selama ini hanya mimpikan. Cerita telah usai sampai di sini, namun kenangan akan kalian akan selalu ada di hati saya.
#Bersambung ke bagian ’Ketika Saya Memilih Passion”#

Selasa, 12 Juli 2011

NEVER SAY GOODBYE, VIZA!




Hari ini lagi-lagi aku akan kehilangan satu orang penting dalam hidupku. Orang yang sedikit banyak telah membantu aku memaknai hidup yang tak selalu manis. Bahwa terkadang hidup juga harus kecut bahkan pahit.

Namanya Teja Ofteviza. Namun aku biasa memanggilnya dengan sebutan Mbak Viza. Kupanggil mbak, karena dia lebih senior beberapa tahun di atas aku.

Perkenalanku dengannya layaknya perkenalan dengan teman-teman kantor lainnya. Saat itu aku masih perawan kencur di kantor pemberitaan itu. Dengan malu-malu kusodorkan tangan kepada perempuan manis yang kurus di hadapanku.

"Viza..." Dia tersenyum padaku sambil meraih tanganku.

"Risma..." Aku jawab dengan senyum yang tak kalah manis.

" Dari IPB?"

" Iyah..."

Mbak Viza mengangguk dan dia segera melanjutkan pekerjaannya. Aku melirik sekejap deretan angka dan tabel-tabel yang bertebaran di layar monitornya yang sungguh tidak aku mengerti. Aku pun segera beringsut menghampiri penghuni ruang marketing lainnya.

Belakangan aku tahu, Mbak Viza adalah senior riset marketing di kantor pemberitaan itu. Dialah orang di belakang layar yang meramu data AC Nielsen menjadi laporan yang digunakan para decision maker untuk berdiskusi dan bertindak. Dia juga yang membuatkan data 'maha penting' untuk para account executive kami berjualan iklan.

Latar belakang statistika dari sebuah universitas ternama bernama IPB membuatnya memiliki nalar logis yang melebihi orang-orang kebanyakan. Semua didasarkan atas sebuah fakta yang dapat dipertanggung jawabkan. Dia selalu menggelitik pikirku yang sangat imajinatif dengan hal-hal riil. Dia selalu membuat hipotesa berdasarkan asumsi yang kelihatannya sudah dipikirkan masak-masak dengan memakai teori statistika. Kelihatan sekali pasangan hidupnya yang juga ahli riset, mencekoki alam pikirannya dengan hal-hal logis dan 'berat'.

Selanjutnya, dia menjadi 'partner in crime' yang tidak terpisahkan. Terutama dalam hal belanja dan diskon. Dimana ada aku hampir selalu ada dia. Puri Mall, Taman Anggrek, Tanah Abang, Sarinah menjadi saksi bisu betapa aku dan dia telah menghabiskan masa-masa ceria kami bersama.

Dia mirip ibuku, Sagitarius. Kalau menginginkan sesuatu harus terjadi saat itu juga. Walau akhirnya dia akan menyesalinya nanti.

Masih ingat bagaimana hebohnya dia ketika menginginkan sepasang sepatu crocs warna putih seharga 500 ribu. Dia nekat menjemput sepatu impiannya di sebuah pusat perbelanjaan Sudirman saat lunch break. Dan dia tidak melupakan aku, dia pun membelikannya untukku.

Mbak Viza adalah online shopper yang tidak pernah kapok walau sudah ditipu berkali-kali. Kepribadiannya yang sangat independen hampir tidak membutuhkan nasihat orang lain.
Satu hal yang membuat aku terkagum-kagum dengannya adalah dia satu-satunya perempuan tangguh di tim kami dengan jarak rumah ke kantor terjauh. Setiap hari Bogor-Jakarta-Bogor bukanlah hal yang mudah bagi ibu beranak dua.

Pagi-pagi buta saat kebanyakan warga Jakarta termasuk aku, masih di alam mimpi. Dia sudah bangun dan berjibaku dengan aktivitasnya. Memacu motornya dari rumah ke stasiun Bogor. Naik KRL Express tujuan Gondangdia. Dari Gondangdia, dia kembali memacu motor yang dititipkannya ke Kedoya.

Bisa dipastikan, dirinya hampir selalu tidak bisa datang tepat 8.30 pagi. Namun sebelum jam 9 dia sudah tiba di ruangan dengan penuh peluh, namun tetap dengan wajah penuh senyum. Semangat yang menyala-nyala. Tepat jam 17.30 dia sudah melesat memacu motornya, mengejar kereta. Bayangan dua anaknya sudah menari-nari di matanya.

Sekalipun jarak yang teramat jauh untuk ditempuh, Mbak Viza tetap berusaha untuk profesional. Satu-satunya alasan dia tidak masuk selain cuti tahunan adalah sakit anaknya. Atau dia benar-benar sudah tak berdaya untuk mengejar kereta. Dia selalu berkata, betapa malunya bila dia harus membolos karena alasan yang dibuat-buat. Tentu saja kata-kata itu menjadi tamparan tersendiri buat aku. Kala aku sedang tak bersemangat 'ngantor' maka bayangan Mbak Viza yang mengejar kereta dengan penuh peluh adalah semangatku.

Suatu kali di salah satu pusat perbelanjaan tempat aku dan dia menghabiskan waktu untuk shopping dia berkata.

"Aku mau resign."

Tentu saja aku mendelik dan membuatku hampir tersedak oleh minuman dingin yang sedang kuseruput. Hal itu membuatku terkejut, karena kutahu dia adalah superwoman yang paling loyal di tim-ku. Masa 9 tahun pengabdian adalah buktinya.

Dan dia mengangguk, sambil buru-buru mengalihkan pandangannya. Dia menyeruput lemon ice tea-nya.

Lagi-lagi mbak Viza menatapku yang penasaran. Dia terlihat menghela nafas demi membentuk kekuatan.

"Aku berusaha keras menjadi ibu yang baik buat Darell dan Abel.Tidak mungkin karir profesional selaras dengan karir sebagai ibu dan istri. Harus ada yang dikorbankan."

Suara mbak Viza semakin parau.

"Aku hampir tidak bisa melihat tumbuh kembang anak-anakku.Aku pergi saat mereka masih tertidur dan tiba di rumah saat mereka sudah beranjak tidur. Aku terlalu lelah. Perjalanan Jakarta-Bogor yang sudah 9 tahun kutekuni kini terasa cukup melelahkan.Rasanya sudah saatnya aku memutuskan memilih salah satu. Dan aku tidak mau lagi mengorbankan keluargaku demi materi."

Sejak pembicaraan itu berbulan-bulan lalu. Mbak Viza berusaha keras membulatkan tekadnya yang berulang kali nyaris batal. Dia memikirkan bagaimana jadinya jadi Full Time Mommy yang bergantung 100% pada gaji suami.

Pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana dia mengatur uang yang hanya bersumber dari gaji suami? Bagaimana dia bisa memenuhi gaya hidup sebelumnya? Bagaimana dia mencari penghasilan tambahan tanpa mengorbankan keluarga agar dapur tetap mengebul? Dan pertanyaan-pertanyaan lain berseliweran di pikirannya.

Dan akhirnya dia telah memutuskan setelah melewati pergulatan batin. Berkali-kali dia berdialog dengan Tuhan melalui istikharah. Dan dia belajar ikhlas akan keputusannya. Dia yakin Allah Maha Kaya, Allah lah yang kelak akan menolongnya kala sempit seperti biasanya.

Hari ini adalah hari terakhir Mbak Viza di kantor. Aku masih bisa melihat betapa berat hatinya meninggalkan 'surga'-nya. Di akhir masa jabatannya, dia masih saja mengkhawatirkan hal remeh temeh tentang apakah Agung partner risetnya akan baik-baik saja sepeninggalnya. Apakah Imam si anak baru sudah siap mental melebur diri di riset?

Hari-hari awal pasti akan berat. Dia akan kehilangan aku yang berceloteh tentang kucing-kucing dan hal-hal lain dengan gaya lebay dan suara keras. Salam super Mas Fatah si Mario Teguh gadungan. Gaya sok bijak Mas Syaiful. Mas Miko sang BOD yang datang dan pergi sesuka hati. Fred Mr. Serok Khan preman Labuhan Bajo yang takut dengan boneka atau kucing. Emiria sang juragan pulsa.

Bedu si anak musholla , Imam sang misterius. Celoteh Agung tentang perempuan yang ditaksirnya namun tak pernah berani didekatinya. Si Nanet, putri Cina Bangsawan. Rima dengan kehamilannya.

Kang Azzust dengan kulet-kuletnya. Gaya nyentrik Nova. Pak Dosen AM yang memaparkan teori komunikasi. Bu Kepala Sekolah CK yang sangat baik dan cantik. Bang Parlin sang pendeta yang selalu berbicara berdasar Injil. Avi si Cina Pasar yang selalu dibandingkan dengan Nanet.

Yani sang sekretaris dengan agenda meetingnya. Meitha Bieber, si alay Wiwit, si Cablak Fina. Atau celoteh Mas Sofyan yang selalu mengaku-ngaku sebagai mantan pacar Mbak Viza. Kisah Mbak Besty dengan petinggi Japfa dan Camat Sukabumi. Fahmi si kreatif yang biasa dipanggil Cun oleh si Tomboy Nova. Dan sudah pasti si Mr. Telat Kiki.

Kamu tahu apa yang paling aku syukuri dalam hidup?

Aku punya sahabat-sahabat seperti kamu dan yang lainnya. Orang-orang yang selalu membuatku tersenyum sekalipun aku sedang terluka.

Di sini aku bahagia. Aku tidak merasa bekerja sekalipun seringkali dikejar deadline. Betapa banyak kenangan manis yang tertoreh di sini. Menjadi elang, berkumpul dengan sekawanan elang.

Hari ini Mbak Viza akan pergi meraih asa. Kudoakan semoga asa itu membawa kebahagiaan, keceriaan yang tidak ditemukannya di sini. Cerita telah usai sampai disini. Namun kenangan akan mbak Viza selalu ada di hati kami.

Never say Goodbye!

Karena sejatinya perpisahan itu tidak pernah ada untuk sahabat sejati.

Kamis, 07 April 2011

BAD LUCK





Saya masih berbaring di ranjang. Sambil membayangkan setiap detil peristiwa yang terjadi kemarin. Sambil menghela nafas demi melegakan rasa yang menggelegak. Campuran antara rasa sakit, sedih, syukur, luka sekaligus bungah.

Kemarin hari Kamis tanggal 7 April 2011, saya seperti mengalami kejadian naas yang bertubi-tubi. Dimulai semenjak pagi hari.

Saya memang agak kelelahan pagi itu. Saya bangun sedikit lebih siang, karena saya yakin Kamis tidak akan semacet hari-hari kerja sebelumnya. Saya memesan taksi langganan saya, dan entah mengapa sang taksi tidak datang juga setelah sekian lama. Karena tidak sabar saya membatalkan pesanan saya. Dengan harapan saya bisa memberhentikan taksi di jalan raya depan komplek.

Mood saya memang sudah tidak baik saat itu. Hingga saya bertemu orang gila yang memaki-maki dengan mata mendelik-delik ke arah saya. Berteriak-teriak dan mempermalukan saya, karena seluruh pasang mata menatap saya. Saya bingung, apa yang terjadi. Saya hampir balas memaki kalau saya tidak ingat dia tidak waras. Tidak terbayang kalau saya memaki-makinya juga. Bisa-bisa ada pertunjukan dua orang gila saling memaki.Jadi saya hanya tersenyum, dan meninggalkannya.

Selepas bertemu dengan orang gila. Mungkin karena saya yang tidak berhati-hati dan memperhatikan jalan. Sebuah motor dengan kecepatan tinggi melaju dan hampir menabrak saya. Saya yang terkejut hanya berdiri mematung menantangnya. Untung saja si pengendara dengan sigap menghentikan laju motornya. Dan lagi-lagi saya dimaki-maki.

“ Pake mata dong kalau menyebrang…!”

Mata saya sudah berkaca-kaca dan memutuskan pulang saja kalau tidak ingat sejumlah tugas yang harus saya kerjakan di kantor. Singkat cerita akhirnya saya sampai di kantor. Tentu saja dengan mood yang tidak terlalu baik. Saya memilih diam seribu bahasa. Saya ingin hari itu segera berakhir.

Makan siang, saya memilih makan di luar dengan beberapa rekan. Tujuan saya sekaligus mengambil uang tunai dari salah satu ATM bank asing. Dan saya lagi-lagi dikagetkan dengan saldo saya yang berkurang secara gaib, ratusan dolar. Entahlah mungkin terdebet dua kali atau sistem charge fee yang tidak beres saat saya mengambil uang di ATM bank nasional. GREAT! Saya lemas dan semakin kesal. Makan siang saya juga jadi berantakan karena saya juga tidak mendapatkan menu makanan yang saya mau.
Dan akhirnya saya berhasil menyelesaikan hari Kamis. Saya pulang dengan selamat sampai di rumah. Hingga akhirnya kejadian mengerikan itu terjadi.

Seharusnya saya tahu kalau hari itu adalah hari naas saya. Maka saya tak usah kemana-mana lagi sesampai di rumah. Saya malah berjalan keluar gerbang untuk suatu keperluan. Saya berjalan tenang di pedestrian di luar gerbang hingga ada sebuah truk es krim yang berjalan oleng menuju ke arah saya. Saya panik, tetapi saya tidak bisa berkutik. Hingga badan truk itu sukses menyerempet saya hingga saya terjatuh. Kurang dari 1 menit, saya dengan sigap menarik kaki kanan saya yang nyaris terlindas ban raksasa. Semua orang teriak histeris melihat kejadian mengerikan itu. Saya masih bingung hingga truk itu melarikan diri.

Saya merasa seperti dalam salah satu adegan film 'final destination'. Setelah terhindar dari satu marabahaya, saya harus berhadapan dengan yang lainnya.
Untunglah, saya tidak apa-apa. Tidak seperti kejadian 6 bulan lalu ketika saya mengalami kecelakaan cukup parah dan membuat saya harus operasi dan opname. Ajaib, dihantam truk besar. Saya hanya memar-memar, dan kaki kanan saya yang nyaris terlindas hanya mengalami cedera otot tulang sehingga untuk sementara waktu saya harus berjalan dengan terpincang-pincang.

Setelah kejadian itu memang saya menangis sejadi-jadinya. Tetapi sekarang saya malah tersenyum. Tuhan hanya sedang mengingatkan saya. Mungkin akhir-akhir ini saya sering salah melangkahkan kaki makanya saya diingatkan kembali. Dan mungkin ini adalah kesempatan saya untuk mengistirahatkan kaki saya sejenak dan lebih banyak kontemplasi. Dan mungkin ini cara Tuhan untuk mempertemukan saya lagi dengan sang dokter specialis tulang tampan yang 6 bulan lalu merawat tangan saya pasca kecelakaan. Dialah sang dokter tampan yang juga perwira Angkatan Udara. Uhuy 

Kalau kata pangeran saya, “setiap segala sesuatu pasti ada hikmahnya”.

Kalau kata Agung, “ini saatnya untuk berdoa, karena doa orang yang terkena musibah diijabah”. Makanya dia juga ikut titip doa.

Kalau kata sesepuh,“ Oalahhhh nduk, kowe iku mesti diruwat!”

Kalau kata teman, “OMG again?”

Baiklah, saya mau memanfaatkan waktu istirahat saya dulu yah. Sambil mengistirahatkan si kaki kanan. Dan saya mengikuti adegan dalam sekuel ‘Final Destination’. Saya mengisolasi diri saya dulu, sampai kutukan hari sial itu benar-benar lepas.

Senin, 28 Februari 2011

COMING SOON A NOVEL "CATATAN HARIAN LAILA"

Dear all, ini adalah bocoran sedikit dari buku kelimaku yang sebentar lagi akan segera nampang di toko-toko buku kesayangan anda di seluruh Indonesia dan Insya Allah seantero jagat ;-). Novel ini adalah novel yang dibuat dengan sepenuh jiwa. Novel ini sekaligus sebagai record halaman terbanyak sebanjang saya menulis buku. Berharap, semoga buku kelima ini akan menjadi awal karirku sebagai penulis dunia. Dan semoga novel ini juga akan meramaikan jagat perfilman. Amiiiinnnnn.....

Ada yang mau jadi 'My very first reader', tentu saja namanya akan terukir di kata pengantar.Ini penawaran terbatas yah ;-)

Ok, nantikan kehadirannya segera yah! Terima kasih.


SINOPSIS



Layla, you've got me on my knees.

Layla, I'm begging, darling please.
Layla, darling won't you ease my worried mind.


Demikianlah cuplikan bait lagu Eric Clapton yang menggambarkan kekagumannya pada seorang perempuan jelita bernama Laila. Perempuan yang memporak-porandakan hatinya karena cinta.

Tersebutlah seorang perempuan bernama Laila, seorang penulis dari sebuah kantor pemberitaan ternama. Seorang perempuan sederhana yang menjunjung tinggi kesucian cinta, namun harus terperangkap dalam sebuah suratan takdir yang memilukan.

Adalah Ali, lelaki pemuja Laila. Dialah kekasih, suami sekaligus sahabat Laila. Baginya Laila adalah separuh nafasnya. Seperti layaknya pecinta gila dalam legenda, Ali ingin mempersembahkan sebuah istana cinta untuk kekasihnya Laila. Istana tempat dirinya, Laila, buah hati dan bermilyar cinta di antara mereka. Walau Ali harus menebusnya dengan sebuah perpisahan pedih.

Ramzi layaknya oase dalam padang gersang bagi Laila yang dirundung sepi. Ramzi mengajarkan Laila tentang kerasnya hidup. Bukan salah Laila bila Ramzi hadir di tengah-tengah cinta Ali dan Laila.

Ramzi seorang wartawan perang, yang belakangan diketahui Laila memiliki tanggal lahir yang sama dengan kekasihnya Ali. Ramzi dan Ali bagaikan pinang dibelah dunia. Dua-duanya memiliki sikap dan pembawaan yang sama. Laila hampir-hampir dibuat gila dengan keberadaan Ramzi yang tiba-tiba mencuri hatinya tanpa ampun. Namun sejatinya cinta Laila pada Ali tidak pernah berkurang sedikitpun.

Ramzi adalah pemuja Laila. Baginya Laila adalah bidadari dalam mimpinya. Perempuan yang selama ini dinanti di usianya yang kian senja. Ramzi diam-diam mengagumi mata Laila yang memancarkan segenap keceriaan, dan ketegaran hatinya. Semakin Ramzi mengenal Laila, semakin hatinya menggila karena cinta.

Ramzi hanya bisa mencintai Laila dalam diam, hanya dia dan Tuhan saja yang tahu. Demikian cintanya Ramzi pada Laila, hingga ia tak mampu menghancurkan kesucian cinta Ali dan Laila. Biarlah Laila hanya menjadi bidadari dalam mimpi Ramzi.

Kepada siapakah akhirnya hati Laila akan tertambat? Ali ataukah Ramzi pengagum rahasianya. Bilakah akhir kisah cinta Ali, Laila, dan Ramzi harus berakhir tragis?

Novel ini hendak menunjukkan bahwa tiada yang salah dengan jatuh cinta. Karena cinta adalah sebuah anugerah terindah dari Tuhan Yang Maha Kasih. Sedang akhir dari kisah cinta adalah sebuah pilihan yang harus dipilih.

Adalah Catatan Harian Laila yang menjalin manis setiap kisah yang kemudian menjadi saksi perjalanan kisah cinta Laila, Ali dan Ramzi.





Contoh babak Ramzi:



Ah, seandainya Ramzi menemukan Laila jauh sebelum Laila menikah. Pastilah Ramzi tidak semerana ini. Mungkin yang bersanding di istana cinta mendampingi Laila adalah dirinya bukan Ali. Lelaki beruntung, suami Laila.

“ Tuhan, mengapa hidupku terasa membelit seperti ini. Mengapa harus Laila yang hadir dalam hidupku yang gersang. Bukan perempuan lajang lainnya. Mengapa kau tidak tumbuhkan sedikit cinta pun di hatiku kepada perempuan-perempuan pengagumku. Mengapa harus Laila?” Gumam Ramzi di balik kemudi. Matanya memang terlihat memandang lurus ke depan. Namun alam pikirannya melayang jauh.

Wajah Laila berkelebat di pelupuk matanya. Senyumnya, ekspresi matanya yang melenakan, keluguannya, semangatnya, ah…..

Ramzi masih merasa ini adalah sebuah kesalahan suratan takdir. Seharusnya dirinya yang berada di sisi Laila, bukan Ali. Seharusnya dirinya, bukan Ali!

Gigi Ramzi saling bergemeratak menahan emosinya yang meletup-letup. Rasa cintanya pada Laila yang menggila, membuat dirinya posesif dan seperti menginginkan Laila seutuhnya. Tidak hanya sebagai penggemar rahasia yang hanya bisa mengagumi dari kejauhan. Yang hanya bisa bercumbu dengan bayangnya di kesenyapan yang menyiksa.

“ Arrggggggghhhhhhhh….” Ramzi bergumam.

Bagaimana bila takdir berbalik. Ali menghilang, lenyap di telan bumi. Maka mungkin, dirinya masih punya kesempatan untuk merebut hati Laila. Atau misalkan Laila harus bercerai dengan Ali. Maka dirinya akan hadir menjadi dewa penolong Laila.

Buru-buru Ramzi menepis angan bodoh sekaligus jahat itu dari pikirannya. Ramzi tidak bisa membayangkan betapa menderitanya Laila bila harus kehilangan separuh jiwanya, Ali. Tiba-tiba ingatan Ramzi melayang pada suatu waktu. Kala Laila mengungkapkan rasa hatinya.

“ Bagiku Ali adalah separuh nafasku. Aku mencintainya sepenuh jiwaku, melebihi rasa cintaku pada diriku sendiri. Kami saling memuja dan mencinta. Aku adalah tulang rusuk yang dicipta Tuhan untuknya. Bila dia pergi, mungkin aku akan mati…”

Raut wajah Ramzi berubah sedih. “ Ah… untuk apa merebut Laila bila cintanya tidak pernah ada untukku. Jangan-jangan sedetikpun diriku tidak pernah ada di hati atau pun di pikirannya.” Ramzi bergumam.


Tangan Ramzi meraih tombol Radio di samping kirinya. Dia mencari-cari saluran favoritnya. Tangan Ramzi berhenti ketika dia mendengar lagu yang tidak asing di telinganya.


Laila, you've got me on my knees.

Laila, I'm begging, darling please.

Laila, darling won't you ease my worried mind.


Yah…itu lagu Laila milik Eric Clapton. Ramzi tersenyum. Dan dirinya mulai menggerakkan bibirnya ikut bernyanyi bersama. Hati Ramzi sedemikian gembira.


“ Aku cinta kamu, Laila.” Ramzi bergumam pelan di antara bait lagu berjudul Laila itu.

Ramzi sempat membayangkan, apakah Laila-nya Eric Clapton secantik Laila-nya? Ramzi tersipu malu. Entah kekuatan dari mana yang tidba-tiba menyelusup dalam dada Ramzi hingga memantapkan hatinya. Tak penting apakah Laila mencintainya atau tidak, yang terpenting dirinya memuja dan mencintai Laila. Bilakah Tuhan tidak pernah mempertemukannya dengan Laila di Dunia. Mungkin Ramzi ingin menuntut keadilan Tuhan untuk mempertemukannya di akhirat.

Ramzi terus melajukan mobilnya menembus kegelapan malam. Mungkin Ramzi ingin mencari sebuah masjid, agar ia bisa singgah menyampaikan kerinduannya pada Illahi Rabb. Mungkin Ramzi harus sealim Ali untuk bisa mendapatkan Laila. Mungkin…ah…semuanya hanya mungkin.



Contoh Babak Ali dan Laila:


Hati Laila dan Ali bergetar ketika keduanya mulai memasuki selasar bandara. Kedua kekasih itu saling bergandengan dengan langkah gontai. Ali pun tak berniat mempercepat langkahnya menuju gerbang keberangkatan internasional, walau dia tahu waktu boarding hampir habis.Ali memegang erat tangan lembut istrinya. Rasa hatinya sungguh tak menentu.

Tepat di depan gerbang keberangkatan internasional yang lengang, langkah mereka terhenti. Ali dan Laila saling bertatapan. Ali bisa melihat mata Laila yang bengkak karena semalaman Laila menangisi kepergiannya hari ini.

Masih teringat jelas bagaimana Laila merajuk semalam, memohon kepada dirinya agar tinggal dan menemaninya di sini.


“ Cinta, tinggallah bersamaku di sini. Demi aku, demi jabang bayi di dalam kandunganku.” Laila menangis sejadi-jadinya saat itu. Kala Ali dan Laila merebah saling berhadapan di ranjangnya.

“ Seandainya aku bisa tinggal. Tetapi tugas telah menanti.” Ali berusaha keras menenangkan hati Laila seperti biasanya.

“ Tetapi aku tidak mau. Aku ingin kamu di sini bersamaku.” Nafas Laila tersengal-sengal karena memaksakan diri untuk berkata di antara tangisnya yang belum juga mereda.


“ Aku juga.” Ali dengan nafas yang tercekat.


“ Apa kau tidak cinta kepada diriku?’

Ali menempelkan jari telunjuk kanannya ke bibir Laila, menatap kekasihnya lekat-lekat sambil menggelengkan kepalanya.

“ Lantas?” Laila menatap Ali.


“ Justru karena aku sangat mencintai kamu dan anak kita, maka aku harus pergi. Aku harus bekerja keras untuk mendapatkan uang yang banyak agar dapat membahagiakan kamu dan anak kita. Aku ingin membangun istana cinta yang kita mimpikan.” Ali memaksakan diri tersenyum agar Laila berhenti menangis.


“ Tetapi aku tak ingin itu semua, Aku hanya ingin kau di sisiku seperti keluarga normal lainnya.”


“ Aku pergi takkan lama, Laila.”


“ Seberapa lama?”


“ Sampai kontrakku selesai, dan kita akan memulai hidup baru lagi sebagai keluarga yang utuh.”


“ Bagaimana bila usiaku tidak sampai hingga saat itu.” Entah apa yang merasuk dalam hati Laila, hingga dirinya berkata sedemikian. Ali hampir tidak percaya dengan apa yang dikatakan istrinya. Ali mendelik menatap Laila.


“ Mengapa kau berkata demikian?”


“ Karena tidak ada yang tahu kapan aku atau kamu dipanggil oleh Sang Kuasa.”

Ali memeluk Laila. “ Tidak sayang. Insya Allah tidak. Insya Allah, Tuhan memberikan kita umur panjang, melihat anak-anak kita tumbuh besar, menikah sampai memiliki cucu.” Suara Ali terdengar bergetar, seakan Ali juga ketakutan bila apa yang dikatakan Laila adalah benar. Ali memejamkan mata, ia tidak ingin membayangkan hal-hal buruk terjadi pada diri Laila. Dalam hati Ali berdoa untuk keselamatan Laila kepada Sang Pencipta.


Ali mempererat pelukannya dan membiarkan Laila menangis sesenggukan di pelukannya. Jemari tangan kanan Ali mempermainkan kerudung Laila dengan lembut. Ali menciumi kening istrinya.


“ Aku mencintaimu karena Allah, Laila.” Ali membisikannya perlahan di telinga Laila.


“ Aku sangat mencintaimu karena Allah, suamiku.” Laila susah payah mengatakannya.


Ali mencium wangi tubuh Laila dengan jelas saat ia mendekap erat. Tidak ada lagi yang mampu memisahkan mereka. Gairah Ali pun muncul, bergesekan sekian lama dengan Laila. Laila dengan perut buncitnya terlihat teramat cantik dan seksi di hadapannya. Ali membelai kerudung biru yang membalut rambut Laila dengan lembut.


Dadanya berdesir hebat. Ali benar-benar tak mampu menguasai diri. Ali memagut bibirnya yang ranum. Laila yang tak kalah bergairahnya, membalas tanpa melepaskan pelukannya. Mereka pun terbakar api asmara. Dua anak manusia mulai memadu kasih.


"Aku ingin ikut denganmu,terbang menggapai pelangi", kata Laila sambil tersedu tiba-tiba menyadarkan lamunan Ali yang sedang membayangkan percintaan dahsyatnya semalam dengan Laila.


Ali tak menyahut hanya hatinya yg berdegup kencang dan menjerit. Ali semakin mempererat pelukannya pada perempuan berperut buncit yang sangat dicintainya. Yah bagi Ali, ini adalah perpisahan terberatnya dengan Laila. Hati suami mana yang tega meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua sendirian di rumah.


Ali memeluk Laila penuh seluruh. Matanya terpejam, hening. Begitu heningnya hingga Ali bisa mendengar deru jantung Laila yang berkejaran antara menahan tangis dan menahan gejolak. Sesekali Ali bisa merasakan si jabang bayi dalam kandungan Laila ikut protes agar Ali mengurungkan niatnya untuk pergi meninggalkannya dan Laila. Si jabang bayi sedemikian lincah menendangi perut Laila dari dalam. Ali tersenyum getir.


Ah…mengapa tiba-tiba hati Ali menjadi kecut. Hati Ali meleleh. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana istrinya yang sedang hamil 6 bulan menjalani hari-harinya tanpa seorang suami di sisinya. Bahkan Laila sendiri terlihat kepayahan membawa perutnya yang buncit.


Ali menarik nafas dalam demi membentuk sebuah kekuatan. Ali pun mulai bersenandung. Lagu yang biasanya selalu dinyanyikannya kala ia meninggalkan Laila di bandara.


"So kiss me and smile for me, tell me that you'll wait for me. Hold me like u'll never let me go. Cause I'm leaving on a jet plane..." Lama-kelamaan suara Ali mulai berat, menahan tangis. Tanggul pertahanan seakan tak mampu lagi menahan air mata Ali.


Perlahan tapi pasti, air mata Ali berlinang. Laila apalagi. Ali mencium kening dan bibir Laila dengan lembut. Tiba-tiba Ali melepaskan pelukannya dan meninggalkan Laila menuju gerbang keberangkatan internasional itu tanpa menoleh. Namun Laila tahu hati suaminya menjerit, berlinangan air mata.


Laila mengamati Ali hingga dirinya lenyap dari pandangannya. Laila berharap Ali menoleh sejenak untuk melihatnya, namun Ali sama sekali tidak melakukannya. Ali memang berusaha menguatkan hatinya untuk menoleh ke belakang melihat istrinya. Karena sekali ia melihat Laila yang sedang berurai air mata, maka melelehlah hatinya. Ali tidak sanggup melihat kekasihnya bersedih, sekalipun rasa sedihnya itu karenanya.


Laila berdiri mematung di depan gerbang yang memisahkan dirinya dengan Ali. Matanya melihat ke layar monitor. Status pesawat CX719 departed. Ia menggigit bibir. Bulir-bulir air matanya membasahi pipi. Ia menyeka air mata dan membiarkan bedaknya luntur.


“ Selamat jalan cinta, aku teramat sangat mencintaimu.” Bisik Laila sebelum berbalik menuju pintu keluar.

Sedang Ali menatap keluar jendela pesawatnya. Sejauh mata memandang, Ali hanya melihat hamparan awan putih yang menggumpal. Putih bersih tanpa noda, seputih perasaan cintanya pada Laila.


Layla, you've got me on my knees.

Layla, I'm begging, darling please.
Layla, darling won't you ease my worried mind


Tiba-tiba suara merdu Eric Clapton terdengar dari ear-phonenya. Bayangan Laila menari-nari di pelupuk matanya. Bayangan kekasih yang sangat dipuja dan dicintainya.