Kamis, 20 November 2008

SUATU HARI DI NEGERI DONGENG II (Habis)

Setelah kami memuaskan diri kami dengan makanan dan minuman alakadarnya. Kami kaum muslim bersegera shalat berjamaah. Walau kami tidak tahu pasti kisaran waktu yang sedang berjalan. Di antara kami tidak ada yang memiliki penunjuk waktu yang valid. Beberapa dari kami yang memakai jam, tiba-tiba jarum jam berhenti. Begitu pun jam digital. Telepon selular pun mati. Semua benda bermuatan elektromagnetik mati tak berfungsi. Maka kami shalat menurut keyakinan kami saja. Menggabungkan dua waktu shalat Maghrib dan Isya bersamaan. Mas Fatah yang memimpin shalat kami. Memang di antara kami, hanya dia yang paling faham benar tentang Islam. Maka kami menyebut Mas Fatah adalah da'i sedangkan Bang Parlin pendeta. Dua orang ini yang paling kami hormati keshalihannya.

Sebenarnya Mas Syaiful pun pandai agama. Terkadang pemikiran amat jauh kedepan. Pemahaman agamanya amat baik. Hanya saja lelaki itu tidak terlalu mendapat tempat sebagai yang terhormat. Karena dia masih bujang, belum banyak makan asam garam kehidupan layaknya dua lelaki matang beruban Mas Fatah dan Bang Parlin.

Setelah menunaikan shalat. Maka kami mulai mencari tempat strategis untuk merebahkan diri. Beristirahat barang sekejap sebelum pagi menjelang. Para lelaki bergeletakan di muka rumah, sedangkan perempuan di dalam. Aku pun terlelap. Tidak sepenuhnya hanyut di alam mimpi. Aku masih sedikit sadar ketika Iya, si Mahasiswi itu kebingungan mencari teman yang akan menemaninya untuk buang air kecil.

"Mbak Hanum.......temenin Iya!" Iya menggoyang-goyangkan badan Hanum yang sudah sedari tadi terlelap. Hanum hanya melenguh.

Tak habis akal. Iya coba membangunkan Mbak Viza yang tidur di sebelah kirinya. Lagi-lagi Mbak Viza menolak. Aku bisa maklum, mereka terlalu capek. Kemudian Yani, apalagi Yani dia bahkan sudah tertidur sedari kita pesta singkong bakar. Sedang aku, malas....

Maka Iya memberanikan diri untuk berjalan sendiri. Dia melangkahi tubuh-tubuh bergeletakan dengan sangat hati-hati. Terlihat betapa takutnya dia. Tetapi sepertinya kebutuhan biologis itu harus segera terselesaikan kalau tidak ingin mengompol. Maka Ia membenahi kerudungnya, sebelum keluar. Dia membuka dan menutup perlahan pintu kayu itu perlahan. Tak ingin terdengar berderit, karena dia tahu temannya sudah kelelahan. Dia tak mau mengganggu temannya.

Iya akhirnya berhasil melangkahi para lelaki yang sedang tertidur, setelah melalui perjuangan. Karena Iya harus melakukannya teramat hati-hati. Iya pun menuruni 5 anak tangga dari kayu itu perlahan. Sejenak agak ragu melangkah, matanya celingukan melihat ke kanan dan ke kiri. Matanya terpejam sambil komat-kamit seperti merapal mantera. Kemudian menghela nafas panjang untuk menguatkan hati.

Baru beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Iya dikejutkan dengan suara lelaki.

"Mau kemana lo?" Suara Yusuf membuat Iya terkesiap. Iya menoleh. Benar sekali, itu adalah Yusuf pemuda tampan sebayanya. Dia membawa obor dari kayu. Cahayanya sesekali menyinari rahangnya yang bagus. Pantas sekali bila orang akan menyamakan dia dengan wajah Barack Obama.

"Oh eh.Kak Yusuf"

"Mau kemana?" Yusuf menyelidik.

"Mau.....pipis Kak", menatap dengan pandangan memelas.

"Sendiri?" Yusuf penasaran dan kagum dengan keberanian Iya menembus gulita malam sendiri. Padahal dia belum pernah kesitu. Iya mengangguk kemudian menunduk ke bawah. Sedih...

"Ya sudah.biar gue anter", dengan gentle-nya dia menawarkan diri.

"Beneran?" Mata Iya berbinar-binar bahagia.

"Iya......ayo buruan! Gue ngantuk nih" Yusuf. Maka mereka pun jalan berdua menembus malam.

Keduanya membisu dan terkesan kikuk. Iya berusaha mencairkan suasana.

"Beneran nih Kak?"

"Perlu yah diulang?" agak kesal karena terus dipertanyakan keseriusannya.

"Kenapa?" Iya

"Karena kamu perempuan, tak baik perempuan jalan sendiri"

"Emang kakak lihat Iya?"

"Gue belum tidur. Gue kasihan aja lihat lo jalan sendirian. Gue juga punya kakak perempuan. Makanya gue empati. Gue.....Gue....." Yusuf panjang lebar dengan serius.

"Gue apa? kok gak diterusin?" Iya serius.

"Gue ..... Gue peduli sama lo", cepat berharap Iya tak mendengarnya.

"Maksudnya.........?" Iya menatap mata Yusuf dengan sorot mata tajam, penasaran. Yusuf menunduk resah.

"Sudahlah...tidak penting" Yusuf memutus topik pembicaraan.

"Tuh kalinya....!" Yusuf menunjuk ke suatu arah. Iya memperhatikan.

"Cepat! aku tunggu disini. Bawa obor ini bersamamu", Yusuf menyerahkan obornya. Tanpa banyak pikir dan bicara Iya meraihnya dan bergegas menuruni tumpukan batu kali yang tersusun menyerupai tangga.

Agak lama juga Yusuf menunggu. Mungkin sepuluh menit, hingga Iya kembali dengan membawa obor. Mereka berdua berjalan bersebelahan menuju pondokan. Keduanya membisu, hingga akhirnya mereka sampai di gubukan.

Mereka berdua menghentikan langkah. Saling berpandangan.

(TO BE CONTINUED)



Selasa, 11 November 2008

SUATU HARI DI NEGERI DONGENG

(Sebuah Imaginasi Liar Sang Penulis)

Tersebutlah sebuah tim kompak di sebuah stasiun TV swasta nasional. Mereka adalah Ci Cathy alias Ciket Sang Wakil GM, Abang Parlin sang perlente asal Batak yang banyak makan asam garam kehidupan, Mas Agus sang Manajer riset, Mas Sofyan sang ketua planner pemeriah suasana, Mas Saiful si perjaka ting-ting yang pekerja keras, Mas Fatah pria paling senior yang bercita-cita menjadi petani, Mas Miko seniman gila yang penuh ide brilian, Agung sang jenius yang terdampar di dunia planner marketing, Hanum perempuan pekerja keras yang selalu memenangkan kompetisi pembuatan paket terbanyak, Emiria alias Ia, mahasiswa yang selalu dengan bangga memamerkan foto-foto kuliahnya, Yusuf alias Ucup yang terobsesi menjadi guru di desa terpencil, Mbak Viza sang ahli riset yang ikhlas meninggalkan anak ratusan mil demi segenggam berlian, Yani sang sekretaris yang tak pernah bermuka masam, Wahyu seorang pria penuh mimpi paling realistik, Mas Murti yang terobsesi menjadi milyarder dari bisnis 'tetek-bengek' bayi, Ramad yang tetap saja tersenyum setelah 'mempelototi' puluhan keping video, Ada Torang-pria lembut yang terlalu lemah gemulai menjadi seorang Batak. Ada Dewa, sang sekretaris GM yang juga pemandu sorak Tim Marketing dengan gaya uniknya. Masih ada dua ibu-ibu Tari dan Mbak Kristin yang masih menikmati masa cuti melahirkannya. Sedang aku adalah pemerhati dan penulis yang terkadang terlalu liar dalam berimajinasi. Masih ada Endang, admin sales yang sering mampir berkelana di ruang kami yang penuh tawa. Ada Selvi orang finance yang entah mengapa dia lebih suka bercengkerama dengan kami tim marketing.

Sudah menjadi kebiasaan tim kami untuk tidak melewatkan hari tanpa mengolok-olok salah seorang dari kami. Ruang kami yang tak terlalu besar selalu ramai oleh tawa dan senda gurau. Walau kami tak pernah melupakan pekerjaan tetap kami. Kami selalu meluangkan waktu untuk tertawa riang. Lepas tanpa beban.

Terkadang ada juga olokan bernada 'nyinyir' yang menyudutkan salah satu pihak. Maka kami tak pernah mengakhirinya dengan percekcokan dan baku hantam. Hanya senyum simpul atau geli. Sesekali terpingkal-pingkal karena ledekan itu amatlah tidah dibuat-buat. Terkadang kami harus menutup rapat-rapat pintu ruang, agar kegilaan kami tidak sampai menembus ruang sebelah.

Atau malah Ciket dan Mas Agus yang serta-merta menutup rapat pintu pembatas antara ruang kami para 'cecunguk' dengan ruang para bos. Karena tawa kami sungguh memekakkan telinga bagi siapa saja yang mendengar. Apalagi bila aku dan Dewa bergabung dalam satu ruang. Maka kehebohan benar-benar takkan terelakkan.

Masalah kekompakan tidak terpungkiri lagi. Hanya pria-pria dari tim kami yang selalu kemana-mana bersama. Pergi ke masjid untuk menunaikan shalat pun harus bersama. Makan siang, makan sore pun harus bersama. Kami seakan tidak ingin terpisahkan satu sama lain. Begitupun perempuannya. Walau sesekali kami memang harus tercerai-berai demi suatu urusan.

Sesekali kami memang memimpikan sebuah petualangan yang melibatkan semua anggota kami. Tentu saja itu adalah hal yang muskil untuk diwujudkan karena kesibukan kami. Bahkan sekalipun kami belum pernah meluangkan waktu untuk pergi bersama selain untuk pergi makan di rumah makan tak jauh dari kantor kami.

Hingga pada suatu ketika, saat itu datang juga. Tiba-tiba aku berada di sebuah tempat. Gelap gulita. Tempat yang teramat asing bagiku. Aku berusaha bangkit dari tanah basah. Susah payah, namun aku berusaha keras. Kepalaku teramat pusing, seperti baru saja terkena bogem mentah. Pandangan mataku tak lagi awas. Berkunang-kunang layaknya orang yang baru bangkit dari pingsan, tak sadarkan diri. Aku melihat diriku. Tuhan! Bajuku kotor, sekotor-kotornya oleh tanah basah. Beberapa robek-robek seperti terkena ranting-ranting tajam. Noda darah yang telah mengering terlihat mengotori pashmina biru muda penutup kepalaku.

Sejenak aku berusaha menguasai diriku. Agar aku tidak terjebak lama dalam kebingungan dan ketakutan teramat sangat. Aku melihat kesekeliling. Dan sejauh mata memandang aku hanya melihat kegelapan.

"Allah, aku ada dimana?" Aku berseru setengah menangis.

Karena aku tidak juga menemukan siapa pun juga disampingku. Maka aku benar-benar menangis sejadi-jadinya. Aku takut sendiri. Tiba-tiba aku ingat senyum manis suamiku yang pagi ini kubuat kesal karena aku memasukkan terlalu banyak cabai ke dalam pasta spageti sarapannya. Katanya aku terlalu egois karena hanya memikirkan perut dan selera makanku sendiri. Maka aku pun hanya diam membisu. Tidak ada ciuman mesra sebelum meninggalkan rumah.

Apakah ini surga? atau neraka? Inikah kematianku? Aku takut. AKu belum meminta maaf pada suamiku atas perkara itu. Aku sudah berjanji akan membuatkan 'pumpkin soup' kesukaannya malam ini. Tetapi, aku malah ada di sini. Aku pun tak tahu aku ada dimana. Maka aku pun semakin menangis histeris.

"Tolong! tolong!"

Lamat-lamat aku mendengar suara. Aku pun menghentikan tangisku. Aku harus memasang kuping. Siapa tahu suara itu adalah jawaban dari pertanyaanku. Barangkali dia adalah dewa penolongku. Atau setidaknya temanku dalam melampau perjalanan aneh ini. Aku pun tidak menolak jika dia adalah malaikatku.

"Halo............siapa itu!" Aku berteriak.

"Aku!" Suara itu lagi dengan teriakan yang lemah.

"Dimana?"

"Disini"

Aku pun mulai mencari arah sumber suara. Aku berusaha untuk berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju arah suara.

"Dimana?"

"Disini!"

Aku tahu itu suara milik perempuan. Sepertinya tidak asing di telingaku. Dan aku pun terus berjalan di tengah kegelapan. Hingga aku berada sangat dekat dengannya. Aku tidak bisa melihat. Aku hanya meraba-raba. Ketika aku meraba-raba jalan, aku tersandung.

"Aduh!" aku mengaduh.

"Awww!" Dia juga

Aku menemukannya, maka aku menunduk dan menggapai tangannya. Ya Tuhan itu kan......

"Yani? Kamu Yani kan?" Aku menebak dengan yakin.

"Iya......Kamu? Kamu.......Kamu Risma kan?" Tanyanya.

"Yani!"

"Risma!"

Kami pun berteriak kegirangan dan kami saling berpelukan. Kami pun bertangisan haru. Saat kami berpelukan. Tiba-tiba aku mendengar suara.

"Woi Yani! Risma! Gue disini!" Tiba-tiba kami juga mendengar suara Agung.

Kamipun berbarengan menoleh ke arahnya setelah sebelumnya saling berpandangan.

"Agung kamu juga disini?" Kami agak berbarengan sambil menghampirinya.

"Iya!"

"Aku pikir aku sendirian disini", aku memulai.

"Nggak lah. Itu gue juga lihat Mas Sofyan di pojok sana. Mas Fatah dan Mas Saiful di bawah pohon. Ucup..iya gue lihat Ucup. Gue sempet denger suara Mas Murti sih. ......" Agung menjelaskan dengan gamblang.

"Woi, gue disini!" Tiba-tiba pria bertubuh agak gempal yang tidak lain adalah Mas Murti menghampiri kami. Agak terhuyung-huyung sembari memegang kepalanya.

"Mas Murti?" Aku antara terkesiap dan bingung.

"Iya?" Mas Murti memastikan.

Maka tanpa dikomando, kami memanggil teman yang lain. Dengan tenaga yang tersisa kami berteriak.

"Mas Sofyan!"

"Mas Saiful!"

"Mas Fatah!"

"Hanum!"

"Ucup!"

"Mas Miko!"

"Iya!"

"Mbak Viza!"

"Wahyu!"

"Ramad!"

"Torang!"

Sekilas kami melihat beberapa orang dari berbagai penjuru mulai menghampiri kami dengan tertatih-tatih. Mereka bersahutan memberi kode-kode bahwa mereka adalah orang yang dipanggil. Sesaat aku, Yani, Agung dan Mas Murti berpandangan.

"Mereka semua ada disini?" Aku memandang Yani, Agung dan Mas Murti bergantian dengan sorot mata takjub.

Tiba-tiba ada sesosok perempuan yang mendekati kami. Dia juga kepayahan. Baju yang sepertinya semula berwarna putih bersih juga sudah terkotori. Tangan kanannya menenteng sepatu high-heel cantik berwarna hitam.

"Loh kalian juga ada disini?" Perempuan itu menyapa kami. Kami terkesiap dan memandanginya. Dan kami saling berpandangan bergantian.

"Ciket......." Kami hampir berbarengan.

"Ciket juga ikut?" Agung.

"Tidak tahu tiba-tiba aku bangun sudah berada disini. Aku pikir ini mimpi. Tetapi kenapa aku bertemu kalian juga?" Ciket kebingungan, sepatu high-heelnya berpindah tangan ke tangan kiri. Sedang tangan kanannya berusaha mencubit-cubit tangan kirinya sekuat mungkin.

"Awww!!!" Ciket histeris.

"Sakit..." Ujar Ciket lirih dengan pandangan sayu.

"Tentu saja. Ini sebuah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri" Aku ikut bicara.

"Kita seperti terbawa mesin waktu di dongeng-dongeng" Tiba-tiba suara seorang lelaki ikut serta dalam perbincangan kami. Yah itulah Mas Agus, manajer riset kami.

Saat itu kami sudah berkumpul semua. Semua anggota tim marketing. Kami duduk agak berdekatan. Dengan ekspresi yang berbeda-beda. Rata-rata mereka syok berat akan kejadian yang mereka alami. Dan sudah pasti banyak di antar amereka seperti juga aku yang berdarah akibat luka tergores.

"Gila!" Tiba-tiba suara Mas Sofyan mengagetkan.

"Mengapa kejadian ini mesti terjadi kepada kita?" Mas Syaiful ikut serta.

"Apa benar mesin waktu Doraemon telah mencerabut kehidupan kita ke suatu masa di suatu tempat?" Hanum menimpali.

"Oh no! Tidak mungkin ini terjadi" Suara Dewa menggelegar dengan gaya bicara ala 'Cinta Laura'. Heran! masih sempat Dewa memonyongkan mulutnya demi membentuk ekspresi uniknya.

"I don't wanna here! I wanna go home! Please!" Dewa agak histeris.

"Dewa, kita semua juga ingin pulang. Apalagi gue yang punya anak. Jadi please dong tenang!", Mbak Viza agak senewen. Berhasil! Dewa memang terdiam, dan menunduk dalam menekuri tanah basah berumput alang-alang. Sesekali dia bergelinjatan, waspada bila ada ular di antara semak-semak belukar.

"Iya Dewa! kita semua juga takut dan ingin pulang" Suara kecil Endang tiba-tiba.

"Hei...!teman-teman tenang yah! Ayo semuanya berkumpul. Kita tidak bisa keluar dari masalah ini, kalau kita tidak kompak dan saling bekerja sama" Ciket mengomando. Kami pun tertib diam. Sesekali di antara kami masih saling berbisik-bisik.

"Coba kita ingat-ingat kembali apa yang terjadi sebelum kita terdampar di tempat ini!" Ciket memimpin.

"Kan kita lagi ngomongin masalah TV Day 2009, Ci" Ma Sofyan dengan suara cemprengnya.

"Iya Ci tadi lagi presentasi TV Day pakai laptop. Loh laptop.....laptop.......laptopnya dimana?" Mas Fatah kebingungan dan panik. Semua ikut kelimpungan.

Tiba-tiba Wahyu menghampiri kami. Dia menyerahkan sesuatu kepada Mas Fatah. "Ini laptopnya. Kepalaku tertimpa ini sepertinya". Dia memegangi kepalanya yang memar.

Mas Fatah girang. "Alhamdulillah"

"Lantas apa yang menyebabkan kita ada disini?" Ciket lagi

"Benar kata Agus, kemungkinan besar ini adalah mesin waktu" Bang parlin tiba-tiba dengan logat Bataknya yang kental. Heran, si Abang Parlin masih saja tampak perlente dengan rompi kulit yang dibelinya di Amrik beberapa tahun silam.

"Mungkin saja!" Mas Miko menimpali.

"Maksudnya?" Ciket.

"Iya mungkin saja ini terjadi", Mas Miko optimis.

"Omong kosong! Ini dunia nyata. Tak mungkin ada mesin waktu. Ayolah semua harus berpikir logis secara statistik", Ucup dengan angkuh menimpali.

"Ucup, tidak semua harus dipahami secara logika. Seperti halnya kebenaran dalam Injil. Walaupun Davinci Code dan The Templar telah mengobrak-abrik kesucian Injil dengan segala cara yang penuh logika. Abang sebagai Kristiani sejati, tetap meyakini walau tanpa logika. Semata-mata karena Iman", Bang Parlin tegas namun tenang seperti seorang pendeta.

"Iya bang...." CIket menimpali.

"Buktinya Mas Agus sang jago riset juga setuju dengan fenomena mesin waktu", Aku menimpali.

"Itu ilmiah Ucup" Mas Agus.

"Ilmiah apanya? Itu kan hanya dalam imajinasi film", Ucup.

"Itu kan konsep Teori Relativitas Einstein
On The Electrodynamics of Moving Bodies. Menurut Teori Relativitas Khusus, ruang dan waktu tidak absolut, melainkan relatif. Artinya, ruang dan waktu berbeda untuk setiap orang. Bagaimana seseorang mengalami kejadian dalam ruang dan waktu bergantung pada dua hal: di mana orang tersebut mengamatinya dan seberapa cepat ia bergerak bila dibandingkan dengan kecepatan cahaya. Sesuai dengan rumus, kecepatan (v) adalah jarak (d) dibagi waktu (t). Jika v adalah konstan, t dan d-lah yang seharusnya berubah-ubah. Salah satu konsekuensi adalah bahwa jam yang ada di dalam sesuatu yang bergerak selalu berdetak lebih lambat ketimbang jam yang diam di tempat. Dari sini muncul hipotesis yang terkenal "paradoks kembar". Sepasang kembar dipisahkan, seorang menjadi astronot diterbangkan dengan roket berkecepatan tinggi menjelajahi galaksi dan kembali ke bumi, yang lain tinggal di bumi. Meskipun kecepatan roket mendekati kecepatan cahaya, butuh 10 ribu tahun bagi astronot itu menjelajah galaksi dan kembali ke titik tertentu di bumi. Karena geraknya relatif tinggi, usia astronot itu lebih lama ketimbang orang lain yang tinggal di bumi. Astronot akan kembali ke bumi hanya lebih tua beberapa tahun dari waktu ia meluncur. Sementara itu, saudara kembarnya sudah lama meninggal", Agung berbicara panjang lebar.

"Tetapi itu hanya berlaku bila kita menaiki pesawat luar angkasa" Wahyu memungkas.

"Iya yah", Mas Murti.

Semua hanya saling berpandangan. Karena mereka sungguh tidak mengerti apa yang sedang diperbincangkan oleh orang jenius itu. Agung berkoar-koar dengan semangatnya tentang teori relativitas Einstein. Sedang yang lain sibuk bergumam. Entah merapal mantera atau malah hanya mengutuk-ngutuk mengapa mereka hanya dapat nilai C atau bahkan D untuk mata pelajaran science. Sehingga tak sedikit pun teori fisika yang nyangkut di otak. Entah mengapa Agung sedemikian briliannya.

"Tapi itu kan butuh kecepatan cahaya", Ramad malu-malu berkomentar. Sebenarnya anak ini pintar dan melek IT, tetapi entah mengapa dia selalu ragu akan pendapatnya.

"Duh....ayo dong pikir! Gue harus pulang nih. Gue nanti dicariin sama bos gue. Bisa-bisa kalau gue gak ada kabar berita, posisi gue bisa digantikan orang lain. Ohhhhh........" Selvi anak nyasar itu setengah menangis.

"Sabar dong........ini juga semua lagi mikir", Dewa senewen.

"Terus Agung.....bagaimana kita harus pulang?" Bang Parlin.

"Iya........Hanum juga harus pulang. Belum bilang sama Kakak", Hanum angkat bicara dengan muka yang tak kalah acak-acakkan. Hanum terlihat takut, maklum perempuan itu baru saja melepas masa lajang. Kakak sebutan untuk suaminya adalah orang yang dihormati dan ditakuti saat ini. Aku bisa mengerti bagaiman perasaan perempuan itu.

"Tenang...! Tenang! Semuanya kita akan pulang!" Mas Fatah menenangkan dengan Arif.

"Coba lihat Torang! dia bisa setenang itu. Ya tidak?" Aku menimpali.

Torang malu-malu dan tersenyum. "Mmmhhhhh sebenarnya takut juga mbak".

Sumpah anak ini terlalu datar. Di keadaan semencekam ini pun dia masih bisa tersenyum malu-malu dengan ekspresi datar. Terlalu naif untuk seorang Batak. Entah apa dia benar-benar Batak.

"Sudah....sudah, biarkan Agung yang menjelaskan fenomena ini. Di antara kita cuma dia yang paling jenius. Apalagi namanya kalau bulan jenius, jika IPK-nya melebihi 3,9", Iya menengahi.

"Jadi bagaimana Agung?" Mas Agus memutus.

"Iya kemungkinan besar ada gelombang elektromagnetik maha dahsyat yang mengakibatkan kita tertelan ke dimensi lain. Mungkin kecepatannya setara kecepatan cahaya. Sudah untung hanya berefek sedikit pada kita, bukan kematian", Agung panjang lebar.

"Lantas bagaimana?" Mas Saiful.

"Apa yang menyebabkan gelombang elektromagnetik itu?" Hanum

"Laptop!" Wahyu berseru.

"Laptop......?" Mas Sofyan.

"Iya Laptop!" Agung mengiyakan.

"Mas Fatah, coba tolong dilihat Laptopnya masih bisa dipakai tidak?", pinta Ciket.

Mas Fatah yang sedari tadi memeluk laptop. Segera mencari tempat yang nyaman untuk menyalakan laptopnya. Membuka laptop perlahan. Sementara kami bergerombol mengelilinginya. Mas Fatah dengan penuh aksi mengangkat kedua tangannya, mengusap butir keringat yang membasahi pipinya. Kemudian dia mulai memencet tombol 'power'. Kami harap-harap cemas. Sejenak tombol berwarna merah. Kemudian kembali mati.

"Yah!" Hampir serempak dengan muka-muka kecewa di antara kita.

"Belum di charge". Mas Fatah menatap dengan pandangan kecewa.

"Oh, Wahyu. Kamu lihat cas-an baterei tidak?" Tanya Fatah dengan wajah berseri-seri.

"Nggak.......Hanya itu yang menimpa kepala gue", Wahyu.

"Hem.............Ini bukan?" Tiba-tiba Endang mendekati kita. Membawa seperti kotak hitam kecil. Kemudian menyodorkan kepada kami yang berkerumun. Mas Sofyan meraihnya. Dan mengamati dengan seksama. Begitu pun kami yang ikut terpaku melihatnya.

"Kayaknya sih", Mas Sofyan sambil terus mengamati.

"Tapi............"

"Kok.......kabelnya putus?"

"Ah.............Haleluya! Bersyukurlah setidaknya Tuhan telah menunjukkan rahmatnya. Ini sebuah petunjuk. Kelak kita akan tahu jalan keluar dari tempat ini", Tiba-tiba Bang Parlin dengan gaya pendetanya menceramahi kita.

"Iya lah.........Nanti juga ketemu jalan", Mas Syaiful menenangkan.

"Oh My GOD, Mbak Desi akan kelimpungan mencari dirikuw. Mana nanti sore ada meeting dengan tim produksi untuk gala dinner lagi. Oh No.......We should be hurry to get out from here", Dewa dengan memonyongkan bibirnya, sambil tangannya bergerak absurd. Tampak dia panik.

"Aku lapar.......!" aku memegangi perut sambil terduduk lemah. Semua memandang ke arahku. Aku menatap mereka menularkan perasaan tidak berdaya karena lapar yang menghebat. Aku belum makan sedari tadi pagi. Maksudku sebelum kami menghilang ke tempat ini.

"Hanum juga!" Hanum.

"Gue juga" Agung......

"Gue juga!" Semua bergantian mengungkapkan kelaparannya.

"Ya sudah.......Seperti hari sudah semakin larut. Lebih baik kita cari tempat berlindung. Syukur, bila kita menemukan sepotong roti", Ciket. Saat itu memang semakin gelap. Lebih gelap dari ketika kami menyadari berada di tempat asing. Kami mulai mendengar suara jengkerik, auman harimau, longlongan serigala, dan..........Ih mengerikan.

"Jangan sepotong roti Ci, gak cukup buat lebih dari selusing orang", Mas Sofyan dengan konyolnya sembari memegangi perutnya.

"Iya iya", Ciket.

"Ya sudah.......kita mulai jalan saja. Jangan terpisah dari rombongan. Perempuan di tengah. Bagian depan sebagai tim ekspedisi Abang, Agus, Murti, Fatah, Ramad, Torang. Bagian belakang ada Sofyan, Wahyu, Miko, Agung, Syaiful dan Yusuf. Perempuan di tengah. Kalau terjadi sesuatu, sebisa mungkin lindungi perempuan. Ayo kita mulai susun barisan!" Bang Parlin mengomandi dengan ketegasan layaknya komando perang Vietnam.

Kami yang sudah kelaparan, kelelahan bersiap untuk mengatur barisan. Beberapa dari kami berjalan terpincang-pincang. Sebelum kami memulai perjalanan. Beberapa dari kami membawa ranting-ranting pohon atau kayu keras sebagai senjata bila ada yang menghadang. Untung Yani membawa pisau yang sedianya untuk memotong kue. Pisau itu dipegang oleh Syaiful. Karena kami pikir dia karena dia pernah berlatih silat di masa muda belia. Perawakannya yang kecil akan lebih lincah menghadang musuh atau harimau.

Maka rombongan kami pun berjalan perlahan. Dibagian depan para lelaki membabat jalan dengan alat seadanya. Sedang di belakang para lelaki tetap siaga. Dan kami kaum perempuan bergosip. Seakan kegemaran kami ini bisa menghilangkan penat, stress, lapar dan lelah yang mendera kami. Kami bergosip tentang apa saja. Sesekali tentang Dewi Persik yang nyaris diusir dari apartemennya, kemudian tentang cake keju buatan Dewa. Atau tentang model pakaian ter-update dan diskon-diskon di pusat perbelanjaan. Kami berbicara dengan riang, seakan lupa kami ada dimana.Mungkin suara kami memecah keheningan hutan belantara ini. Sesekali para lelaki menegur kami. Atau kami saling ledek dan tertawa cekikikan antara sesama.

Tak terasa kami sudah berjalan cukup lama. Mungkin ada sekitar dua jam. Tapi rasanya sudah seabad. Kami berjalan jauh sekali. Hingga kami lecet-lecet. Kami tidak beralas kaki. Beberapa dari kami sudah benar-benar kehilangan tenaga.

Tiba-tiba Mas Agus berlari menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Belum sempat dia mengatur nafas dia berseru, "Hai teman-teman, saya lihat ada gubuk di sana!"

"Gubuk!" Kami hampir berbarengan.

Kami kaum perempuan berisik. Ada yang kegirangan, ada yang menangis haru. Ada yang berceritat heboh penuh imajinasi tentang kenyataan apa yang akan menghampiri kita nanti. Adakah makanan disana?

Maka tanpa menunggu waktu. Kami mempercepat langkah menuju gubuk itu. Kami penuh harap akan menemukan makanan. Setidaknya kami bisa beristirahat dengan layak. Hawa dingin malam tidak langsung menyentuh kulit kami.

"Alhamdulillah!" Beberapa teman muslim berseru saat kami akhirnya sampai di gubuk itu.

"Puji syukur! Haleluyah!" Teman Kristiani juga bersyukur.

Mas Syaiful yang membawa pisau belati segera masuk untuk menyisir ruangan. Hanya 5 menit kemudian dia keluar.

"Aman!" seru Mas Syaiful. Kami pun kegirangan.

Gubuk itu buruk rupa. Hanya terbuat dari anyaman bambu. Sepertinya gubuk itu sudah lamam sekali ditinggalkan oleh pemiliknya. Gubuk itu hanya memiliki satu ruangan yang tidak begitu besar dan teras. Bergaya rumah panggung. Ruangan besar itu menyatu dengan ruang yang kami kira adalah dapur, karena ada kuali alat masak tungku, kayu bakar, dan lain-lain. Gelap gulita. tetapi belakangan kami menemukan beberapa batang bambu yang serupa dengan lampu teplok. Lelaki perokok untungnya tidak kehilangan korek api gasnya. Walau mereka kehilangan rokoknya.

Kami memutuskan untuk membagi wilayah. Ruang dalam untuk kaum perempuan. Sedang teras untuk para lelaki. Kami merebahkan diri sejenak.

Aku keluar dan mengeluh pada para lelaki, "Teman-teman, kami kelaparan. Tidak adakah makanan untuk kita makan?"

"Iya nih, gue laper banget" Mas Sofyan.

"Sama", Mas Fatah dan Mas Miko hampir berbarengan. Semua mengiyakan.

"Hei.........kesini deh.......Ada singkong!" Tiba-tiba Selvi berteriak kegirangan.

Para lelaki merangsek masuk ke dalam. Aku pun ikut. Yah kami menemukan tempat penyimpanan singkong. Aneh singkongnya masih bagus. Padahal kami kira rumah ini sudah ditinggalkan pemiliknya berbulan-bulan. Tetapi ada singkong. Ah peduli amat!

Tanpa menunggu lama, para lelaki dibantu perempuan termasuk aku membakar singkong. Kelihatan sekali disini mana yang orang kota dan tak terbiasa hidup susah. Setelah matang, kami memakannya. Singkong bakar nikmat sekali. Lebih nikmat dibanding makanan di cafe Media. Bahkan lebih lezat dari Pizza. Ahhhh.........Apapun menjadi nikmat saat lapar dan tak ada pilihan.

Aku tertawa cekikikan melihat coreng-moreng dimuka Ciket saat memakan singkong bakar. Sedang Si Abang Parlin sepertinya lincah memakannya. Apalagi Mas Sofyan yang lama tinggal di kampung.

Kami tidak kesulitan mencari air untuk minum. Karena tak jauh dari situ ada mata air. Kami hanya perlu menengadahkan muka dan membuka mulut. Maka air segar akan mengalir membasahi kerongkongan. Segar!



(to be continued)

Senin, 03 November 2008

Kreativitas Yang Mandul


Beberapa hari ini aku semakin dihadapkan pada perasaan bersalah yang teramat sangat. Aku gagal membuktikan eksistensiku sebagai seorang penulis. Tiba-tiba aku mati setelah hidup sekejab di belantara penulis. Sempat menyisipkan sekelumit kisah bermakna pada pembaca, bersama harapan. Kemudian menghilang lenyap tanpa arah.

Aku tidak tahu. Mengapa aku menjadi tidak punya nyali untuk bangkit dan mewujudkan mimpi terpendam menjadi seorang penulis. Padahal aku susah payah membangun mimpi, kemudian akhirnya menorehkan prestasi dengan sebuah novel SCSM. Kemudian aku jalan di tempat. Aku tidak punya arah. Ketika aku menjadi penulis murahan yang menulis sebuah buku 'Seandainya Saya Istri AA Gym" untuk membantu seorang teman.

Aku lagi-lagi menulis sebuah buku teori agama yang aku sendiri tak sungguh-sungguh memahami. Kemudian aku memutuskan untuk berhenti dari tim. Dan secara mencengangkan buku itu beredar juga. Aku nekat mencari buku itu, setelah tanpa sengaja aku menemukannya di dunia maya. Keajaiban Shalat Tahajud, Tentu saja aku masih mengenali tulisanku yang terang-terangan dicatut tanpa izin dalam salah satu bab. Aku mengenali penulis bukunya. Aku melihat sebuah tulisan terima kasih untuk Risma Budiyani di muka buku.

Apakah aku harus berterimakasih atau malah berteriak atas ketidak-sopanan mereka menjiplak tulisanku kemudian memberikan ucapan terima kasih di bukunya. Terimakasih!

Kemudian aku menggelandang tanpa arah. Aku menulis skenario. Lagi-lagi aku harus menelan kopi pahit, bahwa aku belum juga memantapkan langkah sebagai apa pun. Aku seperti penulis gila yang menulis apa saja yang aku lihat, dan rasakan dimana pun, baik di dalam blog, memoar dan flash disc ku. Kemudian aku putus asa kembali, karena aku belum juga menyelesaikan sekuel kedua dari Surat Cinta Saiful Malook yang sudah dinantikan semua orang termasuk diriku.

"Patah tumbuh hilang berganti".

Maka aku pohon yang patah dari pertumbuhan pesat belantara penulis yang kemudian tergantikan tanpa ampun. Aku seperti ada dan tiada.

Yang aku tahu kreativitasku sedang mandul. Tiba-tiba mati rasa dan tak bergairah untuk menggoreskan imajinasi yang sudah kepenuhan di dalam otakku.

"Cinta, mengapa kau belum menulis lagi?" Suamiku tiba-tiba emmbuatku tersentak dari lamunanku.

"Entahlah, tiba-tiba aku menjadi buntu?"

"Karena pernikahan kita kah?" Tanyanya mengejutkan. Matanya sendu terlihat sedih.

"Demi Tuhan, bukan!" Aku meyakinkan.

"Lantas?"

"Mmmhhhh, karena pekerjaanku kini menuntut imajinasiku. Aku sering kehabisan akal untuk membuatnya tak tumpah ruah sebelum waktunya. Singkatnya aku tidak punya waktu"

"Cinta, kau masih punya segudang waktu. Toh aku tidak pernah menuntut kamu mengerjakan pekerjaan rumah apa pun. Dan aku membiarkanmu berimajinasi sesuka hati. Aku ingin membuatmu senyaman mungkin. Aku mencintaimu. Aku tidak ingin kreativitasmu menjadi mandul bersamaku".

Tiba-tiba aku menangis haru. Aku memeluknya erat. Terbersit tekad untuk segera mempersembahkan sebuah buku untuknya. Demi Tuhan, suamiku lebih berhak atas penghargaan apapun dibandingkan Saiful Malook. Maka buku berikutnya akan lebih hebat. Itu hadiah terindah untuk suamiku.

Semuanya! Mohon doa restu, buku pelipur lara bagi pembaca Saiful Malook akan segera muncul.

Aku Juga Manusia

Tiba-tiba aku meradang dan balik menangisi nasib yang sama sekali tidak pantas untuk ditangisi. Sebuah pilihan hidup yang kupilih dengan sukarela dan sukacita, tiba-tiba terasa menyakitkan. Bukan karena hidup yang tiba-tiba berbalik 180 derajat dari yang aku impikan. Bukan karena kekasihku tidak memperlakukanku dengan baik. Bukan, Demi Tuhan bukan!

Aku terkesiap dengan kenyataan hidup yang tidak terbayangkan sebelumnya. Walau aku paham dengan amat sangat yakin, bahwa Allah tidak akan menguji hambanya di luar kemampuan hambanya. Aku merasa berhak untuk protes. Mengapa harus aku yang dipilih? Terpilih menjadi perempuan istimewa dari ratusan juta perempuan di dunia. Apakah aku harus merasa terhormat? Atau aku harus merasa terpasung dalam dilema. Aku tidak selalu harus kuat karena aku juga manusia.

Kehidupanku bergulir dari satu konsekuensi ke konsekuensi lain yang tiada habisnya. Ketika aku memulai episode hidup dengan memilih jalanku. Tiba-tiba aku merasa terlalu dini untuk memulai sebuah konsekuensinya. Kemudian aku lena sekejap dalam kebahagiaan yang diidamkan semua orang. Dan ketika masanya sirna, aku pun berteriak lantang dalam kebisuan.

"Tuhan......!Mengapa harus aku?"

Aku cemburu ketika seorang teman perempuanku akan memulai episode yang sama dengan diriku. Bukan karena aku mencemburui pilihannya. Tetapi aku menyalahi, setiap detik yang terlewati ketika aku merencanakan pilihanku. Dan api cemburu terus-menerus berusaha menguasai kewarasanku. Aku terus-menerus menyalahkan sang waktu.

"Mengapa tak pernah terpikirkan olehku perkara kecil seperti itu?"

Ketika kemudian aku dihadapkan pada sebuah kerinduan tak bertepi. Kemudian sederet pertanyaan yang tak mampu aku jawab. Kemudian sebuah rencana yang tak sanggup kugoreskan. Karena terlalu banyak rencana. Aku menangis. Aku bosan berencana! Aku hanya ingin seperti gadis biasa yang terlalu susah payah menjadi siapa pun. Karena hidup laksana air yang mengalir dari hulu ke hilir. Tak usah dihentikan atau dipercepat lakunya, maka garis kehidupan akan mengalir pada waktunya.

Sedang aku? Aku terus menerus dihadapkan pada sebuah dilema, pilihan dan rencana. Sekeras apa pun aku berharap untuk menjadi lapang. Maka aku dihadapkan pada sebuah kenyataan, bahwa aku juga manusia. Aku juga bisa putus asa. Aku juga butuh tangan yang menggapai tulus pada diriku yang kesakitan.

Tuhan, izinkan aku tidak perlu memilih, berencana kemudian terkapar sekali saja! Karena aku juga manusia.