Minggu, 20 Juni 2010

JANGAN AMBIL MALAIKATKU




Suatu kali saya pernah menonton acara Oprah Winfrey di televisi. Kala itu Oprah sedang membahas definisi ‘jodoh’. Selama ini kita mungkin berpikir bahwa kata ‘jodoh’ hanya digunakan untuk melabeli pasangan hidup kita, suami atau istri. Jodoh adalah belahan jiwa yang tidak akan pernah terpisahkan sampai maut sendiri yang memisahkan.Sedang seseorang yang sudah sekian lama bercinta dengan kekasihnya atau pasangan hidup resminya, namun kemudian oleh karena suatu sebab mereka terpisahkan oleh suatu keputusan cerai misalnya. Orang langsung terburu-buru mengatakan, “ Yah namanya belum jodoh…”

Benarkah jodoh seperti itu?

Saya tertarik ketika Oprah dan bintang tamu yang merupakan narasumber berkompenten merumuskan definisi jodoh. Di acara itu jodoh berarti seseorang yang datang dan memberi warna dalam kehidupan kita dalam kurun waktu tertentu. Tidak mesti harus sehidup semati. Bisa saja jodoh itu hanya berbilang hari, bulan, maupun sampai bertahun-tahun. Tidak sedikit juga yang berjodoh sampai mati.

Kemudian dikatakan lagi bahwa jodoh tidak hanya untuk seseorang yang memiliki hubungan cinta kepada kita. Jodoh bisa siapa saja, asal dia pernah datang dan memberi warna dalam hidup kita pada masa tertentu. Dia bisa saja teman sepermainan, tim sekerja, guru, orang asing, bahkan mungkin hewan-hewan peliharaan yang memberi kesan teresendiri dalam kehidupan kita. Dan Manusia biasanya memiliki lebih dari satu jodoh selama hidupnya.

Awalnya saya agak bingung dengan definisi itu. Karena saya mencoba menetralkan pikiran saya akan definisi jodoh yang sebelumnya saya terima. Kalau saya boleh menyimpulkan, jodoh adalah seseorang yang bisa memberikan euphoria ‘click’ di dalam hati kita ketika bertemu dengannya. Dari reaksi ‘click’ itu kemudian berkembang menjadi suatu kedekatan yang sangat monumental. Dan ketika dia pergi, kita merasakan ada sesuatu yang hilang dan menyadari bahwa dia telah memberi warna dalam kehidupan kita.

Ingatan saya pun melayang pada para sosok malaikat yang datang dan pergi dalam kehidupan saya. Saya berpikir mungkin mereka-mereka inilah jodoh-jodoh saya.

Sepanjang usia saya, saya ingat beberapa nama yang mendapat tempat khusus dalam hati saya. Mereka-mereka ini meskipun kehadirannya amatlah singkat, namun mewarnai hidup saya. Bahkan tak jarang di antara mereka yang membentuk karakter positif dalam diri saya.

Saya menamai mereka ‘Guardian Angel’ atau ‘Malaikat Penjaga’. Tentu saja mereka tidak seperti tampak malaikat dalam dongeng-dongeng, yang selalu berjubab putih, memiliki sayap putih dan bermahkota, senyumnya lembut menghangatkan. Tidak tentu saja tidak. Saya juga tidak mau menyamakan dia seperti malaikat sesungguhnya dalam kitab-kitab suci. Demi Tuhan, saya tidak mau dianggap sedang meracau tidak jelas dan dituduh membawa aliran sesat.

Malaikat-malaikat saya adalah orang-orang biasa tanpa sayap yang telah memberi arti dalam kehidupan saya. Mengapa saya menamakannya malaikat?

Karena mereka terlalu baik, hingga saya tak punya ide lagi bagaimana menamakan orang-orang istimewa ini. Saya menganggap dan membayangkan mereka benar-benar sesosok malaikat yang mungkin saja dikirim Tuhan untuk menjaga saya.

Sepanjang hidup, pasti kita pernah dihadapkan pada ujian kesabaran yang terkadang membuat kita harus berlinang air mata, tanpa tahu kemana harus bercerita. Selain mengadu ke Sang Pencipta, manusia terkadang membutuhkan manusia lain untuk berbagi. Karena manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendirian. Manusia membutuhkan seseorang yang bisa mendengarkan keluh-kesahnya, menjadi bahu untuk bersandar ketika menangis, menemani dalam senyap yang tak berujung, mengingatkannya agar tidak salah langkah, sekaligus menyemangatinya.

Dan saya pikir setiap Tuhan memberikan cobaan, Dia tidak serta-merta hanya memberikan cobaan tanpa rencana baik di dalamnya. Begitupun Tuhan tidak memberikannya terpisah dari solusi dan bagaimana mendapatkan solusi tersebut. Tuhan mengirimkan utusan-utusan-Nya untuk membantu Hamba-Nya. Tuhan tidak membiarkan Hamba-Nya sendirian mengatasi perkara.

Dan kita tidak pernah tahu kapan malaikat penolong itu datang atau menebak-nebak jati diri sang malaikat sebelum malaikat itu pergi dalam kehidupan kita. Kita baru menyadari betapa berjasanya dia dalam hidup kita.

Pernah tidak, suatu kali anda sedang terjepit dan amat sangat membutuhkan uang. Anda tidak tahu harus kemana. Hingga tiba-tiba ada salah seorang teman anda datang meminjamkannya. Padahal hubungan pertemanan anda dengan dia mungkin belum terlalu dekat. Tetapi bagaimana mungkin justru dia yang datang membantu.

Pernahkah suatu kali saat anda sedang dirundung masalah yang teramat pelik, dan anda tidak tahu bagaimana menyelesaikannya selain anda mengadu pada Illahi Rabb. Tiba-tiba anda berkenalan dengan seseorang yang serta-merta memecahkan permasalahan anda.

Pernahkah anda tersesat di suatu daerah yang teramat asing untuk anda, dan anda sama sekali tidka mengenal siapapun di sana. Tetapi tiba-tiba ada seseorang yang menunjukkan arah.
Pernahkah anda sedang membutuhkan jawaban dari suatu persoalan, ternyata datang orang yang tidak diduga-duga meenawarkan bantuan.

Pernahkah anda teramat kehausan dan tidak tahu bagaimana mendapatkan air, tiba-tiba ada seseorang yang menawarkan segelas air dingin untuk melepas dahaga.

Pernahkah anda sedang merasa ‘terbuang’, rendah diri, tak berguna, dan lain sebagainya. Tiba-tiba ada kenalan kamu yang datang dan membangkitkan semangat anda hingga anda merasa menjadi orang baru.

Pernahkah anda bertemu dan berkenalan dengan seseorang di kereta, bis ataupun pesawat yang membuat anda merasa ‘click’ dan seiring dengan perjalanan waktu dia ternyata memiliki andil besar dalam merapikan hidup anda.

Mereka bukan siapa-siapa. Mereka hanyalah manusia biasa yang entah bagaimana, mereka datang tepat pada waktunya. Mereka seperti malaikat penolong yang sengaja dikirim Tuhan untuk menyelesaikan masalah kita. Mereka seperti jawaban dari doa kita.

Mereka datang pada saat yang tepat. Kemudian pergi saat kita tidak lagi membutuhkannya. Seperti ada sebuah kontrak kerja terselubung antara Tuhan dan para malaikat penolong ini. Mereka hanyalah pegawai kontrak waktu tetap, yang bisa dipekerjakan dan diberhentikan sesuai kebutuhan. Saat kontrak kerja itu berakhir, malaikat penolong akan pergi dan meninggalkan saya sendiri lagi setelah saya lepas dari suatu masalah.

Di kehidupan saya, ada banyak sekali malaikat yang datang dan pergi. Namun hanya beberapa yang saya ingat. Malaikat itu biasanya amat sangat berpengaruh dalam kehidupan saya selanjutnya. Dan sampai kapan pun saya tak akan pernah lupa pada jasanya.

Tentu saja itu bukan berarti saya mengabaikan malaikat lain yang telah datang dan pergi dalam kehidupan saya. Saya tidak sengaja melupakannya, karena malaikat itu datang di episode hidup saya yang sangat silam. Dan saya tidak ingat. Bukankah setiap manusia memiliki ingatan terbatas? Saya harus merelakan ingatan lama saya lenyap sebagian, demi sedikit ruang untuk ingatan baru saya. Pada kesempatan kali ini saya akan memncoba menceritakan sebagian dari malaikat-malaikat saya semenjak saya di bangku kuliah.

Malaikat tanpa sayap saya yang pertama adalah ketika saya adalah gadis lugu yang tengah jatuh cinta pada kekasih maya bernama Saiful Malook. Ketika Saiful Malook dengan tiba-tiba lenyap tanpa kabar. Saya yang tengah dirundung asmara tak terima begitu saja pada takdir saya. Begitu sedihnya saya, hingga saya jatuh sakit.

Saya benar- benar seperti sebuah karakter dalam roman picisan. Saya tidak bisa makan, karena setiap saat saya selalu memikirkan kemana perginya Saiful Malook. Saya tidak habis pikir, mengapa Tuhan mengambil Saiful Malook dari hidup saya tanpa permisi. Saya meminta pertanggung-jawaban Allah atas perginya dia.

Setelah sekian lama saya tidak mendapat kabar. Saya akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan diplomatik pada pemerintah Pakistan, negara tempat Saiful Malook berasal.

Saya pikir apa yang saya lakukan adalah hal tergila yang pernah dilakukan seorang pecinta. Dengan gagah beraninya saya datang ke Kedubes Pakistan di Jakarta. Saya meminta langsung bertemu dengan Sang Duta Besar.

Awalnya tentu saja, petugas keamanan menghalau saya. Mengingat saya bukan siapa-siapa dan alasan untuk bertemu, sangat tidak masuk di akal. Setelah melalui sedemikian perdebatan, entah bagaimana saya akhirnya bisa masuk ke dalam ruang sang duta besar.

Sang duta besar mempersilahkan saya bercerita. Saya pun mempergunakan waktu berharga saya untuk bercerita dari A-Z tentang Saiful Malook, bagaimana kita bertemu dan betapa saya mengenal Pakistan darinya. Ternyata cerita saya memukau Sang Duta Besar. Karena pengetahuan saya akan Pakistan saat itu cukup banyak. Bahkan saya bisa berbicara lancar dalam Bahasa Urdu.

Sungguh tidak disangka-sangka, beliau menerima saya dengan baik. Bahkan Sang Duta Besar yang kebetulan berpangkat Mayor Jenderal dan pernah menjadi atasan dari Presiden Pervez Musharraf, berjanji untuk mengerahkan bala bantuan dalam pencarian Saiful Malook di Peshawar.

Proses pencarian tidak semudah membalikkan telapak tangan. Saya tidak segera mendapatkan titik terang hingga bertahun-tahun kemudian. Namun saya tidak peduli. Saya tetap memupuk harapan bahwa suatu kali saya akan menemukan Saiful Malook yang entah ada dimana. Begitu besarnya pengharapan saya, hingga skripsi saya pun mengambil tema yang tidak jauh-jauh dari Pakistan.

Saya menganggap Sang Duta Besar itu adalah seorang malaikat yang dikirim oleh Tuhan ke bumi untuk menolongku. Siapapun beliau, ia pasti orang suci yang tak sampai hati melihat orang lain menderita. Siapapun orangnya. Walau pun saya hanya seorang gadis kecil yang bukan anak pejabat tinggi.

Tak banyak yang saya ketahui dari malaikat saya. Selain bahwa dia adalah seorang pisces sejati. Seperti kebanyakan pisces, dia lebih suka berada dalam dunia mimpi dibandingkan dalam dunia nyata. Tipikal yang lemah dan sensitif untuk masalah hati. Seseorang yang bisa menangis jika sahabat baiknya bersedih dan patah hati. Dan ia akan merasa sangat bahagia jika teman baiknya mendapat kebahagiaan walaupun hal itu sama sekali tidak berhubungan dengannya. Seperti juga aku. Mungkin karena itu beliau empati kepada saya yang juga pisces.

Dan malaikat saya pergi setelah saya bisa bangkit dari kesedihan saya akan kehilangan cinta. Setelah saya menyelesaikan skripsi dan menyelesaikan kuliah saya. Setelah saya menyelesaikan novel pertama saya.

Malaikat saya berikutnya, adalah salah seorang teman Kuliah Kerja Nyata (KKN) saya yang sering membuat menangis dan kesal. Di minggu-minggu awal pertemanan kami di Desa Bojong Cae. Saya berasa hidup dalam neraka.Karena setiap hari ketua kelompok kami di Desa Bojong Cae yang biasa saya panggil Abang selalu mencari perkara yang membuat saya menangis. Sebetulnya saya tidak serta-merta menyalahkan dia karena telah membuat saya menangis. Pada saat itu saya belum terbiasa tinggal serumah dengan orang yang memiliki watak keras dan tidak bisa berbicara lembut. Saya akan beegitu mudahnya menganggap dia sedang memarahi saya. Maklum, Abang ini adalah orang Batak Tulen yang terbiasa berbicara keras dengan intonasi yang tegas dan tidak suka berbasa-basi.

Di masa KKN itu, kebetulan saya ditaksir oleh pemuda pujaan Desa Bojong Cae yang kebetulan adik kepala desa. Lelaki itu sedemikan agresifnya mendekati saya, hingga saya merasa jengah. Namun sebetulnya kami justru bisa mengambil keuntungan dari lelaki ini. Karena sedemikian naksirnya dia dengan saya, hingga dia tidak sampai hati membiarkan tim kami yang terdiri dari lima orang termasuk saya kelaparan. Setiap hari selalu ada saja bingkisan makanan untuk rumah kontrakan kami di dusun. Bahkan kami seringkali ditolong oleh lelaki yang juga ustad kampung. Namun kami memanggilnya dengan sebutan Ustad keparat.

Waktu itu Saya masih terlalu naif untuk bisa menebak tipu muslihat lelaki. Saya layaknya gadis kecil yang tidak tahu apa-apa. Selama proses pendekatan lelaki itu yang terkesan membabi-buta dan terkesan direstui oleh seluruh tokoh desa. Saya tidak kurang pengawasan dan bantuan dari sahabat-sahabat saya di Istana Bojong Cae.

Bojong Cae desa yang kecil. Tidak ada yang rahasia di desa ini. Hubungan antara Saya dan Ustad keparat tersebar luas. Padahal Saya sama sekali tidak tahu apa-apa. Dengan skenario yang terorganisir, Saya masih saja didaulat sebagai pembonceng tetap lelaki itu. Sekeras apapun Saya menolak. Saya tidak akan bisa menghindari. Karena jumlah motor terbatas. Dan selalu Saya yang mendapat bagian terakhir, dan pengendara motor itu tidak lain dan tidak bukan adalah Pak Dadang. Lagipula yang menyuruh Saya ikut dengannya banyak termasuk tetua kampung.

Pernah suatu saat Saya tertinggal jauh dari rombongan. Si ustad keparat sepertinya mengendarai motor dengan sangat pelan. Dan dia terus menerus mengajak saya berbincang. Padahal Saya sudah ketakutan setengah mati. Saya hanya berdua saja dengan dia di gelapnya malam. Seandainya terjadi apa-apa dengan saya dan Saya berteriak. Tak akan ada seorang pun yang mendengarnya. Hanya ada rerimbunan pohon, suara jangkrik dan kodok. Mungkin juga derik ular. Dan parahnya saat itu Saya sama sekali tidak membawa telepon genggam.

Saya komat-kamit berdoa seperti merapal mantra, “Audzubillahiminassyaitan ni rrajim. Saya berlindung dari godaan syetan yang terkutuk yang mungkin saja menyelinap di dalam raga lelaki ini”.

Hembus angin malam yang biasanya terasa menyegarkan. Kali ini terasa menusuk kalbu. Saya benar-benar menggigil ketakutan. Saya memperhatikan jalan. Berusaha mengingat-ingat bagaimana tampak jalannya ini bila siang hari. Jadi seandainya terjadi hal buruk, Saya tahu kemana harus melarikan diri. Saya benar-benar tidak konsentrasi lagi pada omongan si Ustad keparat. Saya menyibukkan diri untuk berpikir keras bagaimana menyelamatkan diri.

Tiba-tiba Saya melihat sesosok pengendara motor sambil berjongkok seperti membenarkan motornya. Ya Allah! Semoga itu penolongku. Ya sosok itu kian jelas. Saya rasa Ustad keparat juga melihatnya. Tunggu dulu! Bukannya itu....itu ... Abang. Yah itu abang.

Kami menghampiri abang. Ustad keparat itu berbasa-basi menanyakan gerangan apa yang membuat Abang berhenti di tengah jalan.

“Oh tahu nih tiba-tiba mogok”. Abang menjawab. Maka ustad keparat menghentikan motornya dan menghampirinya.Agak lama juga kami berhenti. Sampai akhirnya motor yang abang tumpangi kembali berfungsi. Ustad keparat kembali ke motornya. Sebenarnya Saya ingin ikut abang, tetapi motor abang tidak menyediakan tempat boncengan. Maka Saya terpaksa duduk lagi di belakang ustad keparat.

Saat Ustad keparat mempersilahkan abang untuk melajukan motornya dahulu. Abang dengan basa-basi malah mempersilahkan kami untuk lewat dahulu. Abang ingin memastikan motornya baik-baik saja. Maka dengan berat hati Ustad keparat melajukan kendaraannya. Saat kami sudah berjalan. Baru abang mengikuti kami dari belakang.

Belakangan Saya baru tahu, bahwa itu adalah tipu muslihat abang. Abang tiba-tiba menyadari motor yang ditumpangi Saya dan si usatad keparat tertinggal jauh dari rombongan. Abang merasa khawatir dengan keselamatan dan kehormatan saya makanya dia melambatkan motor dan berhenti

Berpura-pura motornya mogok tak lain agar dia bisa mengawasi saya dari belakang. Kejadian itu benar-benar tak pernah lekang dari ingatan saya. Sosok abang yang sering membuat saya menangis ternyata telah menyelamatkan saya. Dia adalah malaikat saya. Walau Abang tidak benar-benar lenyap dari kehidupan saya, tetapi saya tidak bisa banyak berinteraksi lagi dengannya oleh karena kesibukan kami.

Malaikat saya yang lain adalah salah seorang teman kuliah saya bernama Dicky. Dicky adalah salah seorang dari teman lelaki terdekat. Dia hampir selalu ada dalam episode hidupku. Saya memang selalu merasa nyaman berbicara dan berada di dekatnya. Walau dia berasal dari daerah yang sama dengan abang. Namun dia memiliki tabiat yang sama sekali berbeda dengan abang. Walau logat Bataknya terdengar kental. Namun tutur katanya lembut. Tak pernah sekali pun kulihat dia marah atau berbicara keras. Bicaranya lembut dan menyenangkan. Dia bisa menjadi pendengar terbaik. Bila Saya bercerita padanya, maka dengan sabar matanya akan mengamati Saya penuh rasa ingin tahu. Membuat Saya yang bercerita menjadi semakin bersemangat.

Beberapa kali Saya pernah meminta pertolongan kepadanya. Dan beberapa kali itu pula ia mengabulkan permintaan saya tanpa banyak komentar. Dari berpura-pura menjadi tunangan saya untuk mengelabui si ustad keparat dari Bojong Cae yang tergila-gila kepada diri saya, bahkan hingga menemani Saya menemui sang duta besar Pakistan. Dia partner setia saya. Saya menyebut-nyebutnya dengan penuh hormat dan penghargaan namanya dalam novel perdana saya sebagai malaikat penyelamat.

Tidak banyak orang yang mau dan punya cukup nyali untuk menemani seorang teman menemui petinggi negara asing untuk urusan apa pun. Mungkin pula mereka akan mundur teratur sedetik setelah Saya minta dengan banyak alasan. Tidak lancar berbahasa Inggris lah, bingung harus memakai baju apa lah, tidak cukup percaya diri lah, dan lain-lain. Maka si Dicky ini adalah lelaki yang memiliki cukup nyali besar untuk menolong siapa pun tanpa pamrih. Dia adalah teman yang teramat menyenangkan hati.

Begitu hebatnya Saya mengelu-elukan namanya di antara Saiful Malook dan nama-nama lain di novelku, membuat banyak pembaca saya yang mempertanyakan kedekatan saya dengan Dicky. Bahkan ketika akhirnya tersiar kabar Saya telah melepas masa lajang. Maka berbondong-bondong email masuk mempertanyakan apakah Dicky yang telah menggantikan tempat seorang Saiful Malook yang malang. Saya tersenyum simpul. Dan di balon-balon imajinasiku bermunculan nama Dicky. Saya sempat berpikir mungkin Dicky adalah tipikal pria idaman bagi saya. Hanya saja takdir berkata lain.

Malaikat saya yang lain adalah Pak Didik, penerbit pertama saya. Saat itu saya adalah penulis baru yang sama sekali awam di dunia kepenulisan dan penerbitan. Bahkan pada masa itu saya belum mengenal dunia per-blogging-an. Saya benar-benar baru dan tidak terdengar. Saya yakin semua orang menyangsikan kemampuan saya menulis. Bahkan saya pun menyangsikannya.

Sebenarnya saat itu saya mengenal satu orang penerbit yang ingin mengorbitkan saya. Tetapi entah bagaimana saya tidak merasa ‘click’ dengan orang itu. Maka di tengah-tengah kebingungan saya setelah menyelesaikan tulisan saya tentang Saiful Malook, saya berselancar di dunia maya. Saya berusaha mencari tahu perihal bagaimana saya bisa menerbitkan tulisan saya.

Entah mengapa, hati saya tergerak untuk mengintip salah satu website yang saat itu saya tidak tahu kalau itu adalah website penerbit. Namanya Escaeva. Saya melihat artikel tentang bagaimana bisa menerbitkan suatu novel. Saya baca dengan cermat artikel itu. Kemudian saya melakukan setiap langkah yang diberikan.

Saya melihat ulang dan merapihkan setiap detil tulisan dengan cermat. Kemudian saya membuat sinopsis mengenai garis besar tulisan saya. Saya juga membuat daftar poin penting mengapa novel ini bernilai jual, termasuk tentang kata pengantar dari salah satu saksi hidup, Sang Duta Besar Pakistan. Saya juga membuatkan satu contoh bab pertama dari bakal novel saya. Keesokan harinya saya mengirimkan email berisi proposal, contoh novel, biodata saya ke penerbit itu.

Eureka! Tidak perlu menunggu lama. Tepat di Hari Juma’at, hari keberuntungan saya. Kabar baik datang. Pak Didik menelpon saya. Kemudian kami mengatur waktu untuk bisa bertemu membicarakan kontrak. Rasanya saat itu dunia adalah milik saya. Semuanya datang tepat waktunya. Dan Tuhan mengirimkan malaikat untuk menjawab doa saya yang ingin segera menunjukkan pada dunia, bahwa saya bisa menulis.

Ternyata malaikat saya saat itu adalah seorang Pisces. Luar biasa, kala itu Tuhan mengirimkan saya dua orang Pisces untuk menjadi malaikat saya.

Pak Didik benar-benar telah membimbing saya, hingga saya bisa meluncurkan novel yang benar-benar mengguncang dunia. Dia menghantarkan saya pada impian terbesar saya saat itu. Ketika saya butuh terapi untuk melupakan Saiful Malook dengan menuliskan kisah kami. Dia menjadi pendukung utama saya. Saya benar-benar menemukan mitra yang luar biasa. Saya merindukan saat-saat kebersamaan kami.

Namun sayang, Escaeva tidak lagi bergerak di lini buku fiksi. Hingga detik ini saya belum bisa meluncurkan buku non-fiksi. Maka saya belum bisa lagi berjalan dengan Escaeva lagi. Saya berharap suatu hari nanti saya akan mengulang masa-masa indah itu bersamanya lagi. Menjadi penulis di bawah bendera Escaeva.

Malaikat saya berikutnya adalah Pak Karim. Dia adalah GM saya di perusahaan terdahulu. Entah bagaimana saya dan dia sedemikian ‘nyambung’-nya walau kami berbeda zaman. Lelaki berdarah Belanda berusia tiga puluh tahun itu tidak suka budaya senioritas yang biasa tumbuh di sebuah perusahaan. Hubungan kami tanpa jarak layaknya teman. Bahkan, sebutan “bapak” begitu menyiksa telinganya. Saya yang agak rikuh memanggil nama seperti rekan-rekan lain yang seumuran dengan atasan saya, akhirnya memakai kata “babeh”. Lebih akrab namun tetap penuh hormat.

Saya menyukai pekerjaan saya dan juga orang-orang di sana. Saya punya alasan kuat untuk bangun pagi dan berangkat ke kantor dengan riang. Mungkin juga karena euphoria seorang pekerja baru. Sama rasanya ketika baru duduk di bangku sekolah menengah. Sama rasanya ketika baru menginjakkan kaki di kampus biru.

Saya karyawan termuda sekaligus satu-satunya perempuan di divisi ini. Tiga orang lainnya adalah pria beristri yang sudah berusia matang. Saya layaknya penggembira di tengah-tengah mereka. Saya juga yang memberikan sentuhan perempuan di ruangan ini.

Saat hari pertama datang ke kantor, Saya membayangkan bakal menjadi perawan di sarang penyamun. Ruangan ini lebih mirip sebuah sarang atau markas para lelaki. Bau asap rokok memenuhi ruangan ber-AC. Exhaust fan dan pengharum ruangan tak mampu melenyapkan bau asap, terutama dari rokok Pak Thomas. Belum lagi hingar-bingar musik Rock sekelas Megadeth, Metallica, atau Black Sabbath yang memekakkan telinga. Kebisingan itu bahkan tidak mampu teredam hingga sampai ke lantai satu. Di minggu pertama, Saya harus terbatuk-batuk akibat alergi asap. Seiring dengan berjalannya waktu, alergi pun lenyap. Saya mulai terbiasa dengan asap rokok.

Kami berempat, sang GM, Pak Thomas, Pak Hafiz, dan Saya adalah tim yang kompak. GM merumuskan tujuan dan target yang akan dicapai lengkap dengan strateginya, sedang para manajer mengerahkan daya upaya untuk mewujudkannya. Saya bertindak sebagai intelijen yang menyediakan semua data-data yang dibutuhkan mereka. Sesekali, Saya juga dilibatkan dalam rapat-rapat penting yang memerlukan negosiasi kepada pihak terkait. Proyek besar batu bara hampir selalu menjadi topik pembicaraan. Kami memiliki hampir semua data, mulai dari cadangan, jumlah produksi, konsumsi, hingga pengangkutan. Rencananya, perusahaan kami akan merambah di bidang itu. Setelah isu konvensi bahan bakar minyak berkembang, banyak perusahaan beralih pada batu bara. Selain lebih murah, kualitasnya pun baik.

Awalnya, perusahaan kami yang bergerak di bidang transportasi hanya mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan pengangkutan batu bara, mulai dari pengangkutan dari tambang menuju terminal di tepi laut dan sungai besar, pengangkutan dengan kapal, hingga pengangkutan dari pelabuhan di pulau Jawa menuju lokasi konsumen. Jika proyek ini berjalan, kami akan benar-benar memiliki tambang sendiri.
Diferensiasi usaha adalah hal yang lazim.

Bukan hal mengherankan bila tiba-tiba perusahaan shipping yang mengurusi kargo bergerak di bidang lain. Toh, semuanya dilakukan untuk mendukung kelangsungan usaha inti sekaligus menangguk untung besar.

Babeh Karim membantu masa transisi saya dari seorang fresh graduate menjadi seorang pekerja sungguhan yang penuh dedikasi. Saya belajar banyak dari dia dan tempat kerja saya. Suatu kali saya pernah menangis sesenggukan karena dimarahi oleh rekan kerja dari divisi yang berbeda karena dia memang terkenal sebagai orang yang tidak memiliki attitude yang baik. Rupanya Pak Thomas yang juga manajer saya mengadu ke bos besar yakni Babeh Karim. Beliau sampai meminta bos dari teman saya yang tidak punya manner itu untuk memperingati orang kurang ajar itu.

Sebetulnya hubungan saya dengan Babeh Karim dan manajer lainnya sangat baik. Pak Thomas dan Pak Hafiz tidak kalah baiknya dengan saya. Kami memang tim yang sangat kompak. Saya sampai berpikir saat itu Tuhan mengirimkan 3 malaikat sekaligus dalam kehidupan saya. Saya berada dalam satu fase yang paling nyaman saat itu. Bekerja dengan para malaikat.

Begitu lengketnya hubungan kami, sampai kami merasa kami tidak berada dalam lingkungan pekerjaan. Tetapi persahabatan, bahkan lebih mirip seperti saudara. Kami sering kali menghabiskan waktu untuk liburan bersama. Tidak hanya dengan mereka bertiga tetapi juga dengan istri dan anak-anak mereka. Dan biasanya kami juga mengajak Mbak Tini, office girl kesayangan kami.

Ketika akhirnya Babeh Karim pergi ke tempat yang bisa menghargai dia lebih baik dari perusahaan kami. Saya adalah orang yang paling merasa kehilangan. Saya sedih bukan kepalang. Mungkin karena tipikal dari seorang pisces yang bisa dengan mudah menjadi ’mellow’ dan sensitif. Karena dia bukan hanya sebagai bos, tetapi juga mitra, sahabat dan kakak saya. Kami pernah terlibat proyek rahasia dalam bisnis ekspor-impor. Bahkan dia juga yang membantu saya menemukan passion saya akan dunia tulis menulis.

Hingga detik ini kami sudah berpisah. Hubungan saya dengan dia masih terjalin baik. Saya masih bisa meminta pertolongan dia, begitu pun dia. Namun sudah pasti semuanya berbeda. Tidak seperti dulu.

Malaikat berikutnya adalah seorang India yang kebetulan adalah sahabat pena saya. Saya memanggilnya Surya, karena dia seperti surya yang menerangi hari setelah kegelapan. Saat itu memang saya sedang dalam masa krisis kepercayaan diri. Dan dia membangkitkan kembali semangat saya sekaligus menemukan saya pada mimpi-mimpi saya.

Lama menjadi sahabat pena namun kami baru bertemu tanggal 1 April 2006. Suatu hari teman saya yang pernah bekerja sebagai tim ahli Microsoft Amerika ini menyurati saya bahwa dia akan singgah di Jakarta sebelum mengikuti konferensi IT di Singapura. Berbekal surat terakhir, saya pun datang menjemputnya di Bandara pada hari yang disebutkan. Tanggal 1 April 2006 tepat pada jam 10 pagi.

Saya hampir meninggalkan bandara, karena lewat pukul dua belas siang. Dia belum juga datang. Saya hampir berpikir bahwa itu adalah gurauan ala April Mop. Saya tak henti-hentinya menyalahkan kebodohan saya. Namun entah dorongan darimana, ada keyakinan dalam hati saya bahwa Surya tidak berdusta. Saya menunggunya hingga telepon genggam saya berdering tepat jam satu siang.

” Budi where are you?” Surya memang lebih suka memanggil nama tengah saya sebagai panggilan kesayangan.

” Surya....where are you?”

” In US....” Dia diam dan kemudian dia meralat.

” Ofcourse in airport Jakarta as i told you.” Dia terkekeh, saya menghela nafas lega. Berbekal ingatan saya akan fotonya, saya mencari dia. Ternyata dia yang mengenali saya, dan memanggil saya dari kerumunan.

Itu adalah pertemuan paling aneh dalam hidup saya. Kami hanya bertemu muka selama lima jam saja. Di akhir pertemuan sebelum kami berpisah di bandara, dia memberikan saya sebuah buku berjudul ” The Power Of Subsconscious Mind” karangan Joseph Murphy. Buku luar biasa dengan sampul putih yang telah mengubah hidup saya untuk selamanya.

Dia sempat berkata, bahwa buku itu telah menginspirasi dirinya dan sekarang sudah waktunya buku itu berpindah tangan kepada orang yang lebih berhak, yaitu saya. Dia tahu kalau saya sedang berada di titik nol.

Slogan saya, ’You Are What You Think All Day Long. Think good, good follows, think evil, evil follows’ adalah kata-kata yang saya ambil dari salah satu kutipan buku itu. Kata-kata ajaib yang mengubah saya selamanya menjadi pribadi yang positif. Saya selalu berusaha memupuk diri untuk memandang segala sesuatu dari sudut pandang positif. Karena segala sesuatu yang akan terjadi nanti, bergantung dari apa yang kita pikirkan sekarang. Kalau kita berpikir buruk, maka keburukan yang akan kita dapatkan. Sebaliknya bila kita berpikir positif, maka kecemerlangan yang akan kita dapatkan.

The treasure house is within you. Look within for the answer to your heart’s desire.

Never use such expressions as, ’I can’t afford it’ or ’I can’t do it’. Your subsconscious mind takes you at your word. It sees to it that you do not have the money or the ability to do what you want to do do. Affirm, ’I can do all things through the power of my subsconscious mind.’

You are like a captain navigating a ship.

The law of life is the law of belief.

Dan kalimat-kalimat positif lainnya yang menginspirasi saya. Saya percaya bahwa selain ketetapan QADHA, takdir yang tidak bisa diubah lagi seperti kiamat, jenis kelamin, kematian, kelahiran, dll. Sisanya adalah konsekuensi dari pilihan hidup. Tidak ada yang tidak mungkin untuk diwujudkan kalau kita percaya. Kita bisa mengubah hidup kita menjadi apa yang kita mau dengan seizin Tuhan.

” Tuhan tidak akan mengubah mengubah nasib suatu kaum bila kita tidak mengubahnya sendiri.” (Ar Ra’d: 11)

Tuhan berbuat sesuai dengan prasangka hambanya, berdoa, berharap dan berusahalah sekeras mungkin. Dan kamu akan mendapatkannya.

Sedang bila kita tidak juga mendapatkan apa yang kita inginkan padahal kita sudah berusaha sekeras mungkin. Percayalah bahwa Cuma Tuhan yang tidak akan pernah mengecewakan kita, saat semua hal yang ada di dunia ini berkali-kali mengecewakan kita. Anggap itu sebagai sebuah keberhasilan yang tertunda. Kebaikan dari Tuhan, Karena Tuhan Maha Tahu Yang Terbaik untuk kita.

Saya berhutang besar pada Surya. Sayangnya Surya seperti lenyap begitu saja di telan bumi. Saya tidak tahu bagaimana menghubungi dia. Tetapi saat saya jatuh dan sedih, dia hampir selalu menghubungi saya. Saya sempat berpikir jangan-jangann Surya adalah malaikat dalam arti sebenarnya. GHAIB.

Kalau saya bertemu dia, saya ingin katakan bahwa saya sudah menjadi pribadi yang positif. Saya telah mewujudkan hampir semua impian saya, termasuk menulis buku. Saya ingin dia membaca salah satu tulisan saya, agar dia tahu betapa dia telah mengubah saya.

Malaikat berikutnya adalah seseorang Pemred dari sebuah majalah Islam yang saya temui secara tidak sengaja di dunia maya. Ketika saya sedang menyelesaikan novel The Chosen Prince. Tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sebuah nama dari sekian banyak artikel yang melukiskan siapa dia. Dan ternyata tanpa disangka-sangka, nama itu mengundang saya untuk menjadi temannya di facebook. Dan pertemanan kamipun dimulai.

Dia seperti pendengar setiap ide-ide gila saya untuk buku-buku saya. Saya banyak berdiskusi dengan dia tentang banyak hal. Saya memaksa dia untuk membaca habis ’The Chosen Prince’ sebelum siapapun juga. Padahal tebalnya beratus-ratus halaman. Dan dia dengan sabar meneliti satu persatu,mengkritik, dan memberi saran.

Setelah selesai, saya masih terus mengganggunya dengan sekian banyak pertanyaan tentang hidup dan juga tentang ide-ide saya. Dari perbincangan kami, saya sempat membuat draft untuk novel berjudul ’Airport’ dan ’Kali-Kali Laki-Laki’ yang entah kapan saya akan menyelesaikannya. Karena saya sedang jatuh cinta dengan tokoh Ramzi dan Ali dalam ,Catatan Harian Laila. Setelah sebelumnya berjibaku dengan ’Istana Bojong Cae’. Dia pula yang membuat ide gila tentang’ Nasi Goreng Untuk Obama’ jadi kenyataan.

Dia menyadarkan saya untuk tidak ikut serta dalam perang komersialisasi idealisme. Biarkan menulis dengan sepenuh hati, maka hasilnya akan memuaskan. Dan mengingatkan saya jangan berhenti menulis, walau dicaci dan dimaki. Karena segala bentuk kritikan akan mendewasakan diri saya dalam menulis.

Dia pula yang membantu saya memilih di antara dua pilihan yang sulit ketika harus memilih penerbit. Saya ingat kata-kata dia, ” Kamu macam Pak Belalang dalam dongeng yang kebingungan hendak bersampan ke dua pulau berbeda untuk menghadiri hajatan. Karena Pak Belalang terlalu lama menimbang, akhirnya dia kehilangan dua kesempatan besar untuk dapat nasi berkat. Jangan membiarkan kesempatan besar terlewat tanpa arti.”

Saya benar-benar mengingatnya. Entah apakah dia mengingatnya atau tidak. Dia pernah bercerita, kalau suatu waktu dia juga akan menulis buku pertamanya. Dan dia mungkin akan memakai sudut pandang karakter yang berbeda dalam satu waktu seperti ketika saya menuliskan The Chosen Prince.
Selebihnya kami banyak bercerita tentang hidup kami. Tentang Ratunya yang cantik dan tentang dua anaknya yang menggemaskan.Begitupun saya yang tidak pernah bosan menceritakan tentang pangeran saya.

Namun entah mengapa, sedikit demi sedikit dia juga mulai menarik diri dalam kehidupan saya. Perlahan tapi pasti dia meninggalkan saya, seperti malaikat lain dalam hidup saya saat kontrak kerjanya dengan Tuhan yang mengirim dia telah selesai.

Beberapa waktu lalu saya kembali dalam posisi yang tidak menguntungkan. Saya dirundung kesedihan setelah mengalami beberapa ujian, dan ketika saya mencoba memahaminya. Tuhan mengirimkan malaikat lagi untuk menemani saya.

Dia tidak datang sebagai malaikat sempurna seperti sebelumnya. Dia justru datang dengan segenap permasalahannya. Namun justru dari permasalahannya aku bisa belajar banyak, bahwa hidup tidak selamanya mulus sesuai rencana. Saya belajar untuk mensyukuri hidup saya yang jauh lebih beruntung darinya. Dan saya belajar untuk memahami bahwa segala sesuatu pasti ada alasannya. Sekalipun itu adalah tindakan yang kejam.

Sebelumnya dia datang, saya adalah perempuan yang terluka. Dia datang menyembuhkan dengan caranya sendiri. Karena dia ternyata adalah gambaran dari seseorang yang menyakiti saya.
Dia menemani saya memahami hidup dalam kesenyapan. Dia membuka mata hati saya bahwa hidup ini adalah kejam, tidak seputih yang saya bayangkan. Dia juga yang mematahkan teori-teori saya tentang bagaimana membalas kejahatan dengan kebaikan dan doa.

Suatu kali saya berkata pada dirinya yang diliputi rasa sakit hati dan dendam pada seseorang, ” Kalau kita disakiti, maka kita tidak perlu membalasnya dengan kejahatan yang sama. Justru kita mendoakannya. Setiap perkataan dan doa akan di-amin-kan oleh malaikat dan berbalik ke kita. Kalau kita mendoakan kebaikan, maka kebaikan yang akan kita dapatkan. Doa orang teraniaya itu dikabulkan, maka jangan buang kesempatan emas itu dengan mengucapkan sumpah serapah.”

Serta merta dia mendebatnya, ” Apa kamu bilang? Apa kita juga harus diam ketika Israel menganiaya Palestina. Ketika Israel menyerang kapal pembawa bala bantuan dan lain sebagainya.”

Dia memang pintar berdebat, maka saya dibuat tidak berkutik ketika dia malah memberi contoh yang tidak diduga-duga. Perkataan dia membuat saya berpikir lebih keras mengenai jawaban saya.

” Iya...” Saya menjawab sedikit ragu. Saya yakin dengan teori saya, tetapi untuk masalah Israel dan kekejamannya saya tidak setuju. Palestina yang tersakiti, tetapi saya juga merasa teraniaya. Tetapi saya tidak pernah mau mendoakan segenap kebaikan untuk Israel. Akhirnya saya malah diam daripada harus berdebat.

Dia dengan cepat menguasai hidup saya. Membenahi hal-hal yang perlu dibenahi dalam hidup saya. Setiap satu hal terselesaikan, saya mulai cemas kalau malaikat saya ini juga akan pergi meninggalkan saya.

Demi Tuhan saya tidak rela bila saya harus kehilangan malaikat saya kali ini. Malaikat yang telah menceriakan hari-hari saya. Malaikat yang telah memberi warna dalam hidup saya, dan bahkan menginspirasi saya pada novel saya berikutnya.

Suatu kali saya berbincang pada Tuhan, ” Tuhan...Terima kasih kau telah mengirimkan dia dalam kehidupanku. Tapi tolong Tuhan, kali ini aku ingin kontraknya adalah seumur hidup, tidak hanya sampai semua permasalahan saya selesai. Tetapi selamanya. Tuhan tolong jangan ambil malaikatku! Karena aku menyayanginya.”

Untuk malaikat-malaikatku, terima kasih telah hadir dan memberi warna dalam kehidupan saya. Saya tidak akan pernah melupakan kalian.

” Tuhan, tolong jangan ambil malaikatku!”

Jakarta, 21 Juni 2010 (00:24)
Risma Budiyani
(Dilarang menjiplak atau menyalin tulisan ini tanpa seizin dan mencantumkan nama penulisnya!)

Tidak ada komentar: