Jumat, 16 Juli 2010

TENTANG MALAIKAT

(Lanjutan dari JANGAN AMBIL MALAIKATKU!)
Sepanjang kehidupan saya, para malaikat datang dan pergi silih berganti. Satu-persatu dari mereka datang saat saya sedang kepayahan melangkah, kemudian kembali pergi setelah saya mampu berdiri dengan tegak dan tersenyum. Para malaikat tanpa sayap dalam bentuk manusia ini seperti dikirim Tuhan untuk menemani masa-masa sulit saya. Mereka dikontrak dengan periode kontrak yang telah ditentukan. Setelah waktunya berakhir, maka dia juga akan segera pergi dan pindah ke kontrak barunya dengan menjadi ‘guardian angel’ untuk orang yang berbeda.

Saya tak pernah bisa menerka kapan Tuhan akan mengirimkan malaikatnya untuk saya. Bahkan terkadang saya baru bisa mengenali malaikat saya di penghujung waktu atau malah setelah takdir memisahkan kami dan membawa saya pada malaikat lain yang berbeda.

Beberapa waktu lalu saya kembali dalam posisi yang tidak menguntungkan. Saya dirundung kesedihan setelah mengalami beberapa ujian, dan ketika saya mencoba memahaminya. Tuhan mengirimkan malaikat lagi untuk menemani saya.

Dia tidak datang sebagai malaikat sempurna seperti sebelumnya. Dia justru datang dengan segenap permasalahannya. Namun justru dari permasalahannyalah saya bisa belajar banyak, bahwa hidup tidak selamanya mulus sesuai rencana. Saya belajar untuk mensyukuri hidup saya yang jauh lebih beruntung darinya. Dan saya belajar untuk memahami bahwa segala sesuatu pasti ada alasannya. Sekalipun itu adalah tindakan yang kejam.

Sebelumnya dia datang, saya adalah perempuan yang terluka. Dia datang menyembuhkan dengan caranya sendiri. Karena dia ternyata adalah gambaran dari seseorang yang menyakiti saya.

Dia menemani saya memahami hidup dalam kesenyapan. Dia membuka mata hati saya bahwa hidup ini adalah kejam, tidak seputih yang saya bayangkan. Dia juga yang mematahkan teori-teori saya tentang bagaimana membalas kejahatan dengan kebaikan dan doa.

Dia mengajari saya dengan kebencian dan kemarahannya yang teramat sangat pada hidupnya, juga pada orang-orang yang pernah menyakitinya. Dia tidak hanya mengurai hidupnya yang getir, tetapi juga menularkan kebenciannya pada saya. Hingga saya ikut menangis dan meradang pada mereka yang telah menyakiti malaikat saya. Bahkan saya ikut merasakan kehancuran yang sama seperti yang dia rasakan.

Bersamanya saya seperti ikut serta dalam hidupnya yang seperti roller coster, melambat kemudian menghentak dan bergerak sedemikan cepat bersama deru emosi, kemudian melambat lagi dan kemudian jungkir-balik dalam roda ceritanya. Saya yang semula takut dan mengambil jarak tiba-tiba ingin ikut menyelesaikan akhir perjalanan dari roller coster tersebut. Saya tidak mau berhenti di tengah, atau saat saya berada dalam posisi jungkir-balik, kepala di bawah bergantung pada pengaman pinggang, yang siap menjatuhkan saya kapan saja dengan gaya gravitasi bumi.

Dia mengajarkan saya sebuah pembalasan dendam yang sempurna. Bersamanya saya seperti menjadi seorang agen rahasia yang sedang melancarkan aksi rahasia dengan sembunyi-sembunyi. Tidak boleh ada seorang pun yang tahu.

Saya hanya terkagum-kagum ketika dia mengurai sederet taktik yang sudah dipersiapkannya dengan sempurna. Dia tahu benar kapan harus maju menyerang dan kapan harus mundur untuk menghilangkan jejak. Dia mengajari saya menjadi spionase ulung yang semula hanya saya lihat di film-film Barat.

Dia menceritakan hampir setiap detil rencananya kepada saya. Dan saya hanya ternganga mendengar setiap kejutan yang dia lontarkan. Dia menawari saya untuk menjadi bagian dari aksinya.

” Aku harap kamu mau membantu...”

Saya sampai terkesiap ketika tanpa terduga dia mengatakan hal itu. Saya sempat menimang-nimang, hingga akhirnya dengan gegap gempita saya menerima tantangan itu. ” Baik... siapa takut.” Mata saya berbinar-binar dan dia mengangguk. Setelah itu saya resmi menjadi Ms. Spy dari seorang James Bond.

Malaikat saya mengajari saya untuk bermimpi. Dia menularkan mimpinya kepada saya. Mimpinya untuk mengejar suksesnya yang juga merupakan bagian dari pembalasan dendamnya.

” Kamu tahu, suatu hari nanti mereka yang pernah mencampakkan aku, akan menyesal...” Dia mengatakan hal itu berkali-kali di hadapanku, sambil sorot matanya memancarkan emosi yang meletup-letup.

” Dalam waktu dekat, aku akan mendapatkannya....”

” Kamu tahu, sebentar lagi Ferrari itu akan jadi milikku...”

” Suatu hari nanti, kamu pasti akan sulit bertemu denganku. Karena aku akan menjadi orang sukses yang teramat sibuk....”

Dan hampir setiap hari saya dicokoli dengan kalimat afirmatif positif tentang mimpinya. Saya tidak menghindar, malah saya terus mendekat.

Begitupun saya adalah seorang pemuja mimpi. Saya percaya benar bahwa apa yang terjadi nanti tergantung dari apa yang kita pikirkan sekarang, You are what you think all day long. Saya berkali-kali membuktikannya. Dan saya terus-menerus membesarkan hatinya dan menyemangatinya agar tidak menyerah merebut mimpinya.

” You are what you think all day long!” Saya dengan berapi-apinya menyemangatinya ketika dia kembali menceritakannya.

” Well, I’m thinking I’m Brad Pitt but neever been Brad Pitt. Bahkan mungkin tidak akan pernah menjadi Brad Pitt.” Katanya saat itu. Saya dibuat melongo, hampir bingung mau membalas apa.

” Yah....bermimpi juga mesti realistik, bung!”

” Well, itu berarti teorimu tidak valid...”

Dan saya memilih untuk diam daripada harus mendebat sang jago berkelit. Saya tahu, mungkin dia hanya sedang menguji hati saya yang mudah kecut.

” Dan aku bingung, kenapa kamu mau bertahan dalam keadaan seperti ini. Aku benci melihat orang dengan talenta seperti kamu berada dalam posisi tidak berguna seperti ini.”

Leher saya hampir tercekat ketika dia mengatakan hal tersebut kepada saya.
” Kamu seharusnya bisa menjadi lebih baik lagi dengan memanfaatkan semua potensi kamu? Dan kamu malah memilih terpenjara tanpa penghargaan yang pantas.” Sorot matanya yang tajam lekat menghujam hati saya yang paling dalam. Saya hampir menangis kehabisan kata. Saya tidak sanggup membela diri.

Huh....Saya kesal setengah mati saat itu. Walau dalam hati saya membenarkan kata-katanya. Bahwa saya, hampir saja menjauh dan mengambil arah yang berbeda dari mimpi saya. Saya bahkan hampir tidak sanggup memunguti kepingan-kepingan mimpi yang sempat tercerai-berai. Saya menunduk.

Pandangan matanya mulai melembut, mungkin dia mulai melihat kerapuhan saya. ” Well, itu semua pilihanmu....” Dia mengangkat bahunya sambil mulutnya komat-kamit.
Saya mengangkat wajah menatapnya, dan dia membalasnya dengan senyum sinis membuat hati saya semakin kecut.

” Pilihanmu untuk memasrahkan diri pada sesuatu yang kamu sebut takdir. Sambil terus berkisah tentang betapa nyamannya dirimu pada orang-orang sekelilingmu. Kamu pikir mereka benar-benar peduli dengan kamu?” Matanya mendelik. Saya melongo.

” Tidak...tidak ada yang lebih peduli kepada diri kamu selain diri kamu sendiri. Camkan itu...berlarilah mengejar mimpimu! Tinggalkan omong kosong itu!”

Kali lain dia menceritakan tentang kegilaannya pada seorang wanita. Kegilaan karena cinta yang menyakitkan. Dia lagi-lagi menceritakan tentang betapa getir adalah teman akrabnya, begitu juga dalam hal percintaan. Satu-persatu cintanya memilih mundur teratur demi sebuah cinta yang dirasionalisasi.

” Semua perempuan itu sama saja...”

” Maksudmu?” Saya mengernyitkan dahi menatap wajahnya yang penuh kegeraman teramat sangat.

” Perempuan mengejar kenyamanan, financial security alias materialistis. Cinta bagi mereka adalah memanjakan dirinya dengan berlian, mobil mewah, rumah mewah, dan ...”
” Maksudmu?” Saya memutusnya sambil mendelik.

” Ya perempuan itu pada dasarnya materialistis...” Kegeramannya masih belum berkurang.

” Aku tidak...” Saya membela diri, dia melihat saya sejenak, sebelum akhirnya dia berkata,

” Well, mungkin kamu adalah pengecualian. Tapi kurasa tidak juga. Aku tidak yakin kamu siap hidup susah...” Saya terkesiap.

Terserahlah saya malas berdebat dengannya. Saya pasti kalah. Saya benci kalah. Dia memang malaikat yang aneh, dia membuat saya nyaman dengan caranya sendiri.
Malaikat saya mengajarkan bagaimana mengejar cinta. Dan saya terang-terangan menolak teorinya. Saya setuju pendapat John Powell, konselor dan penasihat spiritual. Bahwa dalam mencinta, yang terjadi adalah: cinta bersyarat atau cinta tak bersyarat.

”Tidak ada kemungkinan ketiga!”

Bila untuk mencintai kita memerlukan syarat, berarti cinta itu bukan cinta sejati. Cinta sejati adalah harus dan merupakan hadiah yang diberikan secara cuma-cuma. Kita benar-benar cinta bila orang yang kita cintai mendapatkan cinta kita, bukan karena ia pantas menerima cinta kita. Disebut pantas karena cantik, anggun, ganteng, baik hati, dsb. Kita sadar bahwa orang yang kita cintai bukanlah orang yang terbaik, bukan orang yang paling hebat, bukan yang paling cocok.

Namun, itu semua tidak menjadi persoalan. Yang penting adalah bahwa kita telah memilih untuk memberikan kepada orang yang kita cintai berupa cinta kita, dan juga telah memilih untuk mencintai kita. Dalam kondisi inilah cinta dapat tumbuh dengan baik.

Sebaliknya, orang yang dicintai karena alasan pantas atau dianggap berhak menerima cinta, selalu menimbulkan keraguan: mungkin saya tak dapat membahagiakan orang yang saya inginkan mencintai saya. Atau mungkin selalu ada rasa cemas, jangan-jangan suatu waktu cinta akan lenyap.

Selain itu, cinta yang didapat karena alasan pantas menerimanya selalu meninggalkan rasa getir dalam kesan: bahwa orang dicintai bukan karena dirinya, tetapi kemampuannya membuat orang lain senang. Ini bukan cinta, tetapi manipulasi! Cinta sejati tanpa syarat, dan bersifat membebaskan.

“ Kamu tidak tahu apa-apa tentang sakit hati…” Dan dia pun geram.

“ Aku pernah kehilangan cinta... Saiful Malook?”

“ Saiful Malook itu berbeda…dia maya. Dan aku nyata.” Dia membuat saya kecut untuk kesekian kalinya.

Singkat cerita, Dia dengan cepat menguasai hidup saya. Membenahi hal-hal yang perlu dibenahi dalam hidup saya. Setiap satu hal terselesaikan, saya mulai cemas kalau malaikat saya ini juga akan pergi meninggalkan saya.

Demi Tuhan saya tidak rela bila saya harus kehilangan malaikat saya kali ini. Malaikat yang telah menceriakan hari-hari saya. Malaikat yang telah memberi warna dalam hidup saya, dan bahkan menginspirasi saya pada novel saya berikutnya.
Hingga saya memohon kepada Tuhan agar Dia tak mengambil malaikat saya kali ini.
” Tuhan, tolong jangan ambil malaikatku!”

Saya menjadi serakah dan egois. Saya tidak ingin siapa pun memiliki dia. Saya mencoba merampasnya dari Tuhan. Agar Tuhan tidak bisa memindah-tugaskan malaikat saya pada orang lain.

Suatu kali saya bertanya padanya, ” Apakah kamu juga akan terbang meninggalkanku sendiri seperti malaikat-malaikat lain?”

Dia membalikkannya dengan, ” You are what you think all day long. Tergantung dari apa yang kamu pikirkan.” Dia tersenyum sinis.

” Aku tidak mau...”

” Maka aku akan menjadi malaikatmu selamanya...” Dia membesarkan saya.

Seiring dengan waktu, perlahan tapi pasti. Dia mulai menjauh dan bersiap terbang. Mula-mula, kedua kakinya berdiri tegak sambil memandang saya. Kemudian dia menghiraukan saya sambil merentangkan sayapnya yang membuat saya terpukau, karena sebelumnya saya pikir dia tidak bersayap. Hingga dia mulai mengangkat kakinya satu, sambil menoleh ke arah saya yang memelas agar dia tidak terbang.

Hingga saya hampir kehabisan alasan untuk menahannya agar tidak terbang. Begitu pun saya mulai kehabisan alasan untuk menangis.

Dan saya masih memandang sudut-sudut dimana dia menemui saya. Saya masih memandang setiap jengkal jalan tempat dia pernah membawaku terbang. Sambil terus mengingat setiap kisah yang meluncur dari mulutnya.

Sudut-sudut itu masih sama, jalan raya, rambu, bangunan, dan lainnya masih sama. Yang berbeda hanyalah tidak ada lagi dirinya. Dan pasti tidak akan sama.
Pertemuan dan perpisahan adalah dua sisi mata uang yang tak akan terpisahkan. Tidak akan pernah ada pertemuan bila tidak ada perpisahan. Begitu juga tidak pernah ada perpisahan tanpa pertemuan.

Mungkin di belahan bumi lain, ada seseorang yang sedang membutuhkan hangatnya sayap sang malaikat. Mungkin Tuhan tahu, saya sudah cukup kuat berjalan. Dan mungkin, Tuhantelah mempersiapkan malaikat lain untuk menemani saya. Mungkin juga anda adalah malaikat saya berikutnya....

Jakarta, 16 Juli 2010
Risma Budiyani

Tidak ada komentar: