Rabu, 21 Desember 2011

Surat Resign



Berikut adalah surat resign saya untuk teman-teman tercinta di sarang elang. Sepertinya lucu kalau dishare di sini. Baca yah....

Beberapa hari ini tiba-tiba saya mengalami sakit kepala yang teramat. Hari yang menakutkan dalam sepanjang hidup saya akhirnya akan segera terjadi. Saya akan mengundurkan diri secara resmi dari kantor pemberitaan tempat saya menghabiskan masa-masa indah selama 4 tahun ini.

Saya sudah memikirkan masak-masak keputusan saya ini selama hampir setahun lebih. Namun tetap saja menjelang detik-detik kepergian saya dari sebuah tempat yang saya anggap ‘surga’ ini saya sedih sesedih-sedihnya. Kalau saya boleh melukiskan perasaan saya selebay-lebaynya. Maka ini adalah kesedihan paling mengerikan sepanjang sejarah saya. Rasanya baru kemarin saya melamar, tes dan akhirnya menjadi bagian dari hidup saya selama 4 tahun belakangan. Dan kini saya sudah harus pergi membawa luka. Luka akan perpisahan yang menyedihkan.

Ingatan saya tiba-tiba mundur ke belakang, tepat pada tanggal 3 September 2007.
Saya berjalan menyusuri lorong dengan interior desain mewah ala hotel. Masih dengan kekaguman, mataku menerawang pada setiap detil lorong. Sesekali mengintip sepintas lalu dari kaca pintu-pintu yang tertutup rapat. Rasa ingin tahu saya yang besar di antara segenap kekaguman yang membuncah mendorong saya untuk mencari tahu ada apakah gerangan di dalam pintu-pintu yang mirip kamar hotel itu. Bila gelagat saya tertangkap mata orang yang lalu-lalang, saya buru-buru mengalihkan pandangan ke permadani cantik yang menutupi seluruh lantai di lorong. Lagi-lagi otak saya sibuk menghayalkan apakah di balik karpet itu ada ubin keramik, marmer atau malah tanah. Ah tak penting….

Saya masih berjalan di lorong yang sebetulnya tidak terlalu panjang. Namun saya menikmati sekali setiap langkahku. Ini kali pertamaku menginjakkan kaki di sebuah kantor pemberitaan. Hari ini ada serangkaian tes yang harus saya lalui. Bila saya mampu melewatinya, maka dalam bilangan minggu saya akan menjadi bagian dari tempat ini. Perasaan senang tiba-tiba menyeruak tanpa permisi dari dalam hati. Namun segera saya tepis dengan kegalauan alami yang mengalir begitu saja. Galau, khawatir, berdebar, semua bercampur menjadi satu. Saya menghentikan langkah sejenak demi membenarkan posisi tas tangan, menarik nafas dalam dan menghembuskannya kembali secara perlahan demi sebentuk perasaan lega. Kemudian saya melangkahkan kaki dengan gagah layaknya seorang prajurit yang siap bertempur di medan laga.

Akhirnya saya menemukan meja bundar besar di dekat dua mesin fotokopi. Saya sedikit celingak-celinguk memastikan bahwa saya tidak salah menafsirkan petunjuk ibu-ibu personalia yang baru beberapa menit lalu kutemui. Damn! Tidak ada tulisan atau papan nama yang memberikan sedikit informasi tentang ruangan apa itu.

Saya sempat menghentikan langkah lagi. Kali ini saya mengedarkan pandang pada lebih dari 5 orang berpakaian hitam putih sama seperti yang saya pakai. Terlihat dari ekspresinya, mereka pasti sedang menantikan sesuatu. Kesemuanya perempuan, kecuali satu-satunya laki-laki berbadan tinggi tegap, dengan rahang yang kuat, berkulit agak gelap, hidung sedikit mancung dan bermata polos. Dia satu-satunya makhluk ganteng di antara sejumlah perempuan yang mengelilingi meja bundar.

Saya pun menghampiri mereka, sambil sedikit berbasa-basi. Dari situ saya tahu bahwa mereka semua sedang menantikan hal yang sama dengan diriku.

“Silahkan!” Lelaki tegap itu berdiri dan menyorongkan kursinya kepadaku sebagai isyarat dia mempersilahkan saya duduk.
” What a gentleman…” dalam hati saya berseru.
Serius?!?”
“ Tentu saja serius….”
Tanpa banyak cingcong saya pun menghempaskan pantat ke kursi kulit imitasi berwarna hitam itu.

“Terimakasih…”

“ Sama-sama…” Pria itu kelihatannya masih bersikap sok gentleman.

“ Ohya saya Risma….” Saya mengulurkan tangan kepadanya. Mata kami saling bersirobok. Tangannya meraih tangan saya dan kami pun berjabatan.

“ Yusuf…”

Yusuf adalah salah satu dari sepuluh orang pertama yang saya kenal di kantor itu. Yusuf yang fresh graduate dari universitas yang sama dengan saya. Sehari kemudian akhirnya saya tahu, dia adalah bagian riset dari divisi tempat saya ditempatkan.
Yusuf yang polos adalah sasaran empuk untuk digoda. Kelucuan demi kelucuan terjadi begitu saja tanpa permisi oleh tingkah polahnya yang lucu. Yusuf yang memiliki wajah mirip Presiden Amerika Serikat, Barack Obama hanya mengenal hitam dan putih, tidak ada abu-abu. Namun Yusuf terlebih dahulu lulus dari kantor pemberitaan itu.

Yusuf adalah salah satu dari sekian banyak teman yang menoreh kisah manis di dalam hidup saya sepanjang berada di divisi marketing. Masih ada Resti, Christi, Ugi, Wahyu, Kristin, Dewi, Tari, Hanum, Mas Ari, Mbak Viza Ci Catherine, bos kami yang cantik dan baik, Wiwit dan Fahmi.

Walau saya tahu, Desember 2011 adalah bulan terakhir saya di tempat ini. Namun hingga hari ke-15 di bulan Desember 2011, saya masih belum bergeming. Saya belum juga menyerahkan surat resign yang sudah saya buat sejak dari jauh-jauh hari. Beberapa malah menyangsikan kesungguhan saya untuk pergi, mengingat saya sudah berkali-kali mengurungkan niat untuk mundur.

Sudah beberapa bulan ini saya memang berhenti melihat kalender kalau tidak terpaksa. Saya tidak tahu tanggal secara persis. Saya hanya tahu hari bekerja dan tidak bekerja. Saya hanya merasa takut kalender akan mengingatkan saya bahwa saya kian dekat dengan hari kepergian saya. Lagipula saya benar-benar sedang disibukan oleh sejumlah urusan yang menguras pikiran saya.

Beberapa kali Mas Agus, Mas Fatah, juga Mas Sofyan menanyakan kesungguhan saya untuk mengundurkan diri dan meminta saya untuk memikirkan berulang kali. Berulang kali saya berusaha meneguhkan diri saya. Bermalam-malam saya tidak bisa tidur sebelum larut malam. Ada semacam ketakutan tak terkira bila saya harus berpisah dengan kehidupan yang indah selama 4 tahun ini.

Tiba-tiba saya teringat dengan impian masa kecil saya selain menjadi penulis besar. Dulu saya penggemar serial Ninja Turtle Teenage Mutant, salah satu idola saya adalah April O’Neal tokoh reporter perempuan yang bekerja untuk Channel 6. Maka saya ingin sekali bekerja di sebuah kantor pemberitaan. Ketika beranjak dewasa, saya hanya menemukan satu-satunya kantor pemberitaan di Indonesia hanya Metro TV. Maka disanalah saya bercita-cita.

Saya hampir kehilangan cita-cita ketika saya malah menjadi lulusan Sarjana Pertanian IPB. Saya tahu bahwa mungkin takdir saya akan berakhir di sebuah perkebunan kelapa sawit. Ternyata takdir malah berkata lain. Lulus IPB, bekerja di sebuah shipping company, menelurkan satu novel perdana yang memperkenalkan saya pada Metro TV. Saya dipanggil untuk live interview sebagai narasumber di sebuah morning program. Dan setahun kemudian malah saya resmi bergabung di sarang elang.

Saya bahagia, walau mungkin saya tidak pernah menjadi bagian dari garda depan kantor pemberitaan seperti yang saya impikan. Tetapi setidaknya bakat menulis saya tersalurkan. Tipikal Pisces, saya bukan pengejar materi ataupun karir. Saya bekerja sungguh-sungguh untuk kepuasan batin saya. Ketika kebanyakan orang di luar sana merutuki gaji atau karir yang tidak naik-naik, saya hanya tersenyum. Saya bersenang-senang dengan pekerjaan saya. Saya bahagia dikelilingi orang-orang baik yang membuat saya merasa nyaman. Siapa nyana dua novel saya malah terbit di sini, satu novel yang menunggu terbit juga terilhami oleh kisah-kisah indah di sarang elang.

Saya bangga menjadi bagian dari sekumpulan elang. Secara perlahan filosofi elang merasuk dan membuat saya ikutan militan. Saya bersyukur saya tidak merasa ikut berdosa menjadi bagian yang merusak moral bangsa melalui tayangannya. Saya bangga bisa berdekatan dengan orang-orang cerdas yang terpilih dari berbagai latar belakang.
Tempat ini seperti rumah kedua bagi saya. Bahkan mungkin lebih dari separuh hidup saya selama 4 tahun ini dihabiskan di kantor. Rumah hanyalah tempat numpang tidur. Selebihnya saya menghabiskan masa-masa indah yang penuh tawa di kantor.

Ketika hati saya terluka oleh badai yang menghempas hidup saya. Maka kantor adalah pelarian yang manis. Seketika luka saya lenyap mendengar celoteh teman-teman tercinta di kantor. Tertawa terbahak-bahak sampai saya lupa kesedihan saya. Sesampainya di rumah, selalu ada cerita yang bisa disampaikan untuk orang-orang terkasih. Di akhir cerita mereka yang mendengar kisah saya selalu berkata, “ what a wonderful office life...”

Saya tidak peduli dengan office politic. Saya bersenang-senang dengan pekerjaan saya di kantor. Mungkin karena saya memang tidak perlu memikirkan uang atau karir. Alhamdulillah, Tuhan memberikan saya talenta untuk mendapatkan pendapatan lain selain gaji.

Pada dasarnya saya adalah pribadi yang ceria. Saya hampir tidak pernah mengkhawatirkan hal-hal remeh. Saya extrovert yang sangat ekspresif. Semua orang bisa tahu kapan saya sedang bahagia, kapan saya sedang gundah gulana. Saya suka bercerita tentang hayalan-hayalan, kucing-kucing ataupun hal lain yang mengundang tawa. Begitupun saya suka mendengarkan.

Suara saya yang memekakan telinga, gaya saya yang extra-ordinary menjadi icon tersendiri. Dan teman-teman akan cemas bila saya kehilangan itu semua. Sesuatu pasti sedang terjadi.

Suatu kali memang saya membisu selama hampir sebulan. Saya sedang dirundung sedih teramat hingga tak sanggup berkata-kata. Itu pun sudah membuat seisi ruangan resah. Suara saya kembali bersamaan dengan kemunculan novel saya. Pernah juga saya membuat kehebohan dengan menangis karena hal yang bahkan saya tidak mengerti ujung pangkalnya. Saya sedang dalam keadaan tertekan maka hal kecil bisa saja membuat saya menangis. Selebihnya saya hanya tertawa dan tertawa. Saat-saat ke kantor adalah hal yang paling menggembirakan.

Tahun lalu, 26 Oktober saya mengalami kecelakaan terparah dalam hidup saya yang hampir membuat saya kehilangan tangan kanan saya. Saat saya sedang terbaring tak berdaya sendirian di ruang ICU dengan wajah sembab menahan sakit yang teramat. Senyum Mas Sofyan dan Mas Fatah lah yang pertama kali saya lihat. Mereka yang menguatkan hati saya.

Menjelang detik-detik operasi, mbak Besti datang bersama sang suami membawakan setumpuk majalah sebagai hiburan selama menjalani masa perawatan pasca operasi. Dan Bang Parlin, salah seorang karyawan senior yang juga pendeta datang hanya untuk mendoakan agar Tuhan melindungi saya. Dan saya menangis haru seharu-harunya.
Setelah itu kunjungan tak ada habis-habisnya dari teman-teman kantor. Belum lagi gerombolan marketing yang menghebohkan satu lantai rumah sakit karena kami tertawa-tawa heboh. Saya tidak peduli lagi dengan anjuran dokter untuk beristirahat total. Saya bahagia didatangi teman-teman saya.

Ah, betapa saya menemukan surga di tempat ini. Hidup saya penuh warna dengan kehadiran teman-teman saya. Saya jatuh cinta. Dan saya terpasung dalam cinta. Saya hampir tak memikirkan nasib saya yang masih menggantung hingga seorang malaikat tanpa sayap meyadarkan saya, bahwa mungkin tempat ini bukanlah tempat yang tepat untuk meraih mimpi.

Berkali-kali saya hampir mengikat janji dengan kantor lain. Dan ketika saya mempergunakan waktu saya untuk menimang-nimang keputusan saya. Saya kembali bercengkrama dengan teman-teman saya. Tiba-tiba saya merasa seperti berkhianat. Entah berkhianat pada apa dan siapa. Saya malah serta merta memutuskan untuk mundur sebelum mengikat janji.

” Kamu tidak perlu pergi...” Suara Fred menyadarkan lamunan saya. Mata saya berkaca-kaca. Saya tersenyum kepada teman saya yang paling sering meledek saya.

” Harus, bukannya kamu senang. Kamu kan yang sering meledek aku?”

” Sejak kapan kamu mengambil hati ledekanku?”

Dalam hati saya gamang segamang-gamangnya. Saya hampir tidak yakin dengan jalan yang akan segera saya tempuh. Belum lagi kalau harus mengingat semuanya tiba-tiba berjalan tidak sesuai rencana.

Ketika saya berkata dengan lantang untuk menegaskan bahwa perkataan saya kali ini adalah benar. Saya benar-benar akan menyerahkan surat resign itu. Maka Fred mengancam saya untuk merobek-robek surat itu.

Kali lain Mas Fatah menanyakan apakah saya sudah menyerahkan surat pengunduran diri karena pihak HRD tidak bisa memproses orang baru, kalau saya belum menyerahkannya. Saya menelan ludah. Benar juga, saat itu sudah tanggal 15 Desember. Saya segera menyeret langkah saya menuju bangku. Tangan saya gemetar membuka file surat resign yang sudah lama tersimpan dalam flash disc saya. Tiba-tiba saja air mata saya menetes tanpa ampun lagi. Saya menunduk, berusaha keras menahan diri agar tidak ada seorang pun yang melihatnya. Setelah puas menangis, saya segera menghapus air mata saya. Saya tatap sekali lagi surat resign di layar. Saya harus menarik nafas dalam-dalam untuk meneguhkan hati.

Tiba-tiba terdengar suara yang entah bagaimana terdengar begitu jelas di telinga saya, ” Ayolah Risma, bukankah ini yang sudah kamu rencanakan sejak jauh hari? Sekarang atau tidak sama sekali!”

Baru saya akhirnya memberanikan diri untuk menge-print surat itu. Tekad saya memang sudah bulat untuk memulai hidup baru di tahun baru. Saya harus, atau selamanya saya akan terpasung dalam cinta.

Setelah saya mengeprint surat pengunduran diri. Saya tersenyum getir. Sejenak saya berdiri terpaku memandang satu persatu teman-teman saya yang sedang asyik berceloteh sambil bercanda ria. Dalam bilangan hari saya akan kehilangan semua tawa, canda dan keceriaan ini. Tidak ada lagi yang mengolok-olok dan membuat saya kesal sekaligus tertawa terbahak-bahak hingga sakit perut.

Saya masih tersenyum, namun dengan luka hati yang menganga akan sebuah perpisahan. Tidak akan ada lagi suara cempreng Mas Sofyan yang menceriakan. Tidak ada lagi senyum manis dan candaan garing Mas Agus, yang juga seorang dosen. Tidak ada lagi Bang Parlin yang berceramah tentang jalan kristus. Tidak ada lagi cerita tentang Mas Miko, sang seniman nyentrik yang selalu berpikiran ‘out of the box’. Tidak bisa lagi melihat wajah Mas Fatah yang mirip dengan Mario Teguh. Tidak bisa lagi melihat ulah genit Endang menggoda para pria atau saat dirinya galau menanti Pangeran Fiji-nya. Atau ulah si Putri Nanet saat sedang berada di depan cermin.

Tidak akan ada lagi ejekan dari Fred, preman Labuhan Bajo yang takut akan kucing atau bulu-bulu. Celoteh si jenius Agung tentang para gadis yang ditaksirnya namun tak pernah dapat diraihnya.

Kemana saya harus beli pulsa kalau tidak kepada Emiria atau sekedar mendengarkan kisah-kisah hidupnya sambil naik motor berdua saja. Siapa lagi yang harus dibangkitkan rasa percaya dirinya kalau bukan Bedu si petualang.

Saya pasti akan ketinggalan cerita Lian dan bayi yang akan lahir. Saya mungkin tidak akan bertemu Rima saat dia masuk nanti. Saya pasti tak bisa lupa ketegasan sikap Mas Syaiful menantang AE yang ’bandel’. Saya pasti rindu ketegangan saat Imam Alawi menyetir mobil di jalan tol dengan kecepatan sangat tinggi hingga saya pikir saya akan mati, atau video lucunya yang menunjukan ’sisi lainnya’.

Saya pasti tak akan lupa aksi gila Meitha di tempat karaoke atau keberuntungan demi keberuntungan yang dia dapat dari setiap kuis yang diikutinya. Si cerewet Fina saat mengingatkan report.

Kang Azzust dan kulet-kuletnya (kulet adalah kue pelet dari para perempuan yang menggilainya). Saya pasti merindukan saat-saat kabur dari kantor hanya untuk window shopping dengan Nova. Atau senyuman Mbak Besty saat melihat ulah saya melancarkan serangan balasan kepada Kiki si motion grafis yang berulangkali mencandai saya. Saya pasti rindu bekal makan siang buatan ibu Yani sang sekretaris.

Saya pasti rindu saat-saat berwisata kuliner dengan mobil besar Mas Murti bersama teman-teman dah Rahmat. Saya pasti tak akan lupa dengan Brigitta yang saya jadikan tokoh dalam salah satu novel dan calon FTV saya. Saya juga pasti akan rindu mendengar kisah Marina dan LDR-nya. Sandy dan gayanya yang mengingatkan saya pada salah satu personil band. Saya pasti akan kehilangan Martinus sebagai partner belajar bahasa Spanyol. Juga suasana menegangkan saat Bu Yasmin datang.

Saya pasti akan selalu ingat bagaimana Pak Arief dengan sedemikian mempesonanya mengeluarkan ide-ide cerdas pada setiap meeting. Atau tingkah polah para AE yang terkadang menggelikan. Sani, Heru, Mbak Tatu, Sinta, dan lain-lainnya. Saya pasti rindu si elang ganteng yang berdiri angkuh di depan lobby 2. Begitu pun saya akan rindu masakan ala cafe yang entah bagaimana jarang sekali sesuai selera saya.

Saya akan rindu para satpam dan resepsionis yang menyapa saya ramah sambil bercanda-canda ria. Saya akan rindu senyum manis Pak Tua penjaga masjid saat saya datang atau ketika dia baru saja menemukan kejutan untuknya yang saya sembunyikan di dalam lemari mukena. Saya rindu wajah-wajah senyum yang menatap saya di sepanjang koridor. Dan mungkin saya akan rindu kucing-kucing kantor.

Sepertinya lay out ruang baru merupakan pertanda bahwa kemesraan marketing memang harus berakhir sampai disini. Saya benci mengatakan kata berpisah. Saya bangga pernah menjadi bagian dari hidup kalian. Saya ingin bilang, I love you all. Maafkan bila selama ini saya banyak salah.

Tidak ada farewell party, saya tidak akan merayakan hari perpisahan saya yang sulit. Saya bahkan tidak tahu apakah saya sanggup mengucapkan selamat tinggal di hari akhir saya. Mungkin saya akan lebih banyak diam di hari-hari terakhir ini. Saya sedang mudah menangis....mellow terbawa suasana.

Semuanya akan berhenti sampai di sini. Mungkin jikalau pertemanan kita masih berlanjut, semuanya pasti akan berbeda. Tidak akan sama. Semuanya berubah. Pertemuan dan perpisahan adalah dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan, karena perpisahan akan membawa kita akan pertemuan yang lain. Setiap manusia harus menyiapkan mental untuk keduanya.

Akhirnya dalam bilangan hari saya akan segera pergi meraih asa. Semoga asa itu membawa kebahagiaan, keceriaan yang lebih dan tidak bisa saya temukan ketika kita bersama. Saya akan merajut masa depan yang selama ini hanya mimpikan. Cerita telah usai sampai di sini, namun kenangan akan kalian akan selalu ada di hati saya.
#Bersambung ke bagian ’Ketika Saya Memilih Passion”#

Tidak ada komentar: