Selasa, 29 November 2016

Namaku Jones


Namaku Jonathan, namun orang-orang lebih suka memanggilku "Joe". Terkadang "Jones",singkatan dari Jomblo Ngenes. Yah aku memang Jomblo, pasalnya di usia hampir 40 aku masih sendiri. Ketika teman-teman sebayaku sudah beranak-pinak. Aku masih belum tahu akan duduk di pelaminan dengan siapa, sambil terus berjuang agar lekas 'move on' dari nestapa akibat putus cinta. 

 Begitu traumanya aku akan percintaan, hingga aku tak punya cukup nyali untuk kembali merajut kasih dengan makhluk bernama perempuan. Makanya tak heran kalau bukan satu dua kali aku dikejar-kejar gay yang mengira aku bagian dari kumpulannya. "Sorry guys! Gue masih normal, gue cuma gagal move on!" Kalau ada orang yang harus dipersalahkan atas pedihnya nasibku ini. Maka dia adalah Tania! Tania yang mengenalkanku akan cinta hingga membuatku bertekuk lutut di hadapannya atas nama cinta. Tania juga yang menyadarkanku bahwa manisnya cinta tak ubahnya akan rasa taik kucing. Menjijikkan! 
 
Hampir dua puluh tahun lalu, saat aku masih di bangku kuliah. Tania adalah salah satu gadis idola di kampus kami. Siapa yang tak tertarik dengan Tania? Gadis berparas manis, berkulit sawo matang, bermata jeli dengan alis seperti semut berbaris, berambut hitam legam yang selalu tergerai, langsing dan tinggi. Pembawaan Tania yang supel membuat dia memiliki banyak teman. 

 Tapi yah, apalah aku saat itu. Laki-laki bertampang pas-pasan, otak juga kadang megap-megap, duit ngepas. Sama sekali bukan sosok kebanyakan laki-laki idola perempuan. Meski mengagumi Tania, aku tak berani bermimpi memilikinya. Apalagi, Tania sudah punya pacar yang juga anak gaul. Sedangkan aku cuma butiran debu. Saat tersiar kabar kalau Tania putus dengan si pacar. Aku pun bersorak kegirangan. Tiba-tiba harapan bahwa aku akan merebut hati Tania yang nyaris mati kembali bersemi.

Perlahan tapi pasti aku mendekati Tania dengan segala cara. Yah kalau adu ganteng, adu tajir mungkin kalah KO dengan pesaing. Tapi aku yakin bisa memikat Tania dengan kemampuanku membuat orang tertawa. Dan Tania pun terpikat. Katanya,"kamu orang paling lucu yang pernah ada Joe...bersamamu, hidup sesulit apapun tiba-tiba menjadi baik-baik saja". Tentu saja aku melayang ke atas langit. Makin hari hubungan pertemanan aku dan Tania pun makin akrab. Dimana ada Tania di situ ada aku.

 Sebenarnya aku sudah gemas ingin mengungkapkan perasaanku padanya. Namun, Tania seringkali curhat tentang si mantan atau gebetannya. Aih...mungkin aku cuma dianggap Tania sebagai abang-abangan atau HTS-an. Hingga suatu hari aku pun memberanikan diri untuk 'menembak' Tania, "gue suka lo Tania... Boleh gak gue jadi pacar lo". 

Mata Tania mendelik menatapku mencari sedikit keraguan di mataku. Namun Tania gagal, dia pun tertawa. "Gue juga suka lo kok Joe..." 

 "Jadi kita?" Aku hampir tak percaya. Tania mengangguk. Dan aku yang kegirangan segera melonjak-lonjak kegirangan. Mimpi apa aku semalam bisa membuat Tania mengiyakan ajakanku untuk merajut tali kasih. Sejak saat itu aku dan Tania jadian. 

Bagiku itu adalah saat-saat terindah. Tahun-tahun terakhir di kampus menjadi saat-saat yang paling indah karena ada Tania yang secara de facto dan de jure jadi pacarku. Aku pun bisa berjalan membusungkan dada di hadapan orang-orang sambil menggandeng Tania, gadis pujaanku. Kuliah bareng-bareng. Wisuda bareng-bareng. Hingga kami memulai karir di perusahaan berbeda kami masih bersama-sama. Hubungan kami kian dekat. 

Bahkan orang tua kami pun sudah sama-sama tahu. Aku tahu aku mencintainya sepenuh jiwa namun aku masih punya misi yang harus aku selesaikan. Aku ingin berkarir dahulu hingga bisa membanggakan orang tua. Lagi pula aku laki-laki. Tak masalah menikah sedikit lebih uzur. Tetapi tidak demikian dengan Tania. Tania bercita-cita ingin menikah muda, agar dia bisa menjadi teman seru anak-anaknya kelak saat tumbuh dewasa. Belakangan Tania jadi sering merajuk minta dinikahi. 

 "Lo kan tau kalo gue baru aja kerja. Perjalanan gue masih panjang. Gue masih ingin berkarir, mengumpulkan modal buat kita sekaligus menyenangkan orang tua gue dulu", kataku saat itu kepada Tania yang merajuk. 

 "Lo cinta gak sih sama gue?" Tanya Tania ketus. 

 "Cinta mati! Tapi nikah gak bisa cuma modal cinta sayang. Beri gue waktu paling gak lima tahun lagi".

 "Ya udah kalau gitu kita putus!" Tidak hanya sekali dua kali Tania minta putus. Namun ya setiap putus kami nyambung lagi dalam hitungan hari dan hubungan kembali harmonis. Saat itu aku yakin, she is the one. Makanya sesering apapun Tania minta putus, aku yakin dia akan kembali ke pelukanku. Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa dirinya. 

 Suatu hari di bulan Januari, aku ditugaskan kantor untuk melihat prospek pasar di kota Dili. Kota di timur Indonesia yang pernah jadi bagian dari NKRI. Ini pertanda baik, berarti karirku mulai menanjak. Namun ini jadi cobaan cinta pertama aku dan Tania. Meski hanya sebulan aku tugas di Dili, namun namanya tetap LDR. Meski sedang jauh dari Tangerang Selatan, tapi aku selalu menyempatkan diri menelpon, sms, dan mengirim email. Ah, ya saat itu belum ada whatsApp. Teknologi video call juga belum secanggih sekarang. Setiap hari sedikitnya tiga kali sehari kami saling bertelponan melepas rindu. 

Hingga hari kepulanganku dari Dili akhirnya tiba. Baru saja aku mendarat di Bandara Soekarno Hatta, Tania sudah merengek ingin bertemu karena kangen berat. Aku sempat menego untuk menunda hingga esok hari karena sudah terlampau lelah. Namun, Tania merajuk lengkap dengan tangisan maut. "Kita sudah LDR-an sebulan sayang. Masak cuma ketemu sebentar aja kamu gak mau?" Nada suara Tania di telpon terdengar emosi. 

"Oke... Aku akan ke rumahmu, tapi sebentar ya. Itu pun setelah aku pulang ke rumah menengok ayahku yang sedang sakit". Dari Bandara ke Bogor butuh hampir 3 jam. Setelah istirahat sebentar sambil berkemas dan menemani ayah yang sedang sakit. Aku pun caw mengunjungi rumah Tania di Ciputat. Raga yang lelah akibat jetlag masih harus diforsir mengendarai motor butut Bogor-Ciputat demi Tania. Sampai di Ciputat, Tania menyambut dengan wajah sumringah. Dia memelukku erat. Dan kami pun mengobrol hampir satu jam sebelum aku pamit. 

 Baru saja saya hendak memacu motor butut. Tania membuntuti dari belakang minta ikut ke Bogor untuk menengok ayahku. Dan tahu sendiri Tania, tidak ada yang bisa menolak keinginan Tania. Aku pun luluh. Kamipun berboncengan menuju rumahku di Bogor. Tak lama di Bogor, hanya sejam. Kemudian aku kembali mengantar Tania ke Ciputat. Sesampainya di Ciputat setelah perjalanan hampir satu setengah jam. Aku pun mohon diri pulang sebelum larut, karena aku juga sudah capek maksimal.

 Lagi-lagi Tania merajuk, "tapi aku kan masih kangen... Tunggulah di sini bersamaku sejenak..." Aku akhirnya luluh. Baru sekitar jam 10 malam aku pulang meninggalkan rumah Tania di Ciputat menuju Bogor. Dan terjadilah petaka itu. Mungkin karena ngantuk dan capek berat, baru mendarat dari Dili kemudian harus mondar-mandir Ciputat-Bogor 4 kali. Dan arghhh.... Motor bututku dihajar bis saat sedang melaju di daerah Parung. 

 Aku tidak sadarkan diri berhari-hari. Tersadar setelah berhari-hari di ruang ICU rumah sakit. Dan aku harus menerima kenyataan pahit mengalami dagu yang harus mendapat 13 jahitan, tulang dagu remuk, tulang bibir atas terbelah dua, rahang remuk dan patah 2 plus bonggol rahang hancur dan gigi rontok. Keluar dari rumah sakit masih harus menghadapi episode hidup paling mengerikan. 

Aku lumpuh dan butuh terapi intensif selama kurang lebih 6 bulan. Otomatis aku kehilangan pekerjaan. Semua biaya pengobatan dan terapi ditanggung orang tua. Hubungan aku dan Tania masih baik. Tania jadi alasan aku bertahan hidup. Aku mencintai Tania sepenuh hati. Aku yakin Tania juga demikian. 

 Tania kembali merengek minta dinikahi. Aku pun mengiyakan, "Ok kita nikah, gue siap! Tapi lo siap gak terima gue yang lumpuh dan jobless ini". Dahi Tania berkerut, namun dia menyembunyikannya dengan menebar senyum manis. 

Dan dia memelukku... "Thank you ya Joe... I love you!" Sejak saat itu Tania tak lagi mampir menengokku. 

Saat kutelpon tentang rencana pernikahan kita. Dia berkelit, "kamu benar Joe, kurasa kita masih terlalu muda untuk menikah. Kurasa kita bisa menundanya lagi, setidaknya sampai kamu sembuh. Cepat sembuh ya Joe!". 

 Sejak saat itu Tania seperti hilang terbawa angin. Lenyap tak ada kabar berita. Hingga aku mendapat telepon seorang sahabat lama, "selamat ya Joe akhirnya lo nikah juga sama Tania". 

 "Loh siapa yang menikah?" 

Aku bingung. "Lo sama Tania kan?", suara di ujung telepon juga bingung. 

 "Loh Tania kan mau nikah minggu besok. Gue pikir sama lo". Buru-buru kututup telepon dengan gusar.

Aku segera menelpon teman-teman dekat Tania untuk mencari tahu dan hasilnya Tania memang akan menikah dalam bilangan hari. Namun, anehnya saat kutelpon Tania masih berkelit. Dan Tania pun menikah dengan lelaki lain. 

Lelaki itulah yang menjadi alasan mengapa Tania tak lagi menjenguk dan menelponku. Tania menikah dengan lelaki tampan, sehat yang punya karir bagus. Apalah aku saat itu, lelaki lumpuh dengan wajah mirip Frankenstein dan pengangguran. Aku marah-semarahnya pada Tuhan si pemilik takdir yang membuat aku berantakan dan Tania kabur ke pelukan laki-laki lain. Aku nyaris bunuh diri dengan minum racun serangga, namun aku masih hidup. 

 Aku yang lelaki rumahan sampai menjajal kehidupan malam. Berpetualang dari satu klab ke klab lainnya. Hingga ayah yang kuhormati menangis. "Joe, ayah tahu kamu marah dan sakit hati karena kehilangan Tania. Tapi ingat Joe, kamu kesayangan ayah satu-satunya. Suatu hari ayah akan mati, lalu siapa yang akan mendoakan ayah di sana kalau anak ayah satu-satunya keblangsak? Ayah mohon Joe, lupakan gadis itu! Kembalilah jadi anak kesayangan ayah". 

 Aku menangis sejadi-jadinya. Kupeluk ayah mohon ampun. Dan aku pun berhenti jadi orang gila. Aku kembali waras. Sedikit demi sedikit aku mengumpulkan kepingan hati yang berserakan. Seiring dengan semakin sehatnya aku, aku pun mulai kembali meniti karir. Sudah lima belas tahun berlalu, namun rasa sakit akan kehilangan yang tragis belum juga pulih. Dan masih belum tahu kapan aku akan menikah. Namaku Joe, orang biasa memanggilku Jones, si jomblo ngenes. Karena nasib percintaanku memang ngenes. foto: shutterstock

Tidak ada komentar: