Senin, 29 Desember 2008

BIDAN BOJONG CAE

Salah satu dari sekian banyak tokoh yang kuingat di Desa Bojong Cae adalah Teh Euis, seorang bidan cantik yang bertugas di Desa Bojong Cae. Menurut penuturannya dia sudah hampir setahun bertugas di sana. Dia menempati sebuah rumah dinas kecil di dekat balai desa. Rumahnya setengah berdinding bata, setengah lagi berdinding bilik. Sederhana sekali.

Sebetulnya Teh bidan memiliki rumah permanen di Kota Rangkas. Namun semenjak bertugas di Desa Bojong Cae, Teh bidan memilih untuk hijrah bersama suami dan seorang anak perempuan berusia hampir dua tahun. Suaminya memiliki usaha rental komputer di kota. Dia juga menerima layanan video shooting acara pernikahan dan hajatan. Bisa dibilang mereka adalah keluarga yang terbilang cukup modern dan terpelajar. Makanya kami senang sekali berbincang dengannya.

Kami berbincang tentang apa saja. Tentang harapannya, tentang masa lalu, juga tentang tugasnya yang terkadang menjemukan. Dia seperti kami yang terdampar di desa terpencil. Teh bidan juga lama tinggal di kota. Makanya kami bisa saling berbagi dan berkeluh-kesah. Kami juga bisa mendapatkan pemeriksaan gratis dan mendapat vitamin tambah darah gratis. Dan tentu saja makan gratis sesekali. Terlebih lagi teh bidan memiliki usia yang tidak terpaut jauh dengan kami. Dia lulusan akademi kebidanan, mungkin saat itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sedang kami sekitar dua puluh tahun.

Kami mengenalnya dengan baik. Bisa dipastikan masa-masa bulan madu kami di Bojong Cae yang menjemukan benar-benar terobati. Kami kaum perempuan seringkali menghabiskan waktu bersama dengannya. Dari mengadakan Posyandu, penyuluhan kesehatan, sampai inspeksi dadakan ke dusun-dusun terpencil di Bojong Cae. Maklum kesadaran masyarakat Bojong Cae akan kesehatan dan kebersihan masih sangat rendah. Makanya bidan desa benar-benar harus terjun langsung kelapangan.

Bidan desa itu kami anggap sebagai wanita perkasa dan teladan. Di saat kami hampir-hampir tidak percaya dengan sebagian besar orang-orang di desa ini. Termasuk kepala desa yang gaek genit lagi korup sekaligus mata duitan. Atau sekretaris desa yang senang sekali ikut campur dalam urusan kami. Beberapa orang yang benar-benar sudah masuk daftar black list dalam otak kami. Maka kami tidak memiliki siapa-siapa kecuali bidan desa yang cantik.

Kebetulan ketika kami bertugas di Bojong Cae. Kami juga diserahi tugas survey untuk memantau pelaksanaan program pemerintah PKPS-BBM. Itu semacam program kompensasi pemerintah pada kenaikan harga BBM yang diberikan dalam bentuk bantuan langsung ke masyarakat. Bantuan itu antara lain dalam bentuk; Raskin (beras untuk kaum miskin gratis), KB gratis untuk kaum miskin, kartu sehat, dan lain sebagainya.

Kami membuat serangkaian kegiatan wawancara kepada aparat terkait, sesepuh desa, tokoh masyarakat. Dari situ kami baru bisa memberikan laporan akan penelitian kami. Apakah program PKPS-BBM di Desa Bojong Cae telah tepat sasaran? Atau malah terjadi kecurangan-kecurangan.

Agak sulit memang mengerjakan tugas ini. Tapi kami bersemangat. Pihak kampus memberikan kompensasi atas kerja keras kami. Kami mendapatkan imbalan sejumlah uang lima ratus ribu rupiah. Jumlah yang cukup besar bagi kami para mahasiswa. Imbalan itu tentu untuk seregu, bukan per-individu. Seingatku kami menggunakan uang itu untuk membiayai program kerja kami selama di Bojong Cae.

Selama kami melakukan survey di Bojong Cae. Kami memang mendapatkan beberapa kecurangan terselubung. Salah satunya adalah pendataan keluarga miskin yang tidak tepat sasaran. Banyak keluarga miskin yang belum mendapatkan fasilitas yang seharusnya mereka dapatkan. Maka tidak mengherankan, apabila banyak warga miskin yang sedang sakit tidak berani berobat. Alasannya sudah pasti karena biaya. Padahal pemerintah sudah menyediakan fasilitas kartu sehat untuk orang miskin, kartu sakti yang bisa digunakan untuk berobat gratis di rumah sakit pemerintah.

Banyak juga warga miskin yang terpaksa memakan makanan pokok selain beras. Ini sungguh menggelikan padahal kota Rangkas termasuk salah satu kota lumbung beras. Di sekitar Bojong Cae pun banyak persawahan padi. Selain itu Raskin atau beras miskin yang seharusnya gratis dibagikan kepada warga miskin, ternyata dijual oleh aparat desa dengan harga murah.

Seandainya ada yang gratis. Kualitas berasnya sudah tidak sebaik kualitas semula. Berasnya buruk dan terkadang berkutu. Itulah yang menjadi santapan para warga miskin. Sungguh biadab! Tega-teganya mereka melakukan hal tersebut. Mungkin kesalahan itu tidak seburuk kesalahan para koruptor Indonesia yang menggelapkan uang milyaran atau bahkan trilyunan. Tetapi tindakan itu tetap tidak bisa ditolerir.

Kalau alasannya adalah uang, gaji yang jauh dari cukup. Loh bukankah itu konsekuensi dari seorang abdi Negara? Makanya aku kami benar-benar menjaga jarak dengan mereka. Hanya bidan cantik itu yang masih kami anggap sebagai sahabat kami. Paling tidak kami memiliki idealisme yang sama.

Suatu ketika kami sedang mengadakan posyandu dibalai desa. Aku, Dije dan Deci turut serta membantu dalam acara tersebut. Sedang para lelaki memiliki rencana sendiri. Kami menyiapkan alat-alat timbang, meja antrian untuk pemeriksaan, obat-obatan, dan lain sebagainya. Kami saling berbagi tugas. Deci yang ahli gizi sibuk mengurusi penimbangan sekaligus membuat grafik di setiap KMS (Kartu Menuju Sehat). Dije menyiapkan plastik-plastik berisi bubur kacang ijo untuk tambahan gizi para balita yang hadir. Aku asyik membereskan obat-obatan milik teh bidan.

Aku sudah tahu sebelumnya bahwa biaya berobat di bidan ini sangat murah. Untuk pemeriksaan kesehatan plus obat-obatan, bidan ini hanya mengenakan biaya paling mahal dua puluh ribu. Memang obat-obatannya adalah obat generik, murah meriah tetapi tidak mengurangi khasiatnya. Untuk suntik IUD KB, dia hanya mengenakan biaya tujuh ribu lima ratus rupiah. Harga pil KB pun murah meriah. Menurutnya yang agak mahal mungkin pasang spiral atau susuk di lengan. Karena membutuhkan pembedahan ringan. Tidak bisa sembrono kalau tidak ingin celaka.

Aku dibuat terkagum-kagum melihat ketulusannya dalam mengabdi tanpa pamrih. Sungguh dia tak memiliki cacat sedikit pun di mata kami saat itu. Sudah cantik rupawan, lembut, supel, baik hati, dermawan, tulus membantu. Pokoknya nyaris sempurna. Sampai suatu ketika saat aku menyiapkan obat-obatannya. Botol-botol mini berisi cairan yang akan digunakan untuk suntik KB. Aku tergelitik untuk melihat tulisan kecil di botolnya.

“Program PKPS-BBM gratis tidak diperjual-belikan………..” Memang setahuku, semua obat-obatan PKPS-BBM adalah gratis. Hanya didistribusikan untuk warga miskin secara gratis. Tetapi Aku tahu teh bidan menarik bayaran dari obat-obatan itu. Walaupun teramat murah. Tetapi? Ah…..Padahal aku sudah jatuh hati pada ketulusan hati bidan cantik itu.

Aku melihat tulisan itu. Sejenak aku terdiam karena terkejut. Dan sudah menjadi kebiasaan aku yang tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.

“Deci, Dije sini deh! Kok disini aku lihat tulisannya PKPS BBM.Seharusnya kan gratis……..,” Aku bersuara agak keras. Aku pikir tidak aka nada yang dengar kecuali kedua temanku. Karena memang keadaan saat itu sangat ramai.

Deci dan Dije yang sedang sibuk menoleh kearahku hampir bersamaan. Begitu juga teh bidan. Wajah teh bidan mendadak pucat pasi, seperti tidak bisa menyembunyikan keteterkejutannya. Dia memang tahu, kami disini juga sebagai mata-mata pemerintah untuk mengawasi jalannya program pemerintah PKPS-BBM. Makanya dia menjadi grogi.

Saat itu aku bisa melihat perubahan sikapnya. Sejenak mata kami berpandangan. Dia menunduk. Namun tidak lama. Karena bidan itu langsung dapat menguasai dirinya. Dia mengambil alih, Bidan itu bertepuk tangan untuk menenangkan para ibu dan balita untuk mendapatkan perhatian. Sepertinya dia akan memberikan pengumuman penting.

“Ibu-ibu sadayana, mulai bulan ini setiap bulan ada jatah lima orang untuk mendapatkan suntik KB gratis. Tapi bergiliran ya ibu-ibu! Bulan ini lima, bulan depan lima lagi begitu seterusnya. Pasti semua mendapatkan bagian.”

Setelah selesai memberi pengumuman. Bidan itu melemparkan senyum pahit ke arahku. Aku membalasnya dengan senyum tulus yang agak dibuat-buat. Toh aku tidak berhak menghakimi bidan itu. Aku, Deci dan Dije sempat berbalas pandang sejenak. Kami sungguh jadi tidak enak hati. Hampir saja kami menelanjangi bidan itu di kerumunan ibu-ibu dan balita. Tetapi untunglah.

Beberapa saat kami memang jadi agak aneh. Pastilah bidan itu juga sedikit shock. Kecurangan kecilnya selama ini terbongkar secara tidak sengaja olehku. Tetapi aku berusaha mencairkan suasana. Setidaknya sampai kegiatan Posyandu ini berakhir. Bukankah kami masih membutuhkannya hingga masa KKN kami berakhir sebulan lagi.

P.S. Trust No One (Nantikan kisah selanjutnya!)

Tidak ada komentar: