Senin, 29 Desember 2008

ULANG TAHUN ABANG YANG MENGHARUKAN

Hari itu tanggal 4 Juli 2003, Abang Faisal berulang tahun. Kami memang sudah memikirkan kejutan istimewa untuk abang. Hubungan aku dan abang terbilang harmonis. Walaupun dia satu-satunya orang yang paling sering membuat aku menangis. Tetapi sebetulnya kami menganggap pertengkaran itu hanya kerikil kecil yang teramat biasa dalam sebuah hubungan keluarga. Layaknya kakak dengan adik. Lagipula abang sudah cukup bertanggung jawab dalam menjaga kami.

Kami kaum perempuan sudah merencanakan kejutan istimewa. Sudah barang tentu kami juga melibatkan Fian. Bukan sebagai eksekutor, hanya sebagai pendengar setia sekaligus sumbang ide. Selebihnya kami kaum perempuan yang merencanakan sematang mungkin. Dari mulai makanan apa yang akan dihidangkan di hari special. Jebakan apa yang akan diberikan. Sampai hadiah apa, dan bagaimana kejutan itu diberikan.

Berhari-hari kami berbisik-bisik merencanakan sesuatu yang besar dengan modal terbatas. Lagipula tidak banyak yang bisa dilakukan di desa terpencil ini. Sebuah kue tart mahal di kota sudah barang tentu terlalu mustahil bagi kami. Selain transportasi yang membingungkan juga masalah biaya yang tidak sedikit. Kami ini saat itu hanya mahasiswa biasa yang mengandalkan uang jajan bulanan dari orang tua. Dan saat itu sebagian besar uang jajan kami tersedot untuk pembiayaan proyek kami di Bojong Cae.

Akhirnya disepakati, kami akan membuat pudding istimewa sebagai kue ulang tahun. Kami juga akan memasak makanan istimewa untuk hari itu. Istimewa menurut kami bukanlah daging atau ayam goreng. Istimewa menurut kami apabila tersedia lauk pauk, sayur mayur dan sambal sebagi pelengkap nasi. Maka pilihan kami jatuh pada menu sayur asam, sambal terasi, lalapan dan ikan asin. Mantap! Sedang untuk masalah mekanisme penjebakan, kami serahkan pada Fian sebagai ketua pelaksana.

Pagi-pagi sekali kami kaum perempuan sudah bersiap meninggalkan rumah. Kami harus membeli sayur mayur yang dibutuhkan. Kami juga mencari agar-agar swallow globe di toko terbesar di Bojong Cae. Susu kental manis sachet, sekilo gula putih. Kami pun membeli buah buni sebagai penghias pudding kami. Kami bayangkan manisan buah buni itu adalah buah ceri yang ranum dan menggugah selera.

Setelah mendapatkan apa yang kami butuhkan. Kami bersegera pulang. Kami mendapatkan Abang sedang di kamar mandi. Maka aku, Dije, Deci dan Fian bermusyawarah dengan berbisik-bisik perihal penjebakan. Sebelumnya kami memang sudah sepakat untuk membisu sejenak dengan tidak menyapa ataupun merespon pertanyaan Abang.

Tiba-tiba abang memasuki ruang tamu dengan terheran-heran.

“Ada apa rupanya kalian berbisik-bisik?” Dengan logat Bataknya yang kental sembari memandangi kami satu persatu dengan tatapan curiga. Kami sempat terkejut. Namun tidak lama kemudian kami berhasil menguasai keadaan. Tanpa merespon terlebih dahulu pertanyaan Abang. Satu persatu dari kami meninggalkan ruangan tanpa bersuara. Kami kaum perempuan berkumpul di dapur untuk memasak.

“Hey…………aneh kali. Kenapa kalian ini?” Abang dibuat keki dengan kelakuan kami yang di luar kebiasaan sembari menatap kepergian kami. Namun itu tak berlangsung lama. Hari masih terlampau pagi. Dan Abang seperti biasa melanjutkan tidurnya hingga jam sembilan pagi. Atau hingga lapar telah menyerangnya.

Dengan tidurnya abang, kami kaum perempuan bisa dengan leluasa menyiapakan hidangan istimewa untuk Abang. Bahkan pudding sudah mendingin. Tak lupa kami mencelupkan beberapa manisan buni ke dalamnya. Kala itu pudding itu adalah makanan terlezat.

Tepat pada waktunya abang terbangun. Kami telah merencanakan sebuah penjebakan. Kami akan membuat Abang basah kuyup oleh siraman air sumur. Satu-satunya tempat yang kami rasa sesuai adalah dapur dekat tungku kayu bakar yang berlantaikan tanah. Karena kami agak malas juga kalau harus mengepel ruangan yang kuyup oleh air sumur.

Namun yang jadi pertanyaan adalah bagaimana memancing Abang agar mau ke dapur? Kami benar-benar dibuat bingung. Kami sudah siap dengan seember air sumur, hanya tinggal bagaimana memancing abang tanpa curiga.

Istana Bojong Cae dikelilingi oleh pepohonan lebat dan alang-alang. Bangunan terbagi menjadi dua. Banguan inti berlantai ubin, berdinding bata, dan beratapkan genteng. Sedang bangunan kedua di belakang, dan masih berhubungan dengan bangunan utama adalah area, berdinding bilik, berlantaikan tanah. Pintu memisahkan antara dapur bersih dengan area belakang yaitu sumur, kamar mandi dan dapur dengan tungku kayu bakar. Kamar mandi pun semi permanen. Sebelum kami datang, kamar mandi itu nyaris terbuka lebar. Sampai akhirnya abang merelakan sarung kesayangannya sebagai penutup dinding yang terbuka lebar.

Tanpa berpikir panjang, aku yang pernah berlatih teater selama bertahun-tahun di bangku SMA dan bangku kuliah semester pertama mengerahkan kemampuan aktingku untuk memancing abang. Aku berteriak histeris sembari menyebut-nyebut ada ular masuk ke dapur. Itu adalah hal yang paling mungkin mengingat istana kami dikelilingi oleh kebun.

Maka semua orang berhamburan menuju dapur termasuk abang. Abang tergopoh-gopoh menghampiriku sembari membawa kayu panjang dan pisau dapur. Matanya nyalang mencari-cari keberadaan ular itu.

“Mana…mana ularnya?” Abang terengah-engah. Saat dia lengah, maka Fian serta merta menyiramkan seember air ke arah abang. Sebelum abang murka, kami beramai-ramai menyanyikan lagu ‘Selamat Ulang Tahun’ dan ‘Happy Birthday To You’ dengan semangat diiringi dengan tepuk tangan yang riuh gemuruh. Deci berlari kedalam mengambil pudding buatan kami lengkap dengan lilinnya. Sesegera mungkin kembali bersama kami.mLagu pun berganti dengan

“Tiup Lilinnya…Tiup lilinnya…tiup lilinnya serta mulia…serta mulia…!” Serempak dengan gembira merayu abang agar segera meniup lilinnya. Dan abang pun meniup lilinnya.

Abang terlihat gembira sekali. Baru kali itu aku melihat mata abang berkaca-kaca. Musnah sudah prasangka kami akan kekerasan hatinya. Ternyata abang juga manusia biasa. Abang tertawa. Kami menggiring abang menuju ruang keluarga untuk menyantap pudding bersama.

Tanpa menunggu lama, sesaat setelah pudding dipotong-potong oleh Deci kami segera menyerbu dengan penuh semangat. Seperti anak kecil yang berebutan kueh. Nikmat sekali rasanya. Saat kami sedang asyik-asyiknya menyantap pudding. Abang tiba-tiba berkomentar.

“Sekali pun aku pernah dirayakan ulang tahunnya semeriah ini.” Sederhana namun dalam sekali maknanya. Kami sampai menghentikan gigitan kami pada pudding itu.

“Terima kasih ya teman-teman. Ini akan aku ingat seumur hidupku.” Abang tersenyum memandangi kami satu persatu. Kami pun membalas senyumnya dengan teramat manis. Kami meneruskan makan. Sambil sesekali kami berfoto ria.

Pudding itu adalah kado paling istimewa untuk abang di hari ulang tahunnya. Walau pudding itu hanya menggunakan cetakan berupa baskom, berbahan seadanya dan berhiaskan buah buni. Namun itu merupakan hadiah termahal untuk abang. Mungkin tidak akan pernah terlupakan.

Setelah itu kami bersantap ria masakan inti berupa sayur asam, sambal terasi, ikan asin dan nasi panas yang mengepul. Abang berjanji, esok lusa dia akan mengajak kami makan di restoran sebagai tanda terima kasihnya. Katanya sesekali kita juga harus memanjakan lidah dengan makan daging. Kami bungah…tak sabar menanti esok. Karena itu kesempatan langka kami makan di restoran ibukota Rangkas Bitung.

P.S. Perhatian seorang sahabat merupakan hadiah terindah dalam hidup. Bayangkan bila tak ada seorang pun yang mempedulikanmu!

Tidak ada komentar: