Selasa, 23 Desember 2008

SI TUKANG RAMAL BOJONG CAE

Kami memanggilnya Abah. Dia adalah sesepuh Desa Bojong Cae di Rangkas Bitung, tempat kami menghabiskan masa KKN kami. Rambutnya sudah memutih. Namun Usianya yang sudah hampir menyentuh angka 70 seakan tersembunyi di balik ketegapannya. Walau keriput sudah menjadi teman kulitnya.

Sejenak mata Abah menerawang jauh, asap rokok Djinggonya mengepul. Abah menghela nafas seakan berusaha memberangus awan gelap yang membayangi hatinya. Wajah keriputnya mengulas senyum. Senyum menawan khas seorang bapak tua yang telah banyak makan asam garam memikat perempuan. Abah pun memulai ceritanya.

"Abah dulu seorang petualang. Sering berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Layaknya orang ngelmu. Abah tak lekas puas. Abah terus berkelana mencari pengalaman. Abah teh dulu tampan pisan........" Senyum genitnya memperkuat cerita. Kami kaum perempuan hanya berpandangan.

Sebelumnya kami memang sudah tahu sepak terjang Abah ini. Abah seorang dukun ilmu kebatinan. Masalah ilmu pelet dan gendam adalah hal yang teramat sepele. Istri Abah ada dimana-mana. Lebih dari dua puluh yang tersebar di berbagai daerah. Setiap Abah berkelana, disitu pula Abah berkelana mencari cinta bersama gadis-gadis lugu kembang desa.

Abah sama sekali tidak pernah punya kesulitan untuk memikat perempuan. Wajah Abah memang tampan di masa mudanya. Itu dari foto yang dipertontonkan kepada kami. Abah berbadan tegap, berkulit terang, dan berwajah bagus. Abah juga pandai bicara, sekali rayu perempuan akan bertekuk lutut tanpa ampun dan langsung minta dikawin. Ditambah lagi Abah kesohor sebagai dukun pelet. Beberapa artis terkenal adalah pasiennya. Mau pasang susuk di wajah, dada, pinggul atau tempat-tempat erotis kaum perempuan? Adalah hal teramat mudah. Ajian pengasihan, semar mesem adalah beberapa produknya. Dijamin sang pujaan akan langsung bertekuk lutut.

Maka dari itu sejak awal aku mewanti-wanti Dije, Dewi untuk banyak merapal doa sebelum terlibat perbincangan tatap mata dengan Abah.

"Awas! Jangan lupa. Baca dulu Alfatihah dalam hati, tahan nafas! Baru kita aman menatap mata jalangnya. Kalian tidak mau kan, jadi Istri ke 30 si Abah." Satu kali aku berkata. Disusul dengan tawa riuh kami kaum perempuan. Si Abang tiba-tiba menimpali.

"Ada apa kalian rupanya? Girang kali", dengan logat Bataknya yang kental. Kami kaum perempuan hanya cekikikan.

"Siapa lagi kalau bukan membicarakan si dukun pelet", pendek Fian tetap asyik dengan korannya.

Maka kami benar-benar mengingat-ingat itu. Demi Allah, kami takut. Teramat takut bila suratan takdir harus membawa kami ke pangkuan lelaki gaek. Huh! Horor dan mengerikan. Namun justru Abang dan Fian semakin tertarik untuk mengenal dekat si Abah. Kami sempat curiga mereka sedang berusaha mencari tahu trik memikat perempuan.

Abah adalah bagian dari episode kami di Istana Bojong Cae. Kala itu kami tidak benar-benar percaya seratus persen pada kata-katanya. Mungkin hanya 10 %. Itu pun hanya tentang cerita istri-istrinya yang bertebaran dimana-mana. Tentang Istri tuanya yang menampungnya di Bojong Cae di masa tuanya.

Sampai akhirnya kami berlima hadir di suatu undangan nikah salah seorang warga Desa Bojong Cae. Selama di Bojong Cae, kami memang layaknya pejabat daerah yang selalu menjadi tamu kehormatan pada setiap acara kenduri warga kampung. Kami selalu diundang, bahkan dengan bangga mereka menyebut-nyebut nama kami di acara kenduri.

"Hari ini kita kedatangan tamu agung dari kota, mahasiswa-mahasiswa dari Institut Pertanian Bogor."

Dan seluruh warga kampung melihat ke arah kami. Kami hanya tersenyum-senyum akibat salah tingkah. Maka kami pun tak luput untuk dipersilahkan menyampaikan sepatah dua patah kata sambutan. Waduh.......! Bila kami pulang. Mereka akan membawakan 'berkat' dan sekardus kue-kue. Adalah suatu kebahagiaan bagi mereka bila kami makan banyak di pestanya.

Malah pernah suatu hari kami mengunjungi 2 tempat kenduri plus beberapa rumah yang mengundang makan. Mustahil bagi kami untuk menolak makan atas alasan apapun. Maka kami menampung semua makanan dengan gegap gempita. Badan kami menjadi gembul dan subur.

Malam itu kami diundang pesta nikah seorang tokoh desa yang cukup terpandang. Acara ini meriah sekali. Kebetulan tempat pestanya di seberang istana kami. Maka kali ini kami benar-benar siap mental untuk datang. Kami juga mengosongkan perut sedari siang, agar bisa menampung makanan gratis sebanyak mungkin. Kami memang berniat untuk singgah sampai larut. Agar kami bisa menikmati keseluruhan acara.

Acara dimulai selepas Isya. Biasalah seperti kebanyakan pesta. Ramah-tamah, makan-makan, kami juga disuguhi teh hangat dengan aneka jajan pasar di meja kehormatan yang ditempati oleh kami berlima, sesepuh desa, kepala desa, bahkan camat. Hingga kami jengah dan merasa perlu untuk menyingkir dari meja kehormatan. Kami hanya ingin menjadi lajang biasa.

Malam kian larut. Banyak tamu yang sudah pulang. Kami masih bertahan. Justru ini adalah puncak acara. Sang juru ramal Abah akan membuka kitab primbon dan membacakannya untuk pengunjung.

Satu jam pertama kami hanya mendengarkan Abah membacakan primbon dari kitab besar dengan bahasa yang tidak kami mengerti. Walau kami berkuliah di Bogor, Tanah Sunda. Kami awam berbahasa Sunda.

Kami melihat beberapa orang tua menyisipkan kertas bertulis nama di lembaran kitab primbon ketika Abah serius menembang primbon. Semula kami tidak mengerti namun setelah mendapat penjelasan dari sesepuh desa kami tahu bahwa itu syarat. Kita sisipkan kertas di dalam kitab primbon dimana suka. Maka Abah akan membacakan nasib kita sesuai primbon.

Satu-satu dari kami dibacakan nasibnya. Saat itu kami tidak benar-benar percaya. Itu hanya selingan. Namun sepulang dari pernikahan Fian dan Dewi kami membincangkan perihal ramalan itu.

Tentang Fian yang diramalkan akan berjodoh dengan orang sendiri. Kami waktu itu tidak mengerti apa arti orang sendiri. Olala..ternyata maksudnya adalah menikah dengan teman se-KKN yang notabene sudah dikenal baik karena kami pernah tinggal bersama dalam seatap.

Aku agak lupa ramalan untuk Abang, Dije dan Dewi. Tetapi untuk aku? Tiba-tiba aku meringis ngeri, karena ramalan itu benar-benar terjadi pada diriku.

"Risma akan berjodoh dengan orang jauh dan baru. Orangnya besar, tinggi. Katanya peranakanku 'jero' hanya sesuai untuk laki-laki itu. Setelah kehilangan, maka teman lelaki dari tempat yang sangat jauh justru berdatangan menjadi saudara. Bahkan lebih baik dibandingkan saudara sesungguhnya. Tiba saatnya mimpi jadi nyata, banyak dikenal orang.......".

Subhanallah. Tanpa bermaksud mempercayai kata-kata primbon itu. Tetapi memang itulah yang terjadi. Suamiku adalah orang seberang yang terpisah ribuan mil. Aku di pinggiran Jakarta, sedang dia besar di Manhattan. Tinggi dan besar.

Kehilangan? Yah........kehilangan Saiful Malook telah mengubah aku 180%. Aku justru menemukan kembali serpihan mimpi yang sempat terserabut dari angan. Menjadi seorang penulis yang dikenal.

Teman lelaki jauh yang menjadi saudara. Yah.......salah satunya adalah seorang bangsawan Kenya berkulit putih yang singgah di rumahku secara misterius. Saat itu adalah mahasiswa asing yang menginap di rumah kami yang mungil. Kemudian menjadi bagian dari keluarga. Walau semula menyimpan cinta pertama padaku yang tak pernah sekalipun menyimpan cinta melebihi seorang adik pada kakak laki-laki. Akhirnya pergi jauh ketika aku memutuskan untuk menikah. Maka episode setelah itu adalah persaudaraan.

Dia adalah kakakku, brother Mustaf. Dia pula yang menyelipkan mimpi di hidupku. Ketika aku kesusahan selalu ada dia. Namun ketika aku suka, aku tak pernah ingat pada dirinya. Ketika semua orang mencibir proposal bisnisku. Maka dia tanpa bertanya memberikan 5000 US$ kontan untukku.

"Good luck sister!", hanya itu ucapannya padaku. Penuh senyum.

Ketika aku sedih. Maka dia yang membesarkanku dengan ucapan bijak yang sungguh lugu. Bukan kedewasaan yang terpancar justru hanya kepolosan.

Dia tak pernah melupakan keluarga sementaranya di Jakarta. Biar bagaimana pun rumah kecil kami adalah istananya beberapa tahun silam. Maka kami dihujani bingkisan tanpa henti. Aku masih lugu. Aku tidak tahu. Sehingga akhirnya lelaki itu malah datang ke rumahku dua minggu sebelum pernikahanku. Bukan temu kangen. Melainkan menawarkan istana untukku.

"Brother I thought......." Aku tak enak hati.

"Yeah I'm late. Nop......I tried to let you know how much I love you from first. But no....you never love me. I was just like your brother. No problem". Aku justru menangis. Karena aku merasa terpojok. Aku pikir ah.......

Maka ketika dia meninggalkan rumahku dengan menangis. Tangisnya kali ini berbeda. Terlambat. Tak hanya dia. Tetapi ibuku pun menangis. Bagaimana bisa? Dia saudaraku? Takdir mengirimnya ke rumah kami sebagai mahasiswa asing yang lugu. Kemudian menjadi bagian dari keluarga besar kami.

Ah sudahlah tentang Mustaf. Kembali ke soal ramalan. Ramalan itu ternyata secara kebetulan sama persis dengan jalan kehidupanku. Apakah Abah cenayang? Atau Jin Abah mencuri dengar pembicaraan para malaikat di langit? Atau primbon itu memang yahud.......Tidak! Demi Allah.....sebagai orang Islam aku tidak suka ramalan. Aku hanya..........ah.....hanya.

Perihal pernikahan Fian dengan Dewi. Abang pernah berkata,

"Dulu kami lelaki diajarkan bagaimana memikat perempuan. Entahlah apa ilmu itu yang digunakan Fian untuk memikat Dewi".

Kami diam. Bukan tak peduli, hanya sedikit ngeri kami telah cukup jauh mendekati syirik. Tetapi kami tidak memungkiri, Abah si tukang ramal adalah bagian dari episode terindah di Istana kami di Bojong Cae.

Moral:
You are what you think all day long
Barangkali ramalan adalah sebuah sugesti yang tanpa sadar merasuk dalam pikiran.
Berbahaya, anda bisa terjerumus dalam dosa besar.

P.S. Nantikan kisah selanjutnya! Mungkin lain kali dengan foto.

Tidak ada komentar: