Senin, 29 Desember 2008

MASKER BENGKUANG BUMBU RUJAK

Sudah merupakan kebiasaaan kaum perempuan baik tua maupun muda untuk mematut diri dan berdandan. Maka kaum perempuan sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kegiatan merawat diri agar cantik rupawan. Apalagi kala itu aku dan beberapa perempuan lainnya adalah gadis perawan yang baru saja merekah layaknya bunga yang memancarkan harum semerbak dan pesona bagi semua kumbang jantan. Walau bukan berarti kami suka menarik kumbang jantan untuk mampir di kehidupan kami.

Kami para perempuan yang hampir seluruh umurnya kala itu dihabiskan di kota, sudah mengenal aneka perawatan wajah dan tubuh dari lulur, facial, masker wajah, cream-bath, dan lain sebagainya. Maka dengan terperangkapnya kami di sebuah desa terpencil di Kabupaten Lebak Banten tidak mematikan birahi kami untuk merawat diri. Setidaknya kecantikan kami tidak pudar hanya karena tidak sedang tinggal di kota. Seperti pudarnya kecantikan Cleopatra yang merupakan momok mengerikan itu.

“Kita ke kota yuk!” ajakku pada Dije dan salah seorang teman perempuanku yang sedang berkunjung, Irma. Irma adalah teman sekelasku yang sama-sama sedang KKN di Kabupaten Lebak, Kecamatan Cibadak. Hanya saja kami berbeda desa. Dia di Kadu Agung Barat.

Saat itu para lelaki di istana kami di Bojong Cae sedang tidak ada. Mereka, Abang dan Fian sedang ada urusan di Bogor. Begitupun dengan Deci. Makanya hanya ada aku dan Dije yang menjaga istana kami. Sudah merupakan kesepakatan bersama bila ada di antara kami yang harus meninggalkan istana, maka yang lain harus tetap tinggal di istana.

Kala itu giliran aku dan Dije yang menjaga istana. Walau sebetulnya selama tugas aku sama sekali tidak pernah mengambil jatahku untuk pulang. Dan kebetulan tempat tugas Irma di Kadu Agung Barat juga sedang sepi. Maka Irma memilih untuk menginap di istana kami.

“Ke kota?” Dije menyahut.

“Iya kita ke kota, sekalian lihat pemandangan dan berbelanja kebutuhan rumah tangga. Mungkin membeli lulur atau masker wajah. Selagi para lelaki tidak ada di rumah. Kita para perempuan bisa berpesta pora tanpa ada yang mengganggu. Sepertinya kita perlu sesekali memanjakan diri. Jangan biarkan desa ini memberangus kecantikan kita.” Aku berapi-api sambil memandangi wajah mereka satu persatu.

Irma manggut-manggut. Bagiku itu lampu hijau. Irma adalah karibku. Walau usianya jauh lebih muda dari pada aku. Namun pemikiran dia jauh lebih dewasa dari aku, bahkan Dije yang masih lebih tua dari aku. Irma seorang melankolis sempurna. Maka sebuah rencana harus dibuat sematang mungkin. Jangan harap dia akan ikut serta dalam sebuah rencana berpelesiran yang tanpa perencanaan matang. Setidaknya sebuah rencana yang baik menurut Irma harus dapat menjawab beberapa pertanyaan.

Di mana?

Untuk apa?

Bagaimana menuju kesana?

Apa saja yang akan dilakukan?

Kapan?

Pulang jam berapa?

Apa manfaatnya?

Huh! Maka akan sangat melelahkan mengajaknya pergi tanpa tujuan seperti yang dilakukan kaum sanguinis seperti aku. Aku adalah pribadi yang bebas tak suka diatur. Aku suka melakukan apa saja yang aku mau. Justru karena itu kreativitasku ditantang. Aku penuh ide kreatif, namun sejujurnya aku agak kesulitan dalam melaksanakan ide-ideku. Semangatku meletup-letup di awal, namun pertengahan aku benar-benar butuh perencana ulung dari kaum melankolis. Sanguinis tak lebih dari seorang penggembira dan pembuat ide. Namun sekali lagi sanguinis agak kesulitan dalam memimpin layaknya kolerik apalagi mengerjakan hal remeh-temeh yang hanya cocok dilakukan oleh orang flegmatis.

Sepanjang usiaku kini, maka Irma adalah salah satu contoh melankolis sempurna yang pernah aku temui di dunia ini. Dia selalu berusaha melakukan segala hal sesempurna mungkin, jikalau perlu ‘zero mistake’. Semuanya harus serba terencana dengan baik. Yang lebih mengerikan, Irma sudah membuat catatan daftar pakaian dan baju dalam yang akan dipakai selama dua bulan KKN sebelum kami tiba di tempat ini.

Bayangkan! Sebegitu terencananya, Irma sudah merencanakan jadwal baju yang akan dipakai sepanjang KKN perhari, siang dan malam. Gila! Ketika aku mencoba menanyakannya. Maka Irma dengan sederhana menjawabnya, “Agar aku bisa memperkirakan berapa jumlah pakaian yang harus dibawa”.

Bahkan Irma juga sudah memperkirakan apabila terjadi hal yang tidak diinginkan yang membuat jadwal itu akhirnya harus berubah. Seperti kesibukan yang menghalanginya untuk mencuci, dan mengakibatkan keterlambatan keringnya pakaian. Atau hujan terus-menerus yang membuat pakaian tak kunjung kering. Dengan adanya pakaian cadangan.

Idealnya memang dalam sebuah tim harus memiliki keempat kepribadian dalam personality plus; Kolerik sang pemimpin, Sanguinis sang penggembira yang jago bermimpi, Melankolis sang penyempurna dan flegmatis sang juru pelaksana umum. Maka di ikatan persahabatanku dengan Irma, Dije, Widi, Ari dan Dewi, kami sungguh tim yang kompak. Kami merupakan gabungan dari keempat kepribadian tersebut. Baiklah, mari kita kembali kepada rencana para gadis di Istana Bojong Cae.

“Setuju!” Irma menimpali.

Giliran aku memandangi Dije, menunggu jawaban. Dije hanya tersenyum, “Pastilah aku ikut. Lagipula penat kali aku di desa. Sesekali ingin juga aku berpelesir melihat kota.” Dije dengan logat Bataknya yang kental.

Tanpa menunggu waktu lama, kami segera bergegas mempersiapkan segalanya. Terutama dompet berisi uang secukupnya. Tak lupa mematut diri di kaca sembari mengoleskan krim, berbedak alakadarnya dan melembabkan bibir dengan lip gloss. Biar pun kami bunga yang mulai merekah. Belum timbul juga keberanian di hati kami untuk mengoleskan gincu berwarna merah menyala yang mampu membakar selera kaum Adam. Bahkan hingga detik ini, aku sudah bersuami. Aku masih tidak berani. Pelembab bibir masih menjadi teman bibirku. Sesekali memang bergincu, tetapi hanya sebatas warna bibir agar terkesan alami. Lagipula gincu berwarna merah menyala lagi norak sama sekali old fashioned. Bukannya cantik, malah bibir terkesan jontor.

Setelah mengunci pintu, kami segera pergi meninggalkan istana kami. Dengan langkah pasti dan hati yang berbunga-bunga. Maklum kami amat jarang berpelesiran melihat kota. Maka kesempatan ini termasuk hal langka yang menggembirakan kami.

Desa Bojong Cae cukup jauh dari kota. Tetapi sesungguhnya masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki selama dua jam. Transportasi yang cukup sulit membuat kami tergoda untuk merasakan sensasi berjalan kaki sepanjang 10 kilometer menuju Kota Rangkas Bitung. Lagipula hari masih teramat pagi. Masih setengah enam pagi. Masih gelap gulita. Ini kesempatan kami menghirup udara segar yang masih alami. Dinginnya menusuk tulang rusuk. Brrr! Tetapi segar, segarnya mampu menembus relung hati sekaligus menyejukkan isi kepala dan hati.

Kami berjalan cukup santai, makanya baru jam delapan kami akhirnya sampai di kota. Kami para gadis yang banci kamera tak pernah melewatkan tempat-tempat indah di sepanjang jalan tanpa berfoto. Kami layaknya bule yang sedang terheran-heran, karena baru pertama kali mengunjungi Indonesia. Ini sekaligus untuk membunuh kebosanan kami akan jauhnya perjalanan dari Bojong Cae ke Rangkas Bitung.

Sesampainya di kota, kami menyempatkan diri untuk sarapan. Perjalanan yang cukup jauh membuat kami benar-benar kelaparan. Tidak butuh waktu lama untuk menghabiskan 3 arem-arem isi oncom, bakwan dan tahu isi goreng dengan saus kacang pedas di dalam piring. Alhamdulillah. Nikmatnya tak terkatakan! Lebih nikmat dibanding Pizza, Spaghetti, Burger, atau makanan-makanan Barat lainnya.

Setelah kenyang, maka kami tidak membuang waktu kami untuk segera berburu keperluan kami di toko terdekat. Kami membeli satu botol lulur jadi merek Mustika Ratu dan aneka keperluan seperti sabun, pasta gigi dan lain sebagainya. Kami juga menyempatkan diri untuk membeli kebutuhan bahan segar di pasar tradisional. Membeli lauk-pauk tempe tahu, dan presto bandeng ala Rangkas Bitung, aneka bumbu dan sayuran segar. Tidak lupa buah-buahan untuk rujak, terutama bengkuang sebagai bahan dasar masker wajah kami.

Kami berbelanja cukup banyak. Walau begitu kami cukup tahu diri. Sebanyak itu kami berbelanja tidak sampai lima puluh ribu rupiah termasuk makan dan ongkos kami. Karena hari sudah cukup siang dan agak panas, makanya kami memutuskan untuk pulang naik transportasi umum saja. Tidak perlu berpeluh kepanasan. Hanya duduk, maka tak sampai empat puluh lima menit kami sampai di Istana kami.

Setelah shalat Dzuhur, kami memasak nasi dan menggoreng bandeng presto dan mengulek sambal untuk makan siang kami. Nasi yang mengepul panas dan ikan bandeng presto benar-benar semakin lezat dengan sambal terasi. Makan kami lahap sekali. Bahkan kami masih bernafsu membuat rujak sebagai pencuci mulut. Rujak super pedas. Karena kami bertiga memang penggila cabai. Maka rujak buatan kami benar-benar rujak yang bisa membunuh manusia yang takut cabai.

Setelah makan-makan kami beristirahat. Namun semua piring kotor dan ulekan sudah bersih sebelum kami tinggal tidur siang. Kami tidur tidak lama. Karena kami teringat dengan lulur dan bengkoang kami. Ini kesempatan langka. Para lelaki sedang pergi maka kami bisa buka-bukaan mengoleskan lulur ke seluruh tubuh.

Semua jendela kami tutup dengan korden. Mengkunci semua pintu. Setelah aman baru kami berani hanya memulai prosesi luluran. Kami saling membantu mengoleskan lulur di punggung. Kemudian kami asyik membuang daki masing-masing. Sembari menunggu kering kami berbincang seru ala para gadis.

“Eh, kita masih punya bengkoang,” Irma tiba-tiba.

“Oh iya…….” Aku bersemangat.

“Loh, tapi kan kita tidak punya blender,” Dije mematahkan semangat kami.

“Punya parutan tidak?” Tanya Irma lagi.

“Tidak, “ Dije lemas.

“Hem………aku ada ide, kita masih punya ulekan. Kita ulek saja bengkoangnya!”

Dije dan Irma seperti berpikir. Irma, “Sepertinya boleh juga idenya.”

“Ya sudah, kita kupas dulu bengkoangnya,” Dije menimpali.

Kita semua bergerombol di dapur, mengupas, mengiris bengkuang sembari berbincang-bincang. Setelah selesai giliran aku yang mengulek bengkuang calon masker wajah di ulekan bersih. Maka tak sampai sepuluh menit, ramuan bengkuang siap digunakan untuk masker wajah. Kami bersemangat mengoleskannya ke permukaan wajah kami yang mulus. Dengan harapan, kelak masker ini akan semakin membuat wajah kami putih bercahaya.

Kami membiarkan masker itu mengering di wajah kami, sebelum kami membilasnya. Tiba-tiba sepuluh menit kemudian,

“Kok wajahku panas ya?” Tanya Irma.

“Iya aku juga, “ Dije.

Aku dengan cekatan menjawab, “Oh itu mungkin reaksi dari maskernya. Mereka sedang membunuh kuman-kuman di wajah kita. Lihat saja wajah kita kan agak berjerawat. Jadi mungkin itu reaksi alami.” Sejenak aku melihat mereka mengangguk-angguk. Aku tersenyum karena dapat memuaskan pertanyaan mereka.

Tetapi semakin lama, rasa panasnya bukan mereda malah semakin menjadi. Wajah kami terasa terbakar api. Fiuh!

“Kamu yakin ini reaksi alami masker bengkuang. Perasaan aku tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya,” Irma sembari kepayahan menahan panasnya wajah. Kali ini benar-benar tidak bisa menjawab. Karena aku juga semakin kepayahan. Wajahku seperti melepuh.

“Ulekannya bersih kan?” Tanya Dije.

“Bersih,”singkatku sambil kepayahan.

“Loh……….kan sebelumnya itu dipakai mengulek sambal rujak.“ Irma menyadarkan kami semuanya.

“Oh My GOD!” Aku dan Dije berpandangan.

Maka sedetik kemudian kami berlarian berebut menuju kamar mandi untuk membilas wajah kami yang teracuni masker bengkuang bumbu rujak.

“Ahhhhhhhhhhhhhh!” Kami berteriakan seperti orang gila. Wajah kami semakin memanas dan tak tertahankan lagi. Setelah terbilas air dan sabun muka beberapa kali barulah rasa panasnya mereda.

Sejak saat itu kami tidak pernah membuat eksperimen masker bengkuang lagi. Tidak akan pernah! Lebih baik membayar agak mahal untuk perawatan di salon, dibanding wajah kami harus melepuh terkena panasnya sambal rujak. Itu benar-benar pengalaman paling gila.

Sampai saat ini kami masih mengingat peristiwa itu. Mungkin suatu hari nanti itu akan jadi topic perbincangan paling menarik yang layak untuk dibagikan kepada anak perempuan kami tentang betapa bodohnya kami kala itu.

P.S. Beauty is painful (Nantikan kisah seru lainnya!)

Tidak ada komentar: