Kamis, 25 Desember 2008

MAHASISWA PUJAAN

Ketika kami baru menginjakkan kaki di Bojong Cae. Kami layaknya selebritis. Semua pasang mata menguliti kami sepanjang perjalanan kami dari rumah kepala desa hingga Istana Bojong Cae. Sesekali aku menangkap sekelebat beberapa orang saling berbisik-bisik. Ketika aku lemparkan pandangan ke arah mereka yang berbisik-bisik. Mereka terdiam salah tingkah. Maka aku menghadiahi mereka seulas senyum manis, maka dengan malu-malu kucing mereka membalas senyumku.

Anak-anak kecil berlarian mengiringi perjalanan kami yang hanya berjarak tak lebih dari 1 km itu. Semua seakan suka cita menyambut kami. Entah apa yang ada di benak mereka tentang kami. Lima orang mahasiswa IPB yang sedang menempuh ujian hidup di desa terpencil.

Tak hanya sekali itu kami dipandangi seolah selebritis. Bahkan beberapa hari setelah itu pun kami masih menjadi bahan perbincangan. Kami jadi bertanya-tanya, apa gerangan yang membuat mereka seperti itu. Apakah karena kami seperti makhluk planet? Atau mereka teramat jarang melihat mahasiswa dari kota? Apakah mereka berharap banyak akan kedatangan kami? Atau kami yang terlihat aneh?

Seminggu kemudian kami baru dilibatkan dalam acara-acara kampung. Dari rapat karang taruna, rapat desa, Posyandu, hajatan, sampai kerja bakti. Disitulah akhirnya kebekuan di antara kami sekelompok mahasiswa kota dengan orang desa tercairkan. Tatapan aneh mulai berkurang. Mereka sudah bisa menyapa kami dengan nama. Kami pun tak segan-segan melepas senyum sembari menyapa,
"Mangga!"

Warga kampung dengan sumringah menjawab, "Punten".

Hanya itu kosa-kata Bahasa Sunda yang melekat kuat di otakku. Selebihnya? Teu Tiyasa Basa Sunda.

Walau mereka sudah mulai terbiasa dengan kehadiran kami. Tetapi kami masih merupakan selebritis di Desa Bojong Cae. Itu tak menjadi soal bagi kami. Kami pikir, kapan lagi kami bisa setenar ini.

Kami seringkali mendapatkan kiriman makanan dari warga desa. Anehnya yang mengirimkan adalah gadis-gadis geulis kebanggan Bojong Cae. Mereka sengaja bersolek untuk memikat. Hanya bedak merek Viva dengan gincu murahan merek Ponds seharga lima ribu rupiah. Mereka sama sekali tidak tahu jika Ponds tidak pernah mengeluarkan produk selain krim dan pembersih.

Salah satu dari perempuan desa yang agak sering berkunjung ke rumah kami adalah Teh Eneng. Bodinya lumayan bahenol, padat berisi. Dia salah satu aktivis karang taruna yang pandai bermain voli. Di antara kami berlima yang menyukai olahraga hanya Abang dan Dije. Maka merekalah yang selalu mengikuti pertandingan voli di sore hari. Mungkin di situ jugalah benih-benih cinta tumbuh di hati Teh Eneng.

Teh Eneng berusia sebaya dengan kami. Hanya karena dia tak pernah mengenyam bangku kuliahan dan langsung terjun di dunia kerja. Maka dia tampak lebih dewasa di banding kami. Dia terlihat sangat akrab dengan Abang. Maklum abang itu supel, berbadan tegap dan berwajah maskulin. Sudah pasti dia menjadi pujaan. Bukan hanya Teh Eneng yang memuja abang kami. Tetapi masih ada beberapa gadis termasuk Melati anak Pak RW. Tapi Teh Eneng paling gencar. Bahkan malam pun dia menyempatkan diri untuk mengunjungi istana kami. Tidak sendirian memang, tetapi bersama teman akrabnya. Tentu saja untuk menemui abang.

Kali lain Melati yang datang. Namun penampilan Melati lebih sopan di banding Teh Eneng yang senang memakai celana pendek dan kaos ketat. Bisa dibayangkan badannya yang montok akan semakin menggoda mata lelaki. Aku pikir dia memang memancing.

Sudah menjadi rahasia umum. Bagi orang desa menikah dengan mahasiswa dari kota adalah sebuah kebanggaan yang akan mengangkat martabat keluarga. Mahasiswa biasanya orang kaya, atau setidaknya punya uang berlebih untuk membiayai kuliah yang tidak sedikit. Mahasiswa biasanya pandai, kelak bila lulus mereka akan bekerja dan memiliki uang banyak. Maka mereka para gadis desa gencar melakukan pendekatan kepada abang. Sudah barang tentu, mereka didukung oleh keluarga besar.

Mengapa abang bukan Fian? Karena Fian adalah tipe lelaki rumahan yang tidak terlalu senang bersosialisasi. Maka Fian bukanlah prioritas utama target operasi. Fian terlihat kaku dan canggung bila berdekatan dengan perempuan. Sedang Abang terlihat lihai menyembunyikan perasaan jengahnya. Kami suka sekali menggoda abang.

"Abang.......apa kau akan tinggal di sini setelah tertambat dengan gadis itu?", suatu kali aku menggodanya dengan memaksakan diri berlogat Batak.

Abang menggerutu, "Huh.......tak lah".

"Oh kirain lu emang tertarik", Fian sembari cekikikan.

Setelah itu istana kami riuh oleh tawa. Kami semua serempak menggodanya. Lagipula abang memang pantas digoda. Ketika abang kami berdekatan dengan Teh Eneng. Abang kelihatan ikut mengimbangi kegenitan Teh Eneng. Maka bila Teh Eneng adalah perempuan penggodanya. Sedang abang adalah lelaki yang pantas digoda.

"Wadon bae...wadon bae..!" Lirik lagu dangdut super norak yang khas samar-samar terdengar dari rumah di depan istana kami. Tiba-tiba kami tertawa serempak.

"Tarik mang!" Dije berseru sambil bersiap untuk bergoyang.

Tiba-tiba Melati, gadis cantik anak Pak RW mengetuk pintu. Melati juga ingin bertemu dengan mahasiswa pujaan. Demi mimpi menjadi seorang istri dari suami yang terpelajar dan terpandang. Semoga berhasil, karena abang kami hatinya sudah tertambat dengan penyiar radio di Bogor. Sudah pasti lebih cantik dan pandai membawa diri, mahasiswi pula.

P.S. Ikuti terus kisahnya!




Tidak ada komentar: