Senin, 22 Desember 2008

ISTANA BOJONG CAE

Tiba-tiba saja ingatanku melayang kepada suatu waktu. Mundur enam tahun ke belakang. Ketika aku dan empat orang temanku terdampar di sebuah desa terpencil bernama Bojong Cae. Bagiku desa itu lebih dari sebuah tempat yang menjadi suratan takdirku. Suratan takdir yang membuat akhirnya pihak kampus memilihkan tempat itu untuk aku dan empat orang temanku berdarma bakti. Layaknya mahasiswa pertanian yang sudah cukup mumpuni makan asam garam perkuliahan. Maka waktunya sudah teramat sesuai untuk memulai hidup bermasyarakat dengan segenap ilmu.

Kami adalah serombongan mahasiswa 'bau kencur'. Aku dan empat orang temanku Dije, Dewi, Fian dan Faisal adalah mahasiswa Agribisnis calon sarjana pertanian. Sedang satu orang temanku perempuan adalah mahasiswa gizi. Benar-benar kombinasi yang payah untuk sekelompok mahasiswa KKN di daerah pertanian. Di antara kami berempat tidak ada seorang pun yang cukup 'mumpuni' perihal pertanian.

Pernah suatu ketika kami menyelenggarakan penyuluhan pertanian cara bercocok tanam sayur. Ketika para warga tengah serius memperhatikan kami. Maka kami malah kebingungan menebak-nebak, berapa centi jarak tanam bayam. Aku yang sempat mengambil mata kuliah hortikultur dipasrahkan untuk menebak.

Kami tidak tahu berapa proporsi kimiawi dalam pupuk bokashi. Atau bagaimana bingungnya kami saat ditanya bagaimana cara membasmi hama. Waduh! Mereka pikir kami benar-benar mahasiswa pertanian calon dokter tanaman yang serba tahu soal pertanian. My GOD!

Di awal kedatangan kami di desa Bojong Cae. Penyambutan terkesan biasa saja. Maka kami mahasiswa lugu yang setua itu masih menganggap masyarakat desa lah yang lugu. Masyarakat desa berhati bersih dan tidak banyak intrik. Balon-balon imajinasi kami dipenuhi akan sebentuk kedamaian yang tidak akan pernah kami temui di kota. Kala itu kami benar-benar optimis dapat mengubah sesuatu hanya dalam waktu dua bulan.

Kami menumpang semalam di rumah kepala desa. Belakangan kami tahu bahwa kepala desa itu memliki dua orang istri. Dan kala itu kepala desa sedang bersama istri tuanya. Sejenak kami menganggap kepala desa adalah seorang yang bijak dan penuh welas asih. Maka kami menurut saja ketika kami diarahkan untuk ditinggal dimana.

Keesokan harinya Kepala Desa menyiapkan rumah kontrakan untuk kami yang harus kami bayar dengan berapa ratus ribu untuk dua bulan. Tidak mahal juga untuk ukuran kami, walau kami juga bukan sekelompok mahasiswa kaya. Kami hanya membuat perbandingan sederhana dengan harga kontrakan rumah berkamar dua fully furnished di Jakarta atau di Bogor.

Cukup besar untuk kami berlima. Lumayan, hanya perlu sedikit usaha untuk membersihkannya. Maklum itu adalah rumah tua yang sudah cukup lama tidak dihuni. Belakangan kami tahu, tidak ada yang betah tinggal di rumah tua itu. Konon suatu ketika penghuni aslinya mati dibunuh. Terus terang kami tidak pernah benar-benar merasa terganggu dengan kehadiran makhluk lain di rumah hantu itu. Maka kami hanya menganggap itu hanya angin lalu.

Siapapun yang menginjak rumah itu akan bergidik ngeri. Tapi tidak bagi kami lima orang pemberani. Kami dengan semangat bekerja sama membersihkan istana kami di Bojong Cae. Setidaknya rumah itu yang akan menjadi tempat berteduh kami untuk dua bulan ke depan. Butuh waktu seharian bagi kami untuk membersihkannya. Baru terlihat bentuk rumahnya. Bersih dan nyaman untuk ditinggali. Maka sejak itu kami menghabiskan masa-masa indah kami di rumah itu.

Kami layaknya keluarga bahagia. Walaupun pertengkaran-pertengkaran kecil sering mewarnai istana kami di Bojong Cae tetapi itu tidak benar-benar membuat kami bercerai. Justru itu adalah pengalaman pertamaku dalam memahami karakter orang. Karena sebelumnya aku belum pernah jauh dari orang tuaku.

Abang Faisal adalah kepala keluarga kami. Sekilas dia adalah orang yang sangat tidak perhatian. Terkesan cuek. Wataknya keras, maka kami agak takut untuk melanggar hak-hak pribadinya. Tak hanya satu dua kali aku menangis tersedu-sedu oleh perkataannya yang terbilang cukup tajam menghujam dada. Mungkin karena logat Bataknya yang kental seringkali membuat aku salah sangka menebak keadaan emosionalnya. Tetapi di balik itu dia adalah pria yang lembut dan bertanggung jawab. Beberapa kali aku pernah terselamatkan olehnya. Aku selalu mengingatnya, entah apa dia mengingatnya.

Faisal juga seorang yang teramat perfeksionis. Pria yang sangat mengetahui bagaimana cara mencuci baju dengan baik menurut kaidah yang benar. Deterjen apa yang paling baik, berapa lama sebaiknya merendam, berapa kali seharusnya membilas, berapa lama seharusnya merendam dalam larutan pewangi. Atau bagaimana trik menggunakan cairan pemutih agar dapat berfungsi dengan baik. Termasuk bagaimana harus menggosok agar licin. Maka tak heran dibalik kecuekannya. Dia adalah pria yang senang berlaku sempurna. Walau terkadang kecuekannya seringkali lebih dominan dibanding sifat serba sempurnanya.

Dije adalah perempuan Batak. Wataknya keras, dia memiliki ketegaran baja seorang perempuan tangguh. Sebelumnya, aku dan dia memang sudah saling mengenal dekat. Sesekali kami memang suka beradu argumen. Namun dia sebetulnya adalah perempuan yang paling mengerti aku. Aku yang tidak terlalu pandai mengekspresikan perasaanku dalam bentuk kata-kata lisan, seringkali terbantu dengan dirinya.

Ketika aku melarikan diri dari istana kami karena kasus 'sumpia berdarah' dengan Abang. Maka dia yang mengkomunikasikan dengan baik kepada abang perihal kepergianku.

"Kau tahu? Risma pergi karena kau." Dije menyampaikannya kepada Abang Faisal.

"Bah, perkara apa rupanya? Anak itu terlalu cengeng rupanya!" Abang Faisal dengan logat Bataknya.

Aku pergi melarikan diri ke Serang. Tidak sendirian. Tetapi bersama Sumi yang bertugas di Bojong Leles. Kami bersenang-senang, walau aku masih sembab. Akibat terlalu banyak menangis. Aku masih ingat perkataan abang yang menyakiti hatiku.

"Siapa pula yang habiskan Sumpiaku! Kurang ajar kali" Suara abang menggelegar.

Maka aku ketakutan setengah mati mendengarnya. Saat itu aku sama sekali tidak bisa membedakan antara amarah dan perkataan biasa seorang Batak Tulen. Aku masih bisa menahan tangis dan mencoba bersikap biasa. Dengan membuatkan makan malam berupa nasi goreng special mungkin akan mencairkan ketegangan.

Nasi goreng super lezat akhirnya terhidang. Semua orang memuji kelihaianku membuat nasi goreng special. Begitu juga abang.

"Enak kali makan malam kita kali ini", Abang benar-benar membuat aku seperti terbang ke atas awan. Setidaknya aku lupa sejenak akan sumpia.

Tiba-tiba abang, "Beri aku resepnya lah. Barangkali aku bisa coba di rumah".

Aku menjawabnya dengan penuh semangat, "Mudah kok. Cuma cabe, bawang merah, bawang putih, garam, kecap dan gula putih".

"Hah? Kau kasih gula putih?!? Mamakku di kampung tak pernah kasih gula di masakan. Kenapa kau kasih?" Logat Bataknya yang kental semakin membuat nada suaranya terkesan marah dan meledak-ledak.

"Mmmhhhh itu penyedap. Aku tak suka micin", Aku membela.

"Bah.......! Tak ada itu aturan gula putih dalam masakan. Tak enak rasanya".

Waduh baru saja dia memujiku setinggi langit lantas membantingku dari tebing tinggi. AKu hancur. Maka lenyap sudah lapar yang menghinggapiku. Aku tinggalkan piring berisi nasi goreng yang masih penuh, karena aku baru memakannya sedikit. Aku berlari menuju kamar mandi dan menangis sejadi-jadinya. Aku baru berhenti untuk wudhu kemudian pergi tidur. Aku tidak bersuara sedikitpun hingga hari kepergianku.

Aku sempat membenci abang, hingga aku menyadari dia telah beberapa kali menyelamatkanku. Tidak hanya menyelamatkan kehormatanku tetapi juga menyelamatkan jiwaku di Bojong Cae. Dan aku semakin tahu betapa dia adalah pria baik. Hanya saja logat Bataknya mengagetkan aku yang besar di keluarga Jawa. Jantungku bisa berdebar keras bila mendengar suaranya.

Fian? Fian adalah pria pesolek. Hari-hari pertamaku di Istana Bojong Cae. Aku dibuat terheran-heran dengan tingkahnya. Ketika kami sudah siap pergi ke peraduan, maka dia asyik membersihkan mukanya. Ketika kami bersiap untuk melakukan kunjungan ke pelosok desa, maka dia sibuk mengoleskan tabir surya ke wajah dan sebagian kulitnya yang tampak. Dia adalah kebalikan dari Abang yang 'cowok' banget.

Begitu pun masalah kebersihan. Fian satu-satunya orang yang tidak bisa mencuci dengan baik di antara kami. Entah teknik mencuci apa yang dia gunakan. Hingga hasil cuciannya masih saja berbau. Padahal dia cukup boros deterjen.

Dewi satu-satunya mahasiswa gizi di tempat kami, adalah salah satu orang yang paling tidak suka kelakuan Fian. Hampir bisa dipastikan Fian adalah bukan tipe pria yang ideal. Malah kami sempat berpikir, justru Abang yang mampu merebut hati Dewi. Tetapi malah suratan takdir membawa Dewi justru menikah dengan Fian.

Dewi suka sekali memenuhi piring makannya dengan nasi yang menggunung. Tidak untuk dihabiskan. Tetapi untuk dibuang percuma sisanya. Dia hampir tidak pernah menghabiskan nasinya. Hanya lapar mata di permulaan. Kemudian hilang rasa di pertengahan. Selalu begitu. Aku beberapa kali menasihatinya.

"Duh, Deci lain kali kalau ambil nasi sedikit aja. Nanti kalau kurang tambah! Kan mubazir kalau dibuang", suatu kali aku menasihati. Dan kejadian itu terus berulang, hingga akhirnya Dewi benar-benar berubah.

Kami berbeda. Namun tanpa sadar kami saling menyayangi dan kehilangan. KKN telah berakhir hampir enam tahun lalu. Namun kenangan itu tidak pernah lekang dimakan waktu.


P.S. Nantikan kisah selanjutnya








Tidak ada komentar: